BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TELAAH PUSTAKA 1. Infection Control Risk Assessment (ICRA) a. Definisi Infection Control Risk Assessment (ICRA) merupakan suatu sistem pengontrolan pengendalian infeksi yang terukur dengan melihat kontinuitas dan probabilitas aplikasi pengendalian infeksi di lapangan berbasiskan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan; mencakup penilaian beberapa aspek penting pengendalian infeksi seperti kepatuhan cuci tangan, pencegahan penyebaran infeksi, manajemen kewaspadaan kontak, dan pengelolaan resistensi antibiotik. ICRA adalah suatu proses berkesinambungan yang memiliki fungsi preventif dalam peningkatan mutu pelayanan. Menurut definisi APIC (Association for Professionals In Infection
Control
and
Epidemiology),
ICRA
merupakan
suatu
perencanaan proses dan bernilai penting dalam menetapkan program dan pengembangan kontrol infeksi. Proses ini berdasarkan kontinuitas surveilans pelaksanaan regulasi jika terdapat perubahan dan tantangan di lapangan. ICRA merupakan bagian proses perencanaan pencegahan dan kontrol infeksi, sarana untuk mengembangkan perencanaan, pola bersama menyusun perencanaan, menjaga fokus surveilans dan aktivitas program
lainnya, serta melaksanakan program pertemuan reguler dan upaya pendanaan (Lardo., dkk, 2016). b. Proses ICRA Pendekatan ICRA berbasis perencanaan menentukan risiko infeksi, bertumpu pada surveilans yang optimal dan berkesinambungan, sehingga konsep ICRA dan pengembangannya akan membentuk suatu proses berkelanjutan perbaikan pengendalian infeksi. Identifikasi risiko dan transmisi penyakit berdasarkan lokasi geografi, komunitas dan pelayanan masyarakat, perawatan, pengobatan serta pelayanan, analisis aktivitas surveilans dan data infeksi, dilaksanakan setiap tahun dengan harapan terjadi perubahan bermakna (Lardo., dkk, 2016). Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan komitmen struktural dan kultural organisasi rumah sakit. Pendekatan organisasi selain dukungan personil juga pada pelaksanaan tahap-tahap kegiatan. Tahap pertama meliputi: (1) Menggambarkan faktor dan karakteristik yang meningkatkan risiko infeksi; (2) Karakteristik yang menurunkan risiko infeksi; (3) Menentukan adanya risiko infeksi; (4) Melaksanakan pertemuan untuk menentukan langkah dan tindakan lebih lanjut.
Tahap kedua adalah proses penilaian perencanaan penilaian risiko, standar, laporan surveilans dan pengetahuan saat ini yang terkait dengan isu pengendalian infeksi. Tahap
ketiga
adalah
melaksanakan
pertemuan
untuk
mengukuhkan komitmen dan partisipasi, saat pelaksanaan diskusi, prioritas risiko, dan merencanakan kontrol infeksi, sedangkan komitmen kultural merupakan suatu proses stimulasi setiap petugas kontrol infeksi untuk konsisten meningkatkan kinerjanya. Pendekatan kultural ini merupakan proses pemberdayaan berkesinambungan melalui proses pelatihan dan pendidikan bahkan learning by doing (Anderson., et al, 2011). b. Komponen ICRA Adapun Komponen metode ICRA meliputi 4 hal, yaitu: (Subhan, 2015) 1) Aspek standar prosedur operasional (SPO) bidang terkait. 2) Monitoring kelayakan fasilitas seperti: alat medik, non medik, kelayakan bangunan, kebersihan lingkungan, pengelolaan limbah rumah sakit. 3) Edukasi dan kepedulian staf. 4) Penilaian infeksi terhadap dampak renovasi di rumah sakit. c. Aspek penting ICRA Beberapa aspek penting pengendalian infeksi seperti kepatuhan cuci tangan, pencegahan penyebaran infeksi, manajemen kewaspadaan kontak, dan pengelolaan resistensi antibiotik berkaitan erat dengan ICRA.
