BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Bank Sentral 1. Pengertian Bank Sentral Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang – Undang Republik Indonesia No. 6 tahun 2009, yang dimaksud dengan Bank Sentral adalah “lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran
yang
sah
dari
suatu
negara,
merumuskan
dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lender of the last resort.” Bank sentral dimaksud mempunyai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dan tidak melakukan kegiatan intermediasi seperti yang dilakukan oleh bank pada umumnya. Walaupun demikian, dalam rangka mendukung tugas – tugasnya, bank sentral dapat melakukan aktivitas perbankan yang dianggap perlu. Sesuai dengan Pasal 23D Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bank sentral hanya ada satu di Indonesia yang susunan,
kedudukan,
kewenangan,
tanggung
jawab,
dan
independensinya diatur dengan undang – undang, yaitu Bank Indonesia. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang – Undang Republik Indonesia No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang – Undang Republik Indonesia No. 6 tahun 2009, “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari
14
15
campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal – hal yang secara tegas diatur dalam undang – undang ini.” Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sirkulasi, bank to bank dan lender of the last resort (Kasmir, 2013:5). Bank Indonesia lebih banyak melayani pihak pemerintah dan dunia perbankan sehingga dapat dikatakan bahwa nasabah Bank Indonesia bukanlah masyarakat umum tetapi kebanyakan adalah lembaga perbankan yang terdiri dari bank – bank umum. Tujuan Bank Indonesia berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang – Undang Republik Indonesia No. 6 tahun 2009, adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud dalam ayat ini adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dengan atau tercermin dari perkembangan laju inflasi. Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan.
2. Kelembagaan Bank Indonesia Bank sentral merupakan lembaga yang memiliki peran penting dalam perekonomian, terutama di bidang moneter, keuangan, dan perbankan. Bank sentral mempunyai peran yang sangat strategis bagi masyarakat pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Peran penting Bank Indonesia ini tercermin pada tujuan
16
dari Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kelembagaan Bank Indonesia menguraikan kelembagaan Bank Indonesia dalam rangka menjalankan tugas – tugasnya sebagai bank sentral. Selain itu, berisi perkembangan status dan kedudukan bank sentral yang bermula dari bank umum yang diberi tanggung jawab khusus sampai dengan perkembangannya yang terkini, perkembangan status dan kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia, serta struktur Bank Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
a. Perkembangan Status dan Kedudukan Bank Sentral (Bank Indonesia, 2003:16-18) Bank sentral pada mulanya berkembang dari suatu bank yang mempunyai tugas sebagaimana dilakukan oleh bank – bank lainnya. Namun, bank sentral mempunyai tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan bank lainnya, seperti menerbitkan uang kertas dan bertindak sebagai agen dan bankir pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, bank sentral mempunyai tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dan terlepas dari tugas dan tanggung jawab utama bank pada umumnya. Pada awalnya bank sentral disebut sebagai bank of issue “bank sirkulasi” karena mempunyai tugas untuk mempertahankan konversi uang kertas yang dikeluarkannya terhadap emas atau perak atau keduanya. Selanjutnya dalam perkembangannya, bank sirkulasi ini menjalankan fungsi – fungsi lain, seperti mengawasi dan mengatur perbankan, mempertahankan stabilitas ekonomi dengan mengatur jumlah uang beredar, dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan sistem pembayaran. Namun, semakin berkembangnya tujuan dan tugasnya, bank sentral tidak lagi identik dengan bank
17
komersial, bank tabungan, atau lembaga keuangan lainnya sehingga masyarakat umum tidak dapat lagi menyimpan uangnya atau meminta kredit atau mentransfer uang di bank sentral. Dalam perkembangannya, peranan dan fungsi bank sentral telah mengalami evolusi dari yang semula hanya sebagai bank sirkulasi menuju ke bank sentral yang mempunyai fungsi
sebagai
pelaksana
kebijakan
moneter,
pengatur
perkreditan, dan pengawas perbankan. Dengan demikian, secara lebih rinci peran bank sentral selain sebagai bankers’ bank adalah sebagai sumber dana bagi bank – bank dan lender of the last resort, yaitu sumber dana pinjaman terakhir bagi bank – bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Hal ini merupakan peran Bank Indonesia dalam pengawasan bank – bank secara makroprudensial meskipun saat ini telah ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang juga memiliki tugas untuk mengawasi perbankan dari sisi mikroprudensialnya. Bank sentral pada dasarnya tidak menekankan motif mencari keuntungan seperti bank – bank komersial, tetapi bank sentral dibentuk untuk mencapai suatu tujuan sosial ekonomi tertentu
yang
menyangkut
kepentingan
nasional
atau
kesejahteraan umum, seperti stabilitas harga dan perkembangan ekonomi. Di sisi lain, keberadaan bank sentral diperlukan juga untuk menjaga dan mengarahkan agar aktivitas perbankan dapat berjalan secara lancar sehingga dapat mendorong kegiatan ekonomi. Hal itu mengingat bahwa keberadaan koordinator dan regulator yang tidak berpihak akan membawa bank – bank dapat melaksanakan operasinya secara efisien. Contohnya, kalau tidak ada regulator secara ekonomi keberhasilan bank – bank kecil dapat mengalami kesulitan
18
karena adanya praktek bisnis yang tidak fair yang dilakukan oleh bank – bank yang lebih besar. Berkaitan dengan keadaan tersebut, jelas diperlukan pengaturan dalam bentuk undang – undang, kebijakan, dan peraturan untuk mengarahkan aktivitas industri perbankan dalam
mendorong
kegiatan
ekonomi.
Sementara
itu,
pengendalian jumlah uang beredar merupakan faktor yang sangat penting dalam seluruh kegiatan ekonomi suatu negara. Untuk itulah diperlukan suatu lembaga bank sentral yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, terutama untuk mengatur dan mengawasi aktivitas yang terkait dengan peredaran uang, kredit, dan perbankan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bank sentral pada umumnya merupakan suatu lembaga yang bertugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dan mengawasi (mengontrol) sistem keuangan dan perbankan.
b. Perkembangan Status dan Kedudukan Bank Indonesia (Bank Indonesia, 2003:20-22) Peran dan tugas Bank Indonesia selaku bank sentral di Indonesia hingga saat ini telah mengalami evolusi dari yang semula hanya sebagai bank sirkulasi hingga sebagai agen pembangunan, dan terakhir sejak tahun 1999 telah menjadi independen dan mempunyai tugas mencapai sasaran tunggal, yaitu menjaga stabilitas nilai rupiah. Sebelum
Indonesia
merdeka,
Indonesia
belum
memiliki bank sentral seperti yang ada pada saat ini. Pada periode tersebut, fungsi bank sentral hanya terbatas sebagai bank sirkulasi. Tugas sebagai bank sirkulasi dilaksanakan oleh De Javasche Bank NV yang telah diberi hak oktroi (1827),
19
yaitu hak mencetak dan mengedarkan uang Gulden Belanda oleh pemerintah Belanda. Pada
masa
setelah
proklamasi
kemerdekaan
Indonesia, dalam penjelasan Bab VII pasal 23 UUD 1945, disebutkan bahwa akan segera dibentuk sebuah bank yang disebut Bank Indonesia dengan tugas mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas. Selanjutnya, pada tanggal 19 September 1945 dalam sidang Dewan Menteri, Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk mendirikan satu bank sirkulasi berbentuk bank milik negara. Berkaitan dengan hal tersebut, langkah pertama dibentuk yayasan dengan nama “Pusat Bank Indonesia”. Yayasan tersebut merupakan cikal bakal berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI). Pada tahun 1949 berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, dan salah satu keputusan pentingnya adalah penyerahan kedaulatan Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat. Berkaitan dengan masalah perbankan, pada saat tersebut urusan pemerintah mengalami kesulitan untuk mengusahakan agar Bank Negara Indonesia yang telah didirikan sejak tahun 1946 ditetapkan sebagai bank sentral Republik Indonesia Serikat sehingga pemerintah Indonesia terpaksa menerima De Javasche Bank sebagai bank sentral. Dalam perkembangannya, pada tanggal 6 Desember 1951, dikeluarkan undang – undang nasionalisasi De Javasche Bank. Pada Juli 1953 dikeluarkan UU No. 11 tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia sebagai pengganti Javasche Bank Wet tahun 1922. Mulai saat itu lahirlah satu bank sentral di Indonesia yang diberi nama Bank Indonesia. Sejak keberadaan Bank Indonesia sebagai bank sentral hingga tahun 1968, tugas pokok Bank Indonesia selain menjaga stabilitas
20
moneter, mengedarkan uang, dan mengembangkan sistem perbankan, juga masih tetap melaksanakan beberapa fungsi sebagaimana dilakukan oleh bank komersial. Namun demikian, tanggung
jawab
kebijakan
moneter
berada
di
tangan
pemerintah melalui pembentukan Dewan Moneter yang tugasnya
menentukan
kebijakan
moneter
yang
harus
dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Selain itu, Dewan Moneter juga bertugas memberi petunjuk kepada direksi Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai mata uang dan memajukan perkembangan perkreditan dan perbankan. Kesemuanya ini mencerminkan bahwa kedudukan Bank Indonesia pada periode tersebut masih merupakan bagian dari pemerintah. Pada tahun 1968 dengan dikeluarkannya UU No. 13 tahun 1968, Bank Indonesia tidak lagi berfungsi ganda karena beberapa
fungsi
sebagaimana
dilaksanakan
oleh
bank
komersial dihapuskan. Namun demikian, misi Bank Indonesia sebagai agen pembangunan masih melekat, demikian juga tugas – tugas sebagai kasir pemerintah dan bankers’ bank. Selain itu, Dewan Moneter sebagai lembaga pembuat kebijakan yang berperan sebagai perumus kebijakan moneter masih tetap dipertahankan.
Tugas
Bank
Indonesia
sebagai
agen
pembangunan tercermin pada tugas pokoknya, yaitu (1) mengatur, menjaga, dan memelihara stabilitas nilai rupiah, dan (2) mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Tugas – tugas pokok yang diemban Bank Indonesia sebagai otoritas moneter pada periode tersebut, khususnya untuk memelihara kestabilan nilai rupiah, berkontradiksi dengan tugas lain Bank Indonesia, yaitu tugas untuk mendorong
pertumbuhan
ekonomi
dan
memperluas
21
kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, misalnya sering pula diikuti oleh peningkatan harga – harga (inflasi) yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh menguatnya permintaan di dalam negeri sehubungan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat sebagai dampak pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Inflasi yang tinggi berkelanjutan dan tidak terkendali pada gilirannya akan mengganggu kesinambungan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Selanjutnya, dengan diberlakukannya UU RI No. 23 tahun 1999, kedudukan Bank Indonesia selaku Bank Sentral Republik Indonesia telah dipertegas kembali. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia telah mempunyai kedudukan yang independen sebagaimana bank – bank sentral di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Cili, Filipina, Inggris, Jepang, Jerman, Korea Selatan, dan Swiss. Sebagai suatu otoritas moneter yang independen, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan moneter dan melaksanakan kebijakan yang telah diterapkan dalam pelaksanaan tugasnya tanpa campur tangan pihak di luar Bank Indonesia. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan setiap bentuk campur tangan atau intervensi dari pihak di luar Bank Indonesia. Dengan independensi tersebut, Bank Indonesia selaku otoritas moneter diharapkan dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif. Berdasarkan UU RI No. 23 tahun 1999, Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum. Dengan status tersebut, Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum termasuk mengelola kekayaannya sendiri terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, Bank Indonesia juga berwenang membuat peraturan yang mengikat masyarakat luas sesuai dengan tugas
22
dan kewenangannya, serta dapat bertindak atas namanya sendiri di dalam dan di luar pengadilan.
c. Struktur Bank Indonesia dalam Sistem Ketatanegaraan (Bank Indonesia, 2003:23-24) Dilihat
dari
sistem
ketatanegaraan
Republik
Indonesia, kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen tidak sejajar dengan lembaga tinggi negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA). Kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama dengan Departemen karena kedudukan Bank Indonesia berada di luar pemerintahan. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai Otoritas Moneter secara lebih efektif dan efisien. Meskipun Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara yang independen, dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia mempunyai hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan DPR, BPK, Pemerintah dan pihak lainnya. Dalam hubungannya dengan Presiden dan DPR, Bank Indonesia setiap awal tahun anggaran menyampaikan informasi tertulis mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter dan rencana kebijakan moneter yang akan datang. Khusus kepada DPR,
Bank
Indonesia
wajib
menyampaikan
laporan
perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenang setiap triwulan dan sewaktu – waktu bila diminta oleh DPR. Selain itu, Bank Indonesia menyampaikan rencana dan realisasi anggaran tahunan kepada Pemerintah dan DPR. Dalam hubungannya
dengan
BPK,
Bank
Indonesia
menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada BPK.
wajib
23
B. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) 1. Pengertian dan Karakteristik UMKM Pembentukan usaha baru dan dorongan terhadap budaya kewirausahaan merupakan isu sentral di banyak negara termasuk di Indonesia. Isu tersebut menjadi alternatif sumber pembangunan di Indonesia.
Pembentukan
bisnis
baru
melalui
kewirausahaan
berkontribusi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan, inovasi dan pembangunan ekonomi. Adanya definisi UMKM secara jelas sangat diperlukan untuk tujuan perencanaan dan penetapan kebijakan pengembangan sektor usaha serta dibutuhkan untuk mengidentifikasi kebutuhan UMKM dan efektivitas program pembinaan kepada unit usaha dimaksud. Namun, sampai saat ini belum ada definisi atau pengertian yang berlaku secara universal tentang kriteria dari UMKM. Pada umumnya setiap negara memiliki definisi UMKM yang berlaku di negara tersebut. Meskipun ada beranekaragam definisi dan batasan UMKM di berbagai negara, tetapi secara umum ada beberapa indikator atau kriteria yang lazim digunakan dalam definisi UMKM. Menurut Azis dan Rusland (2009:3), “Indikator yang digunakan dalam definisi UMKM tersebut antara lain berupa besarnya volume usaha, besarnya modal, nilai aset, kekayaan bersih, dan besarnya jumlah pekerja.” Definisi ini dibedakan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Dari berbagai pembicaraan, sampai saat ini belum ada kesepakatan apa yang dimaksud dengan UMKM. Beberapa lembaga atau
instansi
memberikan
definisi
UMKM
berdasarkan
kepentingannya sendiri – sendiri dan saling berbeda – beda, demikian pula dalam istilah yang digunakan. Karakteristik UMKM di Indonesia hampirlah seragam kendati terdapat beberapa definisi mengenai UMKM. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang
24
merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga – lembaga kredit
formal
sehingga
mereka
cenderung
menggantungkan
pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber – sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum. Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumah tangga (ISIC33) masing – masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok usaha industri kertas (34) dan kimia (35) relatif masih sangat sedikit yaitu kurang dari 1% (Kuncoro dan Suhardjono, 2002 : 486 - 487). Berikut ini merupakan definisi dan kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menurut undang – undang dan lembaga – lembaga yang terkait dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang – undang ini. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
25
langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang – undang ini. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang - undang ini. Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang UMKM yang berlaku saat ini, definisi atau kriteria UMKM didasarkan kepada nilai kekayaan bersih dan nilai hasil penjualan sebagaimana dapat dibaca pada tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Definisi dan Kriteria UMKM Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Skala Usaha Kriteria Usaha Mikro Memiliki kekayaan (aset) bersih maksimal Rp 50 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) sampai dengan Rp 300 juta Usaha Kecil
Usaha Menengah
Memiliki kekayaan (aset) bersih lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) lebih dari Rp 300 juta sampai dengan Rp 2,5 milyar Memiliki kekayaan (aset) bersih lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 milyar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) lebih dari Rp 2,5 milyar sampai dengan Rp 10 milyar
Sumber : Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
26
b. Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil 1. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang – undang ini. Usaha kecil adalah usaha yang : a) Milik Warga Negara Indonesia (WNI); b) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar atau usaha menengah; c) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. 2. Usaha Menengah dan Usaha Besar adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar daripada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan Usaha Kecil. Yang dimaksud dengan Usaha Menengah dan Usaha Besar meliputi usaha nasional (milik negara atau swasta), usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Tabel 2.2 Definisi dan Kriteria UMKM Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil Skala Usaha Kriteria Usaha Mikro Memiliki kekayaan (aset) bersih kurang dari Rp 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) kurang dari Rp 1 milyar Usaha Kecil Memiliki kekayaan (aset) bersih maksimal Rp 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) maksimal Rp 1 milyar Usaha Memiliki kekayaan (aset) bersih lebih dari Rp 200 juta sampai Menengah dengan Rp 10 milyar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) lebih dari Rp 10 milyar Sumber : Undang – Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil
27
c. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UMKM berdasarkan kuantitas atau jumlah tenaga kerja. Usaha mikro merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja kurang dari 5 orang. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang. Usaha menengah merupakan entitas usaha yang memiliki tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang. Usaha besar merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. Definisi UMKM menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini. Tabel 2.3 Definisi dan Kriteria UMKM Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Skala Usaha Jumlah Tenaga Kerja Usaha Mikro < 5 orang Usaha Kecil 5 – 20 orang Usaha Menengah 20 – 99 orang Usaha Besar > 100 orang Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan Sensus Ekonomi tahun 2006
d. Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 Usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omzet per tahun setinggi – tingginya Rp 600.000.000 atau asset (aktiva) setinggi – tingginya Rp 600.000.000 (diluar tanah dan bangunan yang ditempati) yang terdiri dari: (1) badan usaha (Firma, CV, PT, dan Koperasi), dan (2) perorangan (pengrajin industri rumah tangga, peternak, nelayan, pedagang barang dan jasa, dan yang lainnya).
