7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS, dan Terapi Anti Retroviral Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. 1,2 Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Lue Montagnier pada tahun 1983 yang pada waktu itu diberi nama Lymphadenopathy virus (LAV), sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada 1984 yang dinamakan HTLV-III. Namun, tes untuk memeriksa antibodi terhadap HIV dengan cara ELISA baru tersedia pada tahun 1985.2 Sejak ditemukannya virus HIV telah dilakukan berbagai upaya untuk menghambat atau menyembuhkan penyakit ini. Berbagai terapi baru AIDS dapat segera diaplikasikan pada pasien, mengingat sifat penyakit ini yang memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi. Misalnya penggunaan zidovudine yang diketahui memiliki efek antiretroviral, hanya dalam waktu 2 tahun telah diizinkan oleh Food and Drug Adminstration (FDA) untuk dipakai secara klinis pada tahun 1987. Setelah itu ditemukan obat golongan Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) yang mampu memperbaiki masa hidup penderita AIDS, namun belum mampu mengeradikasi virus secara total. Setelah digunakannya obat golongan Protease Inhibitor (PI) dikombinasi dengan NRTI yang dikenal sebagai Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) maka penyakit AIDS tidak lagi fatal selama pengobatan dilakukan secara jangka panjang dan teratur.1,2,4 Kajian terhadap obat antiretroviral terbaru telah menghasilkan data mengenai efek samping antiretroviral baik jangka pendek maupun jangka panjang. Efek samping obat masih dapat ditoleransi selama dipantau dengan baik, karena apabila obat dihentikan akan lebih berbahaya. Beberapa obat ARV memiliki efek jangka panjang yang belum diketahui pada saat peluncuran obat. 1,2,4
7 Universitas Sumatera Utara
8
2.1.1 Epidemiologi Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi. Tanah papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas. Dengan total populasi 240 juta, kita memiliki prevalensi HIV 0,24 persen dengan estimasi ODHA 186.000 pada tahun 2009 dengan HIV positip. 1,2 Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun.1 Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2013), dari tahun 2003 s/d akhir maret 2013 terdapat 6.824 kasus HIV terdiri dari 4.920 laki-laki dan 1.748 perempuan. 3 2.1.2 Siklus Hidup HIV16 HIV memulai siklus hidupnya ketika berikatan dengan reseptor CD4 dan satu atau dua ko-reseptor pada permukaan CD4+ limfosit T. Virus kemudian bersatu dengan sel host. Setelah menyatu, virus melepaskan RNA ke sel host. Enzim HIV dinamakan reverse transcriptase mengubah HIV-RNA untaian tunggal (single-stranded RNA) menjadi HIV-DNA untaian ganda (doublestranded DNA). Bentuk baru dari HIV-DNA berintegrasi ke dalam genom sel host. Genom sel host untaian ganda membentuk kompleks dengan sel host disertai terpadunya berbagai protein virus yang berhasil ditranspor ke dalam inti. HIV-DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat tetap inaktif dalam beberapa tahun, menghasilkan beberapa kopi HIV. Ketika sel host menerima sinyal untuk aktif, provirus menggunakan enzim host bernama RNA polimerase untuk menghasilkan kopi dari genom HIV, juga untaian yang lebih pendek dari RNA yang disebut messenger RNA (mRNA). mRNA digunakan sebagai blueprint untuk menghasilkan rantai panjang dari protein HIV.
