BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyeri 1. Pengertian Nyeri Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenagkan. Sifatnya sangat subjektif karna perasaan nyeri berbeda pada setiap orang baik dalam hal skala ataupun tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan dan mengefakuasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2008). Internasional Association for Study of Pain (IASP), mendefenisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenagkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2005). Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang tidak menyenagkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut dan mual (Judha, 2012).
Universitas Sumatera Utara
2. Sifat Nyeri Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Menurut Mahon (1994), menemukan empat atribut pasti untuk pengalaman nyeri, yaitu: nyeri bersifat individual, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang mendominasi, bersifat tidak berkesudahan (Andarmoyo, 2013, hal.17). Menurut Caffery (1980), nyeri dalah segala sesuatu yang dikatakn seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri. Apabila seseorang merasa nyeri, maka prilakunya akan berubah (Potter, 2006). 3. Teori- Teori Nyeri a. Teori Spesivitas ( Specivicity Theory) Teori Spesivitas ini diperkenalkan oleh Descartes, teori ini menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari resepror-reseptor nyeri yang spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu kepusat nyeri diotak (Andarmoyo, 2013). Teori spesivitas ini tidak menunjukkan karakteristik multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat nyeri secara sederhana yakni paparan biologis tanpa melihat variasi dari efek psikologis individu (Prasetyo, 2010). b.
Teori Pola (Pattern theory) Teori Pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989, teori ini menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang di rangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan akibat dari stimulasi reseprot yang menghasilkan pola dari implus saraf (Andarmoyo, 2013). Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom dan neuralgia, teori pola ini bertujuan untuk
menimbulkan rangsangan yang kuat yang
mengakibatkan berkembangnya gaung secara terus menerus pada spinal cord sehingga saraf trasamisi nyeri bersifat hypersensitif yang mana rangsangan dengan intensitas rendah dapat mengahasilkan trasmisi nyeri (lewis, 1983 dalam Andarmoyo, 2013). c. Teori Pengontrol Nyeri (Theory Gate Control) Teori gate control dari Melzack dan Wall ( 1965) menyatakan bahwa
implus nyeri dapat diatur dan dihambat oleh mekanisme
pertahanan disepanjang sistem saraf pusat, dimana implus nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan implus dihambat saat sebuah pertahanan tertutup (Andarmoyo, 2013). d. Endogenous Opiat Theory Teori
ini
di
kembangkan
oleh
Avron
Goldstein,
ia
mengemukakan bahwa terdapat substansi seperti opiet yang terjadi selama alami didalam tubuh, substansi ini disebut endorphine (Andarmoyo, 2013). Endorphine
mempengaruhi
trasmisi
implus
yang
diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine kemugkinan bertindak sebagai neurotrasmitter maupun neoromodulator yang menghambat trasmisi dari pesan nyeri (Andarmoyo, 2013).
Universitas Sumatera Utara
4. Klasifikasi Nyeri a. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi 1) Nyeri Akut Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013). Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan menghilang tanpa pengobatan setalh area yang rusak pulih kembali (Prasetyo, 2010). 2) Nyeri kronik Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjang suatu priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter &Perry, 2005). b. Klasifikasi Nyeri Berdasrkan Asal 1) Nyeri Nosiseptif Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan respetor khusus yang mengantarkan stimulus naxious (Andarmoyo, 2013). Nyeri nosiseptor ini dapat terjadi karna adanya adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain (Andarmoyo, 2013).
Universitas Sumatera Utara
2) Nyeri neuropatik Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang di dapat pada struktur saraf perifer maupun sentral , nyeri ini lebih sulit diobati (Andarmoyo, 2013). c. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi 1) Supervicial atau kutaneus Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau laserasi. 2) Viseral Dalam Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Nyeri ini bersifat difusi dan dapat menyebar kebeberapa arah. Nyeri ini menimbulkan rasa tidak menyenangkan dan berkaitan dengan mual dan gejala-gejala otonom. Contohnya sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung. 3) Nyeri Alih (Referred pain) Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan
Universitas Sumatera Utara
dapat terasa dengan berbagai karakteristik (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang mengalihkan nyeri ke selangkangan. 4)
Radiasi Nyeri radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Karakteristik nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang kebagian tubuh. Contoh nyeri punggung bagian bawah akibat diskusi interavertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik.