28
d. Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan tanggal 17 Juni 2003 Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam keputusan ini. Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan adalah sebagai berikut: a) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah); c) Milik Warga Negara Indonesia (WNI); d) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar; e) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi; f) Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun serta mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan.
29
e. Menurut Bank Dunia (World Bank) Bank Dunia (World Bank) membagi UMKM menjadi tiga kelompok dengan kriteria masing – masing sebagai berikut:
Usaha Mikro (Micro Enterprise)
Tabel 2.4 Definisi dan Kriteria UMKM Menurut Bank Dunia (World Bank) Kriteria Jumlah karyawan tidak lebih dari 10 orang Jumlah aset yang dimiliki tidak melebihi US$ 100 ribu Pendapatan setahun tidak melebihi US$ 100 ribu
Usaha Kecil (Small Enterprise)
Jumlah karyawan tidak lebih dari 30 orang Jumlah aset yang dimiliki tidak melebihi US$ 3 juta Pendapatan setahun tidak melebihi US$ 3 juta
Skala Usaha
Jumlah karyawan tidak lebih dari 300 orang Jumlah aset yang dimiliki tidak melebihi US$ 15 juta Pendapatan setahun tidak melebihi US$ 15 juta Sumber : Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo, 2006 Usaha Menengah (Medium Enterprise)
f. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan UMKM Tabel 2.5 Definisi dan Kriteria UMKM Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan UMKM Skala Usaha Kriteria Usaha Mikro Usaha mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam Koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) per tahun Usaha Kecil Usaha kecil adalah kegiatan rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); c) Milik Warga Negara Indonesia (WNI); d) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar; Lanjutan…
30
Lanjutan Tabel 2.5 e) Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum; atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk Koperasi. Usaha Usaha Menengah adalah usaha dengan kriteria sebagai berikut: Menengah a) Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; b) Milik Warga Negara Indonesia (WNI); c) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Besar; d) Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum; atau badan usaha yang berbadan hukum. Sumber : Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan UMKM
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki karakteristik yang berbeda sehingga perlu dilakukan pemisahan pengelompokan ketiga jenis usaha tersebut, terutama untuk kebutuhan pemberian jenis bantuan atau pembinaan yang diperlukan oleh masing – masing usaha. Secara umum, usaha kecil dan menengah memiliki kemampuan yang lebih baik dari usaha mikro, terutama dalam menciptakan kesempatan kerja. Perusahaan – perusahaan dengan skala usaha kecil dan menengah pada umumnya memiliki potensi yang besar dalam pertumbuhan tenaga kerja karena potensinya untuk memperluas usahanya cukup besar, dan usaha menengah dipandang sebagai cikal bakal atau embrio dari usaha besar. Di sisi lain, usaha mikro umumnya dengan tingkat pertumbuhan yang relatif terbatas dari waktu ke waktu hampir jarang yang berkembang menjadi usaha kecil maupun usaha menengah. Aspek lain dari karakteristik UMKM adalah biasanya usaha mikro dan kecil memberikan kontribusi utama dalam penghasilan rumah tangga, pemilikan perusahaan secara pribadi, belum memiliki struktur organisasi dan perencanaan yang memadai, tingkat pendidikan dan kualitas tenaga kerja yang relatif rendah, dan masih menggunakan teknologi yang masih rendah dalam pengelolaan perusahaannya (Biro Kredit BI dalam Azis dan Rusland, 2009:5).
31
2. Aspek – Aspek UMKM Apabila dikaji lebih lanjut, aspek UMKM sangatlah bervariasi, terutama jika dilihat dari berbagai dimensi yang membentuk profil UMKM. Beberapa hal yang perlu diketahui mengenai aspek/dimensi UMKM adalah sebagai berikut: 1) Aspek karakteristik pengusaha Karakteristik pengusaha merupakan ciri yang melekat pada pengusaha tersebut. Karakteristik ini akan menyangkut dan meliputi: jenis kelamin (gender), usia, pengalaman usaha, status dalam keluarga, pendidikan, dan karakteristik yang relevan lainnya. 2) Aspek input Aspek input menyangkut berbagai masukan yang dipergunakan oleh UMKM, yaitu jenis usaha, bahan baku, bahan penunjang, bahan penolong, mesin dan tenaga kerja yang digunakan. 3) Aspek produksi Aspek produksi menyangkut sistem produksi yang digunakan, urutan proses produksi, jumlah produksi, dan keahlian yang dibutuhkan dalam produksi. 4) Aspek pemasaran Aspek pemasaran menyangkut dimensi konsumen, situasi pasar dan sistem distribusi. Dimensi konsumen menyangkut siapa konsumen, dimana mereka berada dan banyak konsumen. Dimensi situasi
menyangkut
indentitas
pesaing
situasi dan
persaingan,
pangsa
pasar.
daerah Dimensi
pemasaran, distribusi
menyangkut bagaimana distribusi produk ke konsumen, saluran pemasaran yang digunakan dan alat transportasi yang digunakan. 5) Aspek usaha Aspek usaha menyangkut jenis usaha, jumlah unit usaha, sarana usaha yang dimiliki, peluang usaha dan pola kemitraan yang sudah dilakukan.
32
6) Aspek keuangan Aspek keuangan menyangkut perkembangan modal, hutang usaha, laba usaha, sumber dan penggunaan dana, rasio keuangan, piutang usaha dan kendala keuangan yang dihadapi. 7) Aspek manajemen dan tingkat penguasaan teknologi Aspek manajemen dan tingkat penguasaan teknologi menyangkut struktur organisasi beserta tugas dan wewenang, balas jasa dan insentif yang diberikan kepada karyawan, teknologi yang digunakan, adanya rencana dan jadwal kegiatan. 8) Aspek legalitas usaha Aspek legalitas usaha menyangkut perizinan yang dimiliki, yuridis perkreditan yang diambil, pembayaran pajak dan masalah yuridis penggunaan tenaga kerja. 9) Faktor pembatas dan intervensi diperlukan Faktor pembatas menyangkut kendala yang dihadapi dalam usaha serta faktor intervensi menyangkut keinginan UMKM terhadap pihak pemerintah untuk mengatasi faktor pembatas tersebut.
3. Ketahanan UMKM dalam Suatu Gejolak Ekonomi Suatu perusahaan dapat dikategorikan berkelas dunia kalau mampu menjadi salah satu pelaku utama di suatu industri. Hal ini dapat dilihat dari pangsa pasar perusahaan tersebut apakah cukup berarti dan/atau memiliki pengaruh yang cukup besar dalam penentuan harga di pasar (market leader). Semakin utama lagi, seandainya perusahaan tersebut menjadi trend setter di lingkungan industrinya. Selanjutnya, perusahaan – perusahaan yang mampu bersaing di pasar internasional secara berkelanjutan biasanya memiliki kemampuan untuk selalu beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah. Paling tidak, perusahaan tersebut mampu untuk mempertahankan pangsa pasarnya dengan bertopang pada landasan yang kokoh karena memiliki kompetensi harga dan kualitas.
33
Kompetensi harga terbentuk dari kemampuan berekspansi sampai pada tingkat produksi yang optimal, yaitu pada tingkat yang menghasilkan biaya rata – rata jangka panjang yang terendah. Setiap jenis usaha memiliki tingkat optimal yang berbeda – beda. Misalnya, perusahaan listrik dan telekomunikasi pada umumnya mencapai tingkat optimal pada skala produksi yang sangat besar. Sementara itu, kompetensi kualitas akan diperoleh dari kemampuan perusahaan untuk selalu memperbarui produknya lewat proses invensi atau inovasi. Hal ini akan terjadi jika berlangsung kegiatan riset dan pengembangan (R&D) yang melembaga dan built-in dalam proses produksi. Teorinya, besar kecilnya skala perusahaan ataupun kategori – kategori lainnya tidak cukup relevan dalam menentukan besarnya kontribusi bagi penyehatan perekonomian. Kekokohan sosok dunia usaha lebih bergantung pada proses dinamika di pasar, dalam suatu lingkungan politik yang demokratis sehingga memberikan akses kesempatan yang sama bagi semua pelaku dalam mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Namun, suatu hal yang sangat penting dan menarik untuk dikaji lebih jauh adalah, ternyata Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) lebih tangguh menghadapi krisis ketimbang perusahaan – perusahaan besar. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 lalu, yang diawali dengan krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan krisis moneter telah mengakibatkan perekonomian Indonesia mengalami suatu resesi ekonomi yang besar. Krisis ini sangat berpengaruh negatif terhadap hampir semua lapisan/golongan masyarakat dan hampir semua kegiatan-kegiatan ekonomi di dalam negeri, tidak terkecuali kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam skala kecil dan menengah. Dampak daripada suatu gejolak ekonomi terhadap UMKM perlu dianalisis dari dua sisi, yakni sisi penawaran dan sisi permintaan. Namun demikian, besarnya efek tersebut bervariasi
34
menurut jenis kegiatan atau sektor/subsektor, skala usaha dan wilayah usaha (lokasi perusahaan dan lokasi pasar) yang berbeda. Perbedaan ini karena orientasi dan struktur pasar output dan input, pola proses produksi dan jenis serta intensitas pemakaian input/bahan baku berbeda menurut kegiatan ekonomi yang berbeda. Menurut Basri (2002:206), beberapa alasan mengapa UMKM tidak seterpuruk usaha besar pada saat krisis, yaitu: 1) Sebagian besar usaha kecil menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama. Kelompok barang ini
dicirikan
oleh permintaan
terhadap perubahan
pendapatan (income elasticity of demand) yang relatif rendah. Artinya, seandainya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, permintaan atas kelompok barang ini tidak akan meningkat banyak. Sebaliknya, jika pendapatan masyarakat merosot sebagai akibat dari krisis, maka permintaan tidak akan banyak berkurang. Dengan demikian, secara rata – rata tingkat kemunduran usaha kecil tidak separah yang dialami oleh kebanyakan usaha besar, terutama usaha yang selama ini bisa bertahan karena topangan proteksi, fasilitas istimewa dan praktik-praktik KKN lainnya. 2) Mayoritas usaha kecil lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha. Hal ini terjadi karena akses usaha kecil pada fasilitas perbankan sangat terbatas. Maka, bisa dipahami kalau ditengah keterpurukan sektor perbankan justru usaha kecil tidak banyak terpengaruh. Oleh karena itu, jangan sampai kebijakan pemerintah terlalu mengedepankan aspek pendanaan usaha kecil dengan beragam paket kredit murah yang disubsidi, mengingat bisa saja langkah demikian justru merupakan usaha menggali liang kubur bagi pengusaha kecil. Jangan sampai pula, pemberian kredit murah lebih merupakan komoditi politik bagi keuntungan segelintir orang atau kelompok – kelompok tertentu saja.
35
3) Pada umumnya usaha kecil melakukan spesialisasi produksi yang ketat, dalam artian hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja. Modal yang terbatas menjadi salah satu faktor yang melatarbelakanginya. Di lain pihak, mengingat struktur pasar yang mereka hadapi mengarah pada persaingan sempurna (banyak produsen dan banyak konsumen), tingkat persaingan sangatlah ketat. Akibatnya, yang bangkrut atau keluar dari arena usaha relatif banyak, tetapi pemain baru yang masuk pun cukup banyak pula sehingga secara neto jumlah pelaku tidak akan mengalami pengurangan yang berarti. Spesialisasi dan struktur pasar persaingan sempurna inilah yang membuat usaha kecil cenderung lebih fleksibel dalam memilih dan berganti jenis usaha, apalagi mengingat bahwa usaha kecil tidak membutuhkan kecanggihan teknologi dan kualitas sumber daya manusia yang tinggi. 4) Terbentuknya usaha – usaha kecil, terutama di sektor informal, sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal yang disebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Banyaknya unit usaha baru di sektor informal ini pada akhirnya membuat tidak terjadinya penurunan jumlah UMKM dan koperasi, bahkan sangat mungkin mengalami peningkatan.
4. Peranan UMKM dalam Perekonomian a. Peranan UMKM di Indonesia Pengalaman di berbagai negara dan beberapa studi yang dilakukan tentang UMKM telah membuktikan bahwa sektor usaha tersebut merupakan bagian penting dari perekonomian negara karena mereka telah memberikan kontribusi yang besar dalam mendorong perekonomian, antara lain kontribusinya dalam membuka kesempatan kerja baru sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi dan sebagai sumber inovasi. Di samping itu, dalam struktur perekonomian, umumnya UMKM merupakan lapisan
36
pelaku usaha yang paling besar, yang sering juga disebut dengan pelaku ekonomi rakyat. Oleh karena itu, eksistensi dan peran UMKM ini harus dipelihara dan dijaga kesinambungannya dalam membentuk perekonomian yang tangguh. Dalam era perubahan lingkungan ekonomi global dan perdagangan bebas, yang diikuti dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, UMKM mempunyai
peranan
baru
yang
lebih
penting
lagi
bagi
perekonomian, yaitu sebagai salah satu sumber pendorong pertumbuhan ekspor non - migas dan sebagai unit usaha pendukung bagi usaha besar dengan menyediakan bahan – bahan tertentu, seperti komponen – komponen dan suku cadang melalui keterkaitan
proses
produksi
antara
lain
dengan
sistem
subcontracting. Pengalaman di negara – negara industri baru, seperti Taiwan, Korea Selatan dan Cina, penerapan inovasi kerja sama antara usaha kecil dan menengah dengan usaha besar dengan pola subcontracting ini ternyata membuat produk – produk di negara tersebut lebih kompetitif, baik di pasar domestik maupun di pasar global dalam menghadapi produk – produk sejenis dari negara lain. Selain itu, dari pengalaman Bank Indonesia menangani proyek – proyek UMKM seperti Proyek Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) dan Proyek Kredit Mikro (PKM), menunjukkan bahwa UMKM pada waktu terjadi krisis ekonomi pada pertengahan 1997 terbukti lebih mampu bertahan dibandingkan dengan usaha besar. Hal ini terjadi karena sifat UMKM yang kurang bergantung pada pasar formal sehingga unit usaha tersebut dapat bergerak lebih cepat dan lebih fleksibel terhadap gejolak yang datang tiba – tiba. Sebagaimana diketahui bahwa UMKM merupakan salah satu sektor usaha yang memiliki peran atau kontribusi yang sangat strategis dalam perekonomian nasional, sebagaimana tercermin
37
pada beberapa hal berikut, yaitu 1) dalam dominasi jumlah unit usaha yang mencapai 99.99%, dimana 98.77% diantaranya adalah usaha mikro, 2) sumbangan terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 96.99%, 3) sumbangan terhadap PDB nasional mencapai 60.34%, 4) sumbangan terhadap total ekspor non – migas mencapai 15.68%, serta 5) sumbangan terhadap investasi mencapai 63.42% dari total keseluruhan (Kementerian Koperasi dan UKM, 2013).
38
a) Tabel Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar di Indonesia pada tahun 2009 – 2013, menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM Tabel 2.6 Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2009 – 2013 Jumlah No
Indikator
Satuan Tahun 2009
1.
2.
3.