Universitas Sumatera Utara
9
Enzim HIV yang disebut protease memotong rantai panjang protein HIV menjadi protein-protein yang lebih kecil. Ketika protein HIV yang lebih kecil bersatu dengan kopi dari gen HIV RNA, partikel virus baru terbentuk. Virus yang baru terbentuk dikeluarkan dari sel host. Selama pengeluaran, virus baru mencuri bagian dari lapisan luar amplop sel. Amplop ini, yang bertugas untuk melapisi, mengandung kombinasi protein/gula disebut glikoprotein HIV. Glikoprotein HIV penting bagi virus untuk mengikat CD4 dan ko-reseptor. Kopi baru dari HIV kemudian sudah dapat pindah dan menginfeksi sel lainnya (Gambar 2.1).16
Gambar 2.1. Siklus hidup HIV 16
2.1.3 Kriteria Diagnosis Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi HIV sangat penting, karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahun-tahun lamanya (Tabel 2.1)
Universitas Sumatera Utara
10
Tabel. 2.1 Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV1 Keadaan Umum Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5 oC) yang lebih dari satu bulan Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan Limfadenopati meluas Kulit Papular Pruritic Eruptions (PPE) dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV Infeksi Infeksi Jamur Kandidosis oral * Dermatitis seboroik Kandidosis vagina kambuhan Infeksi viral Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu dermatom) Herpes genital (kambuhan) Moluskum kontagiosum Kondiloma Gangguan Batuk lebih dari satu bulan Pernapasan Sesak napas TB Pneumonia kambuhan Sinusitis kronis atau berulang Gejala neurologis Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas penyebabnya) Kejang demam Menurunnya fungsi kognitif *Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap antibodi yaitu Rapid test, Western Blot, Enzyme linked immuno sorbent assay (ELISA) 3 metode, Polymerase Chain Reactions (PCR) dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV yaitu isolasi dan biakan virus, deteksi antigen dan deteksi materi genetik dalam darah pasien. Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien menjalani serangkaian pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
11
yang meliputi penilaian stadium klinis (tabel 2.2), imunologis (jumlah CD4) dan pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi. Tabel.2.2 Penilaian Stadium Klinis 1 Stadium 1 Stadium 2 perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya) usitis, tonsillitis, otitis media, faringitis)
Papular pruritic eruption)
Stadium 3 berat badan bersifat berat yang tidak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya) a
infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul yang berat) omatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis 9 /l) dan/atau 9 trombositopeni kronis (<50 x 10 /l) Stadium 4 veci berulang
termasuk meningitis yang menyebar
(orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1 bulan atau viseral di bagian manapun) coccidiomycosis) kandidiasis trakea, bronkus atau paru) is ekstra paru
k Salmonella non-tifoid) Hodgkin)
atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening) yang simtomatis
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.4 Penatalaksanaan Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas pemberian profilaksis kotrimoksazole, pemberian anti retroviral (ARV), pengobatan infeksi oportunistik, dukungan nutrisi, dukungan psikososial. 1,2,4 Terapi Antiretroviral (ARV) Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan penderita HIV/AIDS menjadi jauh lebih baik. Infeksi kriptosporodiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumocystis carinii yang hilang timbul pada penderita HIV/AIDS, dengan meminum obat ARV teratur, banyak yang tidak memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia. Lebih dari 20 obat ARV yang telah disetujui dalam 6 kelas dan tersedia untuk regimen kombinasi. 6 kelas ini termasuk nucleoside/nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), protease inhibitor (PI), fusion inhibitor (FI), co-receptor antagonist, dan integrase strand transfer inhibitor (INSTI). Tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia. 2,4 Berdasarkan Pedoman Nasional Tatalaksana HIV 2011 di Indonesia, pemerintah menganjurkan pengobatan antiretroviral lini pertama adalah 2NRTI + 1NNRTI, dengan salah satu dari paduan dibawah ini (Tabel 2.3) : Tabel 2.3. Panduan ARV lini pertama1 AZT + 3TC + NVP
