4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioekologi Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)) Jelutung atau jelutong (D. costulata, syn. D. laxiflora) adalah spesies pohon dari subfamilia Oleander. Berdasarkan taksonominya tumbuhan jelutung tergolong ke dalam: Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi
: Magnoliopsida (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Dicotyledonae (Berkeping dua/dikotil)
Subkelas
: Asteridae
Ordo
: Gentianales
Family
: Apocynaceae
Genus
: Dyera
Spesies
: Dyera costulata (Hook. f.)
Gambar 1 Dyera costulata (Hook. f.). Ket: (1) Pohon; (2) Daun; (3) Buah; (4) Benih. Sumber: Plant Resources of South-East Asia 5:2 diacu dalam BPTH Sulawesi (2004). Jelutung mempunyai nama daerah anjarutung, gapuk, jalutung, jelutung gunung, lebuai, letung, melabuai, nyalutung, pidoron (Sumatera), jelutung bukit,
5
pantung jarenang, pantung gunung, pantung kapur, pantung tembaga, dan pulut (Kalimantan). Jelutung dapat tumbuh dengan baik di tanah organosol dengan curah hujan tipe A dan B. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, kategori A memiliki bulan basah lebih dari 9 kali berturut-turut dan tipe B memiliki bulan basah 7 hingga 9 kali berturut-turut. Daerah penyebaran jelutung antara lain meliputi wilayah Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur (Handoyo 2011). Bentuk batang jelutung ini silindris tanpa banir, tinggi mencapai 50 – 80 m, tinggi bebas cabangnya 15 – 30 m, diameter mencapai 300 cm dengan tajuk yang tipis. Kulit batangnya berwarna kelabu kehitaman, permukaan halus dengan sisik agak persegi, kulit bagian dalam tebal, bila ditoreh akan keluar getah berwarna putih seperti susu kental. Pohon ini menggugurkan daunnya 1 kali dalam setahun. Bentuk daun bulat telur tetapi lebar di bagian atas mulai dari bagian tengah sampai berbentuk huruf A yang melebar di bagian tengah. Ukuran daun 12 – 25 x 6 – 11 cm. Bunga seperti karangan bunga berbentuk lingkaran dengan panjang 5 – 18 cm dan tidak berbulu. Mahkota berwarna putih (BPTH Sulawesi 2004) dengan pola cabang yang tidak terlalu rapat. Sebagai tanaman endemik, penanaman jelutung tidak memerlukan manipulasi lahan yang terlalu tinggi karena telah tumbuh dan berkembang secara alami. Pohon ini secara alami tumbuh menyebar dengan jarak antara satu pohon dengan pohon lainnya
50 m
(DepHut 2008). Tekstur kayu jelutung relatif halus, berwarna putih, seratnya searah, kulit batangnya berwarna abu-abu gelap atau hitam dan licin (Dishut 2008). Benih Dyera costulata bersifat rekalsitran sehingga harus disimpan dalam wadah kedap udara, seperti kantong plastik dalam ruang bersuhu 18 – 20 ºC dan kelembaban 60 – 70% (ruang ber-AC). Dengan cara penyimpanan seperti ini maka daya berkecambah benih diharapkan dapat dipertahankan pada nilai 60% selama 3 bulan (BPTH Sulawesi 2004).