5. Pengukuran Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat sabjektif dan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013). Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mugkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007 dalam Andarmoyo, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa skala intensitas nyeri : a. Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana
(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz) Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS) merupakan alat
pengukuran
tingkat
keparahan
nyeri
yang
lebih
objekti.
Pendeskripsian VDS diranking dari ” tidak nyeri” sampai ”nyeri yang tidak tertahankan”(Andarmoyo, 2013). Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan klien memilih sebuah ketegori untuk mendeskripsikan nyeri (Andarmoyo, 2013). b. Skala Intensitas Nyeri Numerik
(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz.) Skala penilaian numerik (Numerical rating scale, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
Universitas Sumatera Utara
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi (Andarmoyo, 2013). c. Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale
(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz.) Skala analog visual ( Visual Analog Scale) merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya (Andarmoyo, 2013). d. Skala Intensitas Nyeri dari FLACC Skala FLACC merupakan alat pengkajian nyeri yang dapat digunakan pada pasien yang secra non verbal yang tidak dapat melaporkan nyerinya (Judha, 2012). Tabel 1 Skala Intensitas Nyeri dari FLACC Kategori Muka
Kaki Aktivitas
0 Tidak ada ekspresi atau senyuman tertentu, tidak mencari perhatian. Tidak ada posisi atau rileks. Berbaring, posisi normal, mudah bergerak.
Skor 1 Wajah cemberut, dahi mengkerut, menyendiri. Gelisah, resah dan menegang Menggeliat, menaikkan punggung dan maju, menegang.
2 Sering dahi tidak konstan, rahang menegang, dagu gemetar. Menendang
Menekuk, kaku atau menghentak.
Universitas Sumatera Utara
Menangis
Tidak menangis.
Hiburan
Rileks.
Merintih atau merengek, kadangkadang mengeluh. Kadang-kadang hati tentram dengan sentuhan, memeluk, berbicara untuk mengalihkan perhatian.
Menangis keras, sedu sedan, sering mengeluh. Kesulitan untuk menghibur atau kenyamanan.
Total Skor 0-10 Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima dengan menggunakan skala numerik yaitu: 1. 0
: Tidak Nyeri
2. 1-2
: Nyeri Ringan
3. 3-5
: Nyeri Sedang
4. 6-7
: Nyeri Berat
5. 8-10
: Nyeri Yang Tidak Tertahankan (Judha, 2012).
6. Manajemen penatalaksanaan nyeri a. Manajemen NonFarmakologi Manajemen
nyeri
nonfarmakologi
merupakan
tidakan
menurunkan respon nyeri tanpa menggunakan agen farmakolgi. Dalam melakukan intervensi keperawatan/kebidanan, manajemen nonfarmakologi merupakan tindakan dalam mengatasi respon nyeri klien (Sulistyo, 2013). Banyak metode dalam kelas persiapan melahirkan, yang meliputi hypnosis, acupressure, yoga, umpan balik biologis (biofeedback), sentuhan terapeutik (Lindberg, Lawis, 1988; Nichols, Humenick, 1988; Kerschner, Scherck, 1991). Teori aroma, seperti penggunaan teh jamu-jamuan atau uap, dengan memberikan efek yang bermanfaat bagi beberapa wanita (Valnet, 1990;Tesserand, 1990). Dapat juga dengan tehnik Vokalisasi atau
Universitas Sumatera Utara
mendengarkan bunyi-bunyian untuk menurunkan ketegangan, relaksasi dengan menggunakan imajiner (imagenery-assisted relakxation), kompres panas, pijatan di perineum, mandi siram hangat atau mendengarkan musik santai serta cahaya yang tentram (Bobak, 2005). b. Manajemen Farmakologi Manajemen nyeri farmakologi merupakan metode yang mengunakan obat-obatan dalam praktik penanganannya. Cara dan metode ini memerlukan instruksi dari medis. Ada beberapa strategi menggunakan pendekatan farmakologis dengan manajemen nyeri persalinan dengan penggunaan analgesia maupun anastesi. Manajemen