ICRA adalah suatu proses berkesinambungan yang memiliki fungsi preventif dalam peningkatan mutu pelayanan. Menurut APIC (Association for Professionals In Infection Control and Epidemiology) tahun 2011, ICRA merupakan suatu perencanaan proses dan bernilai penting dalam menetapkan program dan pengembangan kontrol infeksi. Proses ini berdasarkan kontinuitas surveilans pelaksanaan regulasi jika terdapat perubahan dan tantangan di lapangan. ICRA merupakan bagian proses perencanaan
pencegahan
dan
kontrol
infeksi,
sarana
untuk
mengembangkan perencanaan, pola bersama menyusun perencanaan, menjaga fokus surveilans dan aktivitas program lainnya, serta melaksanakan program pertemuan reguler dan upaya pendanaan. d. Tim ICRA Tim ICRA dibentuk multidisiplin mencakup personil pengenda lian infeksi, staf medis, perawat, dan unsur pimpinan yang memiliki prioritas (Anderson, 2011). e. Tujuan ICRA 1) Tercapainya perlindungan terhadap pasien, petugas dan pengunjung rumah sakit dari risiko infeksi 2) Tersusunnya data identifikasi dan grading risiko infeksi di Rumah Sakit 3) Tersedianya acuan penerapan langkah-langkah penilaian risiko infeksi di rumah sakit
4) Tersedianya rencana program pencegahan dan pengendalian risiko infeksi di seluruh area rumah sakit (Subhan, 2011). f. Tools ICRA CDC pada Hemodialisa Terdiri dari 4 bagian, yaitu bagian 1 demografi fasilitas kesehatan, bagian 2 program pengendalian infeksi dan infrastruktur, bagian 3 observasi langsung penggunaan fasilitas, bagian 4 panduan pengendalian infeksi dan sumber lainnya. Domain pengendalian infeksi untuk penilaian terdiri dari: 1.
Infrastruktur dan Program Pengendalian Infeksi
2.
Pelatihan, Kompetensi dan Audit Pengendalian Infeksi
3.
Keamaan Tenaga Kesehatan
4.
Surveilans dan Pelaporan Penyakit
5.
Kebersihan Pernapasan/Etika Batuk
6.
Alat Pelindung Diri
7.
Kebersihan Lingkungan
8.
Penggunaan dan Pemrosesan Ulang Alat Dialisis (jika ada)
9.
Kebersihan Tangan
10. Kateter dan Peralatan Vaskuler lain 11. Keamanan Injeksi 2. HAIs (Health-care Associated Infection) a. Definisi HAIs HAIs adalah infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di RS atau fasilitas pelayanan kesehatan lain, yang tidak ditemukan dan tidak dalam masa inkubasi saat pasien masuk RS (CDC, 2007). Infeksi rumah sakit juga mencakup infeksi yang didapat di RS tetapi baru muncul setelah
keluar RS dan juga infeksi akibat kerja pada tenaga kesehatan. Sedang pengertian lain infeksi nosokomial adalah infeksi akibat transmisi organisme patogen ke pasien yang sebelumnya tidak terinfeksi, yang berasal dari lingkungan rumah sakit (Schwartz, 2000). b. Epidemiologi Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia. Infeksi nosokomial atau yang sekarang disebut sebagai infeksi berkaitan dengan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan Healthcare Associated Infections (HAIs) dan infeksi yang didapat dari pekerjaan merupakan masalah penting di seluruh dunia yang terus meningkat. Sebagai perbandingan bahwa tingkat infeksi nosokomial yang terjadi di beberapa Negara Eropa dan Amerika adalah rendah yaitu sekitar 1% dibandingkan dengan kejadian di Negara-negara Asia, Amerika Latin dan Sub-Sahara Afrika yang tinggi mencapai lebih dari 40%. (Depkes RI, 2011). Di Indonesia HAIs mencapai 15,74 % jauh di atas negara maju yang berkisar 4,8- 15,5% (Firmansyah, T.A. 2007). Di rumah sakit Yogyakarta insidensi terjadi HAIs secara umum sebesar 5,9% (Marwoto., dkk, 2007).