2.2 Manfaat Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)) Pohon jelutung dapat disadap sepanjang tahun dengan produksi lateks per pohonnya tergantung pada ukuran pohon dan cara penyadapannya. Rahmat &
6
Bastoni (2007) dan Handoyo (2011) menyatakan bahwa jelutung dapat mulai disadap pada umur 10 tahun, sedangkan untuk mutu lateks jelutung sendiri tergantung pada jenis pohon jelutung yang disadap serta perlakuan dan teknik penanganannya ketika pasca panen. Penyadapan yang optimal biasanya dilakukan pada pagi hari supaya lateks yang dihasilkan berjumlah banyak dan tidak membeku (DepHut 2008). Getah jelutung ini biasa digunakan sebagai bahan baku permen karet, isolator dan soft compound ban. Untuk kayu jelutungnya sendiri berwarna putih kekuningan dengan tekstur halus, arah serat lurus dengan permukaan kayu yang licin mengkilap ini biasa digunakan sebagai bahan baku industri mebel, polywood, moulding, pulp, patung, dan pencil slate. Dyera costulata mampu menghasilkan lateks sekitar 2,5 kg lebih banyak dari Dyera laxiflora yang hanya menghasilkan 0,5 kg lateks. Di Kalimantan dari satu pohon jelutung rata-rata menghasilkan lateks sebanyak 50 kg/pohon/tahun (Siaran Pers DepHut 2004). Pemasaran kayu jelutung di dalam negeri bisa dibilang relatif baik, hal ini dikarenakan kebutuhan bahan baku industri pencil slate yang mencapai 180.670 m3 per tahunnya (Bastoni dan Lukman 2004 diacu dalam Bathimi 2009). Menurut Bathimi (2009), potensi jelutung sangat besar, diantaranya: 1. Kemampuan beradaptasi pada lahan rawa telah teruji. Daya adaptasi yang baik pada lahan rawa merupakan syarat mutlak bagi suatu jenis pohon yang akan digunakan untuk merehabilitasi lahan rawa terdegradasi. Jelutung mempunyai daya adaptasi yang baik pada lahan rawa yang selalu tergenang atau tergenang berkala. 2. Pertumbuhan yang relatif cepat. Jelutung mempunyai pertumbuhan yang relatif cepat, pada kondisi alami riap diameter pohon berkisar antara 1,5 cm – 2,0 cm per tahun. Pohon jelutung yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi intensif riap diameternya dapat mencapai 2,0 – 2,5 cm per tahun. 3. Dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal. Jelutung dapat dikembangkan untuk hutan rakyat di lahan rawa dengan gangguan terhadap lahan yang sangat minimal. Hal ini diperkirakan disebabkan penanaman jelutung di lahan rawa dapat dilakukan tanpa pembuatan kanal untuk sistem drainase.
7
4. Hasil ganda (getah dan kayu). 5. Masukan (input) biaya budidaya relatif rendah. Dalam jangka waktu tiga tahun biaya yang dikeluarkan pada pembangunan hutan tanaman jenis jelutung untuk bibit, penyiapan lahan, penanaman, dan pemeliharaan sekitar Rp 2,88 juta per hektar lahan. 6. Budidaya jelutung tidak sulit. Masyarakat telah mengenal jelutung. Kemiripan budidaya jelutung dengan karet menjadikan masyarakat tidak mengalami kesulitan untuk membudidayakannya. Melihat potensi jelutung di atas, pengembangan usaha jelutung ini dirasakan mempunyai prospek yang sangat baik karena kedua jenis produk pohon jelutung ini (getah dan kayu) memiliki banyak manfaat.
2.3 Teknik Kultur in Vitro Kultur in vitro adalah teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tumbuhan dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme (Santoso & Nursandi 2003). Kultur in vitro ini biasa disebut juga dengan kultur jaringan (tissue culture). Menurut Nugroho dan Sugito (2002), teknik kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi atau mengambil bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, dan kemudian menumbuhkannya dalam kondisi aseptik (bebas hama dan penyakit). Selanjutnya bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan menjadi tanaman lengkap. Teknik budidaya secara kultur jaringan ini disebut juga dengan teknik budidaya in vitro. Kultur in vitro mempunyai potensi sangat besar dalam program pemuliaan serta penyediaan benih dan bibit berkualitas (Yuwono 2008). Menurut Ellyzarti (1986) teknik ini mempunyai kelemahan dasar yaitu memerlukan investasi awal yang cukup tinggi dan pelaksana harus memiliki keterampilan dan ketekunan serta pengetahuan biologi dan kimia yang memadai. Akan tetapi pernyataan ini bisa disiasati dengan berbagai cara sehingga tidak perlu modal yang tinggi serta pengetahuan yang memadai karena semua itu bisa diraih seiring berjalannya usaha yang dilakukan. Dasar kultur jaringan adalah totipotensi yaitu kemampuan setiap sel dari mana saja sel tersebut diambil, apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan
8
yang sempurna (Suryowinoto 1991 diacu dalam Hendaryono dan Wijayani 1994). Noerhadi (1974) diacu dalam Ellyzarti (1986) menyatakan bahwa jaringan tanaman yang diambil dari bagian tertentu jika ditumbuhkan dalam medium yang sesuai dengan kondisi steril akan mengalami pertumbuhan kalus dalam tahap permulaan yang merupakan sel yang tidak teroganisir. Pada keadaan yang menguntungkan kalus selanjutnya dapat membentuk organ-organ baru tanaman seperti tunas, batang, dan akar. Untuk mendapatkan persentase keberhasilan yang lebih besar, kultur jaringan sebaiknya menggunakan jaringan meristem karena jaringan meristem adalah jaringan muda yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pectin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil (Hendaryono & Wijayani 1994). Menurut Purwaningsih (2003), penggunaan meristem aksilar dapat menghasilkan multiplikasi tunas aksilar secara cepat, sehingga bibit yang dihasilkan dalam jumlah besar dapat ditempuh dalam waktu yang relatif singkat. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan bahwa prinsip kerja dari kultur jaringan terdiri dari: 1. Kegiatan isolasi bagian tanaman yang akan digunakan sebagai bahan tanam (eksplan) dari tanaman induknya, 2. Penanaman bahan tanam (eksplan) pada medium yang tepat sehingga terjadi percepatan induksi totipotensi, 3. Terpenuhinya kondisi aseptik (bebas dari kontaminan atau mikroorganisme). Secara umum teknik kultur jaringan dibagi menjadi lima tahapan, yaitu seleksi eksplan dan persiapan, inisiasi dan pembuatan kondisi yang steril, perkembangbiakkan tunas aksiler (multiplikasi), pengakaran dan aklimatisasi (Acquaah 2004). 1. Seleksi Eksplan dan Persiapan Eksplan adalah bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan inisiasi dalam kultur jaringan. Pada dasarnya eksplan dapat diambil dari semua bagian tumbuhan baik dari jaringan akar, batang, dan daun atau berupa sel merismatik, kambium, dan embrio yang belum mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi (Acquaah 2004). Namun akan lebih baik jika eksplan diambil dari bagian yang masih muda (Conger 1981 diacu dalam Isnaeni
9
2008). Ukuran eksplan yang digunakan disesuaikan dengan tujuan dari pembiakkannya. Ukuran eksplan yang lebih besar cenderung lebih mudah terkontaminasi, namun eksplan yang kecil memiliki persentase kematian jaringan yang lebih tinggi (Conger 1981 diacu dalam Isnaeni 2008). 2. Inisiasi dan Pembuatan Kondisi yang Steril Proses inisiasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam teknik kultur jaringan untuk menentukan langkah selanjutnya. Oleh karena itu inisiasi kultur yang terbebas dari kontaminan merupakan hal yang harus dilakukan. Inisiasi adalah penanaman bagian tumbuhan sebagai eksplan untuk ditumbuhkan pada media kultur jaringan. Pada tahap ini dilakukan kegiatan sterilisasi eksplan untuk mendapatkan kultur aseptik. Eksplan yang telah disterilisasi kemudian ditanam pada media prekondisi untuk memastikan eksplan telah terbebas dari kontaminan dan jaringan berisiasi untuk tumbuh. 3. Perkembangbiakkan Tunas Aksiler (Multiplikasi) Multiplikasi merupakan kegiatan memindahkan tunas-tunas dari dalam wadah kultur secara aseptik yang tumbuh dari hasil induksi dan ditanam lagi dalam botol kultur lain yang berisi media dan hormon yang mampu merangsang pertunasan. Tujuan utama dari proses multiplikasi ini adalah perbanyakan pucuk atau tunas atau klon tumbuhan dan meningkatkan terjadinya percabangan aksial dan pembentukan pucuk secara adventif. 4. Pengakaran Proses pengakaran dapat dilakukan dengna penggunaan media yang ditambahkan ZPT jenis auksin. Wattimena (1988) diacu dalam Isnaeni (2008) menyatakan bahwa pemberian auksin diketahui dapat memicu pertumbuhan tunas dan akar. Proses ini dilakukan untuk mempersiapkan plantlet agar dapat ditanam di lapang. 5. Aklimatisasi Aklimatisasi merupakan tahap pemindahan plantlet dari kondisi aseptik (in vitro) ke kondisi lapang (ex vitro) atau dari keadaan heterotrof ke keadaan autotrof. Proses aklimatisasi merupakan proses yang menentukan apakah kultur jaringan berhasil atau tidak karena pada tahap ini akan diketahui apakah tumbuhan yang diaklimatisasi dapat bertahan hidup di lapang atau tidak.
