4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kawasan Kebun Kelapa Sawit Di dalam UU No. 18 Tahun 2004 Pasal 1 disebutkan bahwa Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat (Anonim 2009). Menurut Badrun (1996), pembangunan atau pengembangan perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk mencapai beberapa sasaran, antara lain: a) Meningkatkan pendapatan masyarakat yang berpendapatan rendah melalui keikutsertaannya sebagai pemilik kebun plasma dengan harapan mampu menerapkan teknologi yang sesuai, sehingga kebun tersebut berada pada tingkat produktivitas yang tinggi. b) Sebagai upaya pendistribusian kekayaan nasional kepada masyarakat, melalui pendistribusian kredit untuk pembangunan kebun dan pendistribusian lahan melalui pemberian sertifikat tanah. c) Sebagai upaya penyebaran pembangunan ke berbagai wilayah baru yang belum terjamah pembangunan teristimewa daerah terpencil dengan prasarana yang sangat tidak memadai sekaligus berperan sebagai pusat pertumbuhan. d) Memadukan perusahaan besar sebagai inti dari perkebunan rakyat, serta sebagai plasma untuk mentransfer teknologi dan pertumbuhan kelembagaankelembagaan baru di kalangan masyarakat yang lebih maju.
2.2
Tumbuhan Berguna
2.2.1 Definisi Tumbuhan Berguna Menurut Kamus Bahasa Indonesia dalam Frankistoro (2006), tumbuhan adalah segala sesuatu yang tumbuh, hidup, berbatang, berakar, berdaun dan lainlain (seperti rumput, pohon, bambu, dan lain-lain), sedangkan berguna memiliki persamaan kata yaitu berfaedah, bermanfaat, ada gunanya dan mendatangkan
5
kebaikan atau keuntungan. Jadi, arti dari tumbuhan berguna adalah sesuatu yang hidup dan tumbuh serta berbatang, berakar, berdaun dan lain-lain (seperti rumput, pohon, bambu, dan lain-lain) yang memiliki manfaat bagi kesejahteraan manusia.
2.2.2 Potensi Tumbuhan Berguna di Indonesia Indonesia merupakan Negara yang sangat kaya akan jenis tumbuhan dan satwanya. Menurut Anonim (1994) dalam Frankistoro (2006), jumlah total jenis tumbuhan di Indonesia belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan memiliki jenis tumbuhan berbunga sebanyak 27.500 jenis (11%), jenis lumut sebanyak 1.500 jenis (9%), tumbuhan paku sebanyak 1.500 jenis (13%) dan 19% tumbuhan Gymnospermae, sedangkan menurut Sastrapradja et al. (1977), jenis tumbuhan yang telah diketahui potensi dan manfaatnya untuk bahan pangan, sandang, papan dan industri hanya sekitar 6.000 jenis. Keadaan ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan kekayaan tumbuhan Indonesia. Lemmens dan Soetjipto (1999) membagi jenis pemanfaatan tumbuhan berdasarkan komoditas untuk berbagai keperluan yang meliputi pemanfaatan secara primer dan sekunder, seperti kacang-kacangan, buah-buahan, pewarna, pakan, kayu, rotan, bambu, sayur-sayuran, sumber karbohidrat, sereal, tumbuhan obat dan tanaman hias. 2.2.2.1 Tumbuhan Obat Menurut Departemen Kesehatan RI dalam Surat Keputusan Mentri Kesehatan No.149/SK/Menkes/IV/1978 dalam Kartikawati (2004), definisi tumbuhan obat adalah tumbuhan atau bagian dari tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau jamu, sebagai bahan pemula bahan baku obat atau tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman tersebut digunakan sebagai obat. Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang memiliki khasiat obat dan digunakan sebagai obat dalam penyembuhan maupun pencegahan penyakit. Pengertian berkhasiat obat adalah mengandung zat aktif yang berfungsi mengobati penyakit tertentu atau jika tidak mengandung zat aktif tertentu tetapi mengandung efek resultan atau sinergi dari berbagai zat yang berfungsi mengobati (Esha 2008). Sedangkan menurut Zuhud, Ekarelawan dan Riswan (1994), tumbuhan obat
6