nyeri
persalianan
dengan
penggunaan
analgesia
merupakan penggunaan atau penghilangan sensasi nyeri (Anderson, 1994, dalam Mander, 2003), penghilangan sensasi nyeri ini tanpa disertai dengan hilangnya perasaan total sehingga seseorang yang mengkonsumsi analgesik tetap ada dalam keadaan sadar. Manajemen nyeri persalinan dengan pengunaan anastesia merupakan menghilangkan sensasi normal (Anderson, 1994, dalam Mander, 2003), yang di capai dengan memberikan obat-obatan anastesi baik secara regional maupun umum (Sulistyo, 2013). B. Nyeri Persalinan 1. Pengertian Nyeri persalinan Rasa nyeri pada persalinan adalah manifestasi dari adanya kontraksi (pemendekan) otot rahim. Kontraksi inilah yang menimbulkan rasa sakit pada pinggang, daerah perut dan menjalar kearah paha. Kontraksi ini menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
adanya pembukaan mulut rahim (serviks). Dengan adanya pembukaan servik inilah akan menjadi persalinan. Rasa nyeri yang dialami selama persalinan bersifat unik pada setiap ibu (Perry & B0bak, 2004 dalam Andarmoyo, 2013). Pendapat Mahdi, A (2009) dalam Maryunani, (2010) yang menjelaskan bahwa nyeri pada kala 1 terutama ditimbulkan oleh stimulus
yang
dihantarkan melalui saraf pada leher rahim (serviks) dan rahim/uterus bagian bawah. Nyeri ini merupakan nyeri viseral yang berasal dari kontraksi uterus dan aneksa. Intensitas nyeri berhubungan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan. Nyeri akan bertambah dengan adanya kontraksi isometrik pada iterus yang melawan hambatan oleh leher rahim/uterus dan perineum. Kontraksi uterus yang kuat merupakan sumber nyeri yang kuat/berat. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri Persalinan a. Faktor Internal 1) Pengalaman dan pengetahuan tentang nyeri Pengalaman sebelumnya seperti persalinan terdahulu akan membantu mengatasi nyeri, karna ibu telah memiliki koping terhadap nyeri. Ibu primipara dan multipara kemugkinan akan merespon secara berbeda terhadap nyeri walaupun mengahadapi kondisi yang sama, yaitu persalinan. Hal ini disebabkan ibu multipara telah telah memiliki pengalaman pada persalinan sebelumnya (Andarmoyo, 2013) 2) Usia Usia muda cenderung dikaitkan dengan kondisi psikologi yang masih labil, yang memicu terjadinya kecemasan sehingga nyeri yang dirasakan menjadi lebih berat. Usia juga dipakai sebagai salah satu
Universitas Sumatera Utara
faktor dalam menentukan toleransi terhadap nyeri. Toleransi akan menigkatkan seiring bertambahnya usia dan pemahaman terhadap nyeri (Andarmoyo, 2013). 3) Aktivitas fisik Aktivitas ringan bermanfaat mengalihkan perhatian dan mengurangi rasa sakit menjelang persalinan, selama ibu tidak melakukan latihanlatihan yang terlalu keras dan berat, serta menimbulkan keletihan pada wanita karena hal ini justru akan memicu nyeri lebih berat (Andarmoyo, 2013). b. Faktor Eksternal 1) Agama Semakin kuat kualitas keimanan seseorang, mekanisme pertahanan tubuh terhadap nyeri semakin membaik karena berkaitan dengan kondisi psikologi yang relative stabil (Andarmoyo, 2013). 2) Lingkungan fisik Lingkungan yang terlalu ekstern, seperti perubahan cuaca, panas, dingin, ramai, bising, memicu stimulus terhadap tubuh yang memicu terjadinya nyeri (Andarmoyo, 2013). 3) Budaya Budaya tertentu akan memengaruhi respon seseorang terhadap nyeri. Ada budaya yang mengekspresikan rasa nyeri secara bebas dan ada pula yang menganggap nyeri adalah sesuatu yang tidak perlu diekspresikan secara berlebihan (Andarmoyo, 2013).