10
Proses aklimatisasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi sebaiknya lingkungan tumbuhnya harus mendekati lingkungan asalnya pada saat pembiakan. Selain itu, pemberian hara tumbuhan yang cukup pada media maupun penyemprotan daun akan sangat membantu proses aklimatisasi (Mattjik 2005 diacu dalam Isnaeni 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfologis tanaman dalam kultur jaringan dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu:
Genotipe dari bahan tanaman yang digunakan,
Media, mencakup tentang komponen penyusun media dan juga zat pengatur pertumbuhan tanaman yang digunakan,
Lingkungan tumbuh, yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan,
Fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan (Wattimena 1992). Seperti yang disebutkan di atas, salah satu faktor yang berperan penting
dalam menentukan keberhasilan kegiatan kultur jaringan adalah media tanam. Media tanam merupakan tempat tumbuh untuk tumbuhnya eksplan. Menurut Soerianegara (1994) diacu dalam Hidayat (2009), media tanam dalam kultur jaringan tumbuhan dibedakan menjadi dua yaitu media dasar dan media perlakuan. Bentuk media tanam yang digunakan dalam kultur jaringan ada 3 yaitu media tanam bentuk padat, semi padat, dan cair. Pada umumnya, media dasar yang sering digunakan adalah media dasar Murashige dan Skoog. Menurut Acquaah (2004) media kultur jaringan mengandung komponen yang dapat dikategorikan menjadi empat kelompok unsur mineral, senyawa organik, zat pengatur tumbuh, dan sistem penyokong.
2.4 Colchicine Colchicine adalah senyawa alkaloid yang dihasilkan dari ekstrak umbi dan akar tanaman Colchicum autumnale Linn (family Idliaceae). dengan rumus senyawa kimianya C22H25O6N. Senyawa ini berwarna kuning pucat dan biasanya akan berubah bila terkena cahaya. Colchicine tersedia dalam bentuk bubuk, dapat larut dalam air, ether, dan benzene serta sangat aktif dalam konsentrasi rendah (Eigsti dan Dustin 1957).
11
Colchicine dapat digunakan untuk menginduksi poliploid (Eigsti dan Dustin 1957). Poliploid adalah organisme yang mempunyai lebih dari dua set kromosom atau genom dalam sel somatisnya. Beberapa ciri tumbuhan poliploid antara lain inti dan isi sel lebih besar, daun dan bunga bertambah besar, dan dapat terjadi perubahan senyawa kimia termasuk peningkatan atau perubahan pada jenis atau proporsi karbohidrat, protein, vitamin atau alkaloid (Poespodarsono 1988). Menurut Briggs dan Knowles (1967) diacu dalam Herawati (1980) menyatakan bahwa larutan colchicine merupakan salah satu zat yang dapat menggandakan jumlah kromosom suatu individu tanaman di dalam inti sel, yang berpengaruh terhadap karakter vegetatif tanaman. Karakter vegetatif yang diperlihatkan diantaranya pelebaran dan penebalan daun, serta pelebaran dan penebalan daun mahkota bunga (Allard 1960 diacu dalam Herawati 1980), sehingga dengan pelebaran daun mahkota bunga tersebut diharapkan diameter bunga menjadi lebih besar, sedangkan untuk penebalan daun mahkota bunga diharapkan dapat mempertinggi ketahanan bunga terhadap kelayuan (Herawati 1980). Poliploid pada tumbuhan dapat terjadi secara alami atau buatan. Poliploid yang sengaja dibuat menggunakan zat-zat kimia tertentu, salah satunya adalah colchicine. Zat