Bab II Tinjauan Pustaka BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bangunan Pelimpah (Spillway) Bangunan pelimpah adalah bangunan pelengkap dari suatu bendungan yang berguna untuk mengalirkan kelebihan air agar bendungan tetap aman bila terjadi banjir. Secara umum bangunan pelimpah terdiri dari saluran pengarah, pelimpah, saluran peluncur dan pemecah energi. Kapasitas bagian pengarah dan bagian peluncur harus mampu menampung debit banjir maksimum yang direncanakan sedemikian sehingga elevasi muka air banjir di waduk tetap terkendali dibawah rencana muka air banjir maksimum, sedangkan suatu pemecah energi dibangun guna melindungi dasar sungai, tebing, dan fasilitas lainnya. Pelimpah pada bangunan utama bangunan penampung berfungsi untuk mengalirkan air banjir dari waduk bila waduk penuh.
Gambar 2.1 : Bangunan Pelimpah (Sumber : Teknik Bendungan - Ir. Soedibyo)
II - 1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1.1 Bagian-bagian Penting dari Bangunan Pelimpah 1.
Saluran pengarah Saluran pengarah berfungsi sebagai penuntun dan pengarah aliran agar aliran tersebut senantiasa dalam kondisi hidrolika yang baik. Pada saluran pengarah aliran ini, kecepatan masuknya aliran air supaya tidak melebihi 4m/detik dan lebar saluran makin mengecil ke arah hilir. Apabila kecepatan tersebut melebihi 4m/detik, maka aliran akan bersifat helisoidal dan kapasitas pengalirannya akan menurun. Disamping itu aliran helisoidal tersebut akan mengakibatkan peningkatan beban hydrodinamis pada bangunan pelimpah tersebut. Kedalaman dasar saluran pengarah aliran biasanya diambil lebih besar dari 1/5 x tinggirencana limpasan di atas mercu ambang pelimpah.
Gambar 2.2 : Saluran Pengarah Aliran dan Ambang Pengatur Debit pada Sebuah Bangunan Pelimpah 2.
Saluran pengatur aliran Bagian ini berfungsi sebagai pengatur kapasitas-aliran (debit) air yang melintasi bangunan pelimpah. Bentuk dan sistem kerja saluran pengatur aliran ini sangat bermacam-macam disesuaikan dengan ketelitian pengaturan yang disyaratkan untuk bagian ini. Di bawah ini akan diuraikan beberapa contoh dari bagian pengatur aliran yang bentuk
II - 2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka serta dimensinya diperoleh dari perhitungan-perhitungan hydrolika yang didasarkan pada rumus-rumus empiris, sebagai berikut : a)
Type ambang bebas (flowing into canal type) Digunakan untuk debit air yang kecil dengan bentuk sederhana. Bagian depan dapat berbentuk tegak atau miring (1 tegak : 1 horizontal, 1 tegak : 1 horizontal atau 2 tegak : 1 horizontal), kemudian horizontal dan akhirnya berbentuk lengkung.
Gambar 2.3 : Saluran Pengatur dengan Ambang Bebas pada Bangunan Pelimpah Apabila berbentuk tegak selalu diikuti dengan lingkaran jari-jari diambil ½ h2. Untuk menentukan lebar ambang biasanya digunakan rumus : Q = 1,704 x b x c x (h1)3/2 ................................................
(2.1)
(Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
Keterangan : Q = debit air (m/detik). b = panjang ambang (m). h1 = kedalaman air tertinggi di sebelah hulu ambang (m). c = angka koeffisien untuk bentuk persegi panjang = 0,82.
II - 3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka b) Type ambang berbentuk bendung pelimpah (overflow wier type) Digunakan untuk debit yang besar. permukaan bendung berbentuk lengkung disesuaikan dengan aliran air, agar tidak ada air yang lepas dari dasar bendung. Hal ini untuk mencegah terjadinya kerusakan pada permukaan beton yang di lewati aliran air. Karena kecepatan aliran air yang terjadi biasanya besar maka bangunan pelimpah selalu dibuat dari beton bertulang. Rumus untuk bendung pelimpah menurut JANCOLD adalah : Q = c . (L – KHN) . H3/2 .................................................
(2.2)
Keterangan : Q = debit air (m/detik). L = panjang bendung (m). K = koefisien kontraksi. C = angka koefisien. H = angka air tertinggi di sebelah hulu bendung (m).
Gambar 2.4 : Saluran Pengatur dengan Ambang Berbentuk Pelimpah Menggantung
II - 4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka c) Type ambang berbentuk bendung pelimpah menggantung (overhang weir)
Gambar 2.5 : Saluran Pengatur dengan Ambang Berbentuk Bendung Pelimpah Menggantung Hampir sama dengan ambang berbentuk pelimpah dan banyak digunakan untuk bendungan beton, terutama yang berbentuk lengkung. Pada bendungan beton berbentuk lengkung ukuran tebalnya relatif tipis, sedang bangunan pelimpah dapat disatukan dengan dinding bendungannya. Agar supaya ukuran ambang bangunan pelimpah sesuai dengan aliran air yang tejadi maka tebalnya harus ditambah sehingga terjadi bagian yang sedikit maju dan menggantungg. Rumus yang dipakai sama juga dengan ambang berbentuk bendung, yaitu : Q = c . (L – KHN) . H3/2 3.
Saluran pengangkut debit air (saluran peluncur, chute, discherge carrier, flood way) Makin tinggi bendungan, makin besar perbedaan antara permukaan air tertinggi di dalam waduk dengan permukaan air sungai di sebelah hilir bendungan. Apabila kemiringan saluran pengangkut debit air dibuat II - 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka kecil, maka ukurannya akan sangat panjang dan berakibat bangunan menjadi mahal. Oleh karena itu kemiringannya terpaksa dibuat besar, dengan sendirinya disesuaikan dengan keadaan topografi setempat. Untuk menentukan kecepatan aliran air biasanya digunakan rumus : v = k. R.2/3 i.1/2
......................................................
.......
(2.3)
(Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
Keterangan : v = kecepatan aliran air (m/detik). k = koefisien kekasaran saluran. R = jari-jari basah yang merupakan perbandingan antara luas basah dengan keliling basah. i = kemiringan saluran. Apabila kemiringan (i) besar, bahwa kemungkinan kecepatannya menjadi sangat besar, mendekati kecepatan kritis atau bahkan kecepatan super kritis. Untuk menentukan batas kecepatan ini digunakan angka Froude menurut rumus : Fr =
.
..............................................................................
(2.4)
(Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
Keterangan : Fr = angka Froude. v = kecepatan aliran air (m/detik). g = percepatan gravitasi bumi, m/detik (≅ 9,8). l = panjang karakteristik (feet).
II - 6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Untuk aliran terbuka, maka L = D, tinggi hidraulik yaitu perbandingan antara luas penampang normal basah dibagi dengan permukaan bebas. Untuk nilai Fr = 1, disebut kecepatan kritis. Untuk nilai Fr > 1, disebut kecepatan super kritis. Untuk nilai Fr < 1, disebut kecepatan sub kritis. 4.
Bangunan peredam energi (energi dissipator) Digunakan
untuk
menghilangkan
atau
setidak-setidaknya
mengurangi energi air agar tidak merusak tebing, jembatan, jalan, bangunan dan instalasi lain di sebelah hilir bangunan pelimpah. Pada rencana teknis detail peredam energi perlu pula diketahui perkiraan jarak loncatan air serta posisi jatuhnya kembali di atas permukaan air sungai di hilirnya dan bentuk loncatan air yang meninggalkan ujung hilir peredam energi dapat diperoleh dengan rumus : = sin 2ϕ + sin 2ϕ + 4 cos ϕ x η
............................. (2.5)
(Sumber : Dr. Suyono Sosrodarsono, 2003)
Keterangan :
=
=
−
H1 = total tinggi tekanan pada titik ujung hilir peredam energi. ϕ = sudut kemiringan dasar ujung hilir peredam energi. yo = perbedaan antara elevasi titik ujung hilir peredam energi dan elevasi permukaan air sungai. II - 7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Agar memperoleh
yang terbesar, maka untuk rumus (2.5), harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut : cos
= 1 +
.............................................................
(2.6)
2.1.2 Tipe Bangunan Pelimpah 1.
Pelimpah terjunan (overflow outflow) Pelimpah jenis ini bentuknya menyerupai tubuh bendung tetap, yaitu air lewat di atas mercu.
2.
Pelimpah samping aliran Air setelah melewati mercu bendung dialirkan melalui saluran yang sejajar dengan mercu. Pelimpah samping sesuai untuk bendungan urugan tanah atau urugan batu.
3.
Pelimpah peluncur (chute spillway) Pelimpah peluncur merupakan salah satu bangunan yang digunakan untuk mengalirkan kelebihan air waduk melalui saluran terbuka yang mempunyai kemiringan besar (curam), dan disebut peluncur. Pada umumnya jenis pelimpah ini dibangun terpisah dengan bendungannya dan sering digunakan pada bendungan jenis urugan.
4.
Pelimpah corong (shaft spillway) Disebut juga Morning Glory Spillway, mempunyai bentuk seperti sebuah cerobong tegak dengan sebuah corong tegak lurus yang dihubungkan dengan pipa horizontal keluar dari bendungan. Morning Glory Spillway ini dipakai di Indonesia yaitu pada Bendungan Ir. H.
II - 8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Djuanda (Bendungan Jatiluhur) dan merupakan tipe morning glory terbesar di dunia.
2.1.3 Tipe Bangunan Pelimpah Berdasarkan Fungsinya 1.
Bangunan pelimpah utama (main spillway) Adalah bangunan pelimpah yang digunakan untuk melewatkan air banjir sesuai dengan periode ulang yang sudah direncanakan. Kapasitas bangunan pelimpah utama biasanya diambil dengan periode ulang 100 tahun ditambah angka keamanan 20% untuk bendungan beton dan 200 tahun ditambah angka keamanan 20% untuk tipe urugan. Debit air banjir dengan periode ulang 200 tahun ditambah angka keamanan 20% ini nilainya mendekati periode ulang 1.000 tahun. Akan tetapi dengan terjadinya banjir besar yang kadang-kadang sangat melebihi perkiraan semula maka para ahli menyarankan untuk mengambil periode ulang 1.000 tahun bahkan 10.000 tahun masih ditambah angka keamanan. Angka ini dipakai terutama untuk bendungan yang waduknya relatif kecil dibanding dengan inflow air yang masuk.
2.
Bangunan pelimpah pembantu (auxilliary spillway, fuse plug spillway) Adalah bangunan pelimpah tambahan yang beroperasi apabila terjadi banjir yang luar biasa di atas kapasitas bangunan pelimpah utama. Bangunan pelimpah pembantu terdiri dari bangunan pengeluaran dengan ambang dan saluran air menuju sungai yang mengalir didekatnya yang terletak dibagian hilir bendungan utama.apabila keadaan topografinya
II - 9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka memungkinkan, lebih baik disalurkan ke sungai yang sama, di sebelah hilir bendungan utama. 3.
Bangunan pelimpah darurat (emergency spillway) Adalah bangunan pelimpah tambahan yang beroperasi apabila terjadi banjir luar biasa sedangkan pintu air bangunan pelimpah utama atau pintu air bangunan pengeluaran tidak dapat dibuka atau tidak dapat beroperasi secara penuh. Kadang-kadang bangunan pelimpah pembantu dijadikan satu dengan bangunan pelimpah darurat dengan ukuran yang lebih besar sehingga menjadi lebih ekonomis, dengan sendirinya apabila keadaan topografinya memungkinkan.
2.1.4 Tipe Bangunan Pelimpah Berdasarkan Cara Operasinya 1.
Bangunan pelimpah tanpa alat kontrol (bangunan pelimpah tanpa pintu air, uncontrolled spillway, ungated spillway) Tidak mempunyai risiko terhadap macetnya pembukaan pintu air akan tetapi tipe ini hanya dapat dipakai untuk kapasitas debit banjir yang relatif kecil.
2.
Bangunan pelimpah dengan pintu air (controlled spillway, gated spillway) Banyak digunakan untuk kapasitas debit air yang besar, kadangkadang dengan risiko tidak dapat dibuka dan sangat membahayakan, oleh karena itu harus diupayakan cara pembukaan lebih dari satu.
II - 10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1.5 Mercu Bangunan Pelimpah Tahap-tahap dalam merencanakan penampang mercu pelimpah adalah : 1) Menentukan kedalaman saluran pengarah Saluran pengarah aliran dimaksudkan agar aliran air senantiasa dalam kodisi hidrolika
yang
baik
dengan
mengatur
kecepatan
alirannya tidak melebihi 4 m/det dengan lebar semakin mengecil ke arah hilir. Apabila kecepatan aliran melebihi 4 m/det, maka aliran akan bersifat helisoidal dan kapasitas alirannya akan menurun. Disamping
itu
aliran
helisoidal
tersebut
akan
mengakibatkan
peningkatan beban hidrodinamis pada bangunan pelimpah tersebut. W>
. H
.............................................................................
(2.7)
(Sumber : Sosrodarsono, 1976)
2) Penampang mercu pelimpah Untuk merencanakan permukaan ambang ogee dipakai metode yang dikembangkan oleh Civil Engineering Department U.S. Army atau biasa disebut rumus lengkung Harold. X1,85 = 2 x ha0,85 x Y .........................................................
(2.8)
.
Y=
,
................................................................. (2.9)
Keterangan : X = jarak horizontal dari titik tertinggi mercu bendung ketitik dipermukaan mercu disebelah hilir. Y = jarak vertical dari titik tertinggi mercu bendung ketitik dipermukaan mercu disebelah hilir. Hd = tinggi tekanan rencana. II - 11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1.6 Kapasitas Spillway Kapasitas Spillway dihitung dengan rumus sebagai berikut : Q = C . B . H3/2 ................................................................
(2.10)
Keterangan : Q = debit limpahan (m3/dt). B = panjang ambang bangunan (m). H = tinggi energi diatas ambang bangunan pelimpah (m). C = koefisien debit bangunan pelimpah. Dari rumus Iwasaki : Hd Cd = 2,20 – 0,0416 x w
,
......................................
(2.11)
........................................
(2.12)
C = 1,60 x
Keterangan : Cd = koefisien limpasan pada saat h = Hd. w = tinggi spillway dari dasar (m). C = koefisien limpasan. h = tinggi air diatas spillway (m). a = konstanta yang diperoleh pada saat h = Hd.
II - 12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.2
Bendungan Menurut Peraturan Menteri PUPERA RI Nomor 27/PRT/M/2015, bendungan adalah bangunan yang berupa urugan tanah, urugan batu dan urugan beton, yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang, atau menampung lumpur sehingga seperti waduk. Pembangunan bendungan berfungsi untuk penyediaan air baku, penyediaan air irigasi, pengendalian banjir dan pembangkit tenaga air. Terdapat banyak sekali tipe bendungan yang sukar dibandingkan antara satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh Bendungan Ir. H. Juanda (Bendungan Jatiluhur). Bendungan ini dapat disebut sebagai tipe urugan batu dengan lapisan kedap air miring karena konstruksinya terdiri atas beberapa lapisan, yaitu : lapisan kedap air berbentuk miring, lapisan penyangga dari batu, lapisan batu teratur, lapisan transisi, lapisan filter dan lain-lain. Dapat pula disebut sebagai bendungan besar karena tingginya lebih dari 15 m, demikian pula panjang puncaknya lebih dari 500 m, kapsitas waduk yang terbentuk lebih dari 1 juta m3 dan debit banjir maksimal yang diperhitungkan lebih dari 2000 m3/detik. Dapat pula disebut sebagai bendungan sebaguna karena tujuan pembangunannya adalah untuk memenuhi beberapa tujuan tertentu yaitu air irigasi, PLTA, pengendalian banjir, penyediaan air minum dan lain-lain. Jadi satu bendungan dapat dipandang dari beberapa segi yang masingmasing menghasilkan tipe yang berbeda-beda pula. Maka pembagian tipe bendungan dapat dipandang dari 4 keadaan, yaitu : berdasarkan ukurannya, tujuan pembangunannya, jalannya air, dan konstruksinya. II - 13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.2.1 Tipe Bendungan Berdasarkan Ukurannya 1.
Bendungan besar (large dams) Menurut Permen PUPERA RI definisi bendungan besar adalah : a)
Bendungan dengan tinggi 15 meter atau lebih diukur dari dasar pondasi terdalam.
b) Bendungan dengan tinggi 10 meter sampai dengan 15 meter diukur dari dasar pondasi terdalam dengan ketentuan : 1) Panjang puncak bendungan paling sedikit 500 meter. 2) Daya tampung waduk paling sedikit 500.000 meter kubik. 3) Debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit 1.000 meter kubik per detik. c)
Bendungan yang mempunyai kesulitan khusus pada pondasi atau bendungan yang didesain menggunakan teknologi baru dan bendungan yang mempunyai kelas bahaya tinggi.
2.
Bendungan kecil (small dams, weir, bendung) Semua bendungan yang tidak memenuhi syarat sebagai bendungan besar disebut bendungan kecil.
II - 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.2.2 Tipe Bendungan Berdasarkan Tujuan Pembangunannya 1.
Bendungan tunggal guna (single purpose dams) Adalah bendungan yang dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja. Misalnya untuk pembangkit tenaga listrik atau irigasi (pengairan) atau pengendali banjir atau perikanan darat atau tujuan lainnya, tetapi hanya untuk satu tujuan saja. Contoh : Bendungan Sempor, Bendungan Cirata.
2.
Bendungan multiguna (multi purpose dams) Adalah bendungan yang dibangun untuk memenuhi berbagai keperluan sekaligus, diantaranya : pembangkit tenaga listrik, irigasi, pengendalian banjir, PLTA, air minum, industri dan pariwisata. Contoh : Bendungan Jatiluhur, Bendungan Prof. Dr. Ir. Sutami, dan Bendungan Selorejo.
2.2.3 Tipe Bendungan Berdasarkan Jalannya Air 1.
Bendungan untuk dilewati air (overflow dam) Adalah bendungan yang dibangun untuk dilimpasi air, misalnya pada bangunan pelimpah.
2.
Bendungan untuk menahan air (non overflow dam) Adalah bendungan yang sama sekali tidak boleh dilewati air. Kedua tipe ini biasanya dibangun berbatasan dan dibuat dari beton, pasangan batu atau pasangan bata.
II - 15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.2.4 Tipe Bendungan Berdasarkan Konstruksinya 1.
Bendungan urugan (fill dam, embankment dam) Menurut ICOLD definisinya adalah bendungan yang dibangun dari hasil penggalian bahan (material) tanpa tambahan bahan lain yang bersifat campuran secara kimia, jadi betul-betul bahan pembentuk bendungan asli. Bendungan urugan dibagi menjadi 3, yaitu : a) Bendungan urugan serbasama (homogeneous dam) Adalah bendungan urugan yang lapisannya sama. Contoh : Bendungan Saguling, Bendungan Parangjoho dan Bendungan Ir. H. Pangeran Noor. b) Bendungan urugan berlapis-lapis (zone dam, rockfill dam) Adalah bendungan urugan yang terdiri atas beberapa lapisan yaitu lapisan kedap air (water tight layer), lapisan batu (rock zones, shell), lapisan batu teratur (rip-rap) dan lapisan pengering (filter zones). Contoh : Bendungan Ir. H. Juanda,
Bendungan Shin
Takasegawa (Jepang). c) Bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka (impermeable face rockfill dams, dekced rockfill dams) Adalah bendungan urugan batu berlapis-lapis yang lapisan kedap airnya diletakkan di sebelah hulu bendungan. Lapisan kedap air yang sering dipakai adalah aspal dan beton bertulang.
II - 16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Contoh
:
Bendungan
Numappora
(Jepang),
Bendungan
Marchlyn (Inggris Raya). 2.
Bendungan Beton Adalah bendungan yang dibuat dari konstruksi beton baik dengan tulangan maupun tidak. Bendungan beton dibagi menjadi 4, yaitu : a) Bendungan beton berdasarkan berat sendiri (concrete gravity dams) Adalah bendungan beton yang didesain untuk menahan beban dan gaya yang bekerja padanya hanya dengan berat sendiri saja. Contoh : Bendungan Menjer, Bendungan Vinca (Perancis) dan Bendungan Niagara (Amerika Serikat). b) Bendungan beton dengan penyangga (concrete buttress dams) Adalah bendungan beton yang mempunyai penyangga untuk menyalurkan
gaya-gaya
yang
bekerja
padanya.
Banyak
digunakan apabila sungainya sangat lebar sedangkan keadaan geologinya baik. Contoh : Bendungan Ratan (Swedia), Bendungan Roseires (Sudan). c) Bendungan beton berbentuk lengkung (beton berbentuk busur atau concrete arch dams) Adalah bendungan beton yang didesain untuk menyalurkan gayagaya yang bekerja padanya lewat abutmen kiri dan abutmen kanan bendungan. II - 17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Contoh : Bendungan Nagawado (Jepang), Bendungan Victoria (Sri Lanka). d) Bendungan beton kombinasi (combination concrete dams, mixed type concrete dams) Adalah kombinasi antara lebih dari satu tipe. Contoh : Bendungan Ngebel, Bendungan Itaipu (Brazil). 3.
Bendungan lainnya Biasanya hanya untuk bendungan kecil. Misalnya : bedungan kayu (timber dams), bendungan besi (stell dams), bendungan pasangan bata (brick dams).
II - 18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.3
Analisis Hidrologi Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sistem kejadian air di atas pada permukaan dan di dalam tanah. Definisi tersebut terbatas pada hidrologi
rekayasa.
Analisis
hidrologi
dilakukan
untuk
mendapatkan
karakteristik hidrologi dan meteorologi daerah aliran sungai. Tujuannya adalah untuk mengetahui karakteristik hujan, debit air yang ekstrim maupun yang wajar akan digunakan sebagai dasar analisis selanjutnya dalam pelaksanaan detail desain.
Gambar 2.6 : Siklus Hidrologi Analisis hidrologi diperlukan untuk memperoleh besarnya debit banjir rencana. Debit banjir rencana merupakan debit maksimum rencana di sungai atau saluran alamiah dengan periode ulang tertentu yang dapat dialirkan tanpa membahayakan lingkungan sekitar dan stabilitas sungai itu sendiri. Untuk mendapatkan debit rencana dapat dilakukan dengan cara melakukan pengamatan dan pengukuran langsung di lokasi sungai ataupun dengan menganalisis data
II - 19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka curah hujan maksimum pada stasiun-stasiun pengukuran hujan yang berada di Daerah Aliran Sungai.
2.4
DAS (Derah Aliran Sungai) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggungpunggung/pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut, akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik/stasiun yang ditinjau. DAS ditentukan dengan menggunakan peta topografi yang dilengkapi dengan garisgaris kontur. Limpasan berasal dari titik-titik tertinggi dan bergerak menuju titiktitik yang lebih rendah dalam arah tegak lurus dengan garis-garis kontur. Daerah yang dibatasi oleh garis yang menghubungkan titik-titik tertinggi tersebut adalah DAS.
Gambar 2.7 : Daerah Aliran Sungai 2.4.1 Ciri-ciri DAS Ciri-ciri Daerah Aliran Sungai meliputi : a) Luas dan bentuk daerah dihitung tiap km banjir-banjir sungai dengan aliran kecil terdapat lebih besar daripada banjir-banjir sungai dengan daerah aliran yang lebih luas. Ini disebabkan antara lain karena didaerah kecil air hujan umumnya mudah mencapai sungai. Selain itu daerahII - 20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka derah yang luas bisa terdapat danau, rawa, kolam, tanah porous (pasir) dan lain sebagainya yang menahan air hujan, tetapi debit minimumnya terdapat lebih kecil. b) Pada daerah aliran yang bentuknya lebar dengan banyak sengai cabang, banjir dari sungai cabang sering mencapai sungai induknya dalam waktu yang bersamaan. Tidak demikian keadaannya pada daerah-daerah yang bentungnya panjang dan sempit. Sehubungan dengan daerah-daerah yang berbentuk lebar tersebut, banjirnya lebih besar daripada didaerah sempit memanjang. Selanjutnya di daerah-daerah yang letaknya sejajar dengan arah hujan sering banjir besar. c) Keadaan topografi di daerah yang permukaan tanahnya miring terdapat aliran permukaan yang deras dan besar, terlebih jika tanahnya keras dan rapat. Kemiringan rata-rata dasar sungai sangat besar pengaruhnya pada kecepatan meningkatnya banjir. d) Kepadatan drainase, yaitu panjang dari saluran-saluran persatuan luas daerahnya. Kepadatan drainase yang kecil menunjukkan secara relative pengaliran melalui permukaan tanah yang panjang untuk mencapai sungai, disini kehilangan air bisa menjadi besar. selain itu meningkatnya banjir berlangsung lambat. e) Geologi sifat-sifat tanah berpengaruh banyak pada banyaknya air yang hilang. Kerapatan tanah dan tebalnya lapisan tanah yang tembus air sangat menentukan besarnya infiltrasi dan evaporasi. f) Elevasi rata-rata dari daerah aliran. Hujan-hujan lebat umumnya lebih banyak terjadi di daerah pegunungan daripada dataran. II - 21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka g) Keadaan daerah umumnya. Banyak tumbuhan perkampungan, kota, daerah-daerah pertanian dan lain sebagainya mempengaruhi banhaknya kehilangan air. Perkampungan, kota dan daerah industri mengurangi banyaknya infiltrasi.
2.5
Distribusi Curah Hujan Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah/daerah dan dinyatakan dalam mm. Curah hujan daerah ini harus diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Cara-cara perhitungan curah hujan daerah dari pengamatan curah hujan di beberapa titik adalah sebagai berikut. 1.
Cara rata-rata aljabar Cara ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di dalam dan di sekitar daerah yang bersangkutan. =
Keterangan :
(R1 + R2 + . . . . + Rn) .................................................
(2.13)
= curah hujan daerah (mm). n = jumlah titik-titik (pos-pos) pengamatan. R1, R2, . . . Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm).
Hasil yang diperoleh dengan cara ini tidak berbeda jauh dari hasil yang didapat dengan cara lain, jika titik pengamatan itu banyak dan tersebar merata di seluruh daerah itu. Keuntungan cara ini ialah bahwa cara ini II - 22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka adalah obyektif yang berbeda dengan cara isohiet, di mana faktor subyektif turut menentukan. (Sumber : Hidrologi Untuk Pengairan – Ir. Suyono Sosrodarsono)
2.
Cara Thiessen Jika titik-titik pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata, maka cara perhitungan curah hujan rata-rata itu dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan. Curah hujan daerah itu dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
=
=
… … … …
= W1R1 + W2R2 + . . . + WnRn ....................................
Keterangan :
(2.14)
= curah hujan daerah. R1, R2, . . . Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan dan n adalah jumlah titik-titik pengamatan. A1, A2, . . . An = bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan. W1, W2, . . . Wn = A1, A2, . . . An.
Bagian-bagian daerah A1, A2, . . . An ditentukan dengan cara sebagai berikut : 1. Cantumkan titik-titik pengamatan di dalam dan di sekitar daerah itu pada peta topografi skala 1 : 50.000, kemudian hubungkan tiap titik II - 23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka yang berdekatan dengan sebuah garis lurus (dengan demikian akan terlukis jaringan segitiga yang menutupi seluruh daerah). 2. Daerah yang bersangkutan itu dibagi dalam poligon-poligon yang didapat dengan menggambar garis bagi tegak lurus pada tiap sisi segitiga tersebut diatas. Curah hujan dalam tiap poligon itu dianggap diwakili oleh curah hujan dari titik pengamatan dalam tiap poligon. Luas tiap poligon itu diukur dengan planimeter atau dengan cara lain. Cara Thiessen ini memberikan hasil yang lebih teliti daripada cara aljabar rata-rata. Akan tetapi, penentuan titik pengamatan dan pemilihan ketinggian akan mempengaruhi ketelitian hasil yang didapat. Kerugian yang lain ialah seperti untuk penentuan kembali jaringan segitga jika terdapat kekurangan pengamatan pada salah satu titik pengamatan.
Gambar 2.8 : Cara Thiessen (Sumber : Hidrologi Untuk Pengairan – Ir. Suyono Sosrodarsono)
3. Cara Garis Isohiet Garis isohiet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dalam suatu DAS yang mempunyai kedalaman hujan yang sama. Peta isohiet digambar pada peta topografi dengan perbedaan (interval) 10 sampai 20 mm II - 24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka berdasarkan data curah hujan pada titik-titik pengamatan di dalam dan di sekitar daerah yang dimaksud. Luas bagian daerah antara dua garis isohiet yang berdekatan diukur dengan planimeter. Demikian dengan harga ratarata dari garis-garis isohiet yang berdekatan yang termasuk bagian-bagian daerah itu dapat dihitung. Curah hajan daerah itu dpaat dihitung menurut persamaan sebagai berikut.
=
Keterangan :
… …
.................................... (2.15)
= curah hujan daerah. A1, A2, . . . An = luas bagian-bagian antara garis-garis isohiet. R1, R2, . . . Rn = curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1, A2, . . . An.
Cara ini adalah cara rasionil yang terbaik jika garis-garis isohiet dapat digambar dengan teliti. Akan tetapi jika titik-titik pengamatan itu banyak dan varial curah hujan di daerah bersangkutan besar, maka pada pembuatan peta isohiet ini akan terdapat kesalahan pribadi (individual error) sipembuat peta.
Gambar 2.9 : Gambar Garis Isohiet (Sumber : Hidrologi Untuk Pengairan – Ir. Suyono Sosrodarsono)
II - 25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.6
Analisis Frekuensi Curah Hujan Hujan rencana adalah hujan harian maksimum yang akan digunakan untuk menghitung intensitas hujan. Untuk mendapatkan curah hujan rancangan (Rt) dilakukan melalui analisa frekuensi. Dalam analisis frekuensi data hujan atau data debit guna memperoleh nilai hujan rencana atau debit rencana, dikenal beberapa distribusi kontinu yang sering digunakan, yaitu : Gumbel, Normal, Log Normal dan Log Pearson Type III. Penentuan jenis distribusi probabilitas yang sesuai dengan data dilakukan dengan mencocokkan parameter data tersebut dengan syarat masing-masing jenis distribusi seperti pada tabel (2.1). Tabel 2.1 : Persyaratan Parameter Statistik Suatu Distribusi No.
Distribusi
Persyaratan
1
Gumbel
Cs = 1,14 Ck = 5,4
2
Normal
Cs ≈ 0 Ck ≈ 3
3
Log Normal
4
Log Pearson III
Cs = Cv3 + 3Cv Ck = Cv8 + 6Cv6 + 16Cv2 + 3 Selain dari nilai diatas
(Sumber : Bambang Triadmojo, 2008)
Keterangan : Koefisien Skewness (Cs) C =
(X − X)
........................................................ (2.16) (n − 1)(n − 2) S
II - 26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Koefisien Kurtosis (Ck) C = n
(X − X)
............................................
(2.17)
(n − 1)(n − 2)(n − 3) S
Rata-rata/mean (Xrt) X =
X
......................................................................... (2.18) n
Standar Deviasi (S)
................................................................
(2.19)
Koefisien Variasi (Cv) X =
S
............................................................................ (2.20)
X
Xi = data hujan atau data debit ke-i n = jumlah data 2.6.1 Perhitungan Tinggi Curah Hujan Rencana Ada berbagai cara untuk menentukan besarnya curah hujan rencana, antara lain : 1. Metode Distribusi Normal X = X + K . S ...............................................................
(2.21)
Keterangan : XT = hujan rencana dengan periode ulang T tahun. X
= nilai rata-rata dari data hujan (X) mm.
S
= standart deviasi dari data hujan (X) mm.
II - 27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka K = faktor frekuensi, nilainya bergantung dari T. (Sumber : I Made Kamiana, 2011)
2.
Metode Distribusi Log Normal Log XT = log X + K x S log X .........................................
(2.22)
Keterangan : log XT = nilai logaritmis hujan rencana dengan periode ulang T. log X
= nilai rata-rata dari log
........ (2.23)
S log X = deviasi standar dari log X. S log X = ..................................
(2.24)
KT = faktor frekuensi, nilainya bergantung dari T (Lihat Tabel 2.2). (Sumber : I Made Kamiana, 2011)
3.
Metode Distribusi Frekuensi Gumbel X = X + S x K ...................................................................
(2.25)
Keterangan : XT = hujan rencana atau debit dengan periode ulang T. X
= nilai rata-rata dari data hujan (X).
S
= standar deviasi dari data hujan (X).
K
= faktor frekuensi Gumbel : K =
.............. (2.26)
Yt = nilai Yt ditentukan berdasarkan nilai reduced variate. Sn = reduced standard deviasi. Yn = reduced mean. (Sumber : I Made Kamiana, 2011)
II - 28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 4.
Metode Distribusi Frekuensi Log Person Type III Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Person Type III adalah dengan mengkonversikan rangkaian datanya menjadi bentuk logaritmis. logX = Log X + K x S Log X ............................................. (2.27)
Keterangan : log XT = nilai logaritmis hujan rencana dengan periode ulang T. log X
....... (2.28)
= nilai rata-rata dari log
S log X = deviasi standar dari log X. S log X = .................................
(2.29)
KT = variabel standar, besarnya tergantung koefisien kemencengan (Cs atau G). (Sumber : I Made Kamiana, 2011)
II - 29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.7
Metode Rasional Metode rasional merupakan rumus yang tertua dan yang terkenal di antara rumus-rumus empiris. Metode rasional dapat digunakan untuk menghitung debit puncak sungai atau saluran namun dengan daerah pengaliran yang terbatas. Menurut Goldman (1986) dan Suripin (2004), metode rasional digunakan untuk daerah pengaliran < 300 ha. Menurut Ponce (1989) dan Bambang T (2008), metode rasional dapat digunakan untuk pengaliran < 2,5 km2. Dalam departemen PU, SK SNI M-18-1989-F (1989), dijelaskan bahwa metode rasional dapat digunakan untuk ukuran daerah pengaliran < 5000 Ha. Rumus umum dari Metode Rasional adalah : Q = 0,278 x C x I x A .................................................................
(2.30)
Keterangan : Q = debit puncak limpasan permukaan (m3/det). C = angka pengaliran (tanpa dimensi). A = luas daerah pengaliran (km2). I = intensitas curah hujan (mm/jam). (Sumber : I Made Kamiana, 2011)
II - 30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.8
Penentuan Debit Banjir Rencana dengan Metode Unit Hydrograph Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung (limpasan permukaan) yang dihasilkan oleh hujan satuan. Hujan satuan adalah hujam efektif yang terjadi merata di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) dan dengan intensitas tetap selama satu satuan waktu yang ditetapkan. Satuan waktu yang ditetapkan untuk hujan satuan adalah yang lamanya sama atau lebih pendek dari periode lengkung naik hidrograf. Hidrograf satuan dapat dipergunakan antara lain untuk : a. Memperkirakan banjir rencana pada suatu DAS atau sub-DAS. b. Menurunkan hidrograf satuan DAS atau sub-DAS lain khususnya yang mempunyai kemiripan karakter. c. Penggunaan hidrograf satuan harus memperhatikan luas DAS atau sub-DAS. d. Menurut Linsley (1989) dijelaskan bahwa penggunaan hidrograf satuan tidak boleh lebih dari 5000 km2, kecuali diperkenankan pengurangan akurasi. Menurut Chow (1988) dijelaskan bahwa penggunaan hidrograf satuan diperbolehkan untuk luas DAS 30 s/d 30.000 km2. Terdapat 3 dalil yang harus diperhatikan dalam hidrograf satuan : 1. Dalil I (lebar dasar sama) Hidrograf satuan (U) yang dihasilkan oleh hujan efektif (i) yang durasinya (tt) sama, akan mempunyai lebar dasar (tb) yang sama. (Lihat Gambar 2.10). 2. Dalil II (linieritas) Besarnya limpasan langsung linier dengan tinggi hujan efektif (i), artinya makin besar nilai i maka nilai u makin besar (Lihat Gambar 2.10). II - 31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 3. Dalil III (penjumlahan/superposisi) Limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan efektif yang berurutan dapat ditentukan dengan menjumlahkan limpasan langsung yang dihasilkan oleh masing-masing hujan efektif tersebut.
Gambar 2.10 : Hubungan t dengan tb, serta Hubungan i dengan U
II - 32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.11 : Prinsip Superposisi Hidrograf
2.8.1 Metode Nakayasu Nakayasu (1950) telah menyelidiki hidrograf satuan di jepang dan memberikan seperangkat persamaan untuk membentuk suatu hidrograf satuan sebgai berikut : 1. Waktu kelambatan (time lag, tg), rumusnya tg = 0,4 + 0,058 x L ;
untuk L > 15 km ......................
(2.31)
tg = 0,21 x L0,7
untuk L < 15 km ......................
(2.32) II - 33
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2. Waktu puncak dan debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut : tp = tg + 0,8 Tr
...................................................................
(2.33)
3. Waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak : T0,3 = α x tg
..........................................................................
(2.34)
4. Waktu puncak tp = tg + 0,8 Tr ....................................................................
(2.35)
5. Debit puncak hidrograf sintetis dirumuskan sebagai berikut :
1 3,6 x A R0 x ( ,
Qp =
, )
.................................
(2.36)
Keterangan rumus (2.31) s/d (2.36) : tg
= waktu kelambatan (jam).
L
= panjang sungai (km).
t0,3
= waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak (jam).
1,5 t0,3 = waktu saat debit sama dengan 0,32 kali debit puncak (jam). α
= koefisien, nilainya antara 1,5-3,0.
Tp
= waktu puncak (jam).
Qp
= debit puncak (m3/detik).
A
= luas DPS (km2).
Tr
= durasi hujan (jam) = (0,5 x tg) s/d (1 x tg).
R0
= satuan kedalaman hujan (mm).
II - 34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.12 : Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu
6.
Bagian lengkung naik (0 < t < tp) 2,4
Q = Qp x
....................................................................
(2.37)
Keterangan : Q
= debit sebelum mencapai debit puncak (m3/detik).
t
= waktu (jam).
7. Bagian lengkung turun a) Jika tp < t < t0,3
Q = Qp x 0,3
............................................................
,
(2.38)
b) Jika t0,3 < t < 1,5 t0,3
,
,
Q = Qp x 0,3
,
,
................................................
(2.39)
................................................
(2.40)
c) Jika t > 1,5 t0,3
Q = Qp x 0,3
, ,
,
II - 35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.8.2 Metode Snyder Snyder (1938) mendapatkan dan mengembangkan hidrograf satuan DAS di Amerika Serikat yang berukuran 30 sampai 30.000 km2 dengan menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik DAS akibat hujan 1 cm. Unsur-unrur hidrograf satuan yang dimaksud adalah : a) Debit puncak (Qp, m3/dt). b) Waktu dasar (Tb, jam). c) Durasi hujan (tt, jam). Karakteristik DAS yang dimaksud adalah : a) Luas DAS (A, km2). b) Panjang aliran utama (L, km). c) Jarak antara titik berat DAS dengan outlet yang diukur di sepanjang aliran utama (Lc, km).
Gambar 2.13 : Posisi L dan Lc Pada Suatu DAS (Sumber : I Made Kamiana, 2011)
II - 36
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Snyder mengembangkan model dengan koefisien-koefisien empirik yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik DAS. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa pengalihragaman hujan menjadi aliran baik pengaruh translasi maupun tampungannya dapat dijelaskan dipengaruhi oleh sistem DAS-nya. Dengan unsur-unsur tersebut diatas snyder membuat model hidrograf satuan sintetis sebagai berikut : Tp = 0,75 . Ct (L . Lc)0,3 ..............................................................
(2.41)
Tr = tp / 5,5 ...............................................................................
(2.42)
Qp = 2,75 . Cp . A / tp .................................................................
(2.43)
Tb = 72 + 3 tp atau
...................................................................
(2.44)
..........................................................................
(2.45)
Tb = 5,56 / qpr
Keterangan : Tp = waktu kelambatan (time lag) (jam). Qp = debit puncak (m3/detik). Tb = waktu dasar (jam). Qpr = debit per satuan luas (m3/detik). Belakangan ini banyak juga digunakan model HSS Snyder yang telah diubah dan telah banyak digunakan di Indonesia. Perubahan tersebut terletak pada : 1. Pangkat 0,3 pada rumus diganti dengan n, sehingga menjadi Tp = Ct . (L . Lc)n
...............................................................
(2.46)
2. Tr pada rumus diganti dengan te yang merupakan durasi curah hujan efektig, sedangkan tr = 1 jam. Te = tp / 5,5 ...........................................................................
(2.47)
II - 37
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 3. Hubungan te, tp, tr dan Tp adalah sebagai berikut : Bila te > tr maka tp’ = tp + 0,25 (tr-te) sehingga Tp = tp’ + 0,5 (2.48) Bila te < tr maka Tp = tp + 0,5 ............................................
(2.49)
4. Qp = 0,278 . Cp / Tp .............................................................
(2.50)
Dan Qp = qp . A untuk hujan 1 mm/jam Dimana :
qp = puncak hidrograf satuan (m3/detik/mm/km2). Qp = debit puncak (m3/detik/mm). Tp = waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga mencapai puncak hidrograf (jam).
(Sumber : Dantje K. Natakusumah Vol. 18-No.3)
II - 38
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.9
Skenario Pola Debit Inflow Bendungan Untuk pertimbangan pemakaian debit inflow bendungan terhadap berbagai kemungkinan dari kondisi air berlebih sampai dengan air kurang sehingga kebutuhan air yang disupply dapat diperhitungkan atas dasar skenario pola debit inflow andalan, misalnya untuk kondisi Tahun Basah, Tahun Normal dan tahun Kering. Skenario kelompok pola debit inflow dilakukan sebagai berikut : 1.
Debit inflow rata-rata tahunan diurutkan sepanjang tahun
2.
Dari rangkaian debit inflow rata-rata tahunan dari terbesar sampai terkecil dengan presentasi waktu disamai atau terlampaui dapat dirumuskan : P=
x 100%
..................................................................
(2.51)
Dimana : P : presentasi waktu disamai atau terlampaui (%). n : nomor urut data. m : jumlah. 3.
Setelah diurutkan, diplot dalam bentuk grafik dan dibagi menjadi kelompok pola debit inflow tahunan misalkan pola kondisi debit inflow Tahun basah, debit inflow Tahun Normal dan debit inflow Tahun Kering, dengan batasan sebagai berikut: 1) Tahun Kering P ≤ 25% 2) Tahun Normal 25% < P< 75% 3) Tahun Basah P ≥ 75%
4.
Debit rata-rata bulanan yang sama setiap kelompok merupakan debit inflow bulanan untuk masing-masing kelompok skenario. II - 39
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.10
Flood Routing Reservoir Salah satu manfaat dari pembangunan bendungan dengan waduknya adalah untuk pengendalian banjir suatu sungai. Ini dapat terjadi karena air banjir ditampung di dalam waduk yang volumenya relatif besar, sehingga air yang keluar dari sana debitnya sudah mengecil. Makin besar volume waduk akan semakin besar pula manfaat pengendalian banjirnya. Apabila terjadi banjir, maka permukaan air di dalam waduk naik sedikit demi sedikit dan dari beberapa kali banjir waduk akan penuh air dan mencapai ambang bangunan pelimpah. Kemudian air mulai melimpah melewati bangunan pelimpah. Apabila banjir belum reda, maka permukaan air di dalam waduk masih akan naik sedikit demi sedikit sampai permukaan waduk mencapai maksimal. Jadi sebagian dari air banjir mengalir lewat bangunan pelimpah, sedang sisanya menyebabkan naiknya permukaan air di dalam waduk. Tinggi permukaan air waduk maksimal ini harus dapat dihitung dengan teliti dengan melakukan routing banjir dengan mengetahui tinggi permukaan air waduk maksimal ini dapat dicari tinggi bendungan yang paling menguntungkan (optimal) yang masih dalam keadaan aman terhadap resiko banjir. Rumus dasarnya adalah : I–O =
Keterangan :
......................................................................................
(2.52)
I = inflow, debit air yang masuk ke dalam waduk (m3/detik). O = outflow, debit air yang keluar ke dari waduk (m3/detik). = debit air yang tertahan di dalam waduk untuk jangka waktu yang pendek. II - 40
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Apabila ditulis dalam bentuk integral menjadi : ∫ I . dt – ∫ O . dt = S − S
................................................................
(2.53)
∫ I . dt dan ∫ O . dt adalah debit x waktu untuk jangka pendek dan merupakan
volume air. Apabila diambil jangka waktu t yang cukup pendek, maka ∫ I . dt dapat disamakan dengan harga rata-rata dari 2 inflow yang berurutan (I1 dan I2). Jangka waktu t disesuaikan dengan hidrograf sungai yang ada. Untuk hidrograf yang waktunya diambil harian, maka t diambil 12 jam atau 6 jam. Untuk hidrograf yang waktunya diambil jam, maka agar diteliti jangka waktu t diambil 2 atau 3 jam. I.dt =
Dengan cara yang sama maka O.dt =
Jadi,
.t-
Keterangan :
t
. t = S2 – S1 .......................................
(2.54)
= rata-rata inflow setiap tahap (m3/detik).
= rata-rata outflow setiap tahap (m3/detik). = jangka waktu (periode) dalam detik.
S2 – S1 = tambahan air yang tertampung di dalam waduk (m). (Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
II - 41
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.16 : Ilustrasi Flood Routing Reservoir
Pada kasus Waduk Jatiluhur ini diuraikan sebagai berikut : 1. Debit inflow diasumsikan hanya debit yang masuk dari Sungai Citarum. 2. Debit outflow diasumsikan pada saat tinggi muka air waduk telah mencapai elevasi mercu spillway dan melalui intake pembangkit yang beroperasi penuh.
II - 42
http://digilib.mercubuana.ac.id/