7
BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Kajian Pustaka Literatur yang dikaji dalam tulisan ini meliputi karya-karya yang berkaitan dengan tema penelitian yang penulis pilih. Tema yang dimaksud adalah mengenai peran mediator dalam melakukan mediasi sengketa wilayah yang melibatkan unsur identitas kelompok. Tema tersebut kemudian menjadi pengantar peneliti dalam memilih kajian pustaka dalam penelitian ini. Kajian pustaka tersebut antara lain: 1) Peran Uni Afrika dalam Resolusi Konflik Darfur tahun 2004-2007 (2013) karya Ihsan., 2) Keterlibatan Rusia dalam Resolusi Konflik Nagorno-Karabakh Antara Armenia dan Azerbaijan 2008-2012 (2013) karya Ensi Adistya. Tulisan pertama yang dibahas adalah skripsi mahasiswa Hubungan Internasional dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta bernama Ihsan. Tulisan Ihsan yang berjudul Peran Uni Afrika dalam Resolusi Konflik Darfur tahun 2004-2007 (2013). Tulisan tersebut secara umum mendeskripsikan mengenai peran Uni Afrika sebagai sebuah organisasi kawasan dalam penyelesaian konflik etnis yang terjadi disalah satu negara anggotanya. Ihsan menggunakan konsep peran, organisasi internasional, resolusi konflik, dan responsibility to protect. Konflik etnis yang Ihsan soroti dalam penelitiannya adalah konflik etnis yang terjadi di Darfur, Sudan. Sedangkan fokus tahun yang diambil adalah tahun 20042007. Menurut Ihsan, Uni Afrika dalam jangka waktu 2004-2007 telah melakukan
8
berbagai peranan dalam upaya resolusi konflik di Darfur. Peran tersebut antara lain: sebagai fasilitator perundingan damai, sebagai mediator perundingan damai, melakukan misi pengawasan kesepakatan genjatan senjata dan melakukan operasi perdamaian Uni Afrika di Darfur. Masih menurut Ihsan, misi perdamaian Uni Afrika untuk Darfur, African Union Mission in Sudan (AMIS), tidak berhasil dalam melakukan tugasnya untuk mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perseteruan di Darfur. Ihsan juga menyimpulkan kegagalan peran AMIS sebagai misi perdamaian Uni Afrika untuk Darfur disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: keterbatasan mandat AMIS, tidak diperkenankannya personil perdamaian untuk menggunakan deadly force (tembak ditempat) ketika berhadapan dengan kelompok pemberontak Darfur maupun misili Janjaweed, dan peralatan serta logistik yang tidak memadai dari AMIS sendiri selaku misi perdamaian dari Uni Afrika dalam menjalakan tugasnya di Darfur, Sudan. Penelitian Ihsan dan penelitian ini memiliki kesamaan konteks mengenai tema penulis yaitu terkait peran mediator dalam melakukan mediasi dalam sengketa wilayah yang melibatkan unsur identitas kelompok. Namun, penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ihsan karena mediator dan lokasi penelitian yang berbeda. Jika penelitian Ihsan melakukan penelitian terhadap peran Uni Afrika dalam konflik di Sudan, penelitian ini lebih memfokuskan kepada OSCE Minsk Group dalam konflik Nagorno-Karabakh.
9
Pada penelitiannya, Ihsan mendeskripsikan peran dari organisasi kawasan dalam menangani konflik etnis dalam satu wilayah negara, sedangkan dalam penelitian ini menggambarkan peran dari organisasi internasional dalam menangani konflik
etnis
yang
melibatkan
dua
negara
berdaulat.