Tahun 2010
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Unit Usaha (A+B)
(Unit)
52,769,426
54,119,971
55,211,396
56,539,560
57,900,787
(A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(Unit)
52,764,750
54,114,821
55,206,444
56,534,592
57,895,721
Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah (B) Usaha Besar
(Unit) (Unit) (Unit) (Unit)
52,176,771 546,643 41,336 4,676
53,504,416 568,397 42,008 5,150
54,559,969 602,195 44,280 4,952
55,856,176 629,418 48,997 4,968
57,189,393 654,222 52,106 5,066
Tenaga Kerja (A+B)
(Orang)
98,885,997
100,991,962
104,613,682
110,808,154
117,681,244
(A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(Orang)
96,193,623
98,238,913
101,722,458
107,657,509
114,144,082
Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah (B) Usaha Besar PDB Atas Dasar Harga Berlaku (A+B) (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah (B) Usaha Besar
(Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar)
89,960,695 3,520,497 2,712,431 2,692,374 5,285,290.4 2,969,346.2 1,747,339.0 517,919.7 704,087.5 2,315,944.2
91,729,384 3,768,885 2,740,644 2,753,049 6,068,762.8 3,411,574.7 2,011,544.2 596,884.4 803,146.0 2,657,188.1
94,957,797 3,919,992 2,844,669 2,891,224 7,445,344.6 4,321,830.0 2,579,388.4 740,271.3 1,002,170.3 3,123,514.6
99,859,517 4,535,970 3,262,023 3,150,645 8,241,864.2 4,869,568.1 2,951,120.6 798,122.2 1,120,325.3 3,372,296.1
104,624,466 5,570,231 3,949,385 3,537,162 9,014,951.2 5,440,007.9 3,326,564.8 876,385.3 1,237,057.8 3,574,943.3 Lanjutan…
39
Lanjutan Tabel 2.6 4. PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (A+B) (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah (B) Usaha Besar 5. Total Ekspor Non Migas (A+B) (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah (B) Usaha Besar 6. Investasi Atas Dasar Harga Berlaku (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah (B) Usaha Besar 7. Investasi Atas Dasar Harga Konstan 2000 (A+B) (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah (B) Usaha Besar Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2013
(Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar)
2,089,058.5 1,212,599.3 682,259.8 224,311.0 306,028.5 876,459.2 953,089.8 162,254.5 14,375.3 36,839.7 111,039.6 790,835.3 1,588,502.8 781,357.0 123,896.2 288,328.5 369,132.2 807,145.9 453,582.7 224,008.7 37,144.9 85,714.9 101,149.0 229,573.9
2,217,947.0 1,282,571.8 719,070.2 239,111.4 324,390.2 935,375.2 1,112,719.9 175,894.9 16,687.5 38,001.0 121,206.4 936,825.0 1,923,437.2 927,117.5 150,784.4 343,048.9 433,284.2 996,319.7 511,248.0 247,139.5 42,240.1 93,856.6 111,042.8 264,108.5
2,377,110.0 1,369,326.0 761,228.8 261,315.8 346,781.4 1,007,784.0 1,140,451.1 187,441.8 17,249.3 39,311.7 130,880.8 953,009.3 1,982,721.2 992,205.2 155,182.6 355,305.9 481,716.7 990,516.0 531,342.6 260,934.8 42,351.3 94,779.4 123,804.1 270,407.9
2,525,120.3 1,451,460.2 790,825.6 294,260.7 366,373.9 1,073,660.1 1,185,391.0 166,626.5 15,235.2 32,508.8 118,882.4 1,018,764.5 2,283,872.9 1,250,801.1 175,529.1 452,790.0 622.482,0 1,033,071.9 583,426.4 300,175.7 44,711.3 104,726.4 150,738.0 283,250.7
2,670,314.9 1,536,918.8 807,804.5 342,579.2 386,535.1 1,133,396.1 1,161,327.5 182,112.7 15,989.5 32,051.8 134,071.4 979,214.8 2,609,778.8 1,655,233.5 185,717.2 620,216.0 849,300.3 954,545.2 607,879.3 341,341.6 42,053.3 111,652.8 187,635.5 266,537.7
40
Berdasarkan Tabel 2.6 diatas, dapat diketahui bahwa perkembangan dari tahun 2009 – 2013, unit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lebih besar daripada Usaha Besar (UB). Hal ini terbukti dari beberapa indikator penilaian yang terdiri dari jumlah unit usaha, jumlah tenaga kerja, dan perolehan PDB (Produk Domestik Bruto), dimana Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan dan perkembangan yang lebih besar daripada Usaha Besar (UB). Sementara dalam indikator ekspor non migas, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) jumlahnya dari tahun ke tahun memang lebih kecil daripada Usaha Besar, tetapi sektor UMKM total ekspor non migasnya mampu terus meningkat. Kemudian, dari sisi investasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memberikan sumbangan terhadap investasi yang lebih besar daripada Usaha Besar (UB), dan selama lima tahun terakhir nilai investasinya terus mengalami peningkatan.
41
b) Kontribusi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam Perekonomian Indonesia Tabel 2.7 Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2012 - 2013 Tahun 2012 No
Indikator
Satuan Jumlah
1.
Unit Usaha (A+B)
(Unit)
56,539,560
A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Jumlah
Pangsa (%)
57,900,787
Jumlah
Pangsa (%)
1,361,227
2.41
(Unit)
56,534,592
99.99
57,895,721
99.99
1,361,129
2.41
(Unit)
55,856,176
98.79
57,189,393
98.77
1,333,217
2.39
Usaha Kecil
(Unit)
629,418
1.11
654,222
1.13
24,804
3.94
Usaha Menengah
(Unit)
48,997
0.09
52,106
0.09
3,109
6.35
(Unit)
4,968
0.01
5,066
0.01
98
1.97
6,873,090
6.20
Tenaga Kerja (A+B)
(Orang)
110,808,154
A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(Orang)
107,657,509
97.16
114,144,082
96.99
6,486,573
6.03
Usaha Mikro
(Orang)
99,859,517
90.12
104,624,466
88.90
4,764,949
4.77
Usaha Kecil
(Orang)
4,535,970
4.09
5,570,231
4.73
1,034,261
22.80
Usaha Menengah
(Orang)
3,262,023
2.94
3,949,385
3.36
687,362
21.07
(Orang)
3,150,645
2.84
3,537,162
3.01
386,517
12.27
773,087.0
9.38
B. Usaha Besar 3.
Pangsa (%)
Usaha Mikro
B. Usaha Besar 2.
Perkembangan Tahun 2012 - 2013
Tahun 2013
117,681,244
PDB Atas Dasar Harga Berlaku (A+B)
(Rp. Milyar)
8,241,864.2
A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(Rp. Milyar)
4,869,568.1
59.08
5,440,007.9
60.34
570,439.8
11.71
Usaha Mikro
(Rp. Milyar)
2,951,120.6
35.81
3,326,564.8
36.90
375,444.2
12.72
Usaha Kecil
(Rp. Milyar)
798,122.2
9.68
876,385.3
9.72
78,263.1
9.81
Usaha Menengah
(Rp. Milyar)
1,120,325.3
13.59
1,237,057.8
13.72
10.42
(Rp. Milyar)
3,372,296.1
40.92
3,574,943.3
39.66
116,732.5 202,647.2
B. Usaha Besar
9,014,951.2
6.01 Lanjutan…
42
Lanjutan Tabel 2.7 4.
5.
6.
7.
PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (A+B)
(Rp. Milyar)
2,525,120.3
A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(Rp. Milyar)
1,451,460.2
57.48
1,536,918.8
Usaha Mikro
(Rp. Milyar)
790,825.6
31.32
807,804.5
Usaha Kecil
(Rp. Milyar)
294,260.7
11.65
Usaha Menengah
(Rp. Milyar)
366,373.9
B. Usaha Besar
(Rp. Milyar)
1,073,660.1
Total Ekspor Non Migas (A+B)
(Rp. Milyar)
1,185,391.0
A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(Rp. Milyar)
166,626.5
14.06
182,112.7
15.68
Usaha Mikro
(Rp. Milyar)
15,235.2
1.29
15,989.5
1.38
754.3
4.95
Usaha Kecil
(Rp. Milyar)
32,508.8
2.74
32,051.8
2.76
(457.0)
(1.41)
Usaha Menengah
(Rp. Milyar)
118,882.4
10.03
134,071.4
11.54
15,189.0
12.78
B. Usaha Besar Investasi Atas Dasar Harga Berlaku
(Rp. Milyar)
1,018,764.5
85.94
979,214.8
84.32
(39,549.7)
(3.88)
(Rp. Milyar)
2,283,872.9
325,905.9
14.27
A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(Rp. Milyar)
1,250,801.1
54.77
1,655,233.5
63.42
404,432.4
32.33
Usaha Mikro
(Rp. Milyar)
175,529.1
7.69
185,717.2
7.12
10,188.1
5.80
Usaha Kecil
(Rp. Milyar)
452,790.0
19.83
620,216.0
23.77
167,426.0
36.98
Usaha Menengah
(Rp. Milyar)
622,482.0
27.26
849,300.3
32.54
226,818.3
36.44
B. Usaha Besar Investasi Atas Dasar Harga Konstan 2000 (A+B)
(Rp. Milyar)
1,033,071.9
45.23
954,545.2
36.58
(78,526.7)
(7.60)
(Rp. Milyar)
583,426.4
24,452.9
4.19
A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(Rp. Milyar)
300,175.7
51.45
341,341.6
56.15
41,165.9
13.71
Usaha Mikro
(Rp. Milyar)
44,711.3
7.66
42,053.3
6.92
(2,658.0)
(5.94)
Usaha Kecil
(Rp. Milyar)
104,726.4
17.95
111,652.8
18.37
6,926.4
6.61
Usaha Menengah
(Rp. Milyar)
150,738.0
25.84
187,635.5
30.87
36,897.5
24.48
(Rp. Milyar)
283,250.7
48.55
266,537.7
43.85
(16,713.0)
(5.90)
B. Usaha Besar Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2013
2,670,314.9
145,194.6
5.75
57.56
85,458.6
5.89
30.25
16,978.9
2.15
342,579.2
12.83
48,318.5
16.42
14.51
386,535.1
14.48
20,161.2
5.50
42.52
1,133,396.1
42.44
59,736.0
5.56
(24,063.5)
(2.03)
15,486.2
9.29
1,161,327.5
2,609,778.8
607,879.3
43
1) Peranan UMKM dari Aspek Jumlah Unit Usaha Peran UMKM sebagai penopang perekonomian salah satunya dapat dilihat dari jumlah unit usaha. Pangsa UMKM di Indonesia mencapai hampir 100% dari total unit usaha. Pada tahun 2013, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah unit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia adalah 57.895.721 (57,9 juta) unit atau sekitar 99,99 % dari jumlah unit usaha yang ada, terdiri dari usaha mikro sebesar 98,77%, usaha kecil sebesar 1,13%, dan usaha menengah sebesar 0,09%, yang menyebar di seluruh sektor ekonomi. Pada tahun 2013 ini, unit UMKM mengalami peningkatan sebesar 2,41% dibandingkan tahun 2012 yang jumlahnya ada 56.534.592 (56,5 juta) unit. Pada tahun yang sama, UMKM mempunyai jumlah unit usaha yang lebih banyak daripada Usaha Besar (UB). Pada tahun 2013, jumlah unit Usaha Besar (UB) hanya ada 5.066 unit atau sekitar 0,01% saja dari jumlah unit usaha yang ada.
44
Grafik 2.1 Data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2005 - 2013
Sumber: http://smecda.com/informasi-umkm/#1447725562878-4d60b7a8-6b2f
45
2) Peranan UMKM dari Aspek Kesempatan Kerja Menurut Tambunan (2002:21), UMKM di Indonesia sangat penting terutama dalam hal penciptaan kesempatan kerja. Argumentasi ini didasarkan bahwa, di satu pihak, jumlah angkatan kerja di Indonesia sangat berlimpah mengikuti jumlah penduduk yang besar, sedangkan di pihak lain, usaha besar tidak sanggup menyerap semua pencari kerja. Ketidaksanggupan usaha besar dalam menciptakan kesempatan kerja yang besar disebabkan karena memang pada umumnya kelompok usaha tersebut relatif pada modal, sedangkan UMKM relatif padat karya. Selain itu, pada umumnya usaha besar membutuhkan pekerja dengan pendidikan formal yang tinggi dan pengalaman kerja yang cukup, sedangkan UMKM khususnya usaha mikro dan kecil, sebagian pekerjanya berpendidikan rendah. Namun demikan, ketika terjadi masalah pada usaha besar akibat kesalahan keputusan mereka sendiri, UMKM menjadi penyedia kesempatan kerja bagi sebagian besar tenaga kerja yang baru di PHK. Mobilitas tenaga kerja di antara UMKM sendiri sangat terbuka. Hal ini yang menyebabkan UMKM tahan terhadap dinamika perubahan ekonomi nasional. Yustika (2006:51), menyebutkan bahwa kemampuan inilah yang disebut dengan sistem kemandirian ekonomi. Pada tahun 2013, jumlah tenaga kerja secara keseluruhan di Indonesia ada 117.681.244 orang, dimana penyerapan tenaga kerja terbesar berasal dari UMKM. Jumlah tenaga kerja UMKM pada tahun 2013 adalah 114.144.082 orang atau sekitar 96,99% dari total tenaga kerja keseluruhan. Jumlah tenaga kerja UMKM pada tahun 2013 ini juga mengalami peningkatan sebanyak 6.486.573 orang atau sekitar 6,03% dibandingkan tahun 2012. Sedangkan jumlah tenaga kerja usaha besar pada tahun 2013 hanya ada 3.537.162 orang atau sekitar 3,01% dari total keseluruhan.
46
Grafik 2.2 Penyerapan Tenaga Kerja Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2005 - 2013
Sumber: http://smecda.com/informasi-umkm/#1447944856724-eaddc9a6-2431
47
3) Peranan UMKM dari Aspek Pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Pada tahun 2013, kontribusi terhadap pembentukan PDB (atas harga berlaku), UMKM mampu menyumbang Rp 5.440.007,9 milyar atau sekitar 60,34% dari total PDB Indonesia, terdiri dari usaha mikro sebesar 36,90%, usaha kecil sebesar 9,72%, dan usaha menengah sebesar 13,72%. Pada tahun 2013 ini, kontribusi UMKM dalam PDB Indonesia juga mengalami kenaikan sebesar Rp 570.439,8 milyar atau sekitar 11,71% dibandingkan tahun 2012. Pada tahun yang sama, UMKM memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDB lebih banyak daripada Usaha Besar (UB). Pada tahun 2013, kontribusi Usaha Besar (UB) sebesar Rp 3.574.943,3 milyar atau sekitar 39,66%. Kontribusi terbesar UMKM terhadap pembentukan PDB ini berasal dari sektor pertanian. Struktur kontribusi PDB ini menunjukkan bahwa peran UMKM di Indonesia masih lebih kuat/besar di sektor pertanian atau di sektor primer, berbeda dengan kondisi di negara – negara yang lebih maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, dengan dominasi di sektor industri atau sekunder. Oleh karena itu, produk – produk UMKM di Indonesia perlu terus dikembangkan perannya, kalau perlu dikembangkan kearah sektor industri mengingat sektor industri memiliki pertumbuhan yang relatif tinggi (Azis dan Rusland, 2009:10).
48
Grafik 2.3 PDB Atas Dasar Harga Berlaku UMKM dan Usaha Besar (UB) Tahun 2005 - 2013
Sumber: http://smecda.com/informasi-umkm/#1447944886383-b01e4f52-9ff2
49
Grafik 2.4 PDB Atas Dasar Harga Konstan UMKM dan Usaha Besar (UB) Tahun 2005 - 2013
Sumber: http://smecda.com/informasi-umkm/#1447944924033-cbd33bbb-03f2
50
4) Peranan UMKM dalam Ekspor Non – Migas Tidak bisa dipungkiri bahwa struktur ekspor Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Walaupun demikian, kinerja UMKM di Indonesia dalam kegiatan ekspor masih sangat lemah. Kontribusi UMKM terhadap ekspor non – migas Indonesia pada tahun 2012 dan 2013 masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan ekspor Usaha Besar (UB). Pada tahun 2013, kontribusi UMKM terhadap ekspor sebesar Rp 182.112,7 milyar atau sekitar 15,68% dari total ekspor non – migas Indonesia. Sedangkan pada tahun 2012, menyumbang sebesar Rp 166.626,5 milyar atau sekitar 14,06%. Padahal pada tahun yang sama, yaitu tahun 2013 dan 2012, kontribusi Usaha Besar (UB) terhadap ekspor non – migas bisa lebih besar dari 50%, yaitu masing – masing sebesar Rp 979.214,8 milyar dan Rp 1.018.764,5 milyar atau sekitar
84,32%
dan
85,94%.
Namun,
bila
dilihat
dari
perkembangan total ekspor non – migas Indonesia tahun 2012 – 2013, ekspor UMKM mengalami kenaikan sebesar Rp 15.486,2 milyar atau sekitar 9,29% dibandingkan ekspor Usaha Besar (UB) yang mengalami penurunan sebesar Rp 39.549,7 milyar atau sekitar 3,88%. Menurut
Azis
dan
Rusland
(2009:9),
selain
sumbangannya yang masih relatif kecil terhadap ekspor, jenis – jenis produk ekspor yang dihasilkan oleh usaha kecil dan menengah pada umumnya sebagian besar masih dalam kategori barang – barang konsumsi sederhana, seperti pakaian jadi, kaus kaki, barang – barang dari kayu, rotan, dan bambu. Tidak hanya dibandingkan dengan Usaha Besar (UB), bila dibandingkan dengan UMKM di negara – negara lain di Asia, kinerja ekspor Indonesia masih sangat lemah (Tambunan, 2002:22). Kondisi ini sangat berbeda dengan komposisi produk ekspor usaha kecil dan menengah dari negara – negara industri baru di kawasan Asia
51
seperti Taiwan, Tiongkok, Korea Selatan, Hongkong, dan Singapura, yang didominasi oleh barang – barang konsumsi elektronik, dan produk – produk untuk keperluan industri (Azis dan Rusland, 2009:9). Fakta ini menunjukkan bahwa saat ini pada umumnya pasar dari produk – produk UMKM di Indonesia masih berorientasi pada pasar domestik atau lokal (local market oriented) (Tambunan, 2002:48; Azis dan Rusland, 2009:9). Di sisi lain, Indonesia merupakan pasar ASEAN yang paling besar. Besarnya peluang pasar di Indonesia ini diharapkan dapat dikuasai oleh para pelaku UMKM di Indonesia. Meski Indonesia memiliki pasar yang besar, bukan berarti pelaku UMKM hanya fokus menggarap pada dalam negeri saja. Mereka harus berani berekspansi ke luar negeri demi memperluas pasar. Dengan pasar yang lebih luas, tentu keuntungan yang diraih bisa lebih tinggi.