Universitas Sumatera Utara
4) Sosial ekonomi Tersedianya sarana dan lingkungan yang baik dapat membantu mengatasi rangsangan nyeri yang dialami. Sering status ekonomi mengikuti keadaan nyeri persalinan. Keadaan ekonomi yang rendah, pendidikan yang rendah dan sarana kesehatan yang memadai akan menimbulkan ibu kurang mengetahui bagaimana mengatasi nyeri yang dialaminya dan masalah ekonomi yang berkaitan dengan biaya persalinan sehingga menimbulkan kecemasan tersendiri dalam menghadapi persalinan (Andarmoyo, 2013). 5) Komunikasi Komunikasi tentang penyampaian informasi yang berkaitan dengan hal-hal seputar nyeri persalinan, bagaimana mekanismenya, apa penyebabnya, cara mengatasi. Komunikasi yang kurang akan menyebabkan ibu dan keluarga tidak tahu bagaimana yang harus dilakukan juka mengalami nyeri saat persalinan (Andarmoyo, 2013). 3. Penyebab Nyeri Persalinan Menurut Khasanah, (2005), Rasa nyeri saat persalinan merupakan hal yang normal terjadi yang meliputi : a. Faktor Fisiologis Faktor fisiologis yang di maksud adalah kontraksi. Gerakan otot atau kontraksi ini menimbulkan rasa nyeri karna saat itu otot-otot rahim memanjang dan kemudian memendek. Serviks juga akan melunak, menipis, dan mendatar, kemudian tertarik. Saat itulah kepala janin
Universitas Sumatera Utara
menekan mulut rahim dan kemudian membukanya. Jadi, kontraksi ini merupakan upaya membuka jalan lahir. Intensitas nyeri dari awal pembukaan sampai pembukaan 10 akan bertambah tinggi dan tekanan bayi terhadap struktur panggul diikuti regangan bahkan perobekan jalan lahir bagaian bawah. Semakin lama, intensistas dan frekwensi nyeri semakin sering maka semakin mendekati proses persaliannya. b. Faktor Psikologis Rasa takut dan cemas yang berlebihan akan mempengaruhi rasa nyeri. Setiap ibu memiliki persi tersendiri tentang nyeri persalinan dan melahirkan. Ada yang merasa tidak sakit hanya perutnya yang tersa kencang. Ada pula yang merasa tidak tahan mengalami rasa nyeri. Beragam respon tersebut merupakan suatu mekanisme proteksi dari rasa nyeri yang di rasakan. 4. Mekanisme Nyeri Persalinan Mekanisme nyeri persalinan menurut Muhiman (1996), sebagai berikut : a. Membukanya mulut rahim Nyeri pada kala pembukaan
disebabkan oleh membukanya mulut
rahim, misalnya perengangan otot polos merupakan rangsangan yang cukup menimbulkan nyeri, terdapat hubungan erat antara besar pembukaan mulut rahimdengan intensitas nyeri (makin mebuka makin nyeri), dan diantara timbulnya rasa nyeri dengan timbulnya kontraksi
Universitas Sumatera Utara
rahim (rasa nyeri terasa ± 15-30 detik setelah mulainya kontraksi) (Muhuman, 1996 dalam Sulistyo, 2013). b. Kontraksi dan peregangan rahim rangsangan nyeri disebabkan oleh tertekannya ujung saraf sewaktu rahim berkontraksi dan teregangnya bagian bawah (Muhuman, 1996 dalam Sulistyo, 2013). c. Kontraksi mulut rahim teori ini kurang dapat terima, oleh karena jaringan mulut rahim hanya sedikit mengandung jaringan otot (Muhuman , 1996 dalam Sulistyo, 2013). d. Peregangan jalan lahir bagian bawah perengan jalan lahir oleh kepala janin pada akhir kala pembukaan dan selam kala I pengeluaran menimbulkan rasa nyeri paling hebat dalam proses persalinan (Muhuman, 1996 dalam Sulistyo, 2013). 5. Fisiologi Nyeri Persalinan Kala I Menurut Mahdi, A (2009) dalam Maryunani, (2010), menjelaskan bahwa fisiologi terjadinya nyeri persalinan: Nyeri pada kala 1 di timbulkan oleh stimulus yang di hantarkan melalui saraf pada leher rahim (serviks) dan rahim/uterus bagian bawah. Nyeri ini merupakan Nyeri viseral yang berasal dari kontraksi uterus dan aneksa. Intensitas nyeri berhubungan dengan kekuatan kontraksi isometrik pada uterus yang melawan hambatan oleh leher rahim/uterus dan perineum. Apabila serviks uteri/leher rahim dilatasi sangat lambat atau bilamana posisi fetus (jsnin) abnormal maka dapat menimbulkkan distosia sehingga menimbulkan kontraksi yang kuat dan nyeri yang hebat, hal ini karna uterus berkontraksi isometrik melawan
