BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pajak 1. Definisi Pajak Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, di Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa pengertian pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan
untuk
keperluan
negara
bagi
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pajak (R. Santoso Brotodiharjo dalam Sukardji 2006) adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh orang yang wajib membayarnya menurut peratran-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan
dengan
tugas
negara
yang
menyelenggarakan
pemerintahan. Pajak (Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo 2009) adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapt dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dengan definisi yang diungkapkan diatas Soemitro
15
16
(2003)
menyimpulkan
bahwa
pajak
memiliki
4
unsur
yang
membentuknya, yaitu: a. Iuran dari rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak adalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). b. Berdasarkan undang-undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kntraprestasi individual oleh pemerintah. d. Digunakan
untuk
membiayai
rumah
tangga
negara,
yakni
pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 2. Fungsi Pajak Fungsi pajak menurut Mardiasmo (2009) ada dua fungsi dari pajak, yaitu : a.
Fungsi budgetair Pajak sebagai sumbe dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
b.
Fungsi mengatur (regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi.
17
3. Sistem Perpajakan
Terdapat tiga unsur pokok pemungutan pajak yang harus saling terkait satu sama lainnya. Kesuksesan administrasi perpajakan tegantung pada keharmonisan ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut adalah:
a. Kebijakan Pemerintah Kebijakan perpajakan merupakan pemilihan unsur-unsur dari berbagai alternatif perpajakan yang tersedia terhadap tujuan yang akan dicapai. Pemilihan unsur-unsur tersebut berhubungan dengan siapa yang akan dikenakan pajak (subjek pajak), apa yang akan dikenakan paja (objek pajak), cara perhitungan dan prosedur pajak. b. Undang-Undang Pajak Dari berbagai kebijakan perpajakan tersebut diatas untuk dapat membrikan kepastian hukum tentang pemungutan pajak dan peraturan pelaksanaaannya. Undang-undang yang baik harus mudah dimengerti dan mudah dipahami sehingga tidak menyusahkan pembuat dan pemakai undang-undang itu sendiri c. Administrasi Perpajakan Administrasi pajak merupakan instrument untuk mengoperasionalkan kebijakan pemerintah dan hukum perpajakan yang berlaku. Administrasi pajak merupakan kunci bagi berhasilnya kebijakan perpajakan.
18
4. Jenis Pajak Dalam penjelasan berbagai pendapat terdapat perbedaan atau penggolongan pajak serta jenis-jenis pajak. Perbedaan pembagian atau penggolongan tersebut didasarkan pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak. Apakah beban pajak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, siapa yang memungut, serta sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan. Berikut ini adalah pembagian jenis pajak berdasarkan kriteria diatas menurut Pudyatmoko (2006): a. Menurut Golongan 1) Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan, misalnya PPh (Pajak Penghasilan). 2) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan
kepada
pihak
lain,
misalnya
PPN
(Pajak
Pertambahan Nilai). b. Menurut Sifatnya 1) Pajak subjektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada subjeknya, yang
selanjutnya
dicari
syarat
objektifnya,
dalam
arti
memerhatikan keadaan diri wajib pajak, misalnya PPh. 2) Pajak Objektif, yaitu pajak yang didasarkan pada objeknya tanpa memerhatikan keadaan diri wajib pajak, misalnya PPN dan PPn BM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)
19
c. Menurut Pemungutnya 1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara. Contohnya adalah PPh, PPN dan PPn BM, serta Bea Materai. 2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah dalam daerah dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Daerah. Contohnya adalah Pajak Reklame serta Pajak Hotel dan Restoran d. Pengelompokan Pajak Munawir (2007) 1) Pajak Langsung, yaitu pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan, tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain, atau menurut pengertian administratif pajak yang dikenakan secara periodik/berkala dengan menggunakan surat ketetapan pajak. 2) Pajak tidak langsung yaitu pajak yang oleh si penanggung dapat dilimpahkan kepada orang lain, atau menurut pengertian administratif pajak yang dapat dipungut tidak dengan surat ketetapan pajak dan penggunaannya tidak secara langsung periodik tergantung ada tidaknya peristiwa atau hal yang menyebabkan dikenakannya pajak, misalnya pajak penjualan, pajak pertambahan Nilai Barang atau Jasa.