Selain
itu,
Ihsan
mendeskripsikan peran Uni Afrika sebagai fasilitator tetapi tidak menjelaskan mengenai hal tersebut dalam konsep penelitiannya. Penelitian ini akan menjelaskan konsep mediasi dan peran-peran mediator yang salah satunya adalah sebagai fasilitator perundingan damai. Tulisan selanjutnya adalah tulisan jurnal ilmiah yang ditulis oleh Ensi Adistya dengan judul Keterlibatan Rusia dalam Resolusi Konflik Nagorno-Karabakh Antara Armenia dan Azerbaijan 2008-2012 (2013). Ensi memaparkan bahwa Rusia memiliki keinginan besar untuk ikut dalam penyelesaian kasus di Nagorno-Karabakh. Menurut Ensi, kedekatan historis Rusia dengan negara post-Uni Soviet membuat Rusia merasa perlu melakukan prioritas terhadap negara-negara tersebut kedalam kebijakan luar negerinya. Dalam penelitiannya, Ensi menggunakan konsep resolusi konflik dan mediasi. Menurut Ensi, Rusia merupakan leading role dalam upaya resolusi konflik di wilayah Nagorno-Karabakh. Selain sebagai co-chair OSCE Minsk Group, kedekatan Rusia sebagai bekas negara Uni Soviet membuat Rusia berusaha untuk selalu terlibat dalam resolusi konflik di Nagorno-Karabakh. Dalam penelitiannya, Ensi menekankan pada peran Rusia dalam resolusi konflik di Nagorno-Karabakh. Ensi juga menyebutkan mengenai OSCE Minks Group karena Rusia merupakan bagian dari
10
negara co-chairs OSCE Minsk Group. Dalam penelitiannya Ensi menggunakan konsep resolusi konflik dan mediasi. Berdasarkan penelitian Ensi, keterlibatan Rusia dalam resolusi konflik di Nagorno-Karabakh dapat dikatakan cukup positif. Hal tersebut dideskripsikan melalui keterlibatan Rusia yang dinilai bertanggung jawab menfasilitasi komunikasi dan menciptakan atmosfer yang positif dalam hubungan Armenia dan Azerbaijan. Selain itu Rusia juga terlibat sebagai mediator konflik yang terjadi antara Armenia dan Azerbaijan atas Nagorno-Karabakh. Mediasi yang dilakukan Rusia adalah mediasi murni yang tidak menggunakan hadiah dan hukuman kepada pihak yang berkonflik. Penelitian Ensi dan penelitian ini memiliki kesamaan konteks mengenai Nagorno-Karabakh. Namun, penelitian ini berbeda karena memiliki unit analisis yang digunakan berbeda. Ensi yang menekankan pada peran Rusia belum menggambarkan peran Rusia dalam posisinya sebagai salah satu co-chair OSCE Minsk Group dalam konflik Nagorno-Karabakh. Penelitan ini akan menutupi hal tersebut dan akan menggambarkan peran dari OSCE Minsk Group, termasuk peran Rusia, sebagai salah satu co-chair yang dilakukan bersama dua co-chairs OSCE Minsk Group lainnya, Amerika Serikat dan Prancis.
2.2 Kerangka Konseptual Konsep adalah sebuah kata yang melambangkan suatu atau sebuah gagasan. Suatu konsep adalah abstraksi yang mewakili suatu obyek, sifat suatu obyek, atau suatu fenomena tertentu (Mas’oed, 1990, hal. 93-94). Sedangkan teori adalah
11
pernyataan yang menghubungkan konsep-konsep secara logis (Mas’oed, 1990, hal. 186). Konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
2.2.1 Ethnonationalist Menurut Geldenhuys dan Rossouw (2001, hal. 2), sejak tahun 1990 isu mengenai hak dari kaum minoritas dalam masyarakat plural telah menjadi agenda utama dalam politik global. Meskipun telah sejak lama, tepatnya pada tahun 1950 telah terjadi pengakuan terhadap perlindungan hak-hak dari kelompok minoritas. Naiknya isu hak-hak minoritas terjadi akibat banyaknya konflik-konflik etnis yang terjadi pasca jatuhnya communist dictatorships di Eropa Timur. Hingga saat ini, kondisi dari kelompok minoritas masih menjadi isu yang sentral diberbagai negara di dunia. Dalam bukunya Ethnic Conflict in World Politic, Gurr dan Harff (1994, hal. 18) menjelaskan ethnonationalist sebagai sekumpulan etnis grup dengan kuantitas cukup besar yang mendiami wilayah di dalam teritori sebuah negara atau berbatasan langsung dengan sebuah negara. Ethnonationalist biasanya memiliki sebuah pergerakan politik modern yang mengarah kepada pencapaian autonomi yang lebih baik atau bahkan bertujuan untuk mendirikan sebuah negara yang independen. Pergerakan ethnonationalist dapat disebabkan karena kelompok etnis tersebut ingin mendapatkan pengakuan dan mendapatkan hak-hak lebih sebagai sebuah negara merdeka.