Universitas Sumatera Utara
obstruksi. Kontraksi uterus yang kuat merupakan sumber nyeri yang kuat (Sulistyo, 2013). 6. Mengatasi Nyeri Secara Nonfarmakologi Berbagai upaya yang dilakukan untuk menurunkan nyeri pada persalinan, baik secara farmakologi maupun nonfarmakologi. Memang, metode pengelolaan nyeri persalinan secara farmakologis lebih efektif dibandingkan dengan nonfarmakologis namun metode farmakologis lebih mahal dan berpotensi mempunyai efek yang kurang baik bagi ibu maupun janin. Sedangkan nonfarmakologis bersifat murah, simpel, efektif, tanpa efek yang merugikan dan dapat meningkatkan kepuasan selama persalinan karena ibu dapat mengontrol perasaannya dan kekuatannya. Beberapa metode nonfarmakologi yaitu teknik relaksasi dan teknik pernapasan dalam persalinan (Maryunani, 2010). Menurut Melzack (1991), metode penggurangan rasa nyeri pada saat persalinan memfokuskan pada area pemberian informasi (untuk mengurangi kecemasan), latihan relaksasi (untuk mengurangi ketegangan), strategi koping (untuk memberikan distraksi), latihan pernapasan (untuk mempermudah relaksasi dan distraksi) (Mander, 2003). C. Manajemen Koping 1. Pengertian Mekanisme Koping Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam. Upaya individu dalam menyelesaikan masalah dapat berupa
Universitas Sumatera Utara
perubahan cara berfikir (kognitif), perubahan prilaku atau perubahan lingkungan yang bertujuan untuk menyelesaikan stres yang dihadapi (Keliat, 1999). Koping dapat didefenisikan melelui respon, menifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek baik fisiologi dan psikologi sosial (Keliat, 1999). Dalam kehidupan sehari-hari, individu menghadapi pengalaman yang menganggu ekuilibrium kognitif dan afektifnya. Individu dapat mengalami perubahan hubungan dengan orang lain dengan harapnnya terhadap diri sendiri dengan cara negatif. Munculnya ketergantungan dalam kehidupan mengakibatkan prilaku pemecahan masalah (Mekanisme koping) yang bertujuan untuk meredakan ketegangan tersebut (Suliswati, 2005). 2. Karakteristi mekanisme koping a.
Koping jangka pendek Karakteristik koping jangka pendek
1)
Aktifitas yang dapat memberikan kesempatan lari sementara dari krisis. Misalnya, menonton televisi, kerja keras, olahraga berat (Suliswati, 2005).
2)
Aktifitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara, misalnya ikut kegiatan sosial, politikn, agama (Suliswati, 2005).
3)
Aktifitas yang memberi kekuatan atau dukungan sementara terhadap konsep diri misalnya aktifitas yang berkopetensi yaitu pencapaian akademik atau olahraga (Suliswati, 2005).
Universitas Sumatera Utara
4)
Aktifitas yang mewakili jarak pendek untuk membuat masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan, misalnya penyalahgunaan zat (Suliswati, 2005).
b.
Jangka Panjang
1)
Penutupan identitas merupakan adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang yang penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi dan potensi individu
2)
Identitas negatif merupakan asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai-nilai dan harapan masyarakat.