20
B. Pajak Penghasilan 1. Definisi Pajak Penghasilan Menurut Undang-undang Republik Indonesia Tahun 2008 pasal 4 ayat 1, “Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”
2. Definisi Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak penghasilan adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud daalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan (Mardiasmo 2009)
3. Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 1 tentang pajak penghasilan, yang menjadi objek pajak adalah peghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajb pajak, baik yang berasal dari Indonesia, yang dapat
21
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: a.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;
b.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c.
Laba usaha;
d.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1) Keuntungan
karena
pengalihan
harta
kepada
perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2) Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3) Keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan,
22
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan; dan 5) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; e.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g.
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h.
Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k.
Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l.
Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
23
n.
Premi asuransi;
o.
Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p.
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q.
Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s.
Surplus Bank Indonesia.
4. Penghasilan yang Dapat Dikenai Pajak Bersifat Final: a.
Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b.
Penghasilan berupa hadiah undian;
c.
Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; d.
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
24
e.
Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
f.
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: 1) a) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya
diatur
dengan
atau
berdasarkan
Peraturan
Pemerintah; dan b) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus
satu
derajat,
badan
keagamaan,
badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; 2) Warisan;
25
3) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; 5) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; 6) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b) Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
26
c) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; d) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; e) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan,
firma,
dan
kongsi,
termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; f) Dihapus; g) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: (1) Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan (2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; (3) Beasiswa
yang
memenuhi
persyaratan
tertentu
yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
27
(4) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan (5) Bantuan
atau
santunan
yang
dibayarkan
oleh
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Biaya yang Boleh dikurangkan dari Penghasilan Bruto Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan,
menagih,
dan
memelihara
penghasilan, termasuk (Undang-Undang No.36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat 1): a.
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: Biaya pembelian bahan;
28
b.
Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 1) Bunga, sewa, dan royalti; 2) Biaya perjalanan; 3) Biaya pengolahan limbah; 4) Premi asuransi; 5) Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 6) Biaya administrasi; dan 7) Pajak kecuali Pajak Penghasilan.
c.
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
d.
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
e.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
f.
Kerugian selisih mata uang asing;
g.
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
29
h.
Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
i.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: 1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 2) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; 3) Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang
tak
tertagih
debitur
kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 4) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. j.
Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
30
k.
Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
l.
Sumbangan
fasilitas
pendidikan
yang
ketentuannya
diatur
dengan Peraturan Pemerintah; m. Sumbangan
dalam
rangka
pembinaaan
olahraga
yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6. Objek Pajak PPh 21 Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per31/PJ/2012 Bab 4 Pasal 5 penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah: a. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah: 1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa Penghasilan yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur; 2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; 3) Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
jangka
waktu
2
31
4) Penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan; 5) Imbalan
kepada
Bukan
Pegawai,
antara
lain
berupa
honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan; 6) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang
rapat,
honorarium,
hadiah
atau
penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun; 7) Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama; 8) Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau 9) Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
32
b. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh: 1) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Panghasilan yang bersifat final; atau 2) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
C. Manajemen Pajak dan Perencanaan Pajak Zain (2007) manajemen pajak sebagian sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memeroleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Secara Umum, tax planning merupakan bagian dari fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri dari: planning, implementation, dan control. Apabila dihubungkan dengan fungsi-fungsi spesifik manajemen, tax planning (perencanaan perpajakan) termasuk ke dalam salah satu fungsifungsi spesifik manajemen, yaitu fungsi planning dalam menetapkan proses perencanaan penyusunan strategi penghematan pajak, manajer terlebih dahulu harus memikirkan dengan matang sasaran dan tindakan yang didasarkan pada ketentuan peraturan perpajakan, sehingga manajer dapat memenuhi kewajiban perpajakan perusahaan secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
33
Perusahaan perlu melakukan perencanaan pajak secara baik dan benar, agar perusahaan dapat menggunakan sumber daya dengan optimal. Sehingga perusahaan tidak melakukan pemborosan yang mengakibatkan perusahaan melemah dan pada akhirnya tidak dapat bersaing dengan kompetitornya. Suatu
perencanaan
pajak
yang
tepat
merupakan
hasil
dari
tindakan penghematan atau tax saving dan penghindaran pajak atau tax avoidance. Zain (2007) mengidentifikasi pajak dengan perencanaan pajak dan mendefinisikan sebagai berikut. Perencanaan pajak adalah tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajak, yang ditekankan pada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya.