adalah seluruh jenis tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat, yang dikelompokkan menjadi : a. Tumbuhan obat tradisional, yaitu jenis tumbuhan yang diketahui atau dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. b. Tumbuhan obat modern, yaitu jenis tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat sebagai obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis. c. Tumbuhan obat potensial, yaitu jenis tumbuhan yang diduga mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah atau medis dan penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit untuk ditelusuri. 2.2.2.2 Tumbuhan Hias Tumbuhan dan tanaman memiliki definisi yang berbeda. Pada Tumbuhan berarti segala sesuatu yang tumbuh, hidup, berbatang, berakar, berdaun dan sebagainya (seperti rumput, pohon, bambu dan sebagainya), sedangkan tanaman adalah tumbuhan yang sudah dibudidayakan. Tanaman hias mencakup semua tumbuhan, baik berbentuk terna, merambat, semak, perdu ataupun pohon, yang sengaja ditanam manusia sebagai komponen taman, kebun rumah, penghias ruangan, upacara, komponen riasan dan busana atau sebagai komponen karangan bunga. Bunga potong pun dapat dimasukkan sebagai tanaman hias. Dalam konteks umum, tanaman hias adalah salah satu dari pengelompokan berdasarkan fungsi dari tanaman hortikultura. Bagian yang dimanfaatkan orang tidak semata bunga, tetapi kesan keindahan yang dimunculkan oleh tanaman ini. Selain bunga (warna dan aroma), daun, buah, batang bahkan pepagan dapat menjadi komponen yang dimanfaatkan. Sebagai contoh, beberapa ranting tumbuhan yang mengeluarkan aroma segar dapat diletakkan di ruangan untuk mengharumkan ruangan dan dapat dijadikan sebagai tanaman hias. Tanaman hias dikelompokkan berdasarkan fungsinya, tidak menutup kemungkinan bahwa tanaman sayuran, tanaman obat atau tanaman buah dapat menjadi tanaman hias dan sebaliknya (Ramadhany 2004).
7
2.2.2.3 Tumbuhan Aromatik Tumbuhan aromatik dapat juga disebut tumbuhan penghasil minyak atsiri. Tumbuhan penghasil minyak atsiri memiliki ciri bau dan aroma karena fungsinya yang paling luas dan umum diminati yaitu sebagai pengharum, baik sebagai parfum, kosmetik, pengharum ruangan, pengharum pada sabun, pasta gigi, pemberi rasa pada makanan maupun pada produk rumah tangga lainnya. Minyak atsiri dapat diperoleh dengan cara ekstraksi atau penyulingan dari bagian-bagian tumbuhan (Agusta 2000 dalam Arafah 2005). Menurut Heyne (1987), tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri antara lain dari famili Poaceae, misalnya akar wangi (Andropogon zizinioides); Lauraceae, misalnya kulit kayu manis (Cinnamomum burmanii); Zingiberaceae, misalnya jahe (Zingiber officinale); Piperaceae, misalnya sirih (Piper betle); Santalaceae, misalnya cendana (Santalum album); Anonaceae, misalnya kenanga (Canangium odoratum) dan sebagainya. Minyak atsiri bersumber dari setiap bagian tanaman yaitu daun, bunga, buah, biji, batang, kulit, akar atau umbi (rhizoma), yang merupakan bahan baku untuk produk farmasi dan kosmetik alamiah disamping digunakan sebagai kandungan dalam bumbu maupun pewangi (flavour and fragrance ingredients). 2.2.2.4 Tumbuhan Penghasil Pangan Tumbuhan pangan adalah segala sesuatu yang tumbuh, segala sesuatu yang hidup dan berbatang, berakar, berdaun dan dapat dimakan atau dikonsumsi oleh makhluk hidup. Menurut Lembaga Biologi Nasional-LIPI (1997) dalam Frankistoro (2006), tumbuhan pangan ini meliputi, karbohidrat (contohnya ubiubian, talas, sagu dan nasi), protein (contohnya kecipir dan kacang-kacangan), vitamin (contohnya pisang, rambutan dan markisa), dan lemak (contohnya kemiri, tengkawang dan alpukat). 2.2.2.5 Tumbuhan Penghasil Pakan Ternak Menurut Mannetje dan Jones (1992) dalam Kartikawati (2004), tanaman pakan ternak merupakan tanaman yang mempunyai konsentrasi nutrisi rendah dan mudah dicerna yang merupakan penghasil pakan bagi satwa herbivora. Tanaman pakan dapat diolah dan dibudidayakan, meskipun seringkali dapat muncul sebagai
8