52
Grafik 2.5 Total Ekspor Non Migas UMKM dan Usaha Besar (UB) Tahun 2005 - 2013
Sumber: http://smecda.com/informasi-umkm/#1447944982701-418696ed-e834
53
5) Peranan UMKM dalam Investasi Pada tahun 2013, kontribusi terhadap investasi (atas harga berlaku), UMKM mampu menyumbang Rp 1.655.233,5 milyar atau sekitar 63,42% dari total investasi, terdiri dari usaha mikro sebesar 7,12%, usaha kecil sebesar 23,77%, dan usaha menengah sebesar 32,54%. Pada tahun 2013 ini, kontribusi UMKM dalam investasi Indonesia juga mengalami kenaikan sebesar Rp 404.432,4 milyar atau sekitar 32,33% dibandingkan tahun 2012. Pada tahun yang sama, UMKM memberikan kontribusi terhadap investasi lebih banyak daripada Usaha Besar (UB). Pada tahun 2013, kontribusi Usaha Besar (UB) sebesar Rp 954.545,2 milyar atau sekitar 36,58% sehingga turun Rp 78.526,7 milyar atau sekitar 7,60% daripada tahun 2012.
b. Proporsi Unit UMKM pada Sektor Ekonomi Diagram 2.1 Proporsi Sektor Ekonomi UMKM Berdasarkan Jumlah Unit Usaha Tahun 2013
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, 2013
54
Jika ditinjau dari proporsi unit usaha pada sektor ekonomi UMKM yang memiliki unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel, dan Restoran; (3) Pengangkutan dan Komunikasi; (4) Industri Pengolahan, serta (5) Jasa – jasa, yang masing – masing tercatat sebesar 49,80 persen; 23,74 persen; 6,86 persen; 6,85 persen dan 5,28 persen. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki proporsi unit usaha terkecil secara berturut – turut adalah sektor (1) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; (2) Bangunan; (3) Pertambangan dan Penggalian; serta (4) Listrik, Gas, dan Air Bersih, yang masing – masing tercatat sebesar 3,51 persen; 3,25 persen; 0,66 persen dan 0,04 persen.
c. Pengakuan Peran UMKM Kiranya UMKM jelas mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. UMKM tidak lain adalah sekelompok aktor yang bersama – sama dengan usaha besar menggerakkan roda produksi. Menurut Basri (2002:218), agar permasalahan UMKM bisa ditempatkan di dalam kerangka utuh bagi terwujudnya suatu pembaruan ekonomi yang mendasar, maka diperlukan suatu landasan pijak yang kokoh dan kerangka pemikiran yang menyeluruh untuk memayunginya. Dengan cara ini, diharapkan bisa ditemukan dan dikenali sumber – sumber permasalahan
yang
sebenarnya
sehingga
cara
–
cara
penyelesaiannya pun bisa lebih terstruktur. Kemudian, ia menambahkan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat haruslah menempatkan manusia sebagai subjek pembangunan yaitu dengan cara meningkatkan potensi yang ada pada rakyat itu sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan perannya yang sangat besar di dalam perekonomian Indonesia, maka sudah sewajarnya bila pemberdayaan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia perlu dilakukan.
55
5. Permasalahan UMKM Meskipun memiliki berbagai unggulan dan mengalami perkembangan, UMKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam kendala atau masalah dalam pengembangannya, yang tingkat intensitas dan sifatnya berbeda tidak hanya menurut jenis produk atau pasar yang dilayani, tetapi juga berbeda antarwilayah/lokasi, antarsentra, antar sektor atau subsektor atau jenis kegiatan, dan antarunit usaha dalam kegiatan/sektor yang sama. Namun demikian, ada beberapa masalah umum yang dihadapi oleh pengusaha kecil dan menengah seperti keterbatasan modal kerja dan/atau modal investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang baik tetapi dengan harga yang terjangkau, keterbatasan teknologi modern, SDM dengan kualitas yang baik (terutama manajemen dan teknisi produksi), dan informasi khususnya mengenai pasar, dan kesulitan dalam pemasaran (termasuk distribusi). Permasalahan yang dihadapi UMKM antara negara satu dengan negara lainnya pun juga dapat berbeda. Pada negara yang memiliki perekonomian yang telah maju, permasalahan yang dihadapi usaha kecil dan menengah umumnya lebih berhubungan dengan perlindungan hak kekayaan intelektual, seperti hak paten atas produk – produk ekspor. Sedangkan di negara – negara berkembang seperti Indonesia,
permasalahan
yang
dihadapi
adalah
dalam
hal
pengembangan UMKM, terutama menyangkut aspek kemampuan pengelolaan usaha dan keterbatasan akses terhadap sumber daya produktif. Pada dasarnya, permasalahan dalam pengembangan UMKM dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kategori permasalahan (Bank Indonesia, 2011:45), yaitu: a) Permasalahan dasar (basic problems) Permasalahan dasar (basic problems) dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti aspek pemasaran, Sumber Daya
56
Manusia (SDM), teknologi, keuangan, legalitas maupun aspek permodalan/pendanaan yang bersifat mendasar, dan rata – rata dialami
UMKM
pada
umumnya.
Permasalahan
–
permasalahan tersebut relatif masih sederhana dan lebih mudah untuk ditangani. Contohnya masalah mengenai bagaimana UMKM mencari pasar yang potensial pada suatu daerah target pemasaran, membuat kemasan produksi yang lebih baik dan menarik, keperluan tambahan modal dari teman dan keluarga, penggunaan teknologi yang relatif masih sederhana, dan manajemen usaha yang bersifat manajemen keluarga atau one man show. b) Permasalahan antara (intermediate problems) Permasalahan antara (intermediate problems) merupakan permasalahan yang menghubungkan antara masalah dasar dengan masalah yang lebih kompleks dan canggih. Masalah – masalah ini dapat tergambar dari permasalahan pada aspek pemasaran, keuangan, Sumber Daya Manusia (SDM), dan produksi.
Permasalahan
dari
aspek
pemasaran
berupa
kurangnya informasi maupun data – data yang akurat dan terkini mengenai peluang pasar baik dalam negeri maupun luar negeri.
Permasalahan
dari
aspek
keuangan
khususnya
keterbatasan modal disebabkan kesulitan UMKM mengakses kredit ke bank. Permasalahan dari aspek SDM disebabkan karena kurangnya SDM yang cakap atau memadai dalam hal entrepreneurship,
manajemen,
teknik
produksi,
dan
pengembangan produk yang masih belum optimal. Kemudian, permasalahan dari aspek produksi berupa ketergantungan pada bahan baku impor. c) Permasalahan lebih lanjut (advanced problems) Pada tingkatan akhir, terdapat permasalahan – permasalahan yang
dikategorikan
sebagai
permasalahan
lebih
lanjut
57
(advanced problems) terutama terkait dengan pengembangan ekspor. Permasalahan tersebut antara lain pengenalan pasar dan penetrasi pasar untuk promosi ekspor yang belum optimal, kurangnya pemahaman terhadap desain produk yang sesuai dengan karakter pasar, permasalahan hukum yang menyangkut hak paten, kontrak penjualan serta peraturan yang berlaku di negara tujuan ekspor. Selain itu, permasalahan dalam engineering design, quality control, organisasi bisnis, data processing, dan penelitian/investigasi pasar UMKM secara mendalam. Manajemen yang digunakan oleh UMKM pada umumnya masih terkonsentrasi kepada satu atau dua orang yang merupakan kerabat dekat. Belum terdapat pembagian tugas yang jelas, menyebabkan satu orang harus mengerjakan banyak tugas seperti bahan baku, penentuan harga jual, penyimpanan uang hasil usaha. Seringkali tidak ada pemisahan antara harta perusahaan dengan harta keluarga sehingga sulit diketahui secara cepat dan tepat informasi posisi keuangan perusahaan.
Penjelasan lebih lanjut, permasalahan yang dihadapi UMKM di Indonesia dapat berasal dari permasalahan internal yang dihadapi oleh UMKM serta permasalahan yang dihadapi oleh berbagai pihak yang terkait dengan pengembangan sektor usaha tersebut, seperti Pemerintah, Bank Indonesia, perbankan, dan pihak eksternal UMKM lainnya. Permasalahan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut ini: a.
Permasalahan internal UMKM 1) Menurut Azis dan Rusland Menurut Azis dan Rusland (2009:10-11), pada dasarnya permasalahan yang dihadapi oleh UMKM dapat
58
disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu (1) rendahnya kemampuan pengelola usaha, terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), dan (2) adanya keterbatasan akses kepada sumber daya produktif, terutama pemasaran, permodalan, dan teknologi. Masalah Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor yang paling menentukan untuk mencapai keberhasilan dalam berbagai kegiatan atau usaha, baik Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah (UMKM) maupun Usaha Besar (UB). Kondisi ini terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman dalam sektor usaha tersebut. Keterbatasan yang menonjol atau umumnya terjadi adalah pada aspek kompetensi kewirausahaan, manajemen, teknik produksi,
perencanaan,
pengawasan
kualitas
dan
pengembangan produk, akuntansi, dan teknik pemasaran. Keterbatasan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) tentunya akan menurunkan kualitas produk sehingga menurunkan kemampuan sektor usaha tersebut untuk menembus pasar baru. Peningkatan pengetahuan dan keahlian sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dalam pengelolaan usaha, terutama di era globalisasi saat ini. Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan daya saing produk UMKM di pasar internasional. Beberapa aspek yang terkait dengan masalah pemasaran adalah tingkat persaingan yang keras baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor. Sementara itu, pada umumnya, kualitas produk dan tingkat produktivitas UMKM di Indonesia rendah, ditambah dengan iklim usaha yang belum kondusif di dalam negeri, yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, seperti pengurusan perizinan yang mahal
59
disertai dengan prosedur yang panjang, serta banyaknya biaya pungutan tidak resmi turut memperlemah daya saing produk – produk UMKM. Selain
itu,
tekanan
persaingan
juga
muncul
disebabkan kurangnya informasi yang akurat dan terkini mengenai peluang – peluang pasar di dalam dan di luar negeri. Di samping itu, dalam era keterbukaan dan perdagangan bebas, yang telah disepakati banyak negara di dunia, seperti kesepakatan dalam Asean Free Trade Agreement (AFTA), European Union (EU) dan World Trade Organization (WTO), menuntut keterbukaan pasar di masing – masing negara. Sementara itu, semakin banyaknya perkembangan peraturan yang dikeluarkan oleh negara maju dapat menghambat pengembangan UMKM Indonesia untuk menembus pasar global, antara lain larangan penggunaan buruh anak – anak, keharusan untuk memperhatikan pelestarian lingkungan hidup dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Kesepakatan internasional tersebut, dalam beberapa hal dapat menimbulkan ketidakadilan dalam persaingan antar negara, karena adanya perbedaan tingkat kemajuan ataupun kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berbeda di masing – masing negara. Apabila kesepakatan tersebut dipaksakan untuk dilaksanakan, tentunya akan menimbulkan kesenjangan yang lebar antara negara maju dan negara berkembang. Kendala lain yang dihadapi UMKM adalah masalah finansial berupa kurangnya modal yang dimiliki dan sulitnya akses untuk memperoleh bantuan permodalan dari lembaga keuangan, terutama perbankan. Permasalahan ini umumnya terjadi pada para pelaku usaha UMKM pemula, yaitu UMKM yang belum memiliki izin usaha, dan berlokasi di daerah –
60
daerah pedalaman dengan kondisi infrastruktur yang kurang memadai sehingga sulit dijangkau oleh lembaga – lembaga keuangan. Selain itu, yang menjadi permasalahan adalah sulitnya UMKM dalam memperoleh bantuan dana dari perbankan karena adanya sejumlah persyaratan yang sulit dipenuhi oleh UMKM, seperti keharusan adanya agunan dan bermacam – macam urusan administratif yang harus disiapkan, serta minimnya informasi tentang prosedur dan skim – skim kredit yang ada. Keterbatasan lainnya dari UMKM yang tidak kalah pentingnya adalah keterbatasan penggunaan teknologi, khususnya pada usaha mikro dan kecil. Kendala teknologi ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keterbatasan modal
untuk
memperbaiki
membeli atau
mesin
–
menyempurnakan
mesin
baru
proses
untuk
produksi,
keterbatasan informasi tentang perkembangan teknologi atau alat – alat produksi baru, serta keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mengoperasikan mesin atau alat teknologi informasi baru sehingga sulit untuk dilakukan inovasi – inovasi dalam produk maupun proses produksi. Sementara itu, penggunaan dan penguasaan teknologi modern merupakan faktor yang lebih penting daripada faktor sumber daya alam dalam era perdagangan bebas dan persaingan global saat ini. Penggunaan dan penguasaan teknologi modern yang baik, tentunya akan meningkatkan daya saing dan keunggulan produk yang dihasilkan oleh UMKM. 2) Menurut Tulus Tambunan a) Kesulitan Pemasaran Pemasaran sering dianggap sebagai salah satu kendala yang kritis bagi perkembangan UMKM. Hasil dari suatu studi lintas negara yang dilakukan oleh James
61
dan Akrasanee dalam Tambunan (2002:73) di sejumlah negara di ASEAN, menunjukkan bahwa pemasaran adalah termasuk growth constraints yang dihadapi oleh banyak pengusaha kecil dan menengah (masalah ini dijumpai tidak terlalu serius di Singapura). Studi ini menyimpulkan bahwa jika usaha kecil dan menengah tidak melakukan perbaikan yang cukup di semua aspek – aspek yang terkait dengan pemasaran seperti kualitas produk dan kegiatan promosi maka sulit sekali bagi unit usaha
kecil
dan
menengah
untuk
dapat
turut
berpartisipasi dalam era perdagangan bebas. Salah satu aspek yang terkait dengan masalah pemasaran yang umum dihadapi oleh UMKM adalah tekanan – tekanan persaingan, baik di pasar domestik dari produk – produk serupa buatan usaha besar dan impor, maupun di pasar ekspor. Tambunan (2002:73) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi penghambat bagi banyak usaha kecil dan menengah Indonesia untuk dapat menembus pasar global atau untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa ekspor mereka, antara lain banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang kekurangan informasi yang akurat dan up to date mengenai (1) peluang – peluang pasar di dalam maupun di luar negeri, seperti potensi pembeli, perubahan selera masyarakat global, progres teknologi, dan ciri – ciri pesaing – pesaing baru (seperti kekuatan, kelemahan, serta strategi pemasarannya); (2) peraturan – peraturan mengenai tata niaga pemasaran regional atau internasional di dalam konteks ASEAN Free Trade Area (AFTA), Masyarakat Eropa (UE), dan World Trade Organization/General Agreement on Tariffs and Trade
62
(WTO/GATT), serta (3) aspek – aspek legal lain seperti kesepakatan – kesepakatan internasional mengenai larangan penggunaan buruh anak – anak, lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dikaitkan dengan
perdagangan
internasional
dan
mengenai
dumping dan kebijakan anti dumping. Selain terbatasnya informasi, Tambunan (2002:73) juga menambahkan bahwa
banyak
pengusaha
kecil
dan
menengah,
khususnya mereka yang kekurangan modal dan Sumber Daya Manusia (SDM), berlokasi di daerah – daerah pedalaman yang relatif terisolasi dari pusat – pusat informasi, komunikasi dan transportasi juga mengalami kesulitan
untuk
internasional
memenuhi
yang
terkait
standar dengan
–
standar
produksi
dan
perdagangan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika hingga saat ini, perusahaan yang pernah mendapat sertifikat International Organization for Standardization (ISO) dan sejenisnya pada umumnya hanya dari usaha besar.
b) Keterbatasan Finansial Tambunan (2002:74) mengatakan bahwa ada dua masalah utama dalam aspek finansial yang dihadapi oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), khususnya usaha kecil di Indonesia, yaitu mobilisasi modal awal (star-up capital) dan akses ke modal kerja dan finansial jangka panjang untuk investasi yang sangat diperlukan demi pertumbuhan output jangka panjang. Walaupun pada umumnya modal awal bersumber dari modal (tabungan) sendiri atau sumber – sumber informal, tetapi sumber – sumber permodalan ini sering
63
tidak cukup untuk kegiatan produksi, apa lagi untuk investasi
(perluasan
kapasitas
produksi
atau
menggantikan mesin – mesin yang sudah tua). Sementara itu, sumber – sumber pendanaan dari sektor informal masih tetap dominan dalam pembiayaan kegiatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), terutama usaha mikro/rumah tangga walaupun saat ini telah ada begitu banyak skim – skim kredit dari perbankan dan bantuan dari pemerintah ataupun dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini disebabkan karena lokasi bank yang terlalu jauh bagi banyak pengusaha yang tinggal di daerah yang relatif terisolasi, persyaratan terlalu berat, urusan administrasi terlalu bertele – tele, dan kurangnya informasi mengenai skim – skim perkreditan yang ada dan prosedurnya (Tambunan, 2002:74). Lalu dalam hal jenis kepemilikan modal, jumlah pengusaha yang membiayai usahanya sepenuhnya dengan uang sendiri atau dengan modal sendiri dan pinjaman, lebih banyak daripada jumlah pengusaha yang menggunakan 100 persen modal dari pihak lain. Sebagian besar dari jumlah pengusaha dengan 100 persen modalnya sendiri terdapat di industri makanan, minuman dan tembakau, industri kulit, tekstil dan produk – produknya, serta industri kayu, bambu, dan rotan beserta dengan produk – produknya (Tambunan, 2002:75). Bank
merupakan
sumber
pinjaman
yang
dominan bagi pengusaha UMKM. Namun, sebagian besar dari pengusaha – pengusaha UMKM, terutama paling banyak di kalangan usaha mikro, masih sulit memperoleh pinjaman dari bank. Alasan utamanya karena
mereka
tidak
mempunyai
agunan
yang
64
dipersyaratkan
oleh
bank.