Tujuannya
adalah
bagaimana pengendalian
tersebut
dapat
mengefisiensi jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion) yang merupakan tindak pidana fiskal yang tidak akan ditoleransi. Pengertian tersebut terlihat bahwa perencanaan pajak melalui penghindaran pajak
merupakan
satu-satunya
cara legal
yang dapat
ditempuh oleh wajib pajak dalam rangka mengefisienkan pembayaran pajak. Ide dasarnya adalah usaha mengatur lebih dahulu semua aktivitas perusahaan guna menghindarkan dampak perpajakan sebanyak mungkin, atau dengan kata lain peluang untuk perencanaan pajak terdapat
lebih
besar
kemungkinannya
apabila
yang hal
efektif tersebut
dipertimbangkan sebelum transaksi tersebut dilaksanakan, dibandingkan
34
dengan apabila pertimbangannya dilakukan setelah transaksi. Dalam hal ini tentunya sangat tergantung kepada para manajer, sampai sejauh mana para manajer tersebut mewaspadai secara konstan alternatif-alternatif penghematan pajak pada setiap tindakan yang akan diambilnya. Dapat disimpulkan bahwa suatu perencanaan pajak yang efektif tidak tergantung kepada seorang ahli pajak yang profesional, akan tetapi sangat tergantung kepada kesadaran dan keterlibatan para pengambil keputusan akan adanya dampak pajak yang melekat pada setiap aktivitas perusahaannya. Perencanaan pajak berfungsi untuk mengestimasi jumlah pajak di
masa yang akan datang yang dibayar secara formal maupun
material, dan melakukan efisiensi pajak tidak semata-mata dengan menghindari pajak, tetapi juga menghindari sanksi-sanksi atas kesalahan dan kelalaian atas pelaksanaan kewajiban pajak. Fungsi pelaksanaan pajak dilakukan dengan melaksanakan hasil perencanaan pajak baik dari aspek formal maupun material sebaik mungkin. Agar perencanaan pajak dapat berjalan sesuai dengan tujuan menurut
Suandy (2008) diperlukan tahapan-tahapan terencana sebagai
berikut: a. Menganalisis informasi yang ada Pada tahap ini perencanaan pajak harus menganalisis dan melakukan pertimbangan terhadap semua aspek
yang
Pertimbangan
mungkin ini
terlibat
meliputi
segala
dalam perencanaan
pajak.
kemungkinan keberhasilan
35
maupun kegagalan dalam pelaksanaan perencanaan pajak. Faktorfaktor yang perlu diperhatikan antara lain: 1) Fakta yang relevan. Dalam era globalisasi serta tingkat persaingan yang semakin ketat maka seseorang manajer pajak dalam merencanakan pajak untuk suatu organisasi dituntut harus benar-benar
menguasai situasi
yang
dihadapi
baik
dari
internal maupun eksternal dan selalu mengamati perubahan yang terjadi agar perencanaan pajak dapat dilakukan secara tepat, menyeluruh terhadap transaksi yang memiliki dampak perpajakan. 2) Faktor
pajak.
Dalam
melakukan
pembuatan
perencanaan
pajak perlu diperhatikan faktor-faktor pajak dari suatu negara untuk menjamin berhasilnya suatu perencanaan pajak.Membuat satu model atau lebih rencana pajak. Model
perencanaan
diperlukan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai perhitungan perencanaan pajak. Sebaiknya model dibuatkan lebih dari satu agar dapat dibandingkan dan lebih dapat terukur keuntungan dan kerugiannya, sehingga perencana pajak dapat memilih alternatif-alternaitf yang tersedia. b. Evaluasi Perencanaan Pajak Mengevaluasi dengan analisis keuangan suatu perencanaan pajak misalnya bagaimana
perencanaan
pajak
memengaruhi
beban
36
pajak,
laba
kotor atau pengeluaran lain jika alternatif-alternatif
dipilih atau dijalankan. c. Mencari Kelemahan dan Melakukan Perbaikan Kembali Dari berbagai alternatif yang telah dibuat, perencana pajak harus melihat potensi kerugian atau potensi keuntungan yang akan diperoleh. Keputusan untuk menjatuhkan pilihan satu alternatif kadang membawa kondisi pada potensi kerugian yang akan diperoleh. Tugas dari perencana pajak adalah meminimalkan potensi kerugian tersebut. d. Memutakhirkan Rencana Pajak Suatu undang-undang seringkali mengalami perubahan demikian pula dengan undang-undang perpajakan. Perubahan ini akan membawa dampak bagi perencana pajak secara keseluruhan. Tugas dari perencana pajak untuk melihat kembali rancangan yang telah dibuat
untuk
menyesuaikan
dengan perubahan undang-undang
tersebut. Perencanaan pajak penghasilan di Indonesia menganut sistem self assessment artinya wajib pajak
yang berperan untuk menghitung,
menyetorkan, dan melaporkan jumlah pajak, bukan kantor pajak. Pajak penghasilan yang diberlakukan di Indonesia menuntut setiap wajib pajak untuk memenuhi 2 kewajiban, yaitu : a. Kewajiban untuk menghitung, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan yang menjadi tanggungannya.