(Zidovudine + Lamivudine +
ATAU
Nevirapine) AZT + 3TC + EFV
(Zidovudine + Lamivudine +
ATAU
Efavirenz) TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
(Tenofovir + Lamivudine (atau
ATAU
Emtricitabine) + Nevirapine) TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz)
Universitas Sumatera Utara
13
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI). Target kerja dari golongan obat ini adalah enzim reverse transcriptase HIV. Bekerja sebagai alternatif substrat, bekerja melawan nukleosida fisiologikal, yang berbeda hanya modifikasi minor pada molekul ribosa. Penggabungan analog nukleosida menyebabkan gugurnya sintesis DNA, sebagai jembatan phosphodiester tidak dapat lagi dibangun untuk menstabilkan untaian ganda. Analog nukleosida adalah obat-obatan pertama yang digunakan dalam pengobatan HIV, sehingga, banyak uji coba berdasarkan obat ini. Obat-obatan yang mudah dikonsumsi, dosis sekali sehari hampir mencukupi untuk semuanya. Adapun beberapa keluhan yang dirasakan pada minggu-minggu pertama adalah lelah, nyeri kepala dan masalah gastrointestinal. Keluhan gastrointestinal dapat secara mudah diobati berdasarkan gejalanya. Namun, analog nukleosida dapat menyebabkan efek samping jangka panjang yang cukup bervariasi. Meskipun lipodistrofi umumnya dihubungkan dengan pengobatan PI, banyak kelainan metabolik, terutama lipoatrofi, saat ini juga dikaitkan dengan analog nukleosida. 17 Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). NNRTI pertama ditemukan pada tahun 1990. Seperti analog nukleosida, target enzim adalah reverse transcriptase. Namun, NNRTI berikatan secara langsung dan secara non-kompetitif terhadap enzim pada posisi yang dekat ke tempat pengikatan substrat untuk nukleosida. Kompleks ini kemudian menghambat aktivasi katalis di tempat pengikatan dari reverse trasncriptase. Sehingga dapat mengikat lebih sedikit nukleosida, memperlambat polimerisasi secara signifikan. Tidak seperti NRTI, NNRTI tidak membutuhkan aktivasi dengan sel. Tiga NNRTI yang tersedia; nevirapine, delavirdine dan efavirenz, diperkenalkan antara tahun 1996 dan 1998. Banyak studi telah menunjukkan bahwa NNRTI sangat efektif ketika dikombinasikan dengan analog nukleosida. Sejauh ini, belum ada bukti pasti yang menyatakan satu NNRTI lebih baik dibandingkan yang lainnya. Meskipun delvardine sudah tidak memiliki peranan lagi, akibat berbagai alasan, nevirapine dan efavirenz memiliki nilai yang seimbang. Beberapa studi kohort dalam beberapa tahun terakhir menyatakan sedikit lebih superior efavirenz. Namun, studi-studi tersebut memiliki nilai yang
Universitas Sumatera Utara
14
terbatas dimana mereka memasukkan grup pasien yang sangat beragam. Pada 2NN Study (“The Double Non-Nucleoside Study”), nevirapine dan efavirenz dibandingkan untuk pertama kalinya dalam skala yang besar. Dengan total 1.216 pasien mendapatkan d4T + 3TC dengan baik nevirapine 1 x 400 mg, nevirapine 2 x 200 mg, efavirenz 1 x 600 mg ataupun efavirenz 1 x 800 mg ditambah nevirapine 1 x 400 mg. Perbedaan virologis yang signifikan adalah keuntungan efavirenz dibandingkan dua NNRTI, diakibatkan oleh toksisitas yang lebih tinggi pada akhirnya. Pada kelompok nevirapine 1 x 400 mg, efek samping hepatik yang berat muncul lebih sering dibandingkan efavirenz; disisi lain, lipid lebih disukai pada kelompok nevirapine. 17 Protease inhibitor (PI). Protease HIV memotong viral poliprotein gagpol (group antigen, polymerase) menjadi subunit fungsionalnya. Apabila protease terhambat dan penyambungan proteolitik dicegah, partikel virus non-infeksius akan dihasilkan. Dengan pengetahuan struktur molekul dari protease virus, PI pertama yang dirancang pada awal tahun 90an; substansi ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat sesuai untuk tempat pengaktifan enzim protease HIV. Sejak 1995, PI telah mengakibatkan revolusi dari pengobatan infeksi HIV. Setidaknya tiga studi besar telah menunjukkan efikasi indinavir, ritonavir dan saquinavir. Meskipun PI telah dikritik pada saat itu karena efek sampingnya, namun PI masih merupakan komponen penting dalam HAART. Disamping efek samping gastrointestinal, penggunaan terapi PI jangka panjang dihubungkan dengan lipodistrofi dan dislipidemia. Aritmia jantung dan disfungsi seksual juga telah dikaitkan dengan PI, meskipun data yang ada masih meragukan. 17 Fusion inhibitor (FI). Terdapat tiga langkah penting HIV dalam memasuki sel CD4: 1. Mengikat HIV terhadap reseptor CD4 2. Mengikat ko-reseptor, dan terakhir 3. Fusi dari virus dan sel