12
Ethnonationalist tidak terlepas dari ethnocultural minority, yaitu kelompok marginal yang terdapat di dalam suatu wilayah. Menurut Geldenhuys dan Rossouw (2001, hal. 4) dalam tulisannya The International Protection of Minority Rights, kelompok marginal biasanya merupakan imigran dan pengungsi yang mendiami suatu wilayah lebih lama dari daerah asalnya. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kelompok marginal berbeda dari yang disebutkan diatas. Kelompok minoritas dibanyak kasus berbeda dari kelompok mayoritas. Perbedaan tersebut terlihat dalam hal ras, budaya atau agama. Sejak tahun 1960, terjadi peningkatan jumlah grup etnis yang menginginkan hak dan pengakuan lebih (Gurr & Harff, hal.2). Pecahnya Uni Soviet dan perubahan kekuasaan dalam sistem negara telah membuka kesempatan bagi kelompok etnis untuk mencapai kepentingan mereka. Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan yang tidak dapat tercapai apabila merela tidak berdiri sendiri sebagai sebuah negara. Selain itu, permasalahan identitas yang dianggap berbeda dari identitas mayoritas disuatu negara juga dapat menjadi pondasi dasar sebuah gerakan grup etnis untuk membentuk negara sendiri. Konsep ini penulis gunakan untuk mempresentasikan sebuah kelompok yang menginginkan autonomi lebih.
2.2.2 Mediasi Mediasi merupakan sebuah tindakan yang dilakukan secara sukarela oleh pihak ketiga yang netral dengan melakukan negoisasi yang terpusat dan terstruktur
13
terhadap pihak
yang bersengketa.
Pihak ketiga
membantu menyelesaikan
permasalahan atau konflik yang terjadi dengan melakukan komunikasi khusus dan teknik-teknik negoisasi. Meskipun mediator menjadi fasilitator dalam mediasi tersebut, kedua belah pihak yang bertikai memiliki kontrol penuh terhadap hasil yang dihasilkan dalam mediasi tersebut (Supreme Court of India, n.d.). Mediasi tidak menjamin dihasilkannya solusi yang sempurna, melainkan menyediakan dasar untuk kelompok yang berkonflik untuk mengidentifikasi, menempatkan dan mendiskusikan isu-isu mereka (Effendi, 2007, hal. 27). Mediasi memiliki beberapa model. Menurut Drews (2008, hal. 44) mediasi memiliki empat model mediasi, yaitu facilitative mediation, settlement mediation, transformative mediation, dan evaluative mediation. Facilitative mediation adalah mediasi yang dilakukan dengan meminta aktor-aktor yang terlibat untuk bernegosiasi berdasarkan kebutuhan dan kepentingan mereka. Settlement mediation adalah mediasi yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan antara aktor-aktor yang terlibat. Transformative mediation adalah mediasi yang dilakukan dengan meminta aktoraktor memahami penyebab konflik diantara mereka untuk memperbaiki hubungan diantara mereka. Evaluative mediation adalah mediasi yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan berdasarkan hak-hak setiap aktor. Mediator dalam melakukan mediasi memiliki beberapa peran. Menurut Mitchell, profesor dari Universitas George Mason dan praktisi dari berbagai daerah konflik, peran tersebut dibagi menjadi tiga bagian: sebelum mediasi, saat mediasi, dan pasca kesepakatan. Penelitian ini hanya menggunakan peran saat terjadinya