37
b. Kewajiban untuk menghitung, memotong/memungut, menyetorkan dan melaporkan Pajak Penghasilan yang merupakan beban orang lain.
D. Motivasi dilakukannya Tax Planning Perencanaan pajak yang baik harus memungkinkan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajak dengan baik, benar dan dengan beban yang minimal. Motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak (tax planning) umumnya bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu sebagai berikut: a. Kebijakan perpajakan (tax policy) Tax policy merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari berbagai aspek tax policy terdapat faktor-faktor yang mendorong dilakukannya tax planning, yaitu pajak apa yang akan dipungut, siapa yang akan dijadikan subjek pajak, apa yang merupakan objek pajak, berapa besarnya tarif pajak dan bagaimana prosedurnya. b. Undang-undang perpajakan (tax law) Dalam pelaksanaannya, Undang-undang selalu diikuti dengan ketentuanketentuan lain, termasuk Undang-undang perpajakan yang diikuti
oleh Peraturan
Pemerintah,
Keputusan
Presiden,
Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen Pajak. Dengan banyaknya ketentuan tersebut, membuka celah bagi wajib pajak untuk menganalisis kesempatan guna perencanaan pajak yang baik.
38
c. Administrasi perpajakan (tax administration) Indonesia
masih
mengalami kesulitan
dalam
melaksanakan
administrasi perpajakan secara memadai. Hal ini mendorong perusahaan untuk melakukan perencanaan pajak yang baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena perbedaan penafsiran
antara
fiskus
dan
wajib
pajak,
luasnya aturan
perpajakan dan sistem informasi yang belum efektif.
E. Natura 1. Pengertian Natura Definisi natura menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE03/PJ.23/1984 tentang pengertian kenikmatan dalam bentuk natura adalah setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan atau karyawati dan atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberian kerja. Di dalam undang-undang pajak penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008. Ibrahim Nur (2010) Natura adalah imbalan atau kenikmatan atau benefit yang diberikan kepada pegawai atau pekerja yang bukan dalam bentuk uang. Imbalan atau kenikmatan yang dimaksud merupakan penghasilan bagi karyawan namun tidak dimasukkan sebagai bagian dari gaji atau upah yang diterima karyawan. Natura biasanya diberikan pada waktu-waktu tertentu dimana suatu pencapaian telah dihasilkan atau
39
diraih, atau diharapkan dari pemberian natura tersebut dalam mempermudah pekerjaan penerimaan natura.
2. Mekanisme Pemberian Natura dan Kenikmatan Secara umum pemberian natura dan kenikmatan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan dan tidak bisa dikurangkan dari penghasilan bruto ( non deductible–nontaxable). Hal tersebut terkecuali yang diatur khusus seperti makanan dan minuman yang diberikan kepada seluruh karyawan di tempat kerja dan kendaraan dinas yang digunakan untuk pegawai tertentu karena pekerjaan atau jabatannya (deductible–nontaxable) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.03/2009. Dalam akuntanesia.com, bentuk pemberian natura ada beberapa macam, tergantung dari kebijakan perusahaan, yaitu: a. Diberikan dalam Bentuk Uang (cash) atau Benefit In Cash Penghasilan yang diberikan pemberi kerja kepada karyawan dalam bentuk uang. Contohnya gaji bulanan, komisi penjualan, tunjangan, upah, bonus, honorium, gratifikasi atau imbalan lainya dalam bentuk tunai. Keunggulan pegawai diberikan uang dalam bentuk tunai ini adalah pegawai dapat memilih untuk digunakan sebagai hal-hal yang di butuhkan oleh pegawai itu sendiri. Namun, pemberian natura ataupun tunjangan uang ini harus diperhatikan aspek pajaknya. Dari sisi pajak,
40
benefit in cash bagi pegawai merupakan objek penghasilan dan merupakan objek pemotongan PPh pasal 21 bagi perusahaan dan merupakan deductible expense. b. Diberikan dalam Bentuk Barang ( non-cash) atau benefit in kinds Penghasilan atau imbalan yang diberikan kepada karyawan atau orang pribadi yang bentuknya non-tunai atau dikatagorikan natura atau kenikmatan.
