BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sikap Kerja Sikap kerja merupakan posisi relatif dari bagian tubuh tertentu, baik pada saat
berdiri, duduk dan pada saat angkat serta angkut barang (Ariani, 2009). Sedangkan menurut Siska dan Teza (2012) sikap kerja adalah posisi kerja secara alamiah yang dibentuk oleh pekerja, sebagai akibat berinteraksi dengan fasilitas yang digunakan ataupun kebiasaan kerja. Berdasarkan kedua pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sikap kerja adalah posisi relatif bagian tubuh tertentu pada saat bekerja yang dipengaruhi oleh interaksi dengan fasilitas yang digunakan maupun kebiasaan kerja. Sikap kerja yang baik merupakan persyaratan untuk mencegah pekerja untuk mengalami kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan. Sikap kerja yang baik adalah suatu kondisi dimana bagian-bagian tubuh secara nyaman melakukan kegiatan seperti sendisendi bekerja secara alami dimana tidak terjadi penyimpangan yang berlebihan (OSHA, 2008). Namun karena beberapa faktor seperti desain ruangan dan tuntutan pekerjaan, menyebabkan pekerja bekerja dengan sikap kerja yang tidak alamiah (Work Safe, 2010). Menurut OSHA (2008) dan Susihono dan Rubianti (2013) sikap kerja yang tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan bagian-bagian tubuh tidak berada atau bergerak menjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari posisi alamiahnya, semakin tinggi pula resiko terjadinya muskuloskeletal (Susihono dan Rubianti, 2013).
8
9
Posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal saat melakukan pekerjaan dapat menyebabkan stress mekanik lokal pada otot, ligament dan persendian. Kondisi kerja seperti itu dapat menyebabkan ketidaknyamanan pekerja dan apabila dilakukan dalam durasi waktu yang panjang, maka akan dapat menyebabkan pekerja cepat lelah, penurunan kualitas produksi dan dapat berakibat pada kerusakan permanen pada bagian tubuh (Pangaribuan, 2009). 2.2
Hubungan Sikap Kerja dengan Keluhan Muskuloskeletal Penelitan-penelitian tentang keluhan muskuloskeletal banyak menunjukan bahwa
sikap kerja yang tidak alamiah merupakan salah satu faktor risiko dari keluhan muskuloskeletal. Penelitian yang dilakukan penelitian oleh Sang, dkk. (2014), pada pemanenan kelapa sawit di PT. Sinergi Perkebunan Nusantara menunjukan bahwa sikap kerja tidak alamiah berpengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal. Penelitian yang dilakukan oleh Hanklang, dkk. (2014) juga menunjukan hasil yang serupa bahwa pekerja perempuan yang bekerja dengan sikap tubuh yang tidak alamiah memiliki risiko untuk mengalami keluhan muskuloskeletal 44 kali dibandingkan dengan pekerja perempuan yang bekerja dengan posisi yang alamiah. Perbedaan sikap kerja memberikan kecenderungan keluhan muskuloskeletal yang juga berbeda, hal ini ditunjukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Pangaribuan (2009) yang melakukan analisis terhadap postur kerja pada pegawai bagian pelayanan perpustakaan USU, dari hasil analisis tersebut menunjukan bahwa dari total responden 80% diantaranya merasakan sakit kaku di leher bagian atas, hal ini disebabkan karena pada umumnya leher bagian atas pekerja berada pada posisi mendongak untuk melihat
10
kode katalog buku, hasil lain menunjukan bahwa 67% responden merasakan sakit pada bagian pinggang, hal ini disebabkan oleh pegawai melakukan postur kerja jongkok atau bungkuk dalam waktu yang cukup lama. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya keluhan muskuloskeletal yang disebabkan oleh faktor pekerjaan yaitu (Pangaribuan, 2009): 1. Mengurangi postur kerja membungkuk pada pekerja dengan frekuensi yang sering dan dalam kurun waktu yang lama. Untuk memperbaiki hal ini, maka yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur stasiun kerja, seperti kursi yang harus disesuaikan dengan antropometri pekerja agar pekerja tetap mampu mempertahankan postur kerja yang normal. 2. Mengurangi tindakan pekerja untuk menggunakan jangkauan maksimum untuk meraih alat kerja, dimana sebaiknya jangkauan dilakukan dengan jarak jangkauan yang normal. 3. Mengatur pola kerja pekerja, dimana sebaiknya pekerja tidak duduk atau berdiri dalam kurun waktu yang lama. Namun tidak seluruh penelitian menunjukan adanya hubungan sikap kerja dengan keluhan muskuloskeletal, hal ini ditunjukan pada penelitian Fathoni, dkk. (2009) menunjukan bahwa sikap kerja tidak memiliki hubungan dengan nyeri pinggang pada perawat RSUD Purbalingga. Penelitian yang dilakukan oleh Ulfah, dkk. (2014) juga menunjukan hasil yang sama, bahwa sikap kerja yang tidak alamiah pekerja laundry bagian pengeringan tidak berhubungan dengan risiko gangguan muskuloskeletal. Kedua penelitian ini menunjukan bahwa sikap kerja yang tidak alamiah tidak selalu sebagai