c. Pengendalian HAIs Infeksi nosokomial merupakan masalah serius bagi rumah sakit. Kerugian yang ditimbulkan sangat membebani rumah sakit dan pasien. Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial merupakan upaya penting dalam meningkatkan mutu pelayanan medis rumah sakit (Bady., et al, 2007). Program pengendalian infeksi ini dapat dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu tindakan operasional, tindakan organisasi, dan tindakan struktural. Tindakan operasional mencakup kewaspadaan standar dan kewaspadaan berdasarkan penularan/transmisi (Kayser., et al, 2005). d. HAIs Selama Hemodialisis Hemodialisis didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermiabel (dialyzer) ke dalam dialysate. Dialyzer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan (Levy., et al, 2004). Proses hemodialisis yang terjadi didalam membran semipermiabel terbagi menjadi tiga proses yaitu osmosis, difusi dan ultrafiltrasi. Osmosis adalah proses perpindahan zat terlarut dari bagian yang berkonsentrasi rendah kearah konsentrasi yang lebih tinggi. Difusi adalah proses perpindahan zat terlarut dari konsentrasi tinggi kearah konsentrasi yang rendah. Sedangkan ultrafiltrasi adalah perpindahan cairan karena ada tekanan dalam membrane dialyzer yaitu dari tekanan tinggi kearah yang lebih rendah (Curtis., et al, 2008).
Proses osmosis, difusi dan ultrafiltrasi terjadi dalam membran semipermiabel yang lazim disebut dialyzer atau ginjal buatan. Dialyzer atau ginjal buatan memiliki dua bagian, satu bagian untuk darah dan bagian lain untuk cairan dialisat. Di dalam dializer antara darah dan dialisat tidak bercampur jadi satu tetapi dipisahkan oleh membran atau selaput tipis (National Kidney Foundation / NKF, 2006). Beberapa syarat dialyzer yang baik (Heonich & Ronco, 2008) adalah volume priming atau volume dialyzer rendah, clereance dialyzer tinggi sehingga bisa menghasilkan clearence urea dan creatin yang tinggi tanpa membuang protein dalam darah, koefesien ultrafiltrasi tinggi dan tidak terjadi tekanan membran yang negatif yang memungkinkan terjadi back ultrafiltration, tidak mengakibatkan reaksi inflamasi atau alergi saat proses hemodialisa (hemocompatible), murah dan terjangkau, bisa dipakai ulang dan tidak mengandung racun. Proses hemodialisis memerlukan komponen utama agar proses bisa berjalan dengan sempurna yaitu mesin dialisis, dialyzer, dialysate, blood line dan fistula needles. Ketersediaan akses yang baik merupakan syarat mutlak dilakukan tindakan dialisis. American Journal of Kidney Diseases (AJKD) merekomendasikan bahwa pasien PGK stadium 4 dan 5 sudah harus dipasang akses vaskuler untuk persiapan tindakan hemodialisis yang berupa kateter subklavia atau Arteriovenous shunt (AJKD, 2006).
Pembuatan akses vaskuler untuk proses hemodialisis bertujuan untuk mendapatkan aliran darah yang optimal agar proses hemodialisis bisa berjalan dengan baik (Reddy & Cheung, 2009). Akses vaskuler yang disarankan adalah AV shunt atau cimino, double lumen dan arteriovenosa grafts (AVG) (NKF DOQI, 2006). AV Shunt merupakan akses vaskuler yang paling aman saat ini. Akan tetapi bila saat insersi tidak menggunakan tehnik yang benar akan mengakibatkan kerusakan. Komponen hemodialisis dan akses vaskuler bila tidak dikelola dengan tepat bisa menjadikan sebagai sumber atau penyebab masuknya mikroorganisme atau zat patogen yang bisa menyebabkan infeksi (Daugirdas,.et.al, 2007; Loho & Pusparini 2000). Sehingga prosedur yang tepat saat menyiapkan mesin, menyiapkan komponen hemodialisis dan akses vaskular mutlak harus benar dan tepat karena pasien PGK sangat rentan terkena infeksi. Menurut Association for professionals in infection control and epidemiology (APIC) pasien PGK dengan hemodialysis sangat rentan terhadap perkembangan infeksi kesehatan terkait karena beberapa faktor termasuk paparan perangkat invasif, imunosupresi, komorbiditas pasien, kurangnya hambatan fisik antarapasien dalam lingkungan hemodialisis rawat jalan, dan sering kontak dengan petugas layanan kesehatan dalam prosedur dan perawatan. (APIC, 2010). Infeksi yang terjadi pada pasien hemodialisis dapat berasal dari sumber air yang dipakai, sistem pengolahan air pada pusat dialisis, sistem