kimia ini paling banyak digunakan dan lebih efektif karena mudah larut dalam air (Suryo 1995). Jauhariana (1995) diacu dalam Sulistianingsih et al. (2004) menyatakan bahwa konsentrasi colchicine yang digunakan bervariasi dari 0,0006% sampai 1,0% dengan lama perendaman 1-6 hari, tergantung jenis benihnya. Benih yang lambat berkecambah umumnya memerlukan waktu yang lama. Pada umumnya colchicine efektif pada kadar 0,01% - 1,0% (Jauhariana 1995 diacu dalam Sulistianingsih et al. 2004). Tanaman poliploid memiliki pola pertumbuhan, ciri morfologi, anatomi, genetik, fisiologi, dan produktivitas yang berbeda dibandingkan dengan tanaman diploidnya. Umumnya kenampakan tanaman dan produktivitasnya lebih baik, sehingga secara ekonomis lebih menguntungkan. Dilihat dari ciri morfologinya pun ada perbedaan pada tanaman poliploid dengan tanaman diploidnya. Pada tanaman poliploid jumlah kromosom yang lebih banyak menyebabkan ukuran sel dan inti sel bertambah besar. Sel yang berukuran lebih besar menghasilkan bagian tanaman seperti daun, bunga, buah maupun tanaman secara keseluruhan yang
12
lebih besar. Menurut Gao et al. (1966) diacu dalam Nilahayati (2006), poliploidi dapat menghasilkan daun dan batang yang lebih tebal, warna bunga yang lebih variatif, dapat meningkatkan ratio panjang lebar daun, tekstur bunga yang lebih lembut dan ukuran bunga yang lebih besar. Efektifitas kerja colchicine dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi colchicine yang diberikan, lama kontak sel dengan colchicine, tahap mitosis tertentu saat colchicine kontak dengan sel, tipe sel (sel embrio atau dewasa), dan lingkungan yang mendukung mitosis (Eigsti & Dustin 1957). Kepekaan terhadap perlakuan colchicine berbeda diantara spesies tanaman, oleh karena itu baik konsentrasi maupun waktu perlakuan akan berbeda untuk setiap jenis, bahkan untuk bagian tanaman yang berbeda, konsentrasi dan waktu perlakuan akan berbeda pula. Untuk tunas, pemberian colchicine dapat berupa larutan yang ditetes atau agar yang dioleskan setiap 2 atau 3 kali seminggu dengan konsentrasi 0,5% sampai 1,0% (Poespodarsono 1988). Konsentrasi colchicine yang digunakan bersifat sangat kritis, sehingga konsentrasi yang beragam ini menyebabkan pengaruh yang beragam juga (Eigsti & Dustin 1957). Pemakaian colchicine secara umum ada dua cara, yaitu: 1) Mengoleskan atau meneteskan larutan colchicine pada bagian tanaman yang sedang meristematis atau sering juga disebut dengan “drop method”, 2) Diberikan dalam bentuk campuran agar yang dibalutkan pada bagian tanaman yang meristematis disebut juga “agar kapsul method” (Soetarso 1978 diacu dalam Jenimar 1988). Herawati (1980) telah berhasil menimbulkan individu poliploid pada banyak tanaman pertanian dengan menggunakan colchicine. semua sel yang sedang membelah dan bersinggungan dengan zat kimia colchicine dapat mengalami pengaruh dari zat tersebut (Srickberger 1968 diacu dalam Herawati 1980). Eigsti dan Dustin (1957) mengemukakan bahwa tunas pembelahan yang paling efektif untuk diberi perlakuan colchicine konsentrasi rendah adalah pada tahap akhir profase. Benang gelendong biasanya muncul tidak lama setelah lenyapnya dinding inti, tetapi dengan hadirnya colchicine, benang gelendong tidak terbentuk. Bila pembelahan sel telah mencapai anafase, colchicine pada konsentrasi tinggi dapat menghentikan gerakan kromosom serta memusnahkan benang gelendong. Kromosom yang telah terpisah bercampur kembali dan