Universitas Sumatera Utara
15
Setiap langkah dari masuknya HIV secara teori dapat dihambat. Ketiga kelas obat-obatan, yang dinamakan pengikat inhibitor, antagonis k-reseptor dan fusion inhibitor (FI) saat ini digolongkan ke dalam entry inhibitor. T-20 (Enfurvitide, Fuzeon) adalah prototype dari FI. Sejak Mei 2003, telah diizinkan di Eropa dan Amerika Serikat sebagai pengobatan infeksi HIV-1 untuk pengobatan dewasa dan anak-anak usia di atas 6 tahun. T-20 mengikat struktur intermediate dari protein HIV gp41, yang muncul selama fusi HIV dengan sel target. Pasien dengan viral load terkontrol atau memiliki pilihan menggunakan HAART “klasik” tidak memerlukan T-20. Untuk terapi penyelamatan (salvage therapy), bagaimanapun juga, masih merupakan pilihan. 17 Co-receptor antogonist. Sebagai tambahan untuk reseptor CD4, HIV juga membutuhkan ko-reseptor untuk memasuki target sel. Dua yang paling penting, CXCR4 dan CCR5, ditemukan pada pertengahan 1990an. Reseptorreseptor ini, yang diduga lebih dari 200, dinamakan berdasarkan natural chemokines yang biasanya mengikat mereka. Varian HIV menggunakan baik reseptor CCR5 maupun CXCR4 untuk masuk ke sel target. Berdasarkan reseptor tropisnya, varian HIV disebut R5 apabila menggunakan CCR5 sebagai ko-reseptor, sedangkan virus yang menggunakan CXCR4 disebut virus X4. Virus R5 adalah virus yang didominasi dengan menginfeksi makrofag (sebelumnya: “virus M trope”); virus X4 terutama menginfeksi sel T (sebelumnya: “virus T trope”). Virus “dual trope” dapat menggunakan kedua reseptor. Pada kebanyakan pasien, virus R5 ditemukan pada awal-awal stadium dari infeksi; virus X4 yang lebih mematikan, dapat menginfeksi sel dengan spektrum yang lebih luas, muncul pertama kali pada stadium lanjut. 17 Integrase inhibitors. Perkembangan integrase inhibitor pertama dimulai tahun 2000. Pada saat itu prinsip strand transfer inhibition ditemukan. Sejak tahun 2005, studi klinis telah berkembang secara cepat, dan akhirnya, mengikuti data awal dari raltegravir (MK-0518), integrase inhibitor menjadi kelas obat yang baru yang menjanjikan dalam pengobatan HIV.
Universitas Sumatera Utara
16
Integrase, begitu juga dengan reverse transcriptase dan protease, adalah tiga enzim utama dalam siklus replikasi HIV-1. Enzim ini, yang mengandung 288 asam amino dan ditandai dengan gen HIV pol, terlibat dalam integrasi virus DNA ke host genome, dan penting untuk proliferasi HIV. Integrasi virus DNA setidaknya memiliki empat langkah, yang semuanya dihambat integrase inhibitor yang berbeda.17 1.
Pengikatan integrase inhibitor pada sitoplasma terhadap virus DNA: sehingga membentuk kompleks pre-integrasi yang stabil → langkah ini dapat dicegah dengan pyranodipyridimine sebagai integrase-DNAbinding inhibitor.
2.
Proses 3’: sebuah langkah katalitik awal, integrase memotong dinucleotide dari ujung virus DNA untuk memproduksi akhir 3’hydroxyl dengan kompleks protein pre-integrasi → hal ini dapat dihambat oleh proses inhibitor termasuk styrylquinolone atau diketoacids.
3.
Strand transfer: setelah kompleks pre-integrasi diubah dan ditransfer ke dalam nukleus sel melalui pori-pori nuklear, integrase mengikat host DNA. Hal ini memediasi ikatan ireversibel dari ujung hydroxyl dari virus DNA terhadap jembatan phosphodiesterase dari host DNA → langkah ini dapat dihambat oleh dua integrase inhibitor yang saat ini merupakan temuan terjauh, raltegravir, elvitegravir, juga disebut sebagai strand transfer inhibitor (STI).
4.
Gap repair: kombinasi dari virus DNA dan host DNA yang merupakan produk menengah dengan gap, yang dapat diperbaiki dengan enzim perbaikan sel host. Integrase mungkin tidak diperlukan untuk ini → namun dapat dihambat oleh methylxantine, sebagai contoh.