3. Sumber Mekanisme Koping Menurut Folkman dan Lazarus, 1989 dalam Yundahari, 2007 mengidentifikasi ada 6 sumber koping yang dapat membantu individu beradaptasi dengan stesor. a. Kesehatan Fisik Kesehatan merupakan sumber koping yang paling besar, karna seseorang yang menderita sakit akan mengurangi energi atau untuk menghasilkan koping dari orang yg sehat. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting karna dalam usaha mengatasi stres setiap individu dituntut mendarahkan tenaga yang cukup besar (Muhtadin, 2002 dalam Yundahari, 2007). b. Keyakinan Atau Pandangan Yang Positif Keyakinan merupakan sumber koping psikososial yang merupakan dasar dari pengharapan dan merupakan sumber kekuatan untuk
Universitas Sumatera Utara
bergikir lebih baik dan menghasilkan ide-ide yang cemerlang. Keyakinan individu dihubungkan dengan semua aspek kehidupan termasuk kesehatan dan penyakit (Potter & Perry, 1993 dalam Yundahari, 2007). Ketika tubuh sakit emosi berada diluar kontrol, keyakinan atau sifat ini menjadi sebuah sumber kekuatan untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi yang dialaminya (Perry & Potter, 1983 dalam Yundahari, 2007). c. Keterampilan Dan Pemecahan Masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi untuk menganalisis situasi, mengidentifikasi masalah dan tujuan untuk
mengahasilkan
alternatif
tindakan,
kemudian
mempertimbagkan alternatif tersebut sampai dengan hasil yang diinginkan tercapai, dan pada akhirnya melaksanankan rencana dengan melakukan sesuatu tindakan yang tepat. Perencanaan penyelesaian masalah merupakan salah satu respon koping yang di gunakan oleh wanita (Schmidt, 2006 dalam Yundahari, 2007). d. Dukungan Sosial Dukungan ini meliputi dukungan kebutuhan informasi emosional pada diri individu yang diberikan
dan
oleh orang tua,
anggota keluarga, saudara, teman dan lingkungan masyarakat (Kuntjoro, 2002 dalam Yundahari, 2007).
Universitas Sumatera Utara
e. Sumber materi Meliputi sumberdaya berupa uang, barang-barang membantu pekerjaan sehari-hari menjaga anak, menyelesaikan pesan, menyediakan trasfortasi, memberikan hadiah atau layanan yang biasanya dapat dibeli oleh individu untuk mengatasi masalah dan memecahkan masalah (Custrono, 1994 dalam Yundahari, 2007). 4. Klasifikasi Mekanisme Koping a. Mekanisme Koping Adaptif Penggunaan
koping
yang
adaptif
membantu
individu
dalam
beradaptasi untuk menghadapi keseimbagan. Mekanisme koping adaptif merupakan mekanisme yang mendukung fungsi intergarasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan (Suryani & Widyasih, 2008). Kompromi merupakan tindakan adaptif untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Mekanisme koping adaptif yang lain adalah berbicara dengan orang lain tentang masalah yang di hadapi, berdoa, melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk menguasai situasi, dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil, mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu (Suryani & Widyasih, 2008). Kriteria mekanisme koping adaptif 1)
Masih mampu mengontrol emosi dan dirinya.
2)
Memiliki kewaspadaan yang tinggi, lebih perhataian pada
masalah.
Universitas Sumatera Utara
3)
Dapat menerima dukungan dari orang lain. Mekanisme koping adaptif merupakan mekanisme yang
mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan belajar untuk mencapai tujuan seperti memecahkan masalah secara efektif, tehnik relaksasi, latihan yang seimbang, dan aktifitas konstruktif (kecemasan yang di anggap sebagai sinyal peringatan dan individu menerima kecemasan itu untuk di terima sebagai tantangan). b. Mekanisme Koping Maladaktif Mekanisme
koping
maladaptif
adalah
mekanisme
yang
menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan cendrung menguasai lingkungan (Stuart & Sundeen, 1995). Penggunaan
mekanisme
koping
yang
maladaptif
dapat
menimbulkan respon negatif dengan munculnya reaksi mekanisme pertahanan tubuh dan mekanisme verbal. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan. Prilaku mekanisme koping maladaptif antara lain adalah Prilaku agresi atau menyerang terhadap sasaran suatu objek dapat berupa benda, barang atau orang lain atau bahkan terhadap dirinya sendiri dan prilaku menarik diri, dimana prilaku yang menunjukkan pengasingan dari lingkungan dan orang lain. Karakteristik mekanisme koping maladaptif : 1) Tidak mampu berfikir apa-apa atau disorientasi, 2) Tidak mampu menyelesaikan masalah.