13
terbentuklah sebuah nukleus. Menurut Herawati (1980) pengaruh colchicine pada proses mitosis ialah membuat sitoplasma menjadi encer, sehingga pembelahan sel menyimpang dari pembelahan sel secara normal. Pada pembelahan sel secara normal, seharusnya benang-benang gelendong (spindle fiber) dalam plasma sel membentuk penebalan-penebalan di bidang katulistiwa yang nantinya menjadi dinding penyekat. Sedangkan pada pembelahan sel yang dipengaruhi oleh colchicine, benang-benang gelendong (spindle fiber) tidak terbentuk, sehingga proses normal dari mitosis berubah menjadi serangkaian peristiwa yang disebut Cmitosis. Tidak adanya fungsi dari benang-benang gelendong, kromosom gagal atau tidak dapat bergerak menuju bidang katulistiwa tetapi tetap tinggal berhamburan dalam sitoplasma (disebut C-metafase). Kemudian kromosom terpisah pada sentromer dan C-anafase dimulai. Setelah itu kromosom menyebar dan berlipat dua melalui transformasi telofase, akhirnya dinding sel mengelilingi nukleus yang telah mempunyai jumlah kromosom dua kali lipat dan ukuran sel menjadi lebih besar sehingga terjadilah tetraploid (Srb & Owen 1952 diacu dalam Herawati 1980). Dapat juga dikatakan bahwa colchicine telah menghambat pembentukan
benang-benang
spindel
pada
tahap
profase,
menghambat
pembelahan inti, pemisahan kromosom, pembentukan anak sel dan secara efektif menghentikan proses pembelahan, karena itu keberadaan colchicine menyebabkan kromosom tidak dapat terbagi menjadi dua anak sel yang baru sehingga mengakibatkan jumlah kromosom dalam sel tersebut menjadi dua kali lipat. Dengan konsentrasi yang cukup, benang-benang spindel yang telah terbentuk pada tahap anafase dapat dihancurkan (Eigsti & Dustin 1957). Tanaman yang telah mengalami pengaruh colchicine mula-mula menunjukkan pertumbuhan memanjang yang sangat lambat. Akan tetapi pertumbuhan melebar lebih besar, kemudian pertumbuhan normal pulih kembali dan selanjutnya dapat terjadi tiga kemungkinan (Soepomo 1968 diacu dalam Herawati 1980), yaitu: 1. Tanaman atau bagian tanaman itu tumbuh secara normal. Ini disebabkan karena sel-sel yang mengalami perubahan hanya beberapa saja dan dalam pertumbuhannya terdesak oleh sel-sel lain.
14
2. Tanaman atau bagian tanaman itu keseluruhannya mengalami perubahan, sehingga semua sel mempunyai jumlah kromosom dua kali lipat dan sel-sel tersebut akan mempunyai ukuran yang besar. Terutama pada ukuran stomata dan tepung sari akibat pengaruh colchicine yang mudah terlihat walaupun tanaman poliploid itu wujudnya lebih besar namun pertumbuhannya lambat. 3. Tanaman atau bagian tanaman itu mempunyai dua macam genotipe dan disebut chimaer. Disamping jaringan asli yang poliploid ada jaringan yang tetraploid akibat pengaruh colchicine. Menurut bentuknya dibedakan atas: a. Chimaer sectoral, yaitu bila hanya satu sektor saja yang mengalami perubahan, b. Chimaer periclinal, yaitu bila jaringan hasil perubahan mengelilingi jaringan asli, ataupun sebaliknya, c. Mixochimaer, bila kedua jaringan tersebut tidak teratur letaknya.