Universitas Sumatera Utara
17
Berikut daftar efek samping secara keseluruhan dari obat antiretroviral terhadap kadar lipid (Tabel 2.4) : Tabel 2.4. Efek samping obat antiretroviral terhadap kadar lipid 7 Currently Recommended First-Line Agents are in Bold Antiretroviral PIs (boosted) Lopinavir Atazanavir Fosamprenavir Saquinavir Darunavir Tipranavir NNRTIs Efavirenz Nevirapine NRTIs Tenofovir Abacavir Lamivudine Zidovudine Stavudine CCR5 Inhibitors Maraviroc Integrase Inhibitors Raltegravir
Total Cholesterol
LDL C
HDL C
Triglycerides
/
/ / / / / /
/
/ /
/
/
/
/
/
/
/
2.2 DISLIPIDEMIA Dislipidemia didefinisikan sebagai kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida serta penurunan kolesterol HDL. Dalam proses
Universitas Sumatera Utara
18
terjadinya aterosklerosis semuanya mempunyai peran yang penting, dan erat kaitannya satu dengan yang lain, sehingga tidak mungkin dibicarakan tersendiri. Hubungan antara kolesterol dengan aterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler memenuhi kriteria hubungan kausalitas (sebab akibat) yang telah didukung oleh penelitian epidemiologis, hasil-hasil uji klinik dan studi pada hewan coba.5 2.2.1 Klasifikasi dislipidemia dan kadar lipid normal. Klasifikasi dislipidemia dapat berdasarkan atas primer yang tidak jelas sebabnya dan sekunder yang mempunyai penyakit dasar seperti pada sindroma nefrotik, diabetes melitus, hipotiroidisme, pemakaian obat-obatan. Selain itu dislipidemia dapat juga dibagi berdasarkan kadar lipid yang menonjol, seperti hiperkolesterolemi, hipertrigliseridemi, isolated low HDL-cholesterol, dan dislipidemi campuran (mixed). Bentuk yang terakhir ini yang paling banyak ditemukan. Kapan disebut lipid normal, sebenarnya sulit dipatok pada satu angka, oleh karena normal untuk seseorang belum tentu normal untuk orang lain yang disertai faktor resiko koroner multipel. Walaupun demikian National Cholesterol Education Program Adult Panel III (NCEP-ATP III) telah membuat satu batasan yang dapat dipakai secara umum tanpa melihat faktor risiko koroner seseorang (Tabel 2.5). Tabel. 2.5 Batasan kadar lipid normal dalam plasma sesuai kriteria National Cholesterol Education Program Adult Panel III (NCEP-ATP III)5 Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserid menurut NCEP ATP III 2001 mg/dl Kolesterol total <200 Diinginkan 200 - 239 Sedikit tinggi (borderline) ≥240 Tinggi Kolesterol LDL <100 100 – 129 130 - 159 160 – 189 ≥190
Optimal Mendekati optimal Sedikit tinggi (borderline) Tinggi Sangat tinggi
Universitas Sumatera Utara
19
Kolesterol HDL <40 ≥60
Rendah Tinggi
Trigliserida <150 150 – 199 200 – 499 ≥500
Optimal Sedikit tinggi (borderline) Tinggi Sangat tinggi
2.2.2 Persiapan pemeriksaan Untuk pemeriksaan kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan kolesterol HDL dengan menggunakan cara direk tidak perlu berpuasa. Sebaliknya untuk pemeriksaan kadar trigliserida diharuskan berpuasa 12-16 jam, agar mendapatkan kadar trigliserida endogen (bukan dari makanan). Oleh karena untuk pemeriksaan penyaring mutlak diperiksa keseluruhan kadar lipid, maka pasien dianjurkan berpuasa 12-16 jam semalam sebelumnya.5 2.2.3 Dislipidemia pada ODHA Gangguan metabolisme lipid telah lama diketahui pada orang dengan HIV/AIDS termasuk hipertrigliseridemia dan penurunan total kolesterol, LDL kolesterol, HDL kolesterol sejalan dengan semakin lanjutnya infeksi HIV yang dideritanya. Sehingga ODHA dapat mengalami aterogenesis yang dipercepat dan resiko prematur penyakit jantung koroner yang lebih tinggi. Mekanisme aterogenik pada ODHA yang mungkin, termasuk diantaranya inflamasi kronik dan perubahan prokoagulan akibat immunosupresi dan viremia HIV yang tidak terkontrol. 18 Pasien HIV/AIDS yang mendapat obat antiretroviral, juga diketahui mengalami hiperlipidemia khususnya trigliserida, LDL kolesterol dan total kolesterol.19 Secara keseluruhan, kadarnya lebih tinggi dibandingkan sebelum mendapat obat antiretroviral.18 Meskipun implikasi dari dislipidemia pada populasi ini tidak diketahui pasti, data awal telah menunjukkan peningkatan morbiditas kardiovaskular diantara ODHA sehingga pencegahan untuk mengurangi resiko kejadian kardiovaskular harus dilakukan. Resiko infark miokard pada ODHA telah dievaluasi dalam studi Data Collection on Adverse Events of Anti-HIV Drugs (D:A:D) pada 13 obat antiretroviral.