3. Perlakuan Pajak terhadap Natura atau Kenikmatan Sebelum masuk kepada perlakuan pajak terhadap natura dan kenikmatan yang diberlakukan dalam sebuah entitas organisasi atau perusahaan, maka terlebih dahulu harus dipahami mengenai biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan oleh perusahaan serta dalam rangka tax planning yang dilakukan. Dapat kita amati bahwa bagi wajib pajak badan maupun wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha, salah satu biaya yang sudah pasti dikeluarkan adalah biaya tenaga kerja atau biaya karyawan. Mengamati dalam konteks Pajak Penghasilan, secara umum ada dua pihak yang terkait dengan kewajiban Pajak Penghasilan. Yang pertama adalah Wajib Pajak Badan ata Orang Pribadi sebagai pemberi kerja. Biaya tenaga kerja terkait langsung dengan Pajak Penghasilan terutang karena biaya tenaga kerja adalah salah satu unsur biaya yang menentukan jumlah pajak terutang.
41
Yang kedua adalah karyawan sebagai penerima penghasila yang bisa menjadi objek atau bukan objek pemotongan PPh Pasal 21. Jika kita membagi biaya tenaga kerja dilihat dari kedua pihak ini, maka biaya tenaga kerja dapat digolongkan menjadi empat bagian yaitu : a. Bagi Perusahaan Bagi Perusahaan Deductible Expense, Bagi Karyawan Taxable Income Dalam kelompok ini, biaya tenaga kerja merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam penghitungan Pajak Penghasilan terutang (deductible) dan bagi karyawan, biaya tenaga kerja ini merupakan penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21 (taxable income ). Pada umumnya, biaya - biaya di sini adalah imbalan kepada karyawan dalam bentuk uang, yaitu : 1) Gaji pokok, uang lembur, THR. 2) Tunjangan : makan, transportasi, PPh 21, pengobatan, perumahan. 3) Premi asuransi pegawai dibayar perusahaan. 4) Penggantian pengobatan, pemberian uang sewa rumah, uang cuti. 5) Pemberian uang, selain pembagian laba. b. Bagi Perusahaan Non Deductible Expense, Bagi Karyawan Non Taxable Income Dalam kelompok ini, juga masih berlaku prinsip deductible taxable. Biaya biaya yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
42
1) Pemberian dalam bentuk natura. 2) Pemberian pakaiaan, kecuali berkaitan dengan keamanan atau keselamatan pekerjaan. 3) Pengobatan cuma-cuma. 4) Cuti ditanggung perusahaan. 5) PPh 21 ditanggung perusahaan. 6) Sebagian penyusutan, biaya perbaikan, biaya pemeliharaan serta bahan 7) bakar atas kendaraan perusahaan yang dikuasai dan dibawa pulang pegawai tertentu. c. Bagi
Perusahaan
Non Deductible Expense, Bagi
Karyawan
Taxable Income Biaya dalam kelompok ini adalah pembagian laba perusahaan kepada pegawai dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti : 1) Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa. 2) Makanan dan minuman bagi pegawai, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada tempat penjualan makanan/minuman. 3) Pelayanan kesehatan, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada sarana kesehatan misalnya poliklinik atau rumah sakit. 4) Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja tidak ada sarana pendidikan yang setara.