Pada
umumnya,
para
pengusaha mikro ini mayoritas berasal dari kelompok keluarga
miskin
yang
tidak
mampu
memenuhi
persyaratan kolateral dari bank, misalnya dalam bentuk rumah yang mempunyai nilai tinggi atau tanah dengan luas yang cukup. Alasan – alasan lainnya adalah kurangnya informasi mengenai prosedur peminjaman, atau prosedur yang terlalu sulit dan makan waktu, atau pun suku bunga peminjaman yang terlalu tinggi (Tambunan, 2002:76-77).
c) Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) Keterbatasan SDM juga merupakan salah satu kendala serius bagi banyak UMKM di Indonesia, terutama dalam aspek – aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi, pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data processing, teknik pemasaran, dan penelitian pasar. Sedangkan semua keahlian ini sangat dibutuhkan untuk mempertahankan atau memperbaiki kualitas
produk,
meningkatkan
efisiensi
dan
produktivitas dalam produksi, memperluas pangsa pasar dan menembus pasar baru. Sering dikatakan bahwa untuk menanggulangi masalah SDM ini, memberikan pelatihan langsung kepada pengusaha sangatlah penting dan ini merupakan satu – satunya cara yang paling efektif. Akan tetapi, banyak UMKM, khususnya usaha mikro tidak sanggup menanggung sendiri biaya pelatihan. Oleh karena itu, peran
pemerintah
menyelenggarakan
sangatlah program
penting –
dalam program
65
pendidikan/pelatihan bagi pengusaha maupun tenaga kerja di UMKM. Memang selama ini sudah banyak pelatihan
dan
penyuluhan
yang
diberikan
oleh
pemerintah kepada pengusaha UMKM, tetapi pelatihan yang dilakukan oleh pemeritah ini dianggap belum berjalan efektif karena banyak pengusaha yang pernah mengikuti pelatihan – pelatihan tersebut mengeluh bahwa pelatihan – pelatihannya sering terlalu teoretis, waktunya terlalu singkat, tidak ada tindak lanjut (misalnya beberapa saat setelah pelatihan selesai, pihak pemberi pelatihan mengunjungi kembali pengusaha untuk melihat sejauh mana pelatihan tersebut diterapkan dalam kegiatan usahanya) dan sering kali tidak cocok dengan kebutuhan mereka sebenarnya (Tambunan, 2002:79). Keterbatasan
SDM
merupakan
salah
satu
ancaman serius bagi UMKM Indonesia untuk dapat bersaing di pasar domestik maupun di pasar internasional di dalam era perdagangan bebas, bahkan kualitas SDM dan teknologi akan menjadi suatu hal yang jauh lebih penting dibandingkan modal sebagai faktor penentu utama kemampuan UMKM untuk meningkatkan daya saing globalnya.
d) Masalah bahan baku Keterbatasan bahan baku (dan input – input lainnya) juga sering menjadi salah satu kendala serius bagi pertumbuhan output atau kelangsungan produksi bagi banyak UMKM di Indonesia. Pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia dahulu pun banyak sentra – sentra usaha kecil dan menengah di sejumlah
66
subsektor industri manufaktur seperti sepatu dan produk – produk tekstil yang mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku atau input lainnya karena harga bahan baku tersebut dalam rupiah menjadi sangat mahal akibat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Sejarah juga mencatat bahwa pada saat krisis dulu tidak sedikit pengusaha kecil dan menengah terpaksa menghentikan usaha dan berpindah profesi ke kegiatan ekonomi lainnya, misalnya menjadi pedagang. Beberapa contoh kasus, misalnya pada tahun 1998 ada sekitar 200 pengusaha tempe di Banjarnegara terpaksa menghentikan kegiatan produksi mereka karena harga kedelai yang diimpor ternyata menjadi sangat mahal. Demikian juga, banyak pengusaha batik tradisional di Pekalongan, dan ratusan pengusaha kecil sepatu di sejumlah sentra – sentra di Jakarta, Cibaduyut, dan Medan terpaksa gulung tikar dan berubah profesi menjadi pedagang kecil atau kerja di sektor transportasi atau menjadi buruh bangunan (Tambunan,2002:80). Dengan demikian, tersedianya bahan baku merupakan hal yang penting bagi kelangsungan produksi banyak UMKM di Indonesia.
e) Keterbatasan Teknologi Berbeda dengan negara – negara maju, UMKM di Indonesia umumnya masih menggunakan teknologi lama/tradisional dalam bentuk mesin – mesin tua atau alat
–
alat
produksi
yang
sifatnya
manual.
Keterbelakangan teknologi ini tidak hanya membuat rendahnya total factor productivity dan efisiensi di dalam proses produksi, tetapi juga rendahnya kualitas produk
67
yang dibuat. Keterbatasan teknologi khususnya usaha – usaha mikro/rumah tangga, disebabkan oleh banyak faktor, antara lain keterbatasan modal investasi untuk membeli
mesin
menyempurnakan
–
mesin
proses
baru
atau
produksi,
untuk
keterbatasan
informasi mengenai perkembangan teknologi atau mesin – mesin dan alat – alat produksi baru, dan keterbatasan SDM yang dapat mengoperasikan mesin – mesin baru atau melakukan inovasi – inovasi dalam produk maupun proses
produksi.
Rendahnya
pemilikan/penguasaan
teknologi modern merupakan suatu ancaman serius bagi kesanggupan UMKM Indonesia untuk dapat bersaing di dalam era pasar bebas (Tambunan, 2002:80).
3) Menurut Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono Menurut Kuncoro dan Suhardjono (2002:489), beberapa kendala yang umumnya dihadapi oleh UMKM antara lain rendahnya tingkat kemampuan, keterampilan, keahlian, manajemen SDM, kewirausahaan, pemasaran dan lemahnya akses keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumber daya manusia ini mengakibatkan pengusaha UMKM, terutama usaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi para pengusaha UMKM antara lain: (1) kelemahan
dalam
memperoleh
peluang
pasar
dan
memperbesar pangsa pasar, (2) kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber – sumber permodalan, (3) kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia, (4) keterbatasan jaringan usaha kerja sama antarpengusaha kecil (sistem informasi pemasaran), (5) iklim usaha yang kurang
68
kondusif, karena persaingan yang saling mematikan, serta (6) pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
4) Menurut Pickle dan Abrahamson Pickle dan Abrahamson (1989:23) mengatakan bahwa, Small business contributes significantly to our economy. However, we examine some of the common problems of small business ownership. We are convinced that the identification and analysis of the cause of these problems will enable the prospective small business manager to develop the management knowledge and skills necessary to avoid these problems in their firms. Menurut Pickle dan Abrahamson (1989:23-29), ada beberapa permasalahan yang umumnya dihadapi oleh usaha kecil (common problems of small business firms), antara lain a) manajemen
yang
tidak
cukup
(inadequate
management) yang disebabkan karena kurangnya pengalaman dan lemahnya kemampuan yang dimiliki oleh pelaku usaha kecil dalam manajemen usaha (lack of experience and incompetence); b) penyia – nyiaan (neglect) yang dilakukan oleh pelaku usaha, contoh yang umumnya dilakukan yaitu menggunakan waktu yang tidak tepat (improper use of time), kesehatan yang rendah (poor health), kemalasan (laziness), dan sebagainya; c) penipuan (fraud), misalnya penyajian gambaran mengenai status kepemilikan perusahaan yang sengaja dibuat keliru oleh pemilik usaha untuk melakukan penipuan, seperti menggunakan nama lain untuk
69
usahanya, memalsukan laporan keuangan atau pun rekening keuangan usahanya, memalsukan jumlah aset usaha yang dimiliki, dan sebagainya; d) terjadi bencana alam (natural disaster), seperti gempa bumi, banjir, dan sebagainya; e) kebijakan pemerintah (government regulations and paperwork) yang menempatkan sektor usaha kecil pada posisi yang tidak tepat dan tidak sebanding dengan kemampuan yang dimiliki oleh sektor usaha kecil sehingga menjadi beban berat bagi sektor usaha kecil ini; f) adanya tekanan (stress), semua pemilik/pelaku usaha kecil harus menghadapi situasi yang penuh tekanan (stressful),
tidak
hanya
menghadapi
situasi
manajemen usaha yang mereka hadapi sehari – hari tetapi terkadang mereka juga menghadapi berbagai masalah pribadi. Berbagai hal yang dapat memicu tekanan atau stress, contohnya yaitu pada saat menghadapi
karyawan
yang
kinerjanya
terus
menurun, produktivitas yang menurun, banyak dari karyawannya yang membolos, kelambatan usaha yang meningkat, pendapatan yang menurun, bahkan juga bisa disebabkan dari konflik pribadi, dan sebagainya.
5) Menurut studi The Small Bussiness Administration (SBA) Menurut studi yang dilakukan oleh The Small Bussiness Administration (SBA) dalam Scarborough dan Zimmerer (2006:27-31), lemahnya daya saing yang dihadapi usaha kecil disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sumber daya yang terbatas (limited resources), manajemen yang
70
kurang berpengalaman (inexperienced management), dan kurangnya stabilitas keuangan (lack of financial stability).
b. Permasalahan yang dihadapi pemerintah Berdasarkan pengalaman selama ini, ada kesan bahwa pemerintah memandang penanganan masalah UMKM lebih sebagai masalah sosial daripada masalah bisnis, yaitu dengan adanya proteksi atau pemberian fasilitas kepada sektor usaha tersebut terlalu berlebihan sehingga kebijakan UMKM yang dibuat oleh pemerintah ini kurang menekankan pada pendekatan pasar untuk menghadapi persaingan (Azis dan Rusland, 2009:13). Misalnya, sampai saat ini suku bunga murah untuk UMKM masih menjadi isu utama di Indonesia walaupun sudah ada
berbagai
penelitian
dan
proyek
percontohan
yang
membuktikan bahwa suku bunga pasar bukan merupakan masalah bagi UMKM. Permasalahan penting bagi UMKM sampai saat ini adalah adanya kemudahan akses serta ketepatan dan kecepatan penyaluran dana dari lembaga keuangan kepada unit usaha tersebut (Azis dan Rusland, 2009:13). Azis dan Rusland (2009:13) menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam pembinaan UMKM lebih mengarah pada masih lemahnya iklim yang kondusif bagi pengembangan sektor usaha tersebut, seperti koordinasi lintas sektoral yang belum berjalan sebagaimana diharapkan, baik horizontal yaitu antar departemen teknis terkait, maupun vertikal yaitu koordinasi antar instansi terkait di pusat dan daerah. Pembuatan kebijakan, pembinaan yang diberikan, serta penanganan permasalahan UMKM sering dilakukan secara parsial oleh masing – masing intansi dan dalam beberapa hal terjadi tumpang tindih. Penyebab belum mulusnya koordinasi antar instansi terkait tersebut antara lain adanya ego
71
sektoral yang masih kental dari masing – masing lembaga. Oleh karena itu, perlunya kemungkinan untuk membentuk atau menunjuk lembaga yang lebih tinggi yang berfungsi sebagai koordinator pembinaan UMKM. Selain itu, adanya keanekaragaman definisi tentang UMKM
di
Indonesia
juga
menjadi
penyebab
sulitnya
perencanaan dan penetapan kebijakan pengembangan UMKM yang terpadu dan terkoordinasi. Ketidakseragaman tersebut menimbulkan hambatan untuk mendapatkan statistik data potensi UMKM sebagai dasar pembuatan kebijakan karena sampai saat ini sulit untuk mengetahui secara pasti dengan data yang terkini, berapa jumlah UMKM, dan sumbangannya terhadap penciptaan tenaga kerja, ekspor, dan PDB. Statistik tentang kinerja UMKM ini juga sangat diperlukan untuk mengukur dan mengevaluasi efektivitas dari pembinaan yang telah dilakukan.
c.
Permasalahan yang terkait dengan Bank Indonesia Sampai saat ini, Bank Indonesia telah berperan banyak dalam pengembangan UMKM di Indonesia, antara lain melalui pengaturan kebijakan perkreditan dan pemberian bantuan teknis kepada bank – bank. Dalam kebijakan kredit, sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Undang – Undang RI No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah disempurnakan dengan Undang – Undang RI No. 3 tahun 2004, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK), yang bersifat anjuran kepada bank – bank di Indonesia untuk menyalurkan sebagian dananya melalui pemberian KUK. Kemudian, Bank Indonesia telah mengeluarkan relaksasi ketentuan untuk mendorong bank – bank dalam pemberian KUK, antara lain dalam komponen kualitas aktiva produktif,
72
khususnya
untuk
kredit
kepada
usaha
kecil,
penilaian
kolektibilitas kredit tersebut tidak lagi berdasarkan pada prospek usaha dan laporan keuangan, tetapi hanya dinilai berdasarkan ketepatan pembayaran angsuran kredit. Namun, kebijakan ini belum dapat memacu bank – bank untuk lebih mendorong penyaluran kreditnya kepada UMKM (Azis dan Rusland, 2009:14 – 15).
d. Permasalahan yang dihadapi perbankan Menurut Azis dan Rusland (2009:15), beberapa hal yang dihadapi oleh sebagian besar bank, terutama bank – bank besar yang fokus usaha atau orientasinya pada pinjaman besar, dalam pemberian kredit kepada UMKM adalah keterbatasan jumlah tenaga analisis kredit kecil dan pemasaran bidang UMKM, di samping kendala jaringan kantor yang terbatas karena sebagian besar kantor – kantor bank tersebut berada di kota – kota besar. Di samping itu, pada umumnya perbankan memiliki aturan main yang baku dalam pemberian kredit, misalnya, permintaan agunan tambahan, laporan keuangan calon nasabah, surat – surat perizinan seperti SITU, SIUP, termasuk ketentuan kehati – hatian lainnya yang harus dipatuhi. Sumodiningrat dalam Yustika (2006:50), menambahkan bahwa selama ini keengganan dari pihak perbankan komersial untuk menyalurkan kredit kepada usaha kecil karena anggapan kelompok atau individu yang mempunyai predikat sebagai masyarakat miskin sangatlah tidak bankable. Hal itu karena pihak perbankan memandang pelayanan terhadap masyarakat miskin akan mendatangkan biaya transaksi tinggi dan penuh dengan risiko. Tingginya biaya kredit disebabkan karena yang mereka butuhkan terlalu kecil untuk bank komersial, kemudian tidak mampu memberikan agunan, ditambah lagi dengan
73
pendapatan yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah, dan kenyataan bahwa jarak lembaga keuangan dengan mereka demikian jauh. Di luar itu, bagi UMKM sendiri, bukan hanya ketiadaan agunan yang menyebabkan mereka sulit memperoleh layanan perbankan, tetapi juga aspek legal formal itu sendiri. Belum lagi masalah keluwesan yang menjadi ciri sekaligus kekuatan UMKM yang sulit diikuti oleh fleksibilitas fasilitas lembaga keuangan konvensional. Dengan demikian, ada tiga faktor terpenting yang membatasi hubungan UMKM dengan perbankan konvensional, yaitu masalah agunan, formalitas, dan keluwesan. Di pihak lain, sebagian besar UMKM, terutama usaha mikro dan kecil, pada umumnya belum mengetahui sistem dan prosedur pemberian kredit bank tersebut sehingga permohonan kredit mereka sering tidak lengkap dan dikembalikan bank. Akibatnya, timbul kesan bahwa prosedur perbankan terlalu berbelit – belit dan sangat lama dalam pemberian kredit kepada UMKM. Di sisi lain, perbankan juga memiliki informasi yang minim mengenai bisnis atau komoditi yang potensial untuk dibiayai dan data UMKM lainnya. Kendala lain adalah relatif tingginya biaya operasional untuk pemberian kredit kepada usaha mikro dan kecil dibandingkan dengan kredit untuk usaha besar. Hal ini terjadi karena jumlah pekerjaan administrasi yang harus dikerjakan tidak jauh berbeda, tetapi nilai kredit yang diberikan relatif kecil. Sejalan dengan kondusifnya kondisi makro ekonomi, dalam beberapa tahun belakangan ini kita mencermati adanya perubahan paradigma operasional perbankan yang melegakan UMKM. Bank umum yang biasanya fokus pada pembiayaan korporasi, telah mulai mengalihkan perhatiannya pada UMKM sebagai outlet pembiayaannya. Berdasarkan data – data kredit
74
hingga bulan Agustus 2011, net ekspansi kredit yang disalurkan perbankan ke sektor UMKM mencapai Rp 55,6 triliun atau sebesar 52,1% dari total business plan tahun 2011, yaitu sebesar Rp 106,8 triliun. Baki debet kredit UMKM secara total telah mencapai Rp 449,9 triliun atau sebesar 21,6% dari total kredit perbankan dengan komposisi usaha mikro sebesar 23,1%, kecil sebesar 32%, dan menengah sebesar 45% (Bank Indonesia, 2011:46). Meski perhatian perbankan terhadap UMKM tersebut mulai tumbuh, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak pengusaha UMKM yang belum terjangkau akses perbankan. Secara umum, permasalahan yang menghambat sinergi antara perbankan dan UMKM ini adalah terbatasnya jaringan, besarnya biaya transaksi dan pelayanan, terbatasnya akses informasi mengenai profil individu UMKM dan kurangnya pemahaman UMKM mengenai aspek keuangan (financial literacy). Intinya permasalahan rendahnya interaksi antara UMKM dan perbankan adalah karena masih lebarnya kesenjangan informasi (information gap). Hal ini berakibat pada tingginya risiko intermediasi akibat minimnya informasi keuangan UMKM yang layak, serta rencana usaha yang realistis sebagai dasar bagi perbankan untuk menyalurkan kredit (Bank Indonesia, 2011:46).