Paparan
kumulatif
dari
golongan
PI:
Indinavir
dan
Universitas Sumatera Utara
20
lopinavir/ritonavir berhubungan dengan peningkatan resiko infark miokard (Relative risk (RR) :1,12 dan 1,13 pertahun). Begitu juga dengan NRTI: abacavir dan didanosine berhubungan dengan peningkatan resiko infark miokard, sedangkan paparan golongan NNRTI: efavirenz atau nevirapine tidak meningkatkan resiko infark miokard. Analisa dari studi D:A:D juga menunjukkan prediktor-prediktor yang dapat menyebabkan peningkatan resiko penyakit jantung koroner, Cerebrovascular disease (CVD), dan infark miokard pada pasien HIV/AIDS jenis kelamin laki-laki (RR: 1,76; 1,70; 1,93), riwayat merokok (RR: 2,78; 2,35; 4,02), riwayat keluarga menderita CVD (RR: 1,43; 1,55; tidak bermakna) dan diabetes (RR: 1,92; 1,93; 2,28), sedangkan peningkatan kadar HDL kolesterol (> 35 mm/dL) menurunkan resiko tersebut (RR:0,60;0,67;0,66).18 Gambar 2.2. Hubungan antara infeksi HIV, obat antiretroviral dan penyakit kardiovaskular. 18 Antiretroviral therapy; HIV Inflammation; Immune dysfunction
Dyslipidemia; Diabetes mellitus; Hypertension, Smoking Cardiovascular disease
Endothelial dysfunction; Platelet reactivity
Family history; genetics Kadar kolesterol untuk terapi diet dan intervensi dengan obat sangat bervariasi menurut ada atau tidaknya faktor resiko penyakit kardiovaskular. Dislipidemia aterogenik adalah trias dari tingginya kadar trigliseridemia dan LDL serta rendahnya kadar HDL.20 Target kadar lipid kadar untuk pasien HIV/AIDS belum ditentukan, AACTG menyarankan agar menggunakan
Universitas Sumatera Utara
21
rekomendasi dari National Cholesterol Education Program (NCEP). Berdasarkan guideline NCEP terapi farmakologis bagi hiperkolesterolemia akibat ARV berfokus pada kadar LDL kolesterol di rangkum pada tabel 2.6. Tabel 2.6. Guideline National Cholesterol Education Program (NCEP) untuk terapi diet dan farmakologis bagi hiperkolesterolemia menurut kadar LDL kolesterol.21,22 Risk factors for cardiovascular disease Without CHD
Lifestyle
LDL Therapy
Target values
<2 risk factors
LDL ≥ 160mg/dl
LDL ≥ 190mg/dl
LDL < 160mg/dl
≥2 risk factors
LDL ≥ 130mg/dl
LDL ≥ 160mg/dl
LDL < 130mg/dl
With CHD
LDL ≥ 100mg/dl
LDL ≥ 130mg/dl
LDL < 100mg/dl
measures
CHD: Coronary Heart Disease; LDL: plasma LDL-cholesterol concentration; risk factors: HDL <35mg/dl, smoking, arterial hypertension, diabetes mellitus, family history of CHD, age above 45 years for men and 55 years for women.
Diagnosis. Pemeriksaan klinis dislipidemia pada ODHA sama dengan pasien non HIV/AIDS. Sebelum pemberian obat antiretroviral, sebaiknya semua ODHA menjalani pemeriksaan kadar lipid serum baseline dan penilaian riwayat keluarga menderita hiperlipidemia dan CVD. Bila kadar lipid serum abnormal, maka sebaiknya semua faktor resiko kardiovaskular primer dan sekunder yang dapat menyebabkan hiperlipidemia dievaluasi. Saat ini, kalkulator Framingham/NCEP merupakan alat terbaik dalam menilai resiko CVD, namun alat tersebut belum divalidasi pada ODHA. Penilaian tersebut meliputi jenis kelamin, usia, riwayat merokok, tekanan darah sistolik, penggunaan obat antihipertensi, kadar kolesterol total dan HDL kolesterol.23 Hubungan antara prediksi Framingham dan studi D:A:D dinilai dalam suatu studi oleh Law MG et.al pada tahun 2006, dimana angka kejadian infark miokard diprediksi sejalan dengan lamanya pemakaian obat antiretroviral. Hal ini menandakan peningkatan resiko infark miokard sebagian dapat dijelaskan akibat penggunaan obat antiretroviral yang menginduksi perubahan yang meningkatkan
atau
merubah
profil
resiko
disamping
faktor
resiko
konvensional yang ada.