Universitas Sumatera Utara
3) Prilaku cendrung merusak. Mekanisme koping maladaptif merupakan
mekanisme yang
menghambat fungsi integrasi dan cendrung menguasai lingkungan. 5. Komponen Dalam Mekanisme Koping a. Peningkatan kesadaran terhadap masalah : fokus objektif yang jelas dan presfektif yang utuh terhadap situasi yang tengah berlangsung (Rasmun, 2001). b. Pengolahan informasi : Suatu pendekatan yang mengharuskan anda mengalihkan persepsi sehingga ancaman dapat di redam. Pengolahan informasi juga meliputi pengumpulan informasi dan pengkajian semua sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah (Rasmun, 2001). c. Perubahan prilaku : tindakan yang di pilih secara sadar yang di lakukan bersama sikap yang positif, dapat meringankan meminimalkan atau menghilangkan stesor (Rasmun, 2001). d. Resolusi damai : suatu perasaan bahwa situasi telah berhasil diatasi. 6. Bentuk- bentuk Strategi Coping Lazarus dan Folkman ( 1984) mengklasifikasikan strategi coping yang digunakan menjadi dua, yaitu : a. Problem focused coping (PFC) Problem focused coping (PFC) yaitu usaha mengatasi stress dengan cara mengatur atau mengubah masah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping ditunjukan dengan mengurangi tuntutan dari situasi yang
penuh
dengan
stress
atau
memperluas
sumber
untuk
Universitas Sumatera Utara
mengatasinya. Seseorang cendrung menggunakan metode Problem focused coping apabila mereka percaya bahwa sumber dari situasinya dapat diubah. Strategi
yang dapat dipakai dalam Problem focused
coping antara lain sebagai berikut (Nasir, 2011). 1) Countiousness (kehati-hatian) individu berfikir dan mampu mempertimbangkan mengevaluasi
beberapa
strategi-strategi
pemecahan yang
masalah
pernah
serta
dilakukan
sebelumnya atau meminta pendapat orang lain. 2)
Instrumental action yaitu usaha- usaha langsung individu dalam menemukan soluisi permasalahannya serta menyusun langkahlangkah yang akan dilakukan.
3)
Negosiasi : merupakan salah satu tehnik dalam PFC yang diarahkan langsung kepada orang lain atau mengubah pikiran orang lain demi mendapatkan hal yang positif dari situasi yang problematik tersebut.
4)
Confrontative coping : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.
5)
Seeking social support : usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain .
6)
Planful problem solving : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menakan dengan cara yang bertahap dan analitis.
Universitas Sumatera Utara
b. Emotion focused coping Emotion focused coping, yaitu usaha mengatsi stress dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotional focused coping ditunjukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stress. Seseorang dapat mengatur respon emosionalnya melalui pendekatan perilaku dan kognitif. Strategi yang digunakan dalam emotional focused coping antara lain sebagai berikut. 1) Self-control : usaha mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan. 2) Distancing
: usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan,
seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa- apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon. 3) Positive reappraisal : usaha mencarik makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga mengakibatkan hal-hal yang bersifat religus. 4) Accepting responsibility : usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. 5) Escape / avoidance : usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan
Universitas Sumatera Utara
beralih pada hal lain seperti makanan,minuman, merokok, ataupun menggunakan obat- obatan. Individu cendrung untuk menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut mereka dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotionfocused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol (Lazarus dan Flokman,1984 dalam Nasir, 2011). Terkadang individu dapat menguunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namaun tidak semua streategi koping pasti di gunakan setiap individu (Taylor, 1991 dalam Nasir, 2011). 7. Faktor- faktor yang mempengaruhi strategi coping Menurut pendapat pendapat McCrae( 1984) dalam jurnal yang di buat oleh Wyllistik noerma sijingga (2010)
menyatakan bahwa perilaku
menghadapi tekanan adalah suatu proses yang dinamis ketika individu bebas menentukan bentuk perilaku yang sesuai dengan keadaan diri dan pemahaman terhadap masalah yang dihadapi. Hal ini member pengertian bahwa ada faktorfaktor yang mempengaruhi sehingga individu menentukan bentuk perilaku tertentu. Faktor- faktor tersebut adalah : a. Kepribadian Carver, dkk ( 1989) dalam jurnal Wyllistik noerma sijingga (2010) menyatakan bahwa
mengkarateristik kepribadian berdasarkan tipenya.