14
proses mediasi dikarenakan pada tahun 2009 hingga 2013 mediasi masih dilakukan oleh OSCE Minsk Group. Peran-peran tersebut menurut Micthell (2005, hal. 20), tidak dapat dilakukan sepenuhnya, tetapi seringkali digunakan dalam melakukan mediasi sebuah konflik. Peran-peran tersebut antara lain: 1. Facilitator,
mediator
berperan
sebagai
fasilitator
pertemuan
yang
memungkinkan terjadinya pertukaran visi dan tujuan antara pihak yang berkonflik. 2. Envisioner, mediator berperan menyediakan data baru, teori, ide-ide dan pemikiran baru dalam proses mediasi. 3. Enhancer, mediator berperan menyediakan sumber daya baru untuk membantu dalam mencari solusi terbaik. 4. Guarantor, mediator berperan sebagai penjamin atau memberikan asuransi agar pembicaraan terus berjalan serta mampu memberikan solusi yang tahan lama. 5. Legitimazer, mediator berperan memberikan prestise dan legitimasi terhadap solusi yang telah disepakati bersama. Selain peran-peran tersebut, mediator juga memiliki peran sebagai scapegoat atau kambing hitam yang menurut Fuller dalam Rahmadi (2010, hal. 14) diartikan sebagai pihak yang dipersalahkan dalam proses mediasi apabila pihak-pihak tidak puas terhadap hasil proses mediasi. Kambing hitam atau scapegoating dipahami sebagai strategi untuk meminimalisir perasaan bersalah dan tanggung jawab individu atau kelompok terhadap hasil negatif dengan mentransfer kesalahan tersebut kepada
15
individu atau kelompok lain (Rothschild, Landau, Sullivan, dan Keefer, 2012, hal. 1148). Dengan kata lain peran mediator sebagai scapegoat atau kambing hitam dapat mengurangi kemungkinan pihak-pihak berkonflik saling menyalahkan satu dengan lain dengan menjadikan mediator sebagai pihak yang dipersalahkan. Mediasi juga memiliki beberapa proses dan tahapan. Menurut Smith dan Smock (2008) terdapat enam proses dan tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan sebuah proses mediasi. Proses dan tahapan tersebut antara lain: 1.
Assess the conflict, dalam tahap ini mediator diharapkan mampu memahami konflik yang terjadi, konten dalam konflik dan aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut.
2.
Ensure mediator readiness, dalam tahapan ini mediator menentukan peran yang tepat untuk dilakukan untuk penyelesaian konflik.
3.
Ensure conflict ripeness, dalam tahapan proses mediasi ini mediator memastikan kematangan dari konflik dengan melakukan berbagai hal seperti membantu aktor-aktor konflik memahami cost and benefits dari konflik ini dan meyakinkan mereka untuk melakukan kesepakatan.
4.
Conduct track-I mediation, dalam tahap ini mediator meningkatkan kepercayaan antar pihak dan menggunakan berbagai cara untuk menfasilitasi kesepakatan.
5.
Encourage track-II dialogue, dalam tahap ini mediator fokus pada aktifitas yang dapat meningkatkan kapasitas pihak yang berkonflik untuk berpartisipasi secara efektif dalam meraih perdamaian.
16
6.