Universitas Sumatera Utara
22
Golongan obat antiretroviral : zidovudine, lamivudine, stavudine atau NNRTI lainnya diketahui menyebabkan dislipidemia, namun golongan Proteinase Inhibitor lebih sering (28-80%) menyebabkan dislipidemia dengan mayoritas hipertrigliseridemia (40-80%) dan hiperkolesterolemia (10-50%) (Tabel 2.7).18,24 Tabel.2.7. Obat antiretroviral – hiperlipidemia: Resiko yang paling tinggi – rendah.18 Agent NRTI NRTI combinations
Ritonavir-boosted PI
NNRTI
CCR5 antagonists Integrase inhibitors
Treatment – Associated Risk Stavudine > zidovudine >abacavir = tenofovir DF Stavudine + Lamivudine >tenofovir DF + Lamivudine Zidovudine/lamivudine >emricitabine/tenofovir DF Stavudine + didanosine >emricitabine + didanosine Stavudine + didanosine >abacavir + lamivudine Indinavir,lopinavir, tipranavir>atazanavir Darunavir, fosamprenavir, saquinavir Ritonavir full dose > boosting dose Efavirenz > etravirine Efavirenz > rilpivirine Efavirenz > nevirapine Efavirenz > maraviroc PI > raltegravir Efavirenz > raltegravir
DF disoproxil fumarate, NRTI nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NNRTI: non nucleoside reverse transcriptase inhibitor, PI protease inhibitor
Patogenesa. Patogenesa dislipidemia dan resistensi insulin pada pasien HIV/AIDS yang mendapat terapi antiretroviral sangat kompleks (gambar). Golongan Proteinase Inhibitor menyebabkan dislipidemia sampai saat ini masih belum dipahami seluruhnya, kemungkinan bersifat multifaktorial yaitu faktor hepatik, adiposa dan abnormalitas enzim endothelial.18,20 Proteinase Inhibitor mempengaruhi berbagai jalur metabolik, termasuk sterol regulator regulatory enhancer binding protein type-1 (SREBP-1), GLUT-4 dan
Universitas Sumatera Utara
23
proteasome dengan efek samping terhadap pertumbuhan adiposit, signaling insulin dan sintesa kolesterol hepatosit. Sementara golongan NRTI berhubungan dengan toksisitas mitokondrial, asidemia laktat dan lipoatrophy, dimana lipoatrophy menyebabkan defisiensi leptin yang mempercepat resistensi insulin. Mengapa hanya beberapa individu yang mengalami resistensi insulin menjadi diabetes tidak diketahui, meskipun diabetes tipe 2 pada populasi umum berhubungan dengan berkurangnya sekresi dan sensitivitas insulin.25 Mekanisme lain yang dapat dijelaskan adalah berdasarkan kemiripan struktural antara regio katalitik dari HIV-1 protease dengan 2 protein homologous yang terlibat dalam metabolisme lemak yaitu cytoplasmic retinoic acid-binding protein type 1 (CRABP-1) dan low density lipoprotein receptor-related protein (LRP). Serta kemungkinan melibatkan faktor genetik, dimana diketahui hipertrigliseridemia dan beberapa polymorphism ditemukan pada gen apo C-III (Gambar 2.3).22,26,27 Gambar 2.3. Patogenesa dislipidemia dan resistensi insulin pada pasien HIV/AIDS yang mendapat obat antiretroviral.25
Terapi. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang dewasa merekomendasikan agar ODHA dewasa menjalani pemeriksaan dan terapi sesuai panduan NCEP/ATP III, dengan
Universitas Sumatera Utara
24
perhatian khusus terhadap interaksi obat potensial dengan obat ARV dan mengkontrol
status
virologis
infeksi
HIV.
Penatalaksanaan
dengan
menggunakan pedoman dari Infectious Diseases Society of America (IDSA) dan The Adult AIDS Clinical Trial Group Cardiovascular Disease Focus Group (AACTG) juga direkomendasikan. Berdasarkan AACTG, evaluasi kadar lipid sebaiknya dilakukan sebelum pemberian obat antiretroviral dan diulang 3-6 bulan kemudian setiap tahun atau jika diketahui adanya gangguan atau diperlukan tindakan intervensi. Jika saat baseline kadar trigliseridemia >200mg/dl, maka dianjurkan untuk cek ulang kadar lipid lebih cepat (misal dalam 1-2 bulan setelah memulai terapi ARV) (Gambar 2.4). 28 Gambar 2.4. Pendekatan umum terhadap dislipidemia dan resiko kardiovaskular pada ODHA yang mendapat terapi antiretroviral. 28
Modifikasi gaya hidup. Terapi diet, peningkatan aktifitas fisik, serta penurunan berat badan direkomendasi pada semua pasien dengan dislipidemia. Pedoman diet dari NCEP untuk menurunkan kadar kolesterol termasuk
Universitas Sumatera Utara
25