6. Kekuatan dan Kelemahan UMKM Menurut Tambunan (2000:166-167), ada beberapa hal yang menjadi kekuatan dan kelemahan UMKM. Beberapa kekuatan yang dimiliki oleh UMKM, khususnya usaha kecil antara lain: a. Daya tahan Sebagaimana di negara lain, pelaku usaha sektor UMKM memegang peran yang signifikan. Salah satu keunggulan pelaku
75
sektor usaha ini adalah kemampuannya dalam beradaptasi. Ketika lingkungan ekonomi berubah, pelaku usaha ini akan dengan cepat melakukan penyesuaian. Kondisi ini berbeda dengan perusahaan besar atau korporasi yang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyesuaian. Lihainya UMKM dalam berdaptasi terlihat dari jumlah pelaku usaha sektor ini yang relatif tidak berubah pasca krisis tahun 1998, yang menandakan bahwa gejolak ekonomi tidak terlalu berpengaruh terhadap eksistensi pelaku usaha mikro (Jatmiko dan Djumena, 2015:2). Walaupun selama krisis ekonomi terbukti banyak juga usaha kecil di subsektor – subsektor manufaktur tertentu yang gugur (terutama mereka yang sangat tergantung pada impor), secara umum dapat dikatakan bahwa usaha kecil memiliki kemampuan bertahan hidup yang tinggi. Motivasi pengusaha kecil sangat kuat dalam mempertahankan kelangsungan usahanya karena usaha itu merupakan satu – satunya sumber penghasilan keluarganya. Oleh karena itu, usaha kecil sangat adaptif dalam mengadapi perubahan situasi dalam lingkungan usahanya. b. Padat karya Usaha kecil merupakan usaha yang sangat padat karya dan persediaan tenaga kerja di Indonesia sangat banyak sehingga harganya (upah) relatif lebih murah jika dibandingkan dengan negara – negara lain dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit daripada di Indonesia. c. Keahlian khusus (tradisional) Usaha mikro dan kecil di Indonesia lebih banyak membuat produk – produk sederhana yang di satu pihak membutuhkan keahlian khusus. Keahlian khusus (traditional skills) tersebut biasanya dimiliki warga setempat secara turun – temurun, dari generasi ke generasi. Namun, pada era perdagangan bebas saat ini, para pengusaha UMKM di Indonesia juga perlu menambah
76
kemampuannya melalui pendidikan formal, terutama mengenai pemasaran global dan modern management. d. Jenis produk Banyak usaha mikro dan kecil di Indonesia yang membuat produk – produk yang bernuansa kultur, seperti produk – produk kerajinan tangan dari bambu dan rotan atau ukir – ukiran kayu, yang pada dasarnya merupakan keahlian tersendiri dari masyarakat di masing – masing daerah. e. Permodalan Kebanyakan pengusaha kecil menggantungkan diri pada uang (tabungan) sendiri atau dana pinjaman dari sumber – sumber informal (di luar sektor perbankan/keuangan) untuk kebutuhan modal kerja dan investasi mereka, walaupun banyak juga pengusaha kecil yang memakai fasilitas – fasilitas kredit khusus dari pemerintah. Selain itu, memang investasi usaha mikro dan kecil rata – rata jauh lebih rendah daripada investasi di usaha menengah dan usaha besar. f. Kontribusi yang besar bagi pertumbuhan PDB Pengusaha sektor UMKM sejauh ini menjadi kontributor terbesar bagi pertumbuhan PDB di Indonesia, yaitu diatas 50%. Hal ini lantaran sebagian besar dari pelaku usaha sektor tersebut beroperasi di wilayah perdesaan, dan keberadaan mereka banyak memberikan dampak positif terhadap pembangunan di area tersebut berupa serapan tenaga kerja. Kemudian, tidak sedikit dari pelaku usaha ini juga banyak yang bermain di pasar ekspor serta menjadi penyuplai bagi industri yang lebih besar (ADB dalam Jatmiko dan Djumena, 2015:3). Sedangkan kelemahan UMKM, khususnya usaha kecil menurut Tambunan (2000:167) tercermin pada kendala – kendala yang dihadapi kelompok usaha tersebut yang sering kali menjadi hambatan – hambatan serius bagi pertumbuhan dan perkembangannya.
77
Tambunan (2000:167) mengatakan bahwa diperkirakan jumlah unit usaha kecil yang gugur atau mengalami stagnasi setiap tahunnya sangat besar, terutama pada saat periode krisis. Kemudian, kendala – kendala lain yang banyak dialami oleh pengusaha – pengusaha UMKM adalah keterbatasan modal khususnya modal kerja, kesulitan dalam pemasaran dan penyediaan bahan baku, keterbatasan sumber daya manusia (pekerja dan manajer), pengetahuan yang minim mengenai bisnis, serta keterbatasan dan kurangnya penguasaan teknologi. Kelemahan lainnya yang menjadi permasalahan pengusaha – pengusaha adalah pengadaan bahan baku (misalnya tempat beli bahan baku terlalu jauh, harga mahal, dan tidak selalu tersedia), kurang keahlian dalam jenis – jenis teknik produksi tertentu (misalnya tenaga ahli/perancang sulit dicari atau mahal), kurang keahlian dalam pengelolaan, dan persaingan yang tajam. Dalam hal pemasaran, pengusaha – pengusaha kecil menghadapi kesulitan yang disebabkan oleh keterbatasan akan berbagai hal penting, seperti informasi mengenai
perubahan
dan
peluang
pasar
yang
ada,
dana
pemasaran/promosi, pengetahuan mengenai bisnis dan strategi pemasaran (terutama pada tingkat regional dan internasional), dan komunikasi. Keterbatasan – keterbatasan tersebut membuat banyak pengusaha UMKM, khususnya usaha mikro dan kecil yang ada di perdesaan menjadi sangat tergantung pada pedagang – pedagang keliling dan pemilik – pemilik grosir di kota – kota, khususnya bagi mereka yang ingin menjualnya ke pasar – pasar di luar daerah mereka. Sedangkan pengusaha – pengusaha kecil yang hanya melayani pasar lokal, kebanyakan mereka berhubungan langsung dengan konsumer, tanpa perantara pedagang. Kemudian dalam hal persaingan, produk – produk usaha mikro dan usaha kecil mendapat persaingan yang ketat dari produk – produk hasil usaha yang skalanya lebih besar seperti usaha menengah dan usaha besar dalam negeri maupun barang – barang impor. Persaingan tidak saja dalam hal kualitas dan harga,
78
tetapi juga dalam pelayanan – pelayanan setelah penjualan (after sale services) dan penampilan produk. Keterbatasan – keterbatasan yang ada, mulai dari keterbatasan dana, skill, hingga kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas baik, membuat banyak usaha mikro dan usaha kecil di Indonesia mengalami kesulitan untuk meningkatkan kualitas produk mereka agar dapat bersaing di pasar domestik dan ekspor. Secara ringkas analisis terhadap kekuatan dan kelemahan UMKM, terutama usaha kecil berkaitan dengan sumber daya (manusia dan ekonomi) dapat diuraikan dalam tabel 2.8 sebagai berikut Tabel 2.8 Analisis Kekuatan dan Kelemahan UMKM Faktor – faktor Kekuatan Kelemahan 1. Manusia Motivasi yang kuat untuk Kualitas SDM (terutama pendidikan mempertahankan usahanya formal) rendah, termasuk kemampuan melihat peluang bisnis Suplai tenaga kerja berlimpah terbatas dan murah Produktivitas rendah Etos kerja dan disiplin rendah Pengunaan tenaga kerja cenderung eksploitatif dengan tujuan untuk mengejar target Sering mengandalkan anggota keluarga sebagai pekerja tidak dibayar 2. Ekonomi Mengandalkan sumber – Nilai tambah yang diperoleh rendah (bisnis) sumber keuangan informal dan akumulasinya sulit terjadi yang mudah diperoleh Manajemen keuangan buruk Mengandalkan bahan baku Tidak ada organisasi formal (tidak lokal (tergantung pada jenis ada pembagian tugas yang jelas) produk yang dibuat) Melayani segmen pasar bawah yang tinggi permintaan (proporsi dari populasi paling besar) Efisien menggunakan bahan baku Sumber : Sjaifudian dalam Tambunan (2000:169)
79
7. Tantangan dan Peluang UMKM a. Tantangan Tantangan yang dihadapi UMKM pada umumnya menurut Tambunan (2000:170), adalah terutama dalam aspek – aspek berikut ini: 1) Perkembangan teknologi yang pesat Perubahan teknologi memengaruhi ekonomi atau dunia usaha dari dua sisi, yaitu sisi penawaran dan sisi permintaan. Dari sisi penawaran, perkembangan teknologi memengaruhi metode atau pola produksi, komposisi serta jenis material/input, dan bentuk serta kualitas produk yang dibuat. Sedangkan dari sisi permintaan, perubahan teknologi membuat pola permintaan berbeda. Pada periode awal setelah perubahan tersebut lebih banyak berasal dari perusahaan atau industri, sedangkan dari masyarakat, setelah mereka diperkenalkan dengan produk – produk baru yang mengandung teknologi baru, maka permintaan konsumen di pasar juga akan berubah. Jadi, berkaitan dengan ini, survival capability dari UMKM sangat
tergantung
pada
tingkat
fleksibilitasnya
dalam
melakukan penyesuaian – penyesuaian di segala bidang yang berkaitan dengan perubahan teknologi. Dengan demikian, penguatan sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini sangatlah penting. 2) Persaingan semakin bebas Dengan diterapkannya sistem pasar bebas dengan pola atau sistem persaingan yang berbeda ditambah lagi dengan perubahan teknologi yang berlangsung terus dalam laju yang semakin cepat dan perubahan selera masyarakat yang terutama akibat pendapatan masyarakat yang terus meningkat, maka setiap pengusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
80
bahkan Usaha Besar (UB) di Indonesia ditantang, apakah mereka sanggup menghadapi/menyesuaikan usaha mereka. 3) Pemberdayaan UMKM oleh pemerintah Dalam GBHN 1999 – 2004 tercantum beberapa misi yang diantaranya:”Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan…” Pemberdayaan ekonomi rakyat akan terasa semakin penting, jika kenyataan menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya berbasis ekonomi rakyat. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu bentuk dari ekonomi kerakyatan. Indonesia sendiri jelas memiliki basis ekonomi rakyat karena 90 persen dari total jumlah unit usaha (business entity) dalam wujud usaha kecil, yaitu menyediakan sekitar 80 persen kesempatan kerja, melakukan
lebih
dari
65
persen
kegiatan
distribusi,
mengerjakan kegiatan produksi bagi sekitar 55 persen produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, dan keberadaannya tersebut merata di seluruh Indonesia (Bobo dalam Yustika, 2006:53).
Menurut
Ananda
dalam
Yustika
(2006:53),
seharusnya dengan potensi yang dimiliki UMKM tersebut mampu meningkatkan peran UMKM yang potensial dalam meningkatkan pasokan barang serta persaingan, menyesuaikan dan mengembangkan teknologi, menciptakan ragam pasar baru, dan mampu meningkatkan kesempatan kerja dan hasil produksi. Adanya potensi besar yang dimiliki UMKM tersebut, seharusnya mendorong pemerintah untuk terus memberikan perhatian
yang serius
terhadap
perkembangan
UMKM
kedepan, diantaranya melalui beberapa kebijakan yang mampu mengembangkan UMKM di Indonesia melalui program – program pemberdayaan dan pembangunan UMKM.
81
b. Peluang Menurut Tambunan (2002:170), akibat krisis ekonomi dan perubahan politik, muncul banyak peluang besar bagi UMKM, antara lain: 1) Akibat krisis Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi UMKM. Dari sisi penawaran, krisis ini memberi sejumlah dorongan positif bagi pertumbuhan output (bukan produktivitas) di UMKM lewat labour market effect, yaitu pertumbuhan jumlah unit usaha, jumlah pekerja, atau pengusaha akibat meningkatnya jumlah pengangguran (akibat dari banyaknya pekerja di usaha menengah dan besar yang di PHK-kan). Dorongan positif lainnya dari sisi penawaran (produksi) adalah munculnya tawaran dari usaha besar untuk melakukan mitra usaha atau aliansi dengan usaha kecil dan menengah karena kondisi yang memaksa. 2) Otonomi daerah Kebijakan pemerintah di dalam pengembangan pemerintah daerah atau otonomi daerah juga merupakan suatu peluang besar bagi UMKM di daerah karena salah satu syarat utama untuk menjadi otonom adalah bahwa daerah yang bersangkutan harus mempunyai pendapatan daerah yang cukup untuk membiayai roda perekonomian. Ini berarti perlu adanya kegiatan – kegiatan atau lembaga – lembaga ekonomi lokal, termasuk UMKM yang akan memberikan pendapatan daerah. Jadi, peranan UMKM di daerah tidak hanya sebagai salah satu instrument
kebijakan
pemerintah
untuk
menghilangkan
kesenjangan pendapatan/pembangunan antarwilayah, tetapi juga sebagai alat pengembang ekonomi daerah.
82
3) Jumlah unit usaha yang besar Di Indonesia, jumlah UMKM hingga tahun 2013 mencapai 57,9 juta unit lebih. Jumlah tersebut bukan merupakan angka yang kecil. Hal ini menunjukkan bahwa minat usaha dari masyarakat kecil di Indonesia sangat besar (Farida, 2011:44). 4) Indeks Kebijakan Pengembangan UMKM Menurut hasil penelitian ASEAN Working Group melalui kerja sama dengan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) dan Organization for Economic Research Cooperation and Development (OECD) (yang dikutip dalam majalah kontan edisi khusus, terbit Januari 2016) mengenai Indeks Kebijakan UMKM di ASEAN pada tahun 2014, indeks kebijakan pengembangan UMKM di Indonesia mencapai 4,1. Angka ini diatas indeks rata – rata ASEAN sebesar 3,7. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya para pelaku usaha kecil di Indonesia tergolong sudah siap dalam menghadapi MEA yang telah bergulir sejak tanggal 31 Desember 2015.
C. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) 1.
Perlunya Pengembangan UMKM Memang cukup berat tantangan yang dihadapi untuk memperkuat struktur perekonomian nasional. Pembinaan pengusaha kecil harus lebih diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah. (Kuncoro dan Suhardjono, 2002:489). Di lain pihak, Yustika (2006:57) berpendapat bahwa ada perbedaan yang mendasar antara “sistem” yang berlaku di UMKM dan Usaha Besar (UB). Ia mengatakan bahwa UMKM, terutama usaha mikro dan kecil bukan merupakan “bentuk mikro atau kecil dari usaha besar” sehingga pengembangannya tidak berarti yang
83
mikro dan kecil harus dibesarkan atau yang informal harus diformalkan. Jika pengaturan kebijakan pengembangan UMKM dilakukan dengan mind-set usaha besar, maka akan sulit diperoleh tingkat efektivitas yang tinggi. UMKM merupakan sebuah karakter tersendiri yang perlu diapresiasi dan pengembangannya harus dilakukan atas dasar apresiasi itu. Akhirnya, terdapat beberapa aspek kunci yang harus diperhatikan dalam pengembangan UMKM. Yustika (2006:59) mengatakan bahwa aspek – aspek kunci tersebut terdiri dari: 1) Pemerintah harus membantu pengembangan UMKM dalam bentuk pelayanan di bidang hukum, misalnya atas kepemilikan aset produktif. Selama ini kegiatan dan pelaku UMKM hampir selalu berada pada urutan terbawah dalam prioritas penegakan perlindungan atas aset produktif. Contohnya, kepemilikan lahan pertanian produktif oleh para petani kecil sering diciderai, artinya hak atas lahan tersebut sangat mudah berpindah tangan ke pihak lain yang lebih memahami aspek formal – legalistik dalam hukum pertanian serta memiliki modal yang lebih besar. Selain itu, saat ini produk – produk spesifik dari ekonomi rakyat seperti tahu – tempe, batik, dan jamu mulai dipatenkan dan diakui hak ciptanya oleh pihak lain. Dengan demikian, kepastian hukum pada layanan perizinan untuk menjalankan usaha menjadi sangat penting dalam mendukung aset produktif rakyat. 2) Pemberian izin usaha yang cepat, transparan, murah, dan pasti. 3) Tersedianya sistem pembiayaan yang sesuai dengan karakter usaha UMKM. Artinya, undang – undang perbankan seharusnya lebih memungkinkan ekonomi
84
rakyat memperoleh akses yang terbuka terhadap layanan perbankan.
2.
Pengertian Pemberdayaan dan Pengembangan UMKM Pemberdayaan UMKM merupakan bagian integral dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis, adil dan makmur sesuai dengan amanat konstitusi Undang – Undang Dasar Tahun 1945. Menurut Pasal 1 Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, yang dimaksud dengan pemberdayaan UMKM adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Sedangkan pengembangan UMKM adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melalui pemberian fasilitas, bimbingan, pendampingan, dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perlu diberdayakan dengan cara penumbuhan iklim usaha yang mendukung pengembangan usahanya, dan melakukan kegiatan pengembangan dan pembinaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tersebut. Sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian nasional, maka pemberdayaan tersebut perlu dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat secara menyeluruh, sinergis, dan berkesinambungan.
85
Prinsip pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berdasarkan pasal 4 Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, terdiri dari: a. Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk berkarya dengan prakarsa sendiri; b. Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan; c. Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM); d. Peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM); e. Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu. Sedangkan tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berdasarkan Pasal 5 Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, antara lain: a. Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan; b. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; c. Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam
pembangunan
daerah,
penciptaan
lapangan
kerja,
pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Pemerintah melakukan berbagai cara dalam membantu pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008, bantuan pemerintah terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
86
(UMKM) adalah melalui pemberian fasilitas pengembangan UMKM dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, serta desain dan teknologi yang dipakai. Dalam rangka mewujudkan bantuan tersebut, ada berbagai cara yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain: a) Pengembangan dalam bidang produksi dan pengolahan 1) meningkatkan
teknik
produksi
dan
pengolahan
serta
kemampuan manajerial bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM); 2) memberikan
kemudahan
dalam
pengadaan
sarana
dan
prasarana, produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan bagi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM); 3) mendorong penerapan standardisasi dalam proses produksi dan pengolahan; 4) meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan bagi usaha menengah. b) Pengembangan dalam bidang pemasaran 1) melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran; 2) menyebarluaskan informasi pasar; 3) meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran; 4) menyediakan sarana pemasaran yang meliputi penyelenggaraan uji coba pasar, lembaga pemasaran, penyediaan rumah dagang, dan promosi Usaha Mikro, dan Kecil; 5) memberikan dukungan promosi produk, jaringan pemasaran, dan distribusi; 6) menyediakan tenaga konsultan profesional dalam bidang pemasaran. c) Pengembangan dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM) 1) Memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan; 2) Meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial;
87
3) Membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan pelatihan untuk melakukan pendidikan dan pelatihan untuk melakukan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, motivasi dan kreativitas bisnis, dan penciptaan wirausaha baru. d) Pengembangan dalam bidang desain dan teknologi 1) Meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian mutu; 2) Meningkatkan kerja sama dan alih teknologi; 3) Meningkatkan kemampuan Usaha Kecil dan Menengah di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru; 4) Memberikan insentif kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang mengembangkan teknologi dan melestarikan lingkungan hidup; 5) Mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan intelektual.
3.
Kebijakan Bank Indonesia dalam Pemberdayaan Ekonomi Daerah Saat ini, kebijakan Bank Indonesia dalam mendorong pengembangan UMKM mengalami perubahan mendasar. Semenjak diberlakukannya Undang – Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia pada tanggal 17 Mei 1999, yang kemudian diubah dengan Undang – Undang Republik Indonesia No. 3 tahun 2004, Bank Indonesia tidak lagi dapat memberikan bantuan permodalan untuk usaha kecil. Bukan berarti pembiayaan usaha kecil menjadi tidak penting, melainkan ada pembagian tugas dan wewenang yang lebih tegas antara Bank Indonesia dan pemerintah. Menurut undang – undang tersebut, tujuan dan misi Bank Indonesia lebih difokuskan pada pencapaian dan pemeliharaan kestabilan nilai rupiah
88
yang ditunjukkan oleh laju inflasi yang rendah dan kurs tupiah yang stabil. Dengan berbagai pengalaman yang dimiliki oleh Bank Indonesia dalam mendukung pemerintah mengembangkan UMKM, maka Bank Indonesia telah belajar bahwa dalam upaya pengembangan UMKM, terdapat lima stakeholders (pemangku kepentingan). Kelima elemen tersebut sepatutnya saling bekerja sama dan menjalankan peran masing – masing secara sinergis sebagaimana tertuang dalam filosofi lima jari (five-finger philosophy). Filosofi lima jari (five-finger philosophy) adalah upaya Bank Indonesia dalam memberdayakan UMKM. Pemberdayaan UMKM dapat diibaratkan seperti lima jari di tangan kita. Setiap jari mempunyai peran masing – masing dan tidak dapat berdiri sendiri, akan lebih kuat jika digunakan secara bersamaan. Filosofi lima jari (five-finger philosophy) ini terdiri dari: Pertama, jari jempol, yang mewakili peran dari lembaga keuangan atau perbankan. Perbankan memiliki peran yang vital mengingat fungsi bank adalah sebagai lembaga intermediasi yang mengumpulkan dana masyarakat untuk disalurkan dalam bentuk kredit
kepada
masyarakat.
Bank
berperan
penting
dalam
meningkatkan kegiatan usaha masyarakat dan menjaga berputarnya roda perekonomian. Namun demikian, bank juga dibebani tanggung jawab untuk dapat menyalurkan kredit dan tentunya dapat berhati – hati. Hal ini sesuai dengan amanat Undang – Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 1998, dimana perbankan dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati – hatian. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan, kesehatan, dan kestabilan sistem perbankan.
89
Gambar 2.1 Filosofi Lima Jari dalam Pemberdayaan UMKM: Jari Jempol Sumber: http://www.bi.go.id/id/umkm/koordinasi/filosofi-lima-jari/Contents/Default.aspx
Kedua, jari telunjuk, yang mewakili regulator yaitu peran dari pemerintah, termasuk juga peran Bank Indonesia. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas UMKM sehingga mampu untuk lebih berkembang.
Gambar 2.2 Filosofi Lima Jari dalam Pemberdayaan UMKM: Jari Telunjuk Sumber: http://www.bi.go.id/id/umkm/koordinasi/filosofi-lima-jari/Contents/Default.aspx
Ketiga, jari tengah, yang mewakili katalisator, yaitu peran dari lembaga – lembaga pendukung pemberian kredit, diantaranya adalah Lembaga Penjamin Kredit. Di Indonesia, peran ini belum
90
sepenuhnya optimal, tetapi diupayakan untuk mengoptimalkan fungsi dan peran lembaga tersebut. Di samping itu, juga diperlukan keberadaan lembaga lain seperti lembaga pelatihan tenaga – tenaga pendamping UMKM untuk menjaga kualitas dan kontinuitas.
Gambar 2.3 Filosofi Lima Jari dalam Pemberdayaan UMKM: Jari Tengah Sumber: http://www.bi.go.id/id/umkm/koordinasi/filosofi-lima-jari/Contents/Default.aspx
Keempat, jari manis, yang mewakili fasilitator, yaitu peran dari berbagai lembaga pendamping UMKM. Lembaga ini tumbuh dan bermunculan, baik yang inisiatifnya berasal dari pemerintah maupun swasta seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bank Indonesia juga bekerja sama dengan pemerintah mempunyai program berupa Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB), yang meskipun belum optimal diharapkan akan mampu menjembatani akses kredit UMKM kepada perbankan. Pendamping – pendamping tersebut bukan hanya harus mampu membantu UMKM untuk mengakses kredit perbankan tetapi harus mampu memberikan bantuan teknis kepada UMKM. Sebagai pendamping, KKMB juga sekaligus “pengawas” dari UMKM tersebut. Oleh karena itu, adanya KKMB seharusnya mampu “mengamankan” pinjaman dari bank, yang pada gilirannya membantu bank menekan Non Performing Loan (NPL) atau kredit macetnya.
91
Gambar 2.4 Filosofi Lima Jari dalam Pemberdayaan UMKM: Jari Manis Sumber: http://www.bi.go.id/id/umkm/koordinasi/filosofi-lima-jari/Contents/Default.aspx
Kelima, jari kelingking, yang mewakili keberadaan UMKM itu sendiri. UMKM tidak bisa selalu mengandalkan uluran tangan dari pemerintah. UMKM juga harus selalu kreatif dan aktif untuk berupaya sendiri, mencari peluang – peluang untuk pengembangan usaha. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembentukan semacam asosiasi atau kelompok usaha yang saling bahu – membahu, sampai dengan bentuk sentra maupun klaster.
Gambar 2.5 Filosofi Lima Jari dalam Pemberdayaan UMKM: Jari Kelingking Sumber: http://www.bi.go.id/id/umkm/koordinasi/filosofi-lima-jari/Contents/Default.aspx
92
4.
Program Pemberdayaan UMKM Mengingat kondisi dan karakteristik yang heterogen dari masing – masing UMKM, yang berada di semua sektor ekonomi serta kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh berbagai pihak terkait, maka program pemberdayaan sektor usaha ini harus didekati dengan dimensi yang cukup luas. Berdasarkan pengalaman selama ini program pemberdayaan UMKM yang dilakukan oleh banyak negara mencakup beberapa aspek, yaitu adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan mendukung, tersedianya sumber – sumber pembiayaan dan mudah
diakses,
yang
disertai
dengan
bantuan
teknis
dan
pengembangan kelembagaan yang memadai.
a. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan UMKM Kebijakan pemerintah yang jelas dan mendukung merupakan faktor penting untuk pengembangan UMKM dan kebijakan ini diperlukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pertumbuhan sektor usaha tersebut (Boldbaatar dalam Azis dan Rusland, 2009:16). Iklim usaha yang kondusif sangat dibutuhkan untuk menjamin persaingan secara sehat, dan menjamin efektivitas pembinaan yang diberikan kepada UMKM. Arah kebijakan pemerintah dalam pengembangan UMKM di antara berbagai negara tidaklah selalu sama. Di negara – negara maju, arah
kebijakan
pada
umumnya
lebih
ditekankan
pada
pengembangan UMKM yang inovatif, berdasarkan pengetahuan, dan mendorong UMKM yang menggunakan teknologi tinggi. Sedangkan di negara – negara berkembang, termasuk di negara – negara anggota SEACEN Centre (The South Asia Central Bank Research and Training Centre), yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, Myanmar, Sri Lanka, Nepal, Fiji, Korea Selatan, China Taipei, Mongolia dan Papua Nugini, arah kebijakan pemerintah lebih
93
banyak dikaitkan dengan penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, penanggulangan kemiskinan, pengembangan iklim kemandirian usaha, dan pertumbuhan ekonomi. Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas seperti saat ini, untuk mendorong ekspor non - migas, hampir semua negara, termasuk
Indonesia,
menempatkan
prioritas
pengembangan
UMKM pada peningkatan daya saing terutama usaha kecil dan menengah, dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas pada berbagai lini. Menurut Azis dan Rusland (2009:17), wujud konkret kebijakan pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, yang lazimnya juga diterapkan di berbagai negara, yaitu i. adanya perundang – undangan yang dapat menjamin kepastian usaha, seperti undang – undang tentang UMKM, undang – undang tentang wajib daftar perusahaan, dan perizinan usaha yang mudah, murah dan cepat, ii. adanya
lembaga
yang
berfungsi
untuk
mengkoordinasikan kebijakan dan pembinaan UMKM, iii. tersedianya infrastruktur yang memadai, iv. pemberian berbagai insentif, misalnya insentif fiskal, v. adanya tenaga pembina UMKM yang kompeten. Khusus untuk masalah koordinasi dalam kebijakan UMKM, pada umumnya dilakukan oleh lembaga atau badan yang memiliki posisi tingkat atas pada masing – masing negara, seperti departemen atau kementerian tertentu, dan biasanya bank sentral dilibatkan pada badan tersebut. Di Indonesia, badan yang berfungsi sebagai koordinator dalam kebijakan pengembangan UMKM, terutama yang bersifat operasional, dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, sedangkan koordinasi kebijakan dilakukan
94
oleh Kantor Menko Perekonomian (Azis dan Rusland, 2009:1718). Kebijakan pengembangan UMKM di Indonesia secara berencana telah dilakukan sejak dimulainya pembangunan nasional tahun 1969, sebagaimana digariskan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan bagian dari pembangunan jangka panjang yaitu 25 tahun, dan direalisasikan dalam tahapan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Dalam dua periode pembangunan jangka panjang pada tahap pertama dan kedua, sampai dengan tahun 1997/1998, pelaksanaan pembangunan nasional dilandaskan pada Trilogi Pembangunan, yang terdiri dari pemerataan pembangunan dan hasil – hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan pemantapan kestabilan ekonomi dan politik. Dalam konteks ini, program – program pengembangan UMKM diarahkan untuk mewujudkan aspek pemerataan hasil – hasil pembangunan. Komitmen pemerintah dalam pengembangan UMKM tersebut telah diwujudkan dengan dukungan berbagai kebijakan di berbagai bidang, antara lain kebijakan moneter, termasuk kebijakan kredit dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas makro; kebijakan perbankan, kebijakan kelembagaan dan peningkatan kemampuan aparat pemerintah dalam pembinaan UMKM (Azis dan Rusland, 2009:18). Selain itu, pada tahun 2002, pemerintah dan Bank Indonesia
sendiri
telah
menandatangani
Memorandum
of
Understanding (MoU) tentang pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dengan kesepakatan bersama ini, Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter dan juga koordinator Pokja Lembaga Keuangan KPK, mendorong dan menghimbau kepada lembaga keuangan supaya dalam business plan penyaluran kreditnya memberikan prioritas kepada UMKM. Semua itu akan disalurkan sebagai Kredit Usaha Mikro, Kredit Usaha Kecil, dan Kredit Usaha Menengah. Menindaklanjuti kesepakatan bersama
95
KPK-BI, selama periode Juli – Agustus 2002, 14 Sistemically Important
Bank
yang
tergabung
dalam
Memorandum
of
Understanding (MoU) KPK – BI, dengan tetap menganut prinsip kehati – hatian, telah menyalurkan kredit UMKM dalam rangka pengembangan usaha ini (Yustika, 2006:58).
b. Bantuan Teknis Permasalahan yang dihadapi oleh UMKM ternyata sangatlah luas dan kompleks, meliputi semua aspek kegiatan usaha mulai dari keterbatasan dalam pengelolaan usaha, pemasaran, produksi, akuntansi, dan keuangan. Kendala – kendala tersebut terutama disebabkan oleh kualitas SDM yang rendah dan keterbatasan informasi sehingga berpengaruh besar terhadap kemampuan pengelolaan usaha dan akses kepada sumber daya produktif. Sasaran pemberian bantuan teknis kepada UMKM lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan SDM dan perluasan informasi yang relevan dengan pengembangan sektor usaha tersebut. Sementara itu, tujuan bantuan teknis adalah untuk membantu meningkatkan kemampuan UMKM dalam pengelolaan usaha dan akses kepada sumber – sumber daya produktif. Sedangkan, lingkup kegiatan bantuan teknis berdasarkan bantuan – bantuan yang diterima beberapa negara dari Bank Dunia dan lembaga internasional lainnya, yaitu terdiri dari pemberian pelatihan, studi/penelitian, dan konsultasi. Lingkup pelatihan yang dimaksud termasuk kegiatan magang, workshop, dan seminar yang dilakukan di berbagai bidang yang dibutuhkan UMKM. Berbagai bidang tersebut, antara lain di bidang pengelolaan usaha, pemasaran, teknik produksi, keuangan, dan akuntansi. Penelitian yang dilakukan juga disesuaikan dengan kebutuhan unit usaha
96
tersebut, misalnya penelitian yang berkaitan dengan peluang pasar, pengembangan
produk,
pembiayaan
bank,
penelitian
produk/komoditi unggulan UMKM di daerah tertentu, studi kelayakan usaha, studi potensi UMKM di daerah, dan lain sebagainya. Hasil studi ini merupakan informasi yang dibutuhkan baik bagi UMKM sendiri maupun untuk pihak – pihak lain yang berkepentingan
dalam
pengembangan
UMKM.