Tipe A dengan cirri-ciri ambisius, kritis terhadap diri sendiri, tidak sabran, melakukan pekerjaan yang berbeda dalam waktu yang sama, mudah marah dan agresif, akan cendrung menggunakan stategi coping yang berorientasi
Universitas Sumatera Utara
emosi (EFC). Sebaliknya seseorang yang berkepribadian tipe B, dengan cirri- cirri suka rileks, tidak terburu-buru, tidak mudah terpancing untuk marah, berbicarabdan bersikap dengan tenang, serta lebih suka untuk memperluas pengalaman hidup, cendrung menggunakan stategi coping yang berorientasi pada masalah ( PFC) b. Jenis Kelamin Menurut penelitian yang dilakukan foklman dan Lazarus ( 1985 ) dalam jurnal
ditemukan bahwa laki- laki dan perempuan sama-sama
menggunakan kedua bentuk Wyllistik noerma sijingga (2010) mnyatakan bahwa coping yaitu EFCdan PEC. Namun menurut pendapat Billings dan Moos (1984) wanita lebih cendrung berorientasi pada emosi sedangkan pria lebih beririentasi pada tugas dalam mengatasi masalah, sehingga wanita diprediksi akan lebih sering menggunakan EFC. c. Tingkat Pendidikan Menurut Flokman dan Lazarus ( 1985) dalam jurnal Wyllistik noerma sijingga (2010). dalam penelitianya menyimpulkan bahwa subjek dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cendrung menggunakan PFC dalam mengatasi
masalah mereka. Seseorang yang semakin tinggi
pendidikan yang semakin tinggi akan semakin tinggi pula kompleksitas kognitifnya, demikian pula sebaliknya, hal ini memiliki efek besar terhadap sikap,konsepsi caraberfikir dan tingkah laku individu yang selanjutnya berpengaruh kepada terhadap strategi copingnya. d. Konteks lingkungan dan sumber individual
Universitas Sumatera Utara
Foklman dan Lazarus (1985) dalam jurnal Wyllistik noerma sijingga
(2010)
yaitu
sumber-sumber
individu
seseorang:
pengalaman,persepsi,kemampuan intelektual, kesehatan, kepribadian, pendidikan, dan situasi yang dihadapi sangat menentukan proses penerimaan suatu stimulus yang kemudian dapat dirasakan sebagai tekanan atauancaman. e. Status sosial Menurut Westbook( dalam Billing dan Moss,1984) dalam jurnal Wyllistik noerma sijingga (2010) . seseorang dengan situasi ekonomi rendah akan menanpilkan coping yang kurang aktif, kurang realistis, dan lebih fatal atau menempilkan respon menolak, dibandingkan dengan seseorang yang status ekonominya lebih tinggi. D. Hubungan Mekanisme Koping Dengan Nyeri Persalinan Kala 1 Fase Aktif Fase aktif dimulai dengan kontraksi yang teratur . Ibu-ibu dalam fase ini yang mengalami peningkatan kemampuan untuk berkoping terhadap nyeri yang tidak tertahankan/berat (Maryunani, 2010). Ketika ibu memasuki kala 1 fase aktif, kecemasan ibu cendrung menigkat seiring dengan ibu merasakan kontraksi dan nyeri yang semakin hebat. Ibu mulai takut kehilangan kendali dan melakukan berbagai macam mekanisme koping. Beberapa ibu menunjukkan perubahan kemampuannya untuk berkoping (Maryunani,2010).
Universitas Sumatera Utara
Respon fisiologis terhadap nyeri berhubungan dengan respon prilaku yang dapat diamati misalnya vokalisasi (suara mengerang, merintih atau menjerit), gerakan tubuh/imobilisasi (menghindari gerak yg berlebihan, kegelisahan, berjalan untuk mengurangi nyeri, berbaring) (Andarmoyo, 2013).
Universitas Sumatera Utara