Construct a peace agreement, merupakan tahapan akhir proses mediasi untuk mencapai kesepakatan damai. Kesepakatan damai biasanya dimulai dengan membangun sebuah prinsip-prinsip dasar yang biasanya berisi keinginan untuk hidup berdampingan secara damai, perlindungan hak warga sipil, dan saling menghargai. Konsep dan teori terkait mediasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini,
antara lain negosiasi dan mediasi multipartai:
2.2.2.1 Negosiasi Negosiasi dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menyelidiki dan mendamaikan posisi yang bertentangan dalam rangka untuk mencapai hasil yang dapat diterima pihak yang berkonflik (Barston, 1988, hal. 75). Tujuan dari negosiasi adalah untuk mengidentifikasi permasalahan dan kepentingan bersama antara pihak yang berkonflik. Terdapat beberapa klasifikasi dari tujuan negosiasi menurut Ikle dalam Barston (1988, hal. 77), antara lain: extension agreement, normalization of agreement, redistribution of agreement, innovative agreement dan effect not corcerning agreement. Extension of agreement merupakan bentuk negosiasi dengan membawa isu dan konflik menuju upaya perluasan kesepakatan yang berkelanjutan. Perluasan kesepakatan ini tidak lepas dari kesepakatan negosiasi terdahulu yang diperbaharui atau diperpanjang. Normalization of agreement adalah tahap yang dimaksudkan untuk mengakhiri konflik dengan berbagai cara seperti; perjanjian genjatan senjata,
17
traktat perdamaian atau membangun kembali hubungan diplomatik. Redistribution of agreement merupakan tahap ketiga dalam negoisasi. Dalam tahap ini terjadi evaluasi pada status quo dan kesepakatan yang telah dibuat sebelumya. Evaluasi tersebut dilakukan dengan membicarakan kembali kesepakatan lama dengan lebih rinci. Innovative agreement merupakan tahapan pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk membangun berbagai set berbeda terhadap kewajiban dan hubungan diantara mereka dengan memberikan kuasa politik dan hukum kepada lembaga-lembaga nonpemerintah. Tahap yang terakhir dalam negosiasi adalah effect not corcerning agreement. Dalam tahap negosiasi ini salah satu pihak atau lebih berusaha untuk meraih tujuan mereka masing-masing yang tidak berhubungan langsung dalam mencapai perjanjian diantara kedua belah pihak. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan propaganda, meningkatkan informasi mengenai posisi negosiasi dan lainlain. Menurut Ikle dalam Barston (1988, hal. 78), kelima tujuan tersebut tidak selalu dapat menginterpretasikan sebuah negoisasi karna seringkali sebagian pihak memiliki tujuan berbeda meskipun berada dalam negoisasi yang sama. Tujuan negosiasi diatas dapat dijadikan sebagai klasifikasi dasar dalam sebuah negosiasi yang mana dapat juga digunakan sebagai melihat perubahan hubungan antar negara.
2.2.2.2 Mediasi Multipartai Mediasi multipartai adalah kerjasama antara dua mediator atau lebih dalam suatu mediasi (Mason & Kassam, 2011, hal. 69). Mediasi multipartai tidak seperti mediasi tunggal yang hanya menggunakan satu mediator, melainkan gabungan dari
18
beberapa mediator. Gabungan mediator tersebut dapat berupa gabungan mediator antar-negara, gabungan mediator non-negara atau bahkan merupakan gabungan dari keduanya. Mediasi multipartai yang beranggotakan negara biasanya berfungsi dalam menyusun pertemuan formal antara pihak yang bertikai. Mediator negara juga dapat menjadi pihak yang menyediakan sumberdaya untuk membantu mediasi pihak yang bertikai seperti para ahli dan bantuan dana. Konsep mediasi yang sesuai dengan OSCE Minsk Group adalah mediasi multi partai yang beranggotakan negara-negara. Menurut Mason & Kassam (2011, hal. 70) mediasi multipartai memiliki beberapa kelebihan dibandingankan mediator tunggal, salah satunya adalah dapat menyusun pertemuan dengan lebih baik dibandingkan mediator tunggal. Mediator multipartai juga dapat menjadi strategi untuk mengatasi tantangan dalam mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik. Jangkauan dari mediasi multipartai juga lebih luas dibandingkan dengan mediator tunggal. Mason dan Kassam juga menjelaskan bahwa mediasi multipartai yang cenderung lebih diterima oleh pihakpihak yang berkonflik karena memiliki lebih dari satu mediator sehingga dinilai memiliki tingkat kenetralan yang tinggi. Para mediator dalam mediasi multipartai akan sulit untuk memaksakan kehendak dan kepentingannya, sehingga menuntut mereka untuk bertindak secara lebih profesional.