Sedangkan,
bantuan teknis melalui konsultasi biasanya dilakukan untuk membahas kasus – kasus tertentu yang dihadapi UMKM, misalnya kesulitan dalam mengangsur kredit, dan lain sebagainya. Pada umumnya kegiatan konsultasi ini dilakukan pasca pelatihan, terkait dengan implementasi hasil pelatihan dalam operasi perusahaan sehari – hari. Selain itu, kepada UMKM juga perlu diberikan berbagai informasi yang relevan, yang berpengaruh terhadap perkembangan usaha tersebut, misalnya informasi pasar, kebijakan – kebijakan di bidang perdagangan, investasi, perbankan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, informasi mengenai perkembangan teknologi baru, dan lain sebagainya. Untuk
menjamin
efektivitas
bantuan
teknis
yang
diberikan kepada UMKM, diperlukan adanya tenaga pendamping yang kompeten di bidangnya, terutama untuk mengarahkan supaya bantuan tersebut mencapai sasarannya. Sebagai contoh, di bidang pertanian, tenaga pendamping dikenal dengan tenaga penyuluh pertanian yang memberikan penyuluhan kepada para petani di bidangnya. Sedangkan di bidang keuangan/perbankan, dikenal dengan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) yang berperan untuk menjembatani UMKM dengan bank, mengarahkan cara pengelolaan keuangan dengan baik, dan memonitor perkembangan usaha serta pengembalian kredit. Jumlah yang besar tenaga pendamping ini diperlukan dengan kualitas yang memadai karena banyak jumlah UMKM yang memerlukan pembinaan. Memang
97
sampai saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah tenaga pendamping
yang
ada
secara
nasional,
tetapi
setiap
lembaga/instansi terkait yang memberikan bantuan teknis kepada UMKM biasanya telah mempersiapkan tenaga tersebut. Hampir semua lembaga/instansi di berbagai sektor melakukan tugas pemberian bantuan teknis tersebut, yaitu dengan cara melakukan pembinaan kepada UMKM – UMKM yang berada di bawah kewenangan dan tanggung jawab instansinya. Di Indonesia, dari sisi lembaga pemerintah, paling tidak ada beberapa instansi yang berperan kuat dalam pengembangan dan pemberian bantuan teknis kepada UMKM, yaitu kantor Menko Perekonomian, Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Pertanian, Departemen Keuangan/Meneg BUMN, Bappenas, Bank Indonesia, dan Pemerintah Daerah (Azis dan Rusland, 2009:27).
c. Pengembangan Kelembagaan Sebagaimana dimaklumi, jumlah keberadaan UMKM di beberapa negara anggota SEACEN relatif besar dan dalam kondisi yang heterogen, serta menyebar luas di seluruh pelosok negeri, termasuk di pedesaan, terutama usaha mikro dan usaha kecil. Sementara itu, lembaga – lembaga yang berperan penting dalam memberikan pembinaan dan bantuan kepada UMKM, yang terdiri dari
instansi/lembaga
pemerintah,
lembaga
penyedia
jasa
pengembangan usaha, lembaga riset dan pengembangan, perguruan tinggi, dan lembaga keuangan (baik bank maupun non bank), dan lembaga pendukung lainnya pada umumnya berada di kota – kota besar. Lembaga ini pada umumnya dengan jumlah yang relatif terbatas dan kapasitas serta kemampuan yang bervariasi. Dengan kondisi demikian, sulit rasanya untuk memberikan pembinaan dan menyampaikan berbagai bantuan, baik bantuan teknis maupun
98
keuangan kepada UMKM secara efektif dan efisien, sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian, disamping paket – paket bantuan yang sudah didesain dan disiapkan dengan baik tersebut, pengembangan lembaga – lembaga pembina/pendukung yang profesional dan kompeten sangat diperlukan. Selain itu, lembaga – lembaga pembina/pendukung tersebut haruslah memiliki jaringan yang tersebar luas di daerah – daerah. Lembaga – lembaga ini diharapkan dapat memberikan pelayanan secara baik, dengan berpegang pada prinsip tata kelola yang baik (good governance) supaya dapat membantu UMKM dalam memperluas aksesnya kepada sumber daya produktif (Azis dan Rusland, 2009:27). Di Indonesia, pada dasarnya sudah ada upaya dari Kementerian Koperasi dan UKM untuk memperkuat kelembagaan dalam pemberian bantuan teknis kepada UMKM. Misalnya, instansi ini telah mengembangkan kelembagaan koperasi yang berfungsi sebagai wadah pembinaan UMKM. Kemudian, pada tahun 1997 instansi ini juga pernah membentuk dan melatih tenaga pendamping yang dikenal dengan Petugas Konsultan Lapangan (PKL)
yang
bertugas
untuk
membantu
UMKM
dalam
memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi unit usaha tersebut dalam mengelola usahanya. Semua petugas yang terkait dengan pembinaan bagi sektor usaha tersebut dari masing – masing instansi terkait diberikan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas pelayanannya kepada UMKM. Azis dan Rusland (2009:28) menyatakan sebenarnya secara kelembagaan, banyak komunitas lembaga yang bergerak dan berpengalaman dalam pembinaan UMKM, terutama usaha mikro di pedesaan, seperti lembaga swadaya masyarakat. Lembaga ini pada umumnya memberikan pembinaan kepada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) atau Kelompok Pengusaha Mikro
99
(KPM) yang menjadi binaan mereka. Pengalaman kerja sama antara Bank Indonesia dengan lembaga – lembaga ini dalam beberapa proyek pengembangan UMKM telah membuktikan keberhasilan. Permasalahan yang dihadapi adalah tidak jelasnya instansi atau lembaga yang membina kelompok – kelompok tersebut, sedangkan Kementerian Koperasi dan UKM untuk bekerja sama dengan LPSM atau KSM hanya menekankan sisi administratif dan formalitas saja karena lembaga – lembaga tersebut bukan berbentuk koperasi. Permasalahan lainnya adalah sampai saat ini masih terdapat keterbatasan kemampuan tenaga pembina UMKM sedangkan jumlah UMKM relatif besar. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam memandang dan memperlakukan keberadaan lembaga – lembaga, seperti LPSM atau KSM sebagai pembina UMKM di daerah – daerah (Azis dan Rusland, 2009:28-29). Di samping itu, masalah koordinasi antarlembaga di lapangan masih harus menjadi agenda yang perlu dicari jalan keluarnya. Walaupun pembinaan kepada UMKM ini sudah dilakukan sejak lama, harus diakui bahwa pembinaan tersebut belum sepenuhnya dikelola dan dikoordinasikan dengan baik. Masing
–
masing
instansi
mengalokasikan
dana
untuk
pengembangan UMKM di masing masing lembaga, tetapi penyalurannya dilakukan secara sendiri – sendiri. Hal ini bukan saja masih terbatasnya kemampuan SDM yang ada di masing – masing instansi, tetapi mengakibatkan bantuan tersebut kadang – kadang disalurkan tidak kepada pihak yang benar – benar membutuhkan atau sering tumpang tindih bantuan yang diberikan kepada pengusaha yang sama. Sepatutnya dana – dana untuk pembinaan kepada UMKM dipusatkan pada satu lembaga, dan penyalurannya dirancang secara terintegrasi dan terarah oleh masing – masing instansi.
100
Demikian pula halnya dengan dana – dana yang dihimpun dari sebagian keuntungan BUMN/BUMD untuk kepentingan pembinaan UMKM. Penyaluran dana – dana tersebut dilakukan sendiri oleh BUMN terkait, walaupun kegiatan lembaga tersebut tidak terkait dengan UMKM yang dibantu. Selain itu, ada beberapa BUMN menyalurkan bantuan tersebut dalam bentuk kredit secara langsung kepada UMKM, yaitu dengan memberikan bunga yang relatif rendah sehingga mendistorsi pasar. Hal ini tidak mendidik dan bahkan dapat merugikan UMKM sendiri. Sebaiknya dana – dana yang diperuntukkan untuk kredit disalurkan oleh bank atau lembaga keuangan lain yang kompeten untuk itu. Dana – dana untuk pembinaan UMKM, baik yang berasal dari anggaran (APBN/APBD) maupun dana yang dipisahkan dari keuntungan BUMN/BUMD sebaiknya disalurkan melalui lembaga yang kompeten. Misalnya, untuk pendidikan dan pelatihan UMKM, instansi terkait sebaiknya lebih mengutamakan bekerja sama dengan lembaga – lembaga penyedia jasa pelatihan di bidang terkait. Dalam hal ini instansi terkait hanya mengarahkan, memonitor dan mengevaluasi efektivitas program. Permasalahannya adalah jumlah lembaga – lembaga penyedia jasa pengembangan usaha, seperti lembaga konsultasi, pelatihan dan penelitian, yang kompeten di daerah masih terbatas, baik jumlah maupun kualitas dibandingkan dengan kebutuhan. Sebenarnya, untuk memperkuat lembaga – lembaga penyedia jasa konsultasi UMKM, beberapa lembaga internasional, seperti Bank Dunia, UNIDO, ADB, GTZ-Jerman Barat, dan lainnya telah banyak memberikan bantuan. Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir
telah
berdiri
beberapa
lembaga
penyedia
jasa
pengembangan UMKM milik swasta, kerja sama Bank Dunia, Swiss Contact dan perusahaan daerah, seperti PEAC Bromo di Surabaya, PEAC Borobudur di Jawa Tengah dan PEAC Monas di
101
Jakarta. Lembaga – lembaga seperti ini akan dikembangkan di wilayah Indonesia Timur. Selain itu, sejak diberlakukannya otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah sudah mendirikan lembaga pendukung lain di bidang keuangan, seperti lembaga penjaminan kredit dan modal ventura di daerah masing masing.
5.
Landasan Peraturan Pelaksanaan Program Pengembangan UMKM oleh Bank Indonesia a. Undang – Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil. b. Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). c. Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). d. Peraturan Bank Indonesia No. 14/22/PBI/2012 sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 17/12/PBI/2015 tanggal 25 Juni 2015, tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank
Umum
dan
Bantuan
Teknis
dalam
rangka
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), meliputi:
Bab IV tentang Bantuan Teknis : Pasal 7, 8, 9;
Bab V tentang Kerja Sama : Pasal 10.
e. Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/85/INTERN tanggal 31 Oktober 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). f. Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013, tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), meliputi:
102
Bab V tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Permohonan Bantuan Teknis Bank Indonesia, yang terdiri dari: Poin A mengenai Kegiatan Bantuan Teknis, Poin B mengenai Pengajuan Kegiatan Bantuan Teknis.
g. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/19/DPUM tanggal 8 Juli 2015, tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013 perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), meliputi:
Bab VA tentang Insentif dan Disinsentif dalam rangka Mendorong Penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKM, yang terdiri dari: Poin b mengenai Pelatihan kepada Pendamping/Pembina Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
6.
Bantuan Teknis Bank Indonesia Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.7/85/INTERN tanggal 31 Oktober 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Pengertian Bantuan Teknis Bank Indonesia Bantuan Teknis Bank Indonesia didefinisikan sebagai bantuan teknis yang diberikan kepada UMKM melalui kerja sama dengan Pemerintah Daerah dan/atau Pihak Ketiga dalam bentuk pelatihan, pendampingan, studi banding, magang dan pameran produksi atau bazar intermediasi perbankan. b) Tujuan Pemberian Bantuan Teknis Bank Indonesia Tujuan pemberian bantuan teknis adalah meningkatkan kapasitas dan kinerja Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang
103
pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan akses UMKM kepada kredit perbankan. c) Bentuk Bantuan Teknis a. Pelatihan i. Tujuan pelatihan: 1. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta mendorong bank dan Lembaga Pembiayaan UMKM dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada UMKM. 2. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan Lembaga Penyedia
Jasa
(Business
Development
Service
Provider/BSD-P) agar mampu memfasilitasi akses UMKM terhadap pembiayaan dan menjadi mitra bank dalam upaya pengembangan UMKM melalui penyaluran dana dari bank atau lembaga keuangan kepada UMKM. ii. Peserta pelatihan: 1. Bank 2. Lembaga pembiayaan UMKM 3. Lembaga penyedia jasa iii. Pelaksanaan pelatihan: Pelaksanaan pelatihan dapat dilakukan dengan cara: 1. Swakelola (dilaksanakan oleh Bank Indonesia sendiri) 2. Bekerja sama dengan Lembaga Pelatih b. Penyediaan Informasi i. Tujuan penyediaan informasi Memberikan masukan kepada UMKM, perbankan dan pihak lainnya yang terkait dalam rangka penyediaan informasi guna perkembangan UMKM. ii. Jenis informasi Jenis informasi antara lain berupa: 1. Data statistik perkreditan;
104
2. Data komoditas di suatu daerah; 3. Data komoditas yang potensial untuk diekspor; 4. Model pembiayaan komoditi yang potensial untuk dibiayai bank; 5. Informasi lain dalam rangka pengembangan UMKM Data atau informasi dapat diberikan sepanjang data/atau informasi tersebut bukan merupakan rahasia bank. iii. Penyebarluasan Informasi Penyebarluasan informasi dilakukan melalui media cetak, media elektronik dan sosialisasi. Khusus untuk sosialisasi dapat
dilakukan
dalam
bentuk
pertemuan,
seminar,
lokakarya, pameran dan bazar intermediasi perbankan.
7.
Business Development Service (BDS) / Business Development Service Provider (BDS-P) a) Pengertian BDS/BDS-P Sampai saat ini pengertian Business Development Service (BDS) yang diterjemahkan Jasa Pengembangan Usaha (JPU) begitu pula Business Development Service Provider (BDS-P) masih bervariasi sehingga perlu diarahkan agar semua pihak dapat menerima dan
menggunakannya.
Dalam
buku
petunjuk
pelaksanaan
Pemberdayaan Konsultan/Pendamping UMKM Mitra Bank (KKMB) menjelaskan pengertian BDS sebagai kegiatan dalam bentuk jasa dalam berbagai bidang yang dilakukan oleh seorang dan/atau suatu lembaga untuk tujuan pengembangan usaha, dalam hal ini UMKM. Sedangkan BDS-P adalah suatu lembaga yang memberi/menyediakan pelayanan jasa untuk pengembangan usaha UMKM dalam berbagai bidang antara lain teknis, sosial – ekonomi, keuangan, dll. Selain pengertian itu, menurut UU RI No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, yang dimaksud dengan BDS-P adalah lembaga yang memberikan jasa konsultasi dan pendampingan untuk mengembangkan
105
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sementara itu, Kementerian Koperasi dan UKM mendefinisikan BDS-P sebagai lembaga atau bagian dari lembaga yang memberikan layanan pengembangan bisnis dalam rangka meningkatkan kinerja UMKM. Sedangkan dari Swiss Contact, suatu lembaga yang aktif dalam pengembangan BDS di Indonesia, menyebutkan bahwa BDS-P merupakan bentuk jasa non keuangan yang disediakan oleh lembaga eksternal (Pemerintah atau Swasta) yang bertugas memecahkan masalah yang dihadapi UMKM serta memberikan jasa pengembangan bisnis yang diperlukan.
b) Peran BDS-P Berikut ini beberapa peran dari BDS-P yaitu sebagai berikut: a. Menuntun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mendapatkan modal kerja dari lembaga keuangan agar bisa mengembangkan usahanya, b. Membimbing dan mendampingi pelaku usaha yang potensial menyerap tenaga kerja di zaman sulit, c. Setahap demi setahap membenahi pembukuan dari UMKM yang kurang baik, d. Mencari peluang pasar, hingga mengajar UMKM membaca permintaan pasar.
c) Jenis BDS-P Berikut ini beberapa jenis BDS-P yaitu sebagai berikut: a. Departemen Teknis 1) Departemen Pertanian 2) Departemen Koperasi dan UKM – BDS 3) Departemen Sosial 4) Departemen Dalam Negeri b. Swasta
106
c. Lembaga Pendamping Swadaya Masyarakat (LPSDM) d. Lembaga Penelitian e. Asian Development Bank (ADB)
8. Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) a) Pengertian Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) Menurut
Buku
Petunjuk
Pelaksanaan
Pemberdayaan
Konsultan/Pendamping UMKM Mitra Bank (KKMB), menjelaskan mengenai pengertian KKMB sebagai konsultan pada lembaga pengembangan usaha yang tugasnya melakukan konsultasi dan pendampingan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar mampu mengakses kredit perbankan dan/atau pembiayaan dari lembaga keuangan selain bank.
b) Peran dan Fungsi KKMB 1) Peran KKMB Menjadi jembatan penghubung antara pelaku UMKM (petani, nelayan, pembudidaya, kelompok, pengolah, pedagang) dengan lembaga keuangan bank dan non bank untuk membantu pelaku UMKM yang sudah layak usaha (feasible) tetapi tidak layak kredit bank (non bankable) menjadi layak kredit bank (bankable) sehingga mendapatkan akses permodalan.
2) Fungsi KKMB Sebagai
pendamping
UMKM
berkelanjutan
untuk
meningkatkan kemampuan UMKM memanfaatkan peluang lokal dan pasar global melalui pendampingannya terhadap aspek – aspek non finansial, teknologi, pasar, kelembagaan, dan sebagainya.
107
c) Kriteria KKMB Menurut buku petunjuk pemberdayaan KKMB, dikemukakan beberapa kriteria menjadi KKMB: 1) Berasal dari lembaga pendamping yang memenuhi syarat, 2) Bekerja pada kantor konsultan atau lembaga berbadan hukum, memiliki izin usaha (terakreditasi) atau merupakan individu konsultan yang telah memperoleh sertifikasi, 3) Pendidikan minimum Diploma III atau sederajat, 4) Berpengalaman dalam memberikan jasa layanan kepada UMKM di bidang penyusunan studi kelayakan, penyusunan proposal kredit, penyusunan business plan, penyusunan laporan keuangan dan pendampingan teknis, 5) Mampu menangkap peluang dan risiko bisnis serta memahami potensi dan risiko investasi, 6) Bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dengan UMKM yang dilayani, 7) Mengetahui aspek perbankan dan lembaga keuangan secara umum.