tumbuhan liar seperti yang terdapat pada padang rumput, contohnya yaitu alangalang. Pakan yang diberikan kepada ternak berkaki empat terdiri atas bermacammacam jenis rumput dan dedaunan yang lain (Sastrapradja, Afriastini dan Sutarno 1983). 2.2.2.6 Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati Menurut Astutik (2010), pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan dan dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan. Pestisida nabati ini dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya. Salah satu alternatif untuk mengurangi pencemaran lingkungan adalah dengan penggunaan pestisida nabati. Prinsip penggunaan pestisida nabati tersebut hanya untuk mengurangi, bukan untuk meninggalkan pemakaian pestisida kimia, karena efektivitasnya juga masih di bawah pestisida kimia. Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber bahan insektisida yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama. Lebih dari 1.500 jenis tumbuhan di dunia telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga. Di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae. Anggota Meliaceae yang paling banyak diteliti adalah nimbi atau mimba (Azadirachta indica A. Juss) dengan bahan aktif utama azadirachtin (limonoid). Tumbuhan ini merupakan salah satu tumbuhan sumber bahan pestisida (pestisida nabati) yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama. Tumbuhan ini tersebar di daratan India. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di sekitar Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan NTB. Dataran rendah dan lahan kering dengan ketinggian tempat 0-800 m dpl merupakan habitat yang terbaik untuk pertumbuhan mimba. Bagian dari tumbuhan mimba yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati adalah daun dan bijinya. Ekstrak daun dan biji mimba mengandung senyawa aktif utama azadiraktin. Selain bersifat sebagai insektisida, mimba juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida dan akarisida (Astutik 2010).
9
Menurut Asdyanasari (2009), tumbuhan penghasil pestisida nabati dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: 1.
Kelompok tumbuhan insektisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Contoh tumbuhan dari kelompok ini adalah: piretrium, aglaia, babadotan, bengkuang, bitung, jaringau, saga, serai, sirsak dan srikaya.
2.
Kelompok tumbuhan antraktan atau pemikat adalah tumbuhan yang menghasilkan suatu bahan kimia yang menyerupai sex pheromon pada serangga betina. Bahan kimia tersebut akan menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dari jenis Bactrocera dorsalis. Contoh tumbuhan dari kelompok ini adalah daun wangi dan selasih.
3.
Kelompok tumbuhan rodentisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuh-tumbuhan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran (efek aborsi atau kontrasepsi) dan penekan populasi dengan cara meracuninya. Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya mengandung steroid, sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Dua jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai rodentisida nabati adalah jenis gadung KB dan gadung racun.
4.
Kelompok tumbuhan moluskisida adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama moluska. Beberapa tanaman menimbulkan pengaruh moluskisida, diantaranya: daun sembung, akar tuba, patah tulang dan tefrosia (kacang babi).
5.
Kelompok tumbuhan pestisida serba guna adalah kelompok tumbuhan yang tidak berfungsi hanya satu jenis saja, misalnya insektisida saja, tetapi juga berfungsi sebagai fungisida, bakterisida, moluskisida, nematisida dan lainnya. Contoh tumbuhan dari kelompok ini adalah jambu mete, lada, mimba, mindi, tembakau dan cengkih. Pestisida nabati dapat membunuh atau mengganggu serangan hama dan
penyakit melalui cara kerja yang unik, yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik, yaitu : 1.