11
penyebab dari keluhan muskuloskeletal. Karena kejadian keluhan muskuloskeletal pada pekerja disebabkan oleh multifaktor. 2.3
Metode Penilaian Sikap Kerja Berkaitan dengan bahaya terhadap gangguang kesehatan yaitu berupa keluhan
muskuloskeletal sebagai akibat dari sikap kerja yang tidak alamiah, maka banyak ahli yang mengembangkan metode penilaiaan sikap kerja yang berisiko terhadap keluhan muskuloskeletal. Pengembangan metode-metode tersebut bertujuan untuk memberikan penilaian dari sikap kerja pekerja dalam bekerja apakah sikap kerja yang dilakukan berisiko terhadap gangguan muskuloskeletal dan memberikan rekomendasi perbaikan sikap kerja. Berikut adalah metode-metode yang umum digunakan dalam penilaian sikap kerja untuk mengurangi risiko keluhan muskuloskeletal: 2.3.1
Metode OWAS (Ovako Working Analysis System) Metode OWAS diperkenalkan pertama kali oleh seorang penulis dari Osmo Karhu
Finlandia, pada tahun 1977, yang awalnya ditujukan untuk mempelajari suatu pekerjaan di industri baja di Finlandia (Tarwaka, 2014). Metode OWAS merupakan sebuah metode yang sederhana dan dapat digunakan untuk menganalisis beban yang diberikan pada postur tubuh. Penggunaan metode OWAS didasarkan pada hasil pengamatan dari berbagai posisi yang diambil pada pekerja selama melakukan pekerjaannya, dimana dapat digunakan mengidentifikasikan sampai dengan 252 posisi yang berbeda. Hasil akhir dari metode OWAS merupakan kombinasi antara postur tubuh bagian belakang (4 posisi), lengan (3 posisi), kaki (7 posisi), dan berat beban (3 interval) (Tarwaka, 2014).
12
Proses penilaian postur kerja dengan menggunakan metode OWAS, diawali dengan melakukan observasi aktivitas pekerja dengan cara merekam aktivitas yang dilakukan oleh pekerja baik menggunakan kamera atau menggunakan hendicam. Hasil rekaman digunakan untuk menganalisis postur yang dilakukan, yaitu: postur punggung, lengan, kaki dan berat beban. Hasil analisis postur dalam bentuk kode angka yang kemudian diklasifikasikan ke dalam kategori. Tahapan penilaian sikap kerja dengan menggunakan metode OWAS seperti ditunjukan pada gambar berikut (Budiman dan Styaningsih, 2006):
Gambar 2.1 Tahapan Proses Penggunaan Metode OWAS Hasil akhir dari metode OWAS adalah risiko untuk mengalami gangguan muskuloskeletal dari sikap kerja yang dilakukan oleh pekerja. Pengkategorian risiko tersebut dibagi ke dalam sekala ordinal yaitu 1-4, dimana apabila skor yang diperoleh semakin mendakati 4 maka semakin tinggi risiko untuk mengalami gangguan muskuloskeletal, untuk penjelasan yang lebih lengkap dapat dilihat pada tabel berikut (Tarwaka, 2014):
13
Tabel 2.1 Pengklasifikasian Kategori Risiko dan Tindakan Perbaikan Menurut Metode OWAS Tingkat risiko 1 2 3 4
Kategori Efek pada sistem muskuloskeletal risiko Ringan Posisi normal tanpa efek yang dapat mengganggu sistem muskuloskeletal Sedang Posisi yang berpotensi menyebabkan kerusakan pada sistem muskuloskeletal Tinggi Posisi dengan efek yang berbahaya pada sistem muskuloskeletal Sangat Posisi dengan efek sangat berbahaya Tinggi pada sistem muskuloskeletal
Tindakan perbaikan Tidak diperlukan perbaikan Tindakan perbaikan mungkin diperlukan Tindakan korektif diperlukan segera Tindakan korektif diperlukan segera mungkin
Metode OWAS telah digunakan seara luas untuk melakukan penilaian posisi kerja seperti penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2007) untuk menilai sikap kerja pada pekerja UD. TS yaitu industri kecil yang memproduksi paving dan tegel. Metode OWAS merupakan sebuah metode yang sedarhana dan dapat digunakan untuk menganalisis suatu pembebanan pada postur kerja, dan hal ini merupakan kelebihan dari metode OWAS. Namun menurut (Budiman dan Styaningsih, 2006) metode ini juga memiliki sejumlah kekurangan yaitu tidak menganalisis postur seluruh tubuh namun secara detail, dan belum menganalisis pemakaian tenaga otot statik serta gerakan repetitif. Berdasarkan kekurangan dari metode OWAS maka Tarwaka (2014) berpendapat bahwa diperlukan aplikasi metode lain yang lebih spesifik, khususnya tentang klasifikasi tingkat keparahan dari posisi yang berbeda, yang akan dapat membantu hasil kajian secara lebih mendetail. 2.3.2 Metode RULA (Rapid Upper Limb Assessment) Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh Lynn McAtamney dan Nigel Corlett (1993), yang mengobservasi segmen tubuh khususnya tubuh bagian atas dan mentransfernya dalam bentuk skoring (Tarwaka, 2014). Metode RULA merupakan suatu metode yang menggunakan penilaian terhadap postur tubuh, untuk mengestimasi
14
terjadinya risiko gangguan muskuloskeletal, khususnya pada anggota tubuh bagian atas. Prinsip dari metode ini adalah mengukur sudut dasar yaitu sudut yang dibentuk oleh perbedaan anggota tubuh (limbs) dengan titik tertentu pada postur tubuh yang dinilai, dimana pengukuran sudut dapat dilakukan dengan alat bantu seperti busur drajat. Pada intinya metode RULA memiliki kemiripan dengan metode OWAS yaitu merekam terlebih dahulu aktivitas pekerja, namun metode ini memiliki keunggulan dalam melakukan penilaian yaitu metode ini lebih detail dalam melakukan penilaian terhadap bagian-bagian tubuh pekerja yaitu mengukur besarnya sudut penyimpangan bagian-bagian tubuh dari posisi alamiahnya. Metode ini sangat efektif untuk mengidentifikasi sikap kerja, khususnya aktivitas yang banyak melibatkan anggota tubuh bagian atas (Budiman dan Styaningsih, 2006). Metode RULA dapat digunakan untuk menentukan prioritas pekerjaan berdasarkan faktor risiko cidera, yang dilakukan dengan membandingkan nilai tugas-tugas yang berbeda, di samping itu metode ini merupakan alat untuk melakukan analisis awal yang mampu menentukan seberapa jauh risiko pekerja oleh faktor-faktor penyebab cedera (Tarwaka, 2014). Metode ini telah secara umum digunakan dalam melakukan penilaian sikap kerja pekerja, hal ini ditunjukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Pangaribuan (2009) untuk menganalisis postur kerja pada pegawai pelayanan perpustakaan USU Medan, kemudian penelitian yang dilakukan oleh Singh, dkk. (2012) untuk melihat risiko gangguan muskuloskeletal pada pekerja pabrik penempaan di India. Metode ini harus dilakukan terhadap kedua sisi anggota tubuh kiri dan kanan, dimana tubuh dibagi manjadi dua kelompok yaitu kelompok A (lengan atas dan bawah dan pergelangan tangan) dan kelompok B (leher, tulang belakang dan kaki) (Budiman dan Styaningsih, 2006 dan
15
Tarwaka, 2014). Berikut adalah tahapan pengukuran sikap kerja dengan menggunakan metode RULA seperti ditunjukan pada gambar berikut (Budiman dan Styaningsih, 2006):
Gambar 2.2 Tahapan Proses Penggunaan Metode RULA Tahap awal dari pengukuran sikap kerja dengan menggunakan metode RULA, dilakukan dengan merekam sikap kerja pekerja pada saat bekerja. Pemilihan sikap kerja yang akan diamati, didasari oleh beberapa pertimbangan yaitu (Middlesworth, 2012): a. Sikap kerja yang paling sulit untuk dilakukan (berdasarkan hasil wawancara pekerja dan observasi awal). b. Sikap kerja yang dilakukan dalam kurun waktu yang lama. c. Sikap kerja yang membutuhkan tenaga tinggi untuk melakukannya. Setelah dilakukan perekaman sikap kerja pekerja yang akan diamati, kemudian dilakukan penilaian terhadap sikap kerja statis dan beban angkatan tersebut untuk mendapatkan skor RULA. Hasil akhir dari metode RULA adalah berupa penilaian risiko untuk mengalami keluhan muskuloskeletal dari sikap kerja yang dilakukan oleh pekerja. Pengkategorian risiko tersebut ditunjukan pada tabel berikut (Tarwaka, 2014):
16
Tabel. 2.2 Pengklasifikasian Kategori Risiko dan Tindakan Perbaikan Menurut Metode RULA Skor Akhir RULA 1-2 3-4 5-6 7+
2.3.3
Tingkat Kategori Tindakan Risiko Risiko 0 Rendah Tidak ada masalah dengan postur tubuh 1 Sedang Diperlukan investigasi lebih lanjut, mungkin diperlukan adanya perubahan untuk perbaikan sikap kerja 2 Tinggi Diperlukan adanya investigasi dan perbaikan segera 3 Sangat Diperlukan adanya investigasi dan perbaikan secepat tinggi mungkin
Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment) Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh Sue Hignett dan Lynn McAtamney,
yang merupakan hasil kerja sama antara tim ergonomist, fisioterapi, ahli okupasi dan perawat yang mengidentifikasi sekitar 600 posisi di industri manufacturing (Tarwaka, 2014). Metode REBA merupakan suatu alat analisis postural yang sangat sensitive terhadap pekerjaan yang melakukan perubahan posisi secara mendadak, biasanya sebagai akibat dari penanganan kontainer yang tidak stabil dan tidak terduga. Sama halnya dengan metode RULA, pengukuran dengan metode REBA juga dilakukan pada kedua sisi yaitu sisi kanan dan kiri. Keistimewaan dari metode REBA yaitu mampu untuk menganalisis pengaruh pada beban postural selama penanganan kontainer yang dilakukan dengan tangan atau bagian tubuh lainnya, memungkinkan untuk melakukan penilaian terhadap aktivitas otot yang disebabkan oleh posisi tubuh statis, dinamis, atau karena terjadinya perubahan postur yang tak terduga atau tiba-tiba dan lain-lain (Tarwaka, 2014). Sejak dipublikasikan pada tahun 2000, metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti untuk menilai sikap kerja pekerja seperti Ariani (2009) untuk melihat gambaran risiko muskuloskeletal pada buruh angkut (porter) di stasiun kereta Jatinegara dan juga Lasota (2014) yang melakukan studi kasus
17
pengukuran beban kerja pada pekerja pengepakan di Polandia. Berikut adalah tahapan pengukuran sikap kerja dengan menggunakan metode REBA seperti ditunjukan pada gambar berikut (Budiman dan Styaningsih, 2006):
Gambar 2.3 Tahapan Proses Penggunaan Metode REBA Tahap awal dari pengukuran sikap kerja dengan menggunakan metode REBA, dilakukan dengan merekam sikap kerja pekerja pada saat bekerja. Pemilihan sikap kerja yang akan diamati, didasari oleh beberapa pertimbangan yaitu (Ariani,2009): a.
Postur yang paling sering dilakukan.
b.
Postur yang statis dalam waktu lama.
c.
Postur yang membutuhkan aktivitas otot atau tenaga yang besar.
d.
Postur yang diketahui menyebabkan ketidaknyamanan.
e.
Postur janggal, tidak stabil dan ekstrim. Setelah dilakukan perekaman sikap kerja pekerja yang akan diamati, kemudian
dilakukan penilaian terhadap sikap kerja, berat beban yang diangkat, pegangan dari beban yang diangkat dan posisi statis dari aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan skor REBA. Setelah diketahui skor akhir dari metode REBA, selanjutnya dikalasifikasikan skor
18
akhir ke dalam 5 tingkatan. Setiap tingkatan aksi menentukan tingkat risiko dan tindakan korektif yang disarankan pada posisi yang dievaluasi. Semakin besar nilai dari hasil yang diperoleh, maka akan lebih besar risiko yang dihadapi untuk posisi yang bersangkutan. Berikut adalah penilaian berdasarkan skor akhir berdasarkan metode REBA: Tabel 2.3 Kategori Risiko Berdasarkan Sikap Kerja Menurut Metode REBA Skor Akhir 1 2-3 4-7 8-10 11-15
2.4
Tingkat Risiko 0 1 2 3 4
Kategori Risiko
Tindakan
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Tidak ada tindakan Mungkin diperlukan tindakan Diperlukan tindakan Diperlukan tindakan segera Diperluka tindakan sesegera mungkin
Keluhan Muskuloskeletal 2.4.1 Definisi keluhan muskuloskeletal Sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang/kerangka, otot, tulang rawan, ligament, tendon, fascia, bursae dan persendian (Ariani, 2009). Fungsi utama dari sistem ini adalah mempertahankan postur tubuh manusia dan membantu manusia dalam bergerak. Apabila sistem muskuloskleletal mendapatkan pengaruh dari luar tubuh seperti otot menerima beban statis secara berulang dan dalam kurun waktu yang lama maupun faktor internal seperti usia, maka akan dapat mempengaruhi kinerja dari sistem muskuloskeletal yang pada akhirnya dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligament dan tendon. Keluhan pada sistem muskuloskeletal adalah keluhan yang dirasakan oleh seseorang pada bagian otot dan rangka dengan tingkat keluhan yang berbeda-beda, keluhan hingga kerusakan ini yang biasanya diistilahkan dengan gangguan muskuloskeletal (Tarwaka, 2014). Pada umumnya
19
keluhan muskuloskeletal terjadi apabila sistem muskuloskeletal menerima beban yang melampaui kapasitasnya dengan durasi pembebanan yang panjang (WHO, 2003). Pembebanan berlebih pada otot yang menyebabkan otot mengalami kontraksi melebihi 20% dari kekuatan maksimumnya, yang akan berdampak pada kurangnya peredaran darah ke otot (Tarwaka, 2014). Menurunnya suplai oksigen ke otot menyebabkan proses metabolisme karbohidrat terhambat dan akan terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya nyeri otot. Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua yaitu (Tarwaka, 2014): 1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pemberian beban dihentikan. 2. Keluhan menetap (persistent) yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut. Faktor pekerjaan dipercayai sebagai salah satu faktor risiko dari gangguan muskuloskeletal. Gangguan muskuloskeletal yang disebabkan oleh faktor pekerjaan disebut dengan Work-Related Muskuloskeletal Disorders (WRMSDs). Keluhan muskuloskeletal yang berkaitan dengan pekerjaan didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi pada struktur tubuh seperti: otot, sendi, tendon, ligamen, saraf, tulang dan sistem peredaran darah lokal, yang terutama disebabkan atau diperparah oleh faktor pekerjaan (OSHA, 2007). Pada umumnya gangguan muskuloskeletal yang berkaitan dengan pekerjaan adalah gangguan kumulatif, yang dihasilkan dari paparan berulang
20
terhadap beban intensitas tinggi atau rendah yang dilakukan dalam kurun waktu yang panjang. 2.4.2 Faktor risiko keluhan muskuloskeletal Faktor risiko adalah hal-hal atau kondisi yang dapat memicu munculnya keluhan muskuloskeletal. Berikut adalah faktor-faktor risiko munculnya keluhan muskuloskeletal: 1.
Potensi bahaya ergonomi Potensi bahaya ergonomi adalah potensi bahaya yang berasal atau yang
disebabkan oleh penerapan ergonomi yang tidak baik atau tidak sesuai dengan normanorma ergonomi yang berlakudalam melakukan pekerjaan (Tarwaka, 2008). Berikut adalah potensi bahaya ergonomi yang dapat menyebabkan keluhan muskuloskeletal: a.
Aktivitas berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus
seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar dan angkat angkut (Tarwaka, 2014). Sedangkan pada metode penilain sikap kerja REBA dan RULA, yang dikategorikan sebagai aktivitas berulang adalah apabila suatu kegiatan dilakukan empat kali dalam satu menit. Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya, dkk.,(2011) untuk melihat faktor-faktor risiko keluhan muskuloskeletal pada mahasiswa kedokteran gigi UI menunjukan bahwa gerakan repetitive merupakan salah faktor risiko dari keluhan muskuloskeletal. Pada aktivitas yang dilakukan secara berulang, keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksaasi (Tarwaka, 2014). b.
Sikap kerja tidak alamiah
21
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagianbagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, dimana semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat grafitasi tubuh, maka semakin meningkat pula risiko terjadinya keluhan muskuloskeletal (Tarwaka, 2014). Penelitian yang dilakukan Sang, dkk. (2014), pada pemanenan kelapa sawit di PT. Sinergi Perkebunan Nusantara menunjukan bahwa sikap kerja berpengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal. Sikap kerja yang tidak alamiah menyebabkan sendi lebih rentan mengalami cidera (Nunes dan Bush, 2012). c.
Peregangan otot yang berlebihan Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja
yang memerlukan pengerahan tenaga yang berlebih pada saat melakukan aktivitas kerja seperti pekerjaan manual material handling. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi kerena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot (Tarwaka, 2014). Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat meningkatkan risiko terjadinya keluhan muskuloskeletal. Pekerja yang memerlukan tenaga yang berlebihan lebih cenderung untuk mengalami keluhan muskuloskeletal hal ini ditunjukan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ariani (2009) pada porter di Stasiun Kereta Jatinegara menunjukan bahwa 100% responden merasakan ketidaknyamanan/keluhan pada sistem muskuloskeletal. 2.
Potensi Bahaya Fisik Potensi bahaya fisik adalah potensi bahaya yang dapat menyebabkan gangguan-gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja yang terpapar (Tarwaka, 2008).
22
Berikut
adalah potensi bahaya fisik
yang dapat menyebabkan keluhan
muskuloskeletal: a.
Getaran Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah.
Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, sehingga akan terjadi penimbunan asam laktat dan pada akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri otot (Tarwaka, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2013) di Bangladesh menunjukan bahwa prevalensi sopir truk yang mengalami ganguan muskuloskeletal adalah 75%, dimana seluruh sopir truk terpapar getaran yang ditimbulkan dari mesin mobil. Nusa, dkk. (2014), menunjukan bahwa getaran memiliki hubungan dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus trayek Manado-Langowan. Penelitian tersebut menunjukan bahwa pekerja yang menerima getaran berlebih dan frekuensi waktu yang lama berisiko untuk mengalami keluhan muskuloskeletal. b.
Paparan suhu lingkungan kerja. Paparan lingkungan kerja dengan suhu dingin demikian juga dengan paparan
suhu panas yang berlebihan dapat menurunkan kekuatan otot pekerja yang akan berdampak pada menurunnya kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja (Tarwaka, 2014). Beberapa sumber seperti OSHA (2007), Nunes dan Bush (2012) dan Tarwaka (2014) menyebutkan bahwa paparan suhu dingin meningkatkan kemungkinan pekerja untuk
mengalami
keluhan
muskuloskeletal.
Paparan
suhu
dingin
dapat
mempengaruhi efisiensi otot dan kerusakan pada pembuluh darah dan saraf. Sama halnya dengan paparan suhu dingin yang berlebih, paparan suhu panas yang berlebih juga dapat menyebabkan terjadinya keluhan muskuloskeletal pada pekerja.
23
Lingkungan kerja panas, mengakibatkan tubuh mengeluarkan energi yang lebih banyak untuk menyesuaikan diri. Apabila tubuh tidak memiliki cadangan energi yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sekitar, maka hal ini akan menyebabkan peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot (Tarwaka, 2014). 3. Karakteristik individu Faktor risiko individu dapat mempengaruhi kemungkinan untuk terjadinya keluhan muskuloskeletal. Faktor-faktor ini bervariasi tergantung pada penelitian yang dilakukan, namun faktor risiko individu yang paling umum dikatakan sebagai faktor risiko keluhan muskuloskeletal yaitu: a.
Umur Umur merupakan salah satu faktor risiko dari keluhan muskuloskeletal, hal
ini dikarenakan pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat (Tarwaka, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Umami, dkk. (2014) menunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermaknsa antara umur dan keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja batik tulis. Bertambahnya umur akan menyebabkan penurunan fungsi sistem tubuh yang salah satunya adalah sistem muskuloskeletal, hal ini akan berdampak pada meningkatnya risiko keluhan muskuloskeletal. Namun penelitian Ellyana (2014) pada kuli panggul dan Sani, dkk. (2014) pada pekerja batik tulis, menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur pekerja dan keluhan muskuloskeletal. Hal tersebut
24
disebabkan karena pekerja telah terbiasa melakukan pekerjaan tersebut dan merasa nyaman dengan pekerjaannya. b.
Jenis kelamin Secara fisiologis, kemampuan otot perempuan memang lebih rendah dari
pada laki-laki. Astrand dan Ronald (1996) dalam Tarwaka (2014) menjelaskan bahwa kekuatan otot perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yaitu sekitar dua pertiga dari kekuatan otot laki-laki, sehingga daya tahan otot perempuan lebih rendah dibandingakn laki-laki. Pekerja perempuan lebih cenderung untuk mengalami keluhan muskuloskeletal dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Penelitian Bedu, dkk. (2013) bahwa jenis kelamin mempengaruhi keluhan muskuloskeletal. c.
Masa kerja Masa kerja adalah suatu kurun waktu lamanya seorang pekerja bekerja di
suatu tempat (Riski, 2013). Masa kerja merupakan faktor risiko dari keluhan keluhan muskuloskeletal, karena keluhan muskuloskeletal yang berkaitan dengan pekerjaan bersifat kumulatif, yang berarti bahwa semakin lama seseorang terpajan faktor risiko maka semakin besar seseorang merasakan keluhan- keluhan fisik akibat pekerjaannya. Penelitian yang menunjukan masa kerja sebagai salah satu faktor risiko dari keluhan muskuloskeletal adalah penelitian yang dilakukan oleh Bedu, dkk. (2013) menunjukan bahwa masa kerja berpengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal. Namun tidak seluruh penelitian menunjukan bahwa masa kerja merupakan faktor risiko dari keluhan muskuloskeletal. Penelitian yang dilakukan oleh Nusa,
25
dkk. (2014) menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara masa kerja dengan keluhan muskuloskeletal. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Jonathan dkk. (2013) pada kuli bongkar muatan dan Sani, dkk. (2014) pada pengajin batik juga memperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara masa kerja dan keluhan muskuloskeletal pada pengajin batik. d. Antropometri Antropometri adalah suatu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia yang meliputi: ukuran, bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut dalam membangun desain tempat kerja (Nurmianto, 2004). Keluhan muskuloskeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya. Index antropometri yang umumnya digunakan untuk menilai risiko seseorang untuk ngalami keluhan muskuloskeletal adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). Menurut Depkes RI (2006) Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat dikelompokan menjadi 4 yaitu: Tabel 2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Kategori Kurus Normal Kegemukan Obesitas
Jenis Kelamin Laki-Laki <17 kg/m2 17-23 kg/m2 23-27 kg/m2 >27 kg/m2
Perempuan <18 kg/m2 18-25 kg/m2 25-27 kg/m2 >27 kg/m2
Menurut OSHA (2007), orang yang tergolong mengalami obesitas, lebih cenderung untuk mengalami keluhan muskuloskeletal. Penelitian yang dilakukan
26
oleh Vessy, dkk., (1994) dalam Tarwaka (2014) menyatakan bahwa perempuan yang gemuk mempunyai risiko dua kali lipat mengalami keluhan muskuloskeletal dibandingkan dengan perempuan kurus. Namun penelitian lain yang dilakukan oleh Sani, dkk. (2014) dan Jonathan dkk. (2013) menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara status Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan keluhan muskuloskeletal. 2.4.3 Penilaian tingkat keluhan muskuloskeletal. Metode nordic body map merupakan metode yang paling umum digunakan untuk menilai tingkat keluhan muskuloskeletal yang dirasakan oleh seseorang. Dalam aplikasinya, metode nordic body map, menggunakan gambar tubuh manusia yang dibagi menjadi 28 bagian otot pada sistem muskuloskeltal pada kedua sisi tubuh. Penilaian dengan menggunakan nordic body map dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu (Tarwaka, 2014): 1. Menggunakan skala nominal yang memberikan dua pilihan yaitu ya apabila merasakan keluhan muskuloskeletal pada bagian tubuh yang ditanyakan dan tidak apabila tidak merasakan keluhan pada bagian tubuh yang ditanyakan. 2. Menggunakan skala ordinal, dimana penilaian dilakukan dengan menggunakan skoring 0-3, yang menunjukan tingkat keluhan yang dirasakan. Berikut adalah contoh tingkat keparahan pada masing-masing skor tersebut: a. Skor 0 = Tidak ada keluhan /kenyerian pada otot-otot atau tidak ada rasa sakit sama sekali yang dirasakan oleh pekerja selama melakukan pekerjaaan (tidak sakit)
27
b. Skor 1 = Dirasakan sedikit adanya keluhan atau kenyerian pada bagian otot, tetapi belum mengganggu pekerjaan (agak sakit) c. Skor 2 = Responden merasakan adanya keluhan/kenyerian atau sakit pada bagain otot dan sudah mengganggu pekerjaan, tetapi rasa kenyeriaan segera hilang setelah dilakukan istirahat dari pekerjaan (sakit). d. Skor 3 = Responden merasakan keluhan sangat sakit atau sangat nyeri pada bagian otot dan kenyerian tidak segera hilang meskipun telah beristirahat yang lama atau bahkan diperlukan obat pereda nyeri otot (sangat sakit). Setelah dilakukan skoring kemudian dihitung total skor keluhan muskuloskeletal yang kemudian dicocokan dengan klasifikasi seperti di bawah ini (Tarwaka, 2014): Tabel 2.5 Klasifikasi Skor Keluhan Muskuloskelatal Total Skor Keluhan Individu 0-20
Tingkat Risiko
Kategori Risiko
Tindakan perbaikan
0
Rendah
21-41
1
Sedang
42-62 63-84
2 3
Tinggi Sangat tinggi
Belum diperlukan tindakan perbaikan Mungkin diperlukan tindakan perbaikan Diperlukan tindakan perbaikan Diperlukan tindakan menyeluruh sesegera mungkin
Metode nordic body map merupakan metode yang sangat subjektif, artinya hasil dari metode ini sangat bergantung pada kondisi yang dihadapi oleh responden dan juga keahlian observer (Tarwaka, 2014). Namun metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan untuk melihat gambaran keluhan muskuloskeletal pada pekerja, salah satunya yaitu Ariani (2009) untuk
28
melihat gambaran keluhan muskuloskeletal pada porter di Stasiun Kereta Jatinegara dan Abdillah (2013) untuk melihat keluhan muskuloskeletal pada pekerja kuli angkut buah di Pasar Johar, Kota Semarang.
2.5 Pengrajin Patung Menurut Susanto (2011) seni patung adalah sebuah karya seni yang dibuat dengan metode subtraktif (mengurangi bahan seperti memotong, menatah) atau aditif (membuat model lebih dulu seperti mengecor dan mencetak) dimana karya seni ini berbentuk tiga dimensi. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia, seni patung didefinisikan sebagai benda tiruan, yang menyerupai manusia dan hewan yang cara pembuatannya dengan dipahat. Orang yang berprofesi sebagai pembuat patung, pada umumnya disebut dengan pengrajin patung. Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengrajin adalah orang yang pekerjaannya (profesinya) membuat barang kerajinan. Sehingga berdasarkan definisi dari pengrajin tersebut, maka pengrajin patung dapat didefinisikan sebagai orang yang pekerjaannya (profesinya) membuat barang kerajinan patung. Patung dapat dibuat dari berbagai bahan seperti: kayu, batu paras, tanah liat dan lain-lain. Proses pembuatan patung sangat beragam, tergantung dari bahan yang digunakan. Untuk pembuatan patung kayu, berdasarkan informasi yang diperoleh dari para pengrajin patung di Desa Kemenuh, secara umum dibagi menjadi 7 tahap yaitu:
1. Pemilihan kayu dan ide Tahap ini merupakan langkah awal yang dilakukan oleh para pengrajin patung. Jenis kayu yang umumnya digunakan dalam pembuatan patung yaitu: kayu mahoni, jati,
29
waru, sono, dan eboni. Pemilihan kayu ini tidak tergantung dari kesempurnaan kondisi kayu tersebut, dimana kayu yang sudah dalam kondisi tidak baik pun dapat dimanfaatkan oleh pengrajin patung. Hal ini sangat tergantung dari ide yang dimiliki oleh pengrajin. Ide awal yang dimiliki oleh seorang pengrajin patung, merupakan faktor yang paling menentukan akan dibentuk menjadi apa potongan kayu yang telah diperoleh tersebut. 2. Pembentukan/nyalonan Pembentukan merupakan langkah kedua yang dilakukan setelah para pengrajin memilih kayu. Pembentukan merupakan proses dimana kayu yang diperoleh dibentuk menjadi bentuk yang diinginkan, namun masih dalam bentuk kasar. Lekukan-lekukan yang terbentuk masih dalam bentuk kasar dan belum tegas, namun telah menunjukan gambaran bentuk patung yang diinginkan. 3. Pengahalusan Pengahalusan merupakan tahap selanjutnya yang dilakukan setelah proses pembentukan. Pada tahap ini, bentuk dari patung dipertegas. Lekukan-lekukan dari bagian-bagian patung tersebut dipertegas dengan cara dihaluskan dengan menggunakan pahat (ngerot). Tehnik penghalusan dilakukan berlawanan arah denagn serat kayu, hal ini bertujuan untuk memudahkan untuk melepas lapisan kayu.
4. Pengukiran Pengukiran merupakan tahapan dalam proses pembuatan patung yang dilakukan untuk menambahkan ornamen atau hiasan pada pada patung. Penambahan ornament ini sangat ditentukan oleh jenis patung yang dibuat dan pengaruh dari daerah setempat. Untuk
30
di Bali khususnya di Desa Kemenuh, ornamen yang umumnya ditambahkan adalah ornament pepatran. Ornamen pepatran adalah ornament yang ide/konsep diambil dari tanaman yang merambat. 5. Pembuatan wajah/muent Pembuatan wajah merupakan tahapan yang dilakukan untuk membentuk wajah dari patung agar terbentuk karakter yang ingin diciptakan oleh pengrajin. 6. Pengamplasan Pengamplasan merupakan tahapa dalam proses pembuatan patung yang dilakukan untuk menghaluskan patung yang sudah terbentuk sesuai dengan ide awal pengrajin. Pengamplasan dilakukan dengan dua tahap yaitu: a. Pengamplasan keras untuk meratakan bagain-bagain dari patung. b. Pengamplasan untuk membuat patung terlihat mengkilap. 7. Penyemiran Penyemiran merupakan tahap akhir dalam proses pembuatan patung. Penyemiran dilakukan dengan menggunakan semir sepatu yang dicampur dengan minyak yang kemudian dioleskan pada patung tersebut. Tujuan dari proses penyemiran ini adalah agar patung terlihat semakin mengkilap, sehingga tampilan patung menjadi lebih menarik untuk dilihat. Waktu yang diperlukan pada setiap tahapan pembuatan patung kayu sangat bervariasi tergatung dari ukuran patung dan inspirasi yang dimiliki oleh pengrajin patung. Seluruh proses pembuatan patung tersebut dilakukan dengan posisi duduk, dimana seorang pengrajin patung dapat bertahan duduk selama berjam-jam.
31
Apabila dilihat dari sudut pandang seni, hal tersebut merupakan hal yang wajar dilakukan namun apabila dilihat dari sisi kesehatan, tentunya kondisi tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan pada pengrajin petung seperti keluhan muskuloskelatal. Sejumlah penelitian telah menunjukan bahwa sejumlah pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk selama kurun waktu yang lama dapat menyebabakan keluhan muskuloskeletal pada pekerjanya. Penelitian yang dilakukan oleh Siswiyanti dan Luthfianto (2011) pada pembatik tulis di Kelurahan Kalinyamat Wetan Kota Tegal menunjukan bahwa para pembatik yang melakukan kegiatan membatik dengan posisi duduk merasakan keluhan muskuloskeletal yaitu 40% pada tubuh bagian bokong, siku kanan, lutut kiri, dan 60% pada tubuh bagian punggung dan pantat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sani, dkk. (2014) pada pekerja perempuan kerajinan batik tulis di Dusun Karang Kulon Desa Wukirsari menunjukan bahwa seluruh responden yang berjumlah 55 orang merasakan keluhan muskuloskeletal, dimana 89% merasakan keluhan dibagai leher dan 83% merasakan keluhan di bagian punggung. Subjek penelitian yang digunakan oleh kedua peneliti tersebut memiliki kemiripan dengan proses kerja pengrajin patung yaitu bekerja dengan posisi duduk dalam durasi waktu yang lama. Berdasarkan hal tersebut bahwa para pengrajin patung juga mungkin merasakan keluhan muskuloskeletal seperti halnya para pengrajin batik tersebut.