distribusi air, cairan dialisat, serta mesin dialisis. Komplikasi tersering kontaminasi cairan dialisis adalah reaksi pirogenik dan sepsis yang disebabkan bakteri gram negatif. Selain itu, infeksi dapat juga terjadi oleh mikroorganisme yang ditularkan melalui darah seperti virus hepatitis B (HBV), human immunodeficiency virus (HIV), dan lain-lain. Infeksi merupakan penyebab utama meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian pada pasien hemodialisis. Penyebab tingginya infeksi pada pasien Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah menurunnya sistem imun, adanya penyebab sekunder (diabetes, penyakit jantung, dan lain-lain) yang pada akhirnya memperberat risiko infeksi (Loho & Pusparini, 2000). Febris selama atau sesudah hemodialisis mungkin berhubungan dengan reaksi pirogen dari prosedur hemodialisis atau infeksi mikroorganisme (bakteri, parasit, virus atau keganasan. Penyebab febris pasien PGK dengan hemodialisis adalah TB paru, keganasan saluran cerna, reaktivitas SLE, endokarditis bakterial akut, devertikulosis, infeksi akses vaskuler, trombosisis pada AV shunt perikarditis, reffusi pleura, ISK dan infeksi penyakit ginjal polikistik (Sukandar, 2006). Infeksi pada pasien hemodialisis bisa diakibatkan karena : a. Prosedur pemasangan dan insersi akses vaskuler hemodialysis Penggunaan kateter vena sentral memberi kontribusi besar terjadinya komplikasi infeksi pada pasien PGK hemodialisis, meskipun hanya digunakan pada sebagian kecil
dari penderia PGK yang menjalani hemodialisis (Pisoni, 2002). Penggunaan kateter vena sentral saat hemodialisis dan menimbulkan reaksi panas pada pasien menunjukkan bahwa kateter tersebut mengalami bakterimia dan infeksi (Daugirdas., et al, 2007). Terjadinya infeksi merupakan alasan utama untuk penghapusan kateter ini, dan serangan infeksi aliran darah yang terkait dengan kateter mengakibatkan perawatan yang membutuhkan biaya besar dan peningkatan mortalitas (Moist, 2008). b. Infeksi karena kerentanan pasien PGK Kerentanan pasien terkena infeksi nasokomial dengan hemodialisis kronis diakibatkan karena kondisi komorbiditas, uremik toxisitas dan anemia kronis karena PGK yang semuanya diyakini berkontribusi terhadap penekanan atau pen urunan sistem kekebalan tubuh. Infeksi nasokomial yang sering terjadi adalah infeksi saluran kemih (ISK), infeksi vaskuler, pneumonia dan diare karena infeksi (Erika,.et al. 2000). Loho & Pusparini (2000) menyebutkan bahwa hepatitis B dan HIV merupakan penyakit infeksi yang bisa menular pada pasien hemodialisis karena terjadi infeksi silang saat hemodialisis. Kadar ureum
yang tinggi pada pasien
hemodialisis akan mempengaruhi sistem imonologi yaitu
berupa
pembentukan
stimulataion
antibodi
peradangan,
yang
kerentanan
tidak
memadai,
terhadap
kanker,
mengakibatkan malnutrisi yang akan berdampak pada penurunan kadar Hb, mudah terinfeksi dan sistem kekebalan yang menurun. (Glorieux., et al. 2007; Daugirdas., et al. 2007). Proses hemodialisis yang tidak memperhatikan tercapainya adekuasi akan megakibatkan kadar ureum yang tinggi dan mengakibatkan pasien rentan terhadap infeksi. Adekuasi hemodialisis bisa diukur dengan menghitung RRU. RRU yang disarankan agar tercapai adekuasi adalah 65% (PERNEFRI, 2003). c. Infeksi karena Komponen Hemodialisis Komponen
hemodialisis
terdiri
dari
mesin
hemodialisis, dialyzer, dialysate, blood line dan AV fistula. Pada proses hemodialisis yang adekuat dan berdasarkan prosedur yang benar akan meminimalkan terjadinya infeksi dan reaksi inflamsi pada pasien hemodialisis. Reaksi pirogen, terkait dengan cairan dialysate, manifestasi klinis sama dengan infeksi yaitu demam, tetapi yang membedakan adalah demam karena reaksi pirogen akan berhenti seiring dengan berhentinya proses hemodialysis (Daugirdas., et al, 2007). Reaksi inflamasi tidak hanya dari dialysate saja akan tetapi bisa dari dialyzer,
blood line dan perangkat mesin hemodialisis. Kebocoran dialyzer, priming yang tidak baik, reuse dialyzer, desinfectan mesin yang tidak sesuai dan insersi vena tidak memperhatikan septic aseptic merupakan faktor yang bisa mengakibatkan reaksi infeksi pada pasien hemodialisis. Secara umum manifestasi gejala inflamasi karena faktor tersebut sama. Kontaminasi pada mesin hemodialisis bisa mengakibatkan infeksi oleh gram negatif dan jamur. Kejadian ini dikarenakan proses desinfectan mesin yang kurang baik dan pengelolaan air reverse osmosis sebagai water tretement yang tidak sesuai dengan prosedur yang baik (Daugirdas., et al, 2007). e.
Manejemen Infeksi Hemodialisis Keterlambatan penanganan infeksi pada pasien hemodialisis merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas (Daugirdas., et al, 2007). Pencegahan infeksi merupakan tanggung jawab bersama dan melibatkan semua yang berhubungan dengan proses dan prosedur teknis atau administratif hemodialisis yang meliputi tenaga medis, para medis, tenaga administratif, petugas kebersihan, keluarga pasien, pengunjung pasien dan pasien, (APIC, 2010). Semua petugas paramedis, medis, administrtif dan petugas kebersihan harus pernah di beri pelatihan tentang cara dan tehnik pencegahan infeksi. Program ini dilakukan agar
pencegahan infeksi bisa berjalan dengan baik dan semua bisa terlibat didalamnya. Cara pencegahan infeksi diunit hemodialisis (APIC, 2010): 1. Kebersihan lingkungan Hemodialisis a. Gunakan desinfektan yang sesuai dengan standar dan ketersediaannya disetiap unit hemodialisis. b. Jaga kebersihan alat alat hemodialisis yang berhubungan langsung
dengan
pasien,
misalnya
kursi,
mesin
hemodialisis, tempat tidur dan lainnya. c. Desinfektan dan jaga kebersihan alat yang dipakai bersama seperti tensi meter, agar tidak terjadi infeksi silang antar pasien. d. Bila alat yang dipakai adalah disposible maka buanglah pada tempat yang telah disediakan, tapi bila alat ini akan dipakai lagi pada waktu yang lain bersihkan dan desinfectan alat ini sesuai dengan prosedur yang ada. e. Alat disposible tidak boleh dipakai ke pasien yang lain. f. Mesin Hemodialisis harus di desinfectan panas sebelum diapakai pasien lain. g. Bila ada darah yang menempel pada mesin harus segera dibersihkan (APIC, 2010). 2. Kebersihan tangan
a. Membersihkan tangan setelah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien b. Buang sarung tangan yang sudah dipakai untuk merawat pasien. Jangan memakai sepasang sarung tangan yang sama untuk perawatan lebih dari satu pasien, dan tidak mencuci sarung tangan antara menggunakan dengan berbeda pasien. c. Bersihkan tangan setelah melepas sarung tangan. d. Jika tangan tidak tampak kotor, menggunakan cuci tangan berbasis alcohol untuk membersihkan tangan bukan sabun dan air (APIC, 2010). e. Jangan memakai artificial fingernails atau extender ketika berhubungan langsung dengan pasien. 3. Imunisasi dan skrining tuberculosis a. Identifikasi status imunisasi pasien, Pasien yang akan menjalani
hemodialysis
diimunisasi
HBV,
tetanus,
penyakit pneumokokus dan influenza. b. Karyawan dalam pengaturan HD harus menerima imunisasi campak, gondok, rubella, pertusis, difteri, tetanus, MMR (campak, gondok, rubella), akan ditawarkan HBV dan imunisasi influenza, dan melakukan skrining TB sesuai dengan peraturan rumah sakit (APIC, 2010).
4. Obat-obatan a. Botol dosis tunggal harus didedikasikan untuk satu pasien saja dan tidak boleh kembali masuk. b. Obat parenteral harus disiapkan di area yang bersih dan jauh dari ruang perawatan pasien. c. Jangan menggunakan gerobak untuk mengangkut obatobat ke ruang perawatan pasien. d. Bersihkan botol dengan desinfectan ketika mengambil obat dari dalamnnya. e. Gunakan
teknik
aseptik
ketika
mempersiapkan
/penanganan obat parenteral/ fluid. f. Jangan pernah menggunakan persediaan infus seperti jarum, jarum suntik, flush solusision, instrumen tindakan, atau cairan intravena pada lebih dari satu pasien (APIC, 2010). 5. Pencegahan berbasisi transmisi a. Alat-alat bantu pernafasan dan selang oksigen harus dalam keadaan steril atau bersih, jika memungkinkan satu pasien satu slang oksigen. b. Waspada dalam tindakan dan meminimalkan terjadinya luka pada petugas agar tidak terinfeksi. c. Pakailah APD yang sesuai standar.
d. Pisahkan pasien yang menularakan penyakit lewat pernafasan/udara. e. HBV isolasi harus digunakan secara rutin pada semua pasien yang diketahui HBsAg positif (APIC, 2010). 6. Akses Vaskuler a. Lakukan tindakan yang benar dan berdasarkan prinsip steril dan tidak steril, b. Anjurkan pasien untuk pemasang an akses vaskuler sementara dan permanen atau pemasangan AV graff bila memungkinkan (APIC, 2010). 7. Water Treatment a. Cek mesin reverse osmosis sesuai dengan standar untuk keamanan distribusi air pada proses hemodialysis b. Lakukan pemeriksaan air secara berkala c. Desinfectan air denagn sinar ultraviolet (APIC, 2010). 3. Instalasi Hemodialisa a. Definisi Hemodialisa adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang menggunakan alat khusus dengan tujuan mengeluarkan toksin uremik dan mengatur cairan elektrolit tubuh. Unit pelayanan dialisis adalah fasilitas pelayanan dialisis di rumah sakit (Kemenkes, 2010).
b. Penyelenggaraan Pelayanan Hemodialisis Menurut Permenkes kesehatan Nomor 812 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan pelayanan dialysis pada pelayanan kesehatan mengatur beberapa hal yaitu pada pasal 2: 1)
Penyelenggaraan pelayanan hemodialysis hanya dapat dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan.
2)
Fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan dialysis harus memiliki izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Menurut Permenkes kesehatan Nomor 812 Tahun 2010 Pasal 3 menerangkan Persyaratan Penyelenggaraan Pelayanan Hemodialisa, yaitu: 1)
Setiap penyelenggaraan pelayanan hemodialysis harus memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan.
2)
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sarana dan prasarana, prasarana, peralatan, serta ketenagaan.
Pasal 4, yaitu: 1)
Persyaratan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) sekurang-kurangnya meliputi: a. Ruang peralatan mesin hemodialysis untuk kapasitas 4 (empat) mesin hemodialysis; b.Ruang pemeriksaan dokter/konsultasi; c. Ruang tindakan;
d. Ruang perawatan, ruang sterilisasi, ruang penyimpanan obat dan ruang penunjang medik; e. Ruang administrasi dan ruang tunggu pasien; dan f. Ruang lainnya sesuia kebutuhan 2) Persyaratan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) sekurang-kurangnya meliputi: a. 4 (empat) mesin hemodialysis siap pakai; b. Peralatan medik standar sesuai kebutuhan; c. Peralatan reuse dialiser manual atau otomatik; d. Peralatan sterilisasi alat medis; e. Peralatan pengolahan air untuk dialisis yang memenuhi standar; dan f. Kelengkapan peralatan lain sesuia kebutuhan. 3) Persyaratan ketenagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) sekurang-kurangnya meliputi: a. Seorang Konsultan
Ginjal
Hipertensi
(KGH)
sebagai
Supervisor Unit Dialisis yang bertugas membina, mengawasi, dan bertanggung jawab dalam kualitas pelayanan Dialisis suatu unit dialysis yang menjadi afiliasisnya. b. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal Hipertensi (Sp. PD KGH) yang memiliki Surat Izin Praktik (SIP) dana tau Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang terlatih bersertifikat
pelatihan hemodialysis yang dikeluarkan oleh organisasi profesi, sebagai penanggung jawab; c. Perawat mahir hemodilisis minimal sebanyak 3 orang perawat untuk 4 mesin hemodialysis dari organisasi profesi; d. Teknisi elektromedik dengan pelatihan khusus mesin dialisis; dan e. Tenaga administrasi serta tenaga lainnya sesuai kebutuhan. 4) Konsultan Ginjal Hipertensi (KGH) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan dokter yang bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan pemberi pelayanan dialisis. 5) Dalam hal tidak ada tenaga Konsultan Ginjal Hipertensi (KGH) yang bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan pemberi pelayanan dialisis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka fasilitas pelayanan kesehatan tersebut dapat menunjuk Konsultan Ginjal Hipertensi (KGH) dari fasilitas pelayanan kesehatan lain sebagai Pembina mutu. 6) Konsultan Ginjal Hipertensi (KGH) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertugas untuk melatih Dokter Spesialis Penyakit Dalam pada fasilitas pelayanan kesehatan yang menunjuknya. Menurut Permenkes kesehatan Nomor 812 Tahun 2010 pada Pasal 5 mewajibkan setiap fasilitas pelayanan kesehatan dialisis wajib memiliki
sistem pengelolaan limbah yang baik. Pada Permenkes kesehatan Nomor 812 Tahun 2010 Pasal 6 menerangkan mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis sarana dan prasarana, peralatan, dan ketenagaan serta pengelolaan limbah dilaksakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. c. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Pada Unit Hemodialisa sudah diatur oleh Kemenkes 2012 Tentang Pedoman-Pedoman Teknis Di Bidang Bangunan Dan Sarana Rumah Sakit (terlampir). d. Persyaratan Khusus a. Setiap tempat tidur/ tempat duduk pasien dilengkapi dengan minimal inlet air steril dan outlet pembuangan air dari mesin dialisis. b. Setiap tempat tidur/ tempat duduk pasien juga dilengkapi dengan bed head unit, minimal terdiri dari outlet suction, Oksigen, stop kontak listrik dengan suplai Catu Daya Pengganti Khusus (CDPK = UPS) dan 2 buah stop kontak biasa, tombol panggil perawat (nurse call). c.
Ruangan harus mudah dibersihkan, tidak menggunakan warna-warna yang menyilaukan.
d.
Memiliki sistem pembuangan air yang baik.
e. Alur Kegiatan
Berikut alur kegiatan pasien di instalasi hemodialisa yang diatur oleh Kemenkes 2012 Tentang Pedoman-Pedoman Teknis Di Bidang Bangunan Dan Sarana Rumah Sakit terdapat pada gambar 1.
Pasien & Pengantar Pasien Pengantar pasien Administrasi dan pendaftaran
Ruang tunggu
Pasien Ruang konsultasi
Ruang (/Isolasi) cuci darah
Pulang
Gambar 1. Alur kegiatan pasien di Instalasi Hemodialisa (Kemenkes, 2012)
B. PENELITIAN TERDAHULU Berdasarkan penelusuran penulis pada berbagai sumber referensi, tidak ditemukan penelitian dengan judul “Infection Control Risk Assessment (ICRA) di Instalasi Hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II”. Penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang dapat mendukung penelitian ini dengan beberapa persamaan dan perbedaan masing-masing. Berikut merupakan beberapa penelitian terdahulu yang dimaksud: 1. Penelitian dilakukan oleh Herpan, Yuniar Wardani pada tahun 2012 dengan judul “Analisis Kinerja Perawat Dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial Di RSU PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta”. Metode penelitian yang
digunakan adalah rancangan observasional analitik kuantitatif dengan menggunakan rancangan survey cross sectional. Dari penelitian ini didapatkan hasil: tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara pendidikan dengan kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial, tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara pelatihan dengan kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial, ada hubungan yang bermakna secara statistik antar pengetahuan dengan kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial, ada hubungan yang bermakna secara statistik antara sikap dengan kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial, ada hubungan yang bermakna secara statistik antara keterampilan dengan kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menilai pengendalian infeksi. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pengendalian infeksi pada penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner untuk mengetahui hubungan infeksi nosokomial dengan kinerja perawat. 2. Penelitian dilakukan oleh Fauzia, Neila., dkk pada tahun 2014 dengan judul “Kepatuhan Standar Prosedur Operasional Hand Hygiene Pada Perawat Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit”. Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan deskriptif kuantitatif. Dari penelitian ini didapatkan hasil: bahwa perilaku hand hygiene perawat sesuai dengan SPO yang berlaku di rumah sakit tersebut, secara keseluruhan sebesar 36% dengan kepatuhan tertinggi pada unit stroke.. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menilai
pengendalian infeksi. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pengendalian infeksi pada penelitian ini hanya menilai standar prosedur Hand Hygiene tidak menilai pengendalian infeksi yang lainnya. 3. Penelitian dilakukan oleh Lelonowati, Dewi TM., dkk pada tahun 2014 dengan judul “Faktor Penyebab Kurangnya Kinerja Surveilans Infeksi Nosokomial di RSUD Dr. Iskak Tulungagung”. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk mengamati proses kegiatan surveilans di ruang rawat inap dalam hal pengumpulan data sampai evaluasinya. Metode yang digunakan dengan wawancara ditunjang observasi terhadap pelaksana surveilans di ruang rawat inap, staf di unit Rekam Medik untuk pengelolaan dan analisis data. Dari penelitian ini didapatkan hasil: Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar komponen surveilans infeksi nosokomial belum dijalankan dengan benar sesuai Petunjuk Teknis Surveilans dari Kemenkes tahun 2010. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama dilakukan metode deskriptif analitik. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada penelitian ini mencari penyebab kurangnya kinerja surveilans infeksi nosokomial.
C. KERANGKA KONSEP Pencegahan dan pengendalian infeksi di Instalasi Hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Gamping
Pelaksanaan Assessment tools ICRA CDC untuk Instalasi Hemodialisa Bagian 1 Demografi Fasilitas Bagian 2 Program Pengendalian Infeksi dan Infrastruktur Bagian 3 Observasi Langsung Penggunaan Fasilitas Bagian 4 Panduan Pengendalian Infeksi dan Sumber Lainnya 1. Program Pengendalian Infeksi dan Infrastruktur 2. Pelatihan Pengendalian Infeksi, Kompetensi, dan Audit 3. Healthcare Personnel (HCP) Safety 4. Pengawasan dan Pelaporan Penyakit 5. Respiratory Hygiene/ Etika Batuk 6. Personal Protective Equipment ( PPE ) 7. Kebersihan lingkungan 8. Dialyzer Reuse and (if applicable) Reprocessing 9. Hand Hygiene 10. Kateter dan lainnya Vascular Akses Pelayanan 11. Injection Safety
Transmisi penularan: 1. Air bone 2. Contact 3. Droplet
Menurunnya HAIs: 1.Petugas 2.Pasien 3.Penguna eksternal (pengantar, pengunjung) Keterangan Diteliti
:
Tidak diteliti : Gambar 2. Kerangka konsep penelitian ICRA di Hemodialisa
D. PERTANYAAN PENELITIAN 1. Apakah instrumen yang terstandarisasi dengan metode Infection Control Risk Assesment Tools (ICRA) yang dikeluarkan oleh CDC dapat digunakan untuk menilai risiko infeksi di Unit Hemodialisa di rumah sakit Indonesia? 2. Bagaimana peniliaian risiko infeksi di Unit Hemodialisa Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping dengan menggunakan instrument Infection Control Risk Assesment Tools ICRA yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang sudah di adaptasi?