penurunan berat badan, aktifitas fisik, penurunan intake alkohol, dan menghentikan rokok. Namun hal tersebut tidak adekuat untuk mengkoreksi perubahan metabolisme yang terjadi karena banyak pasien tidak patuh untuk menuruti perubahan gaya hidup tersebut sehingga dibutuhkan intervensi. Begitu juga dengan penghentian merokok dan minum alkohol untuk mengurangi resiko penyakit kardiovaskular pada pasien dislipidemia.20,29-32 Switching rejimen antiretroviral. Pada ODHA dengan dislipidemia yang berat, pemberian obat penurun kadar lipid single atau kombinasi mungkin tidak cukup untuk mencapai kriteria sesuai NCEP. Sementara obat penurun lipid meningkatkan jumlah obat yang harus diminum, biaya dan toksisitas. Pada kebanyakan kasus seperti itu, switching ≥1 obat ARV merupakan pilihan yang baik, namun tetap harus diingat bahwa dislipidemia disebabkan oleh multipel faktor seperti kombinasi obat, polimorfisme metabolisme obat atau predisposisi genetik terhadap hiperlipidemia. Switching obat ARV mungkin merupakan pilihan terbaik pada pasien yang mengalami hiperlipidemia setelah mendapat rejimen ARV dan pertukaran rejimen tesebut tidak mempengaruhi supresi virologis. 28,31,32 Obat penurun lipid. Pemberian obat antikolesterol dibutuhkan jika perubahan diet, aktifitas fisik dan pertukaran (switching) terapi tidak efektif atau tidak tersedia. Terapi dislipidemia pada ODHA yang menerima obat antiretroviral merupakan masalah tersendiri, karena potensi terjadinya interaksi obat, toksisitas, intoleransi dan penurunan kepatuhan pasien terhadap multipel rejimen obat. Menurut The Adult AIDS Clinical Trial Group Cardiovascular Disease Focus Group (AACTG), pemberian pravastatin atau atorvastatin direkomendasikan sebagai pilihan pertama antikolesterol jika terjadi peningkatan LDL dan gemfibrozil atau fenofibrate jika kadar trigliseridemia >500mg/dl. 28 Statin merupakan terapi lini pertama bagi pasien dengan peningkatan kolesterol total dan LDL kolesterol, namun hasil terapi sangat bervariasi karena potensi relatif dari masing-masing individu atau perbedaan genetik dari enzim CYP3A4 dan CYP3A5. Pada pasien HIV, harus diperhatikan kombinasi ARV golongan PI dengan statin, oleh karena kedua obat tersebut
Universitas Sumatera Utara
26
dimetabolisme melalui enzim CYP3A4. Khususnya simvastatin dan lovastatin dikontraindikasikan dengan PI, sementara statin lainnya dapat digunakan secara selektif atau dosisnya diturunkan.18,23 Bagi pasien yang tidak toleran dengan statin, ezetimibe dapat digunakan sebagai monoterapi dan telah terbukti bermanfaat menurunkan LDL kolesterol 10-12%. Fibrate diindikasikan untuk hipertrigliseridemia dan sebaiknya diberikan pada pasien dengan kadar trigliserid yang tinggi. Fibrat direkomendasikan pada pasien dengan riwayat familial hyperlipidemia dan aterogenesis serta kadar trigliserid >500mg/dL karena resiko terjadi pankreatitis akut. Pada pasien non HIV/AIDS, fibrate menurunkan kadar trigliserid
30-50% dan
meningkatkan HDL kolesterol 6-15%. Pada studi ACTG 5087 pemberian fenofibrat versus pravastatin pada ODHA, hanya 1% vs 5% yang mencapai tujuan terapi setelah 12 minggu. Hal ini menandakan sulitnya mencapai tujuan terapi dislipidemia pada ODHA. Kombinasi gemfibrozil dengan statin sebaiknya dihindari karena resiko terjadinya rhabdomyolysis yang lebih besar.18,22,33,34 Niacin merupakan pilihan alternatif untuk mengurangi kadar trigliserid pada ODHA. Niacin efektif menurunkan LDL kolesterol dan trigliserid dan meningkatkan HDL kolesterol. Efek samping niacin termasuk sakit kepala, flushing, pruritus dan nausea. Dari studi pada ODHA pemberian niacin 2000mg setiap malam selama 44 minggu terbukti aman, ditoleransi dengan baik dan efektif, dengan transient glikemia dan resistensi insulin.33 Omega-3 fatty acid (fish oils) diketahui telah menurunkan kadar trigliserid pada ODHA baik secara tunggal, maupun dikombinasi dengan fenofibrate. Kadar trigliserid puasa menurun 25% pada minggu ke-4 pada pasien yang mendapat ≥3 jenis ARV dan kadar trigliserid awal >450mg/dL. Keuntungan dari fish oil termasuk biaya yang murah, tolerabilitas yang baik dan rendahnya interaksi antar obat.18,24
Universitas Sumatera Utara