43
5) Pengangkatan bagi pegawai di lokasi bekerja, pengangkutan anggota keluarga untuk pertama kali dan pengangkutan pegawai dan keluarganya sehubungan terhentinya hubungan kerja. 6) Olah raga bagi pegawai dan keluarganya sepanjang di lokasi bekerja tidak tersedia saran a tersebut, kecuali sarana olah raga golf, boating dan pacuan kuda. Termasuk pula dalam kelompok ini adalah pemberian natura dan kenikmatan sehubungan dengan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan dan keterkaitan dengan situasi lingkungan seperti : a. Pakaian dan peralatan pemadam kebakaran b. Pakaian dan peralatan proyek c. Pakaian seragam pabrik d. Pakaian seragam satpam e. Makanan, minuman, penginapan awak kapal/pesawat f. Antar jemput pegawai g. Pakaian seragam pegawai hotel h. Pakaian penyiar TV i. Makanan tambahan untuk operator komputer/pengetik j. Makan/minum cuma-cuma pegawai restoran. Secara
umum
konsep
taxable
biasanya
ditujukan
untuk
pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang atau badan tanpa melihat dari mana penghasilan tersebut diperoleh (sumber penghasilan). Sedangkan
deductible adalah biaya yang
diakui oleh pajak, biasanya
44
ditujukan kepada beban/biaya yang menurut ketentuan menjadi pengurang penghasilan Bruto sebagai mana diatur dalam Pasal 6 Undang undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pada umumnya jika suatu biaya yang terkait dengan karyawan akan terutang PPh 21 jika biayanya diakui misalnya biaya gaji, tunjangan bonus dan sebagainya.
Jika
pemberian
dalam
bentuk
natura
atau
kenikmatan tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal (Non Deductible) sehingga bagi karyawan yang menerima bukan merupakan penghasilan (Non Taxable). Pengeluaran dalam bentuk natura dan kenikmatan dibebankan sebagai biaya oleh pemberi kerja pada tahun pajak biaya tersebut dibayarkan atau terutang. Biaya kenikmatan atau natura yang diberikan perusahaan kepada karyawannya apabila tidak diberikan dalam bentuk tunai menurut perpajakan tidak diperlakukan sebagai biaya fiskal sehingga tidak dapat
mengurangi
laba fiskalnya.
Agar
perusahaan
memperlakukan
sebagai biaya fiskal maka pemberiaan kenikmatan atau natura seperti biaya pengobatan, biaya seragam, biaya tunjangan PPh 21 karyawan tersebut diberikan secara tunai dengan menaikkan komisi masing- masing karyawan. Dalam Undang- undang PPh lama disebutkan bahwa natura atau kenikmatan yang diberikan Wajib Pajak (WP) atau pemerintah bukan obyek
pajak. Sedangkan pasal
9
(1)
e
menyebutkan natura
dan
kenikmatan bukan pengurang penghasilan bruto. Artinya bahwa natura
45
dan kenikmatan tetaplah obyek pajak karena memenuhi definisi obyek PPh pada Pasal 4 (1) : „tambahan kemampuan... dlm bentuk apapun‟. Namun pengenaan pajaknya digeser dari penerima penghasilan kepada pemberi penghasilan. Dengan tidak diperbolehkannya natura dan kenikmatan dimasukkan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak pemberi
penghasilan,
tujuannya
adalah untuk mendorong pemberi
penghasilan memberi imbalan berupa uang tunai dan menghindari kesulitan dalam menilai harga barang atau manfaat tersebut. Petunjuk pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 (mulai dari KEP 545/PJ./2000 sampai dengan PMK 252/PMK.03/2008) telah mengantisipasi hal ini dengan mengatur bahwa natura dan kenikmatan merupakan obyek PPh Pasal 21 bila dibayarkan oleh bukan WP, WP yang dikenakan PPh final dan yang dikenakan PPh (deemed
profit).
berdasarkan
Dengan demikian
norma natura
penghitungan dan
kenikmatan
khusus yang
dibayarkan oleh non WP atau WP dikenakan PPh final merupakan obyek PPh Pasal 21. Bicara tentang pajak dibayarkan perusahaan, tidak ada batasan atau kriteria yang jelas antara PPh ditanggung perusahaan sebagai kenikmatan atau tunjangan PPh. Tunjangan berarti taxable dan deductable, kenikmatan berarti non taxable dan non deductable. WP dapat memilih untuk tax planning, apakah pengenaan pajaknya digeser ke penerima atau pemberi penghasilan.