2.5 BAP (6-Bensilaminopurin) Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan (Hendaryono & Wijayani 1994). Zat pengatur tumbuh tumbuh (ZPT) sering ditambahkan ke dalam medium tanaman untuk merangsang respon eksplan sesuai arah yang diinginkan. Tanpa zat pengatur tumbuh dalam medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan kalus dan organ-organ ditentukan oleh penggunaan yang tepat dari zat pengatur tumbuh tersebut (Hendaryono & Wijayani 1994). Level zat pengatur tumbuh ini akan menjadi faktor pemicu (triggering factor) untuk prosesproses tumbuh dan morfogenesis (Gunawan 1988 diacu dalam Purwaningsih 2003). Zat pengatur tumbuh pada tanaman ada dua yakni auksin dan sitokinin. sitokinin mempunyai 2 peran yang penting untuk propagasi secara in vitro, yakni merupakan perangsang pembelahan sel dalam jaringan yang dibuat eksplan dan merangsang pertumbuhan tunas (Mayasari 2007). Sitokinin alamiah dalam tanaman
adalah
zeatin,
sedangkan
sitokinin
diantaranya
adalah
6-
Bensilaminopurin (BAP), N6-2-isopentil adenin, dan kinetin (Davies 1955 diacu dalam Purwaningsih 2003). Pemberian sitokinin secara eksogen berpengaruh
15
terhadap pembelahan sel, perbesaran sel, perkembangan kloroplas, diferensiasi sel, dan morfogenesis. Menurut Salisbury dan Ross (1992), diacu dalam Purwaningsih (2003), induksi pertumbuhan tunas aksilar didasarkan atas nisbah sitokinin dan auksin. Apabila nisbah sitokinin tinggi, akan mendorong perkembangan tunas aksilar, sedangkan apabila nisbah sitokinini rendah akan mendorong ke arah dominansi apikal. Wattimena (1992), diacu dalam Purwaningsih (2003) menyatakan bahwa jenis sitokinin yang secara in vitro berpotensi tinggi untuk menginduksi multiplikasi tunas aksilar antara lain adalah 6-Bensilaminopurin (BAP) atau Bensiladenin (BA). BAP merupakan jenis sitokinin dari senyawa golongan purin substitusi. Jenis sitokinin ini paling sering digunakan. Hal ini dikarenakan BAP dinilai lebih stabil, tidak mahal dan lebih efektif dibandingkan kinetin (Lisdiantini 2009). Raha dan Roy (2001) diacu dalam Purwaningsih (2003) melaporkan bahwa konsentrasi BAP 3mg/l sangat efektif untuk multiplikasi tunas aksilar Holarrhena antidysenterica Wall. Namun konsentrasi BAP 6mg/l juga dapat menginduksi tunas aksilar pada Dendrocalamus giganiues Wall (Ramanayake et al. 2001 diacu dalam Purwaningsih 2003). Rout dan Das (2002) diacu dalam Purwaningsih (2003) juga melaporkan bahwa konsentrasi BAP antara 0,5 – 1,0 mg/l dapat menginduksi multiplikasi tunas aksilar pada Plumbago zeylanica. Menurut Gunawan (1995), penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan masa yang panjang sering kali menyebabkan regenerasi sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk abnormal. Secara umum, konsentrasi sitokinin yang digunakan berkisar dari 0,1 – 1,0 mg/l. Media tanam juga tidak terlepas dari tingkat keasamannya (pH). Keasaman (pH) suatu larutan menyatakan kadar dari ion H dalam larutan. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5,0 dan 6,0 (Hendaryono & Wijayani 1994). Bila eksplan sudah mulai tumbuh, pH dalam lingkungan kultur jaringan umumnya akan naik apabila nutrien habis terpakai. Senyawa fosfat dalam media kultur jaringan mempunyai peran yang penting dalam menstabilkan pH. Penyimpangan pH dalam medium yang mengandung garam tinggi kemungkinan terjadi lebih kecil, karena kapasitas buffernya lebih besar. Kapasitas buffer kultur
16
sel untuk penggunaan NH4+ sebagai satu-satunya sumber N tergantung pada pengaturan pH dari medium di atas 5. Menurut Lakitan (2007), pH dapat mempengaruhi aktivitas enzim. Umumnya terdapat pH optimum agar suatu enzim dapat berfungsi maksimum dan aktivitas enzim akan menruun pada pH yang lebih tinggi atau lebih rendah. PH juga dapat mempengaruhi laju reaksi dengan paling tidak melalui 2 cara lain, yakni melalui aktivitas enzim sering tergantung pada ada atau tidaknya gugus amino atau karboksil yang bebas dan melalui pengendalian ionisasi beberapa substrat, dimana beberapa substrat harus terionisasi dahulu sebelum dapat bereaksi. Untuk pohon jelutung yang habitatnya di rawa, biasa tumbuh dengan pH di bawah normal atau basa. pH medium menunjukkan salah satu faktor penentu untuk menentukan keberhasilan kultur jaringan (Ellyzarti 1986). Seperti yang dinyatakan oleh Mattjik (2005) diacu dalam Isnaeni (2008), untuk meningkatkan persentase keberhasilan sebaiknya lingkungan tumbuhnya harus mendekati lingkungan asalnya pada saat pembiakan, sehingga dalam penelitian ini menggunakan nilai pH 4.