Merusak perkembangan telur, larva dan pupa,
10
2.
Menghambat pergantian kulit,
3.
Mengganggu komunikasi serangga,
4.
Menyebabkan serangga menolak makan,
5.
Menghambat reproduksi serangga betina,
6.
Mengurangi nafsu makan,
7.
Memblokir kemampuan makan serangga,
8.
Mengusir serangga,
9.
Menghambat perkembangan patogen penyakit.
2.2.2.7 Tumbuhan Penghasil Serat Indonesia sebagai negara dengan kekayaan hayati yang tinggi memiliki peluang yang besar untuk mengeksplorasi pemanfaatan bahan serat alam sebagai penguat material komposit. Karena sifat kekuatan serat alam ini bervariasi, maka pemanfaatannya akan bervariasi mulai dari bahan komposit untuk penggunaan yang ringan dan tidak terlalu memerlukan kekuatan tinggi sampai bahan komposit untuk penggunaan yang memerlukan kekuatan dan ketangguhan tinggi. Menurut Vendy (2010), sepanjang kebudayaan manusia penggunaan serat alam sebagai salah satu material pendukung kehidupan, mulai dari serat ijuk sebagai bahan bangunan, serat nanas atau tumbuhan kayu sebagai bahan sandang dan serat alam yang dapat digunakan untuk membuat tambang. Seiring dengan perkembangan teknologi bahan, peran serat-serat alam mulai tergantikan oleh jenis bahan serat sintetik seperti serat gelas atau serat karbon. Seiring dengan inovasi yang dilakukan dalam bidang material, serat alam kembali “dilirik” oleh peneliti untuk dijadikan sebagai bahan penguat komposit. Elastis, kuat, melimpah, ramah lingkungan dan biaya produksi yang lebih rendah merupakan kelebihan yang dimiliki oleh serat alam. Selain itu juga terdapat kekurangan dari jenis serat ini terutama kekuatan yang tidak selalu merata. Jenis-jenis serat alam seperti Sisal, Flex, Hemp, Jute, Rami dan Kelapa, mulai digunakan sebagai bahan penguat untuk komposit polimer. Bahan komposit merupakan hasil penggabungan dari dua jenis atau lebih bahan yang memberikan sifat berbeda dari pada bahan-bahan tersebut jika dalam keadaan terpisah. Filosofinya adalah efek kombinasi dari bahan-bahan penyusunnya.
11
Tumbuhan rami (Boehmeria nivea, L. Gaud) merupakan salah satu tumbuhan penghasil serat alam yang dapat menjadi sumber bahan baku produk tekstil seperti halnya kapas karena memiliki kemiripan dengan kapas, bedanya kapas merupakan serat pendek, sedangkan rami adalah serat panjang. Dibanding dengan kapas, serat rami lebih kuat, mudah menyerap keringat dan tidak mudah kena bakteri atau jamur. Selain diambil serat dari kulit batangnya, semua bagian tanaman rami dapat dimanfaatkan. Akar tanaman (rhizome) dapat digunakan sebagai bahan tanaman (bibit) untuk pengembangan rami, daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak, sedangkan kulit batang dan kayunya dapat digunakan untuk bahan baku pulp maupun kompos. Prospek pengembangan pasar untuk serat rami sangat baik karena harga jual yang relatif tinggi. Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk mengembangkan rami karena memiliki lahan yang relatif luas dan iklim yang cocok untuk tumbuhan rami. Rami sangat cocok dikembangkan di Indonesia bagian barat yang beriklim basah karena jenis tumbuhan ini memerlukan curah hujan sepanjang tahun (Anonim 2010). 2.2.2.8 Tumbuhan Penghasil Bahan Pewarna dan Tanin Pewarna nabati adalah bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan, bahanbahan ini diekstrak dengan jalan fermentasi, direbus atau secara kimiawi, dari sejumlah kecil zat kimia tertentu yang terkandung di dalam jaringan tumbuhan. Suatu zat dapat dikatakan berwarna apabila zat tersebut dapat menyerap cahaya yang dapat dilihat manusia yang panjang gelombangnya 400-800 nm. Sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan, seperti warna biru dari Indigofera spp. dan Haemetoxylon campechianum L., warna kuning dari Crocus sativa L., warna coklat dari Peltophorum pterocarpum, warna merah dari Rubia cardifolia L., dan warna hitam dari Macaranga tanarius (L.), sedangkan untuk warna hijau biasanya diperoleh dari campuran pewarna nabati yang berwarna biru dan kuning (Lemmens dan Soetjipto 1999). Pewarna alami memiliki segi positif namun tidak luput dari keterbatasan, sehingga harus ada usaha ke arah penggalian potensi sumber pewarna alami dan perbaikan ekstraksi ataupun teknologi prosesing untuk menghasilkan pewarna alami yang berkualitas baik (Rostiana et al. 1992).
12
Menurut Lemmens dan Soetjipto (1999), tanin nabati merupakan bahan dari tumbuhan, rasanya pahit dan kelat, seringkali berupa ekstrak dari pepagan atau bagian lain terutama daun, buah, dan puru. Hasil dari penyamakan kulit dengan tanin berupa kulit samak yang banyak manfaatnya, selain samak kulit juga dapat menyamak jala, tali dan layar. Tanin juga digunakan sebagai perekat, bahan pewarna dan mordan. 2.2.2.9 Tumbuhan Penghasil Kayu Bangunan Haygreen dan Bowyer (1989) dalam Purnawan (2006) mengemukakan bahan bangunan kayu merupakan salah satu produk yang paling sederhana, paling mudah digunakan, kayu dapat dipotong dan dibentuk dengan mudah, digunakan dan mudah dipasang. Pada saat yang sama, kayu adalah salah satu bahan yang sangat kompleks. Kayu tersusun atas sel-sel yang mungil, masing-masing memiliki struktur lubang-lubang kecil, selaput dan dinding-dinding yang berlapislapis rumit. Unsur-unsur penyusunan kayu tergabung dalam jumlah senyawa organik, yaitu: selulosa, hemiselulosa dan lignin. 2.2.2.10 Tumbuhan untuk Upacara Adat Diantara pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang tumbuhan, ada yang bersifat spiritual, magis dan ritual. Demikian pula tentang pemanfaatannya, salah satunya yaitu pemanfaatan di bidang upacara. Indonesia yang terdiri kurang lebih 350 etnis dapat memberikan gambaran pemanfaatan tumbuhan di masingmasing tempat yang khususnya dipakai dalam berbagai upacara. Dalam upacaraupacara adat yang dilakukan, terutama yang berkenaan dengan upacara daur hidup, tumbuhan banyak dipakai (Kartikawati dan Wahyono 1992). Salah satu contoh kegiatan upacara adat yang cukup penting di Bali adalah ‘Ngaben’ atau ‘Pelebon’ (pembakaran mayat) merupakan ‘Pitra Yadnya’ (pengorbanan pada roh manusia) dimaksud agar unsur jasad dan roh manusia yang meninggal dapat kembali dengan cepat ke asalnya. Terdapat 39 jenis tumbuhan yang dipakai untuk keperluan ngaben. Dari identifikasi dan analisis jenis-jenis yang digunakan tercatat banyak diantaranya yang tergolong dalam tumbuhan penghasil minyak atsiri dengan bau harum seperti cendana, kenanga, sirih dan pandan. Beberapa jenis yang sudah agak sulit ditemukan yaitu majegau
13
(Dysoxyllum densiflorum) dan cendana (Santalum album). Majegau dulu banyak dijumpai di hutan namun sekarang sudah banyak ditebang. Dari segi pemanfaatannya, kedua jenis tersebut termasuk ke dalam jenis utama untuk upacara ngaben. 2.2.2.11 Tumbuhan Penghasil Tali, Anyaman, dan Kerajinan Tanaman yang termasuk dalam kelompok sumber bahan sandang, tali temali dan anyaman antara lain: kapas (Gossypium hirsutum), kenaf (Hibiscus cannabinus), rosella (Hibiscus sabdariffa), yute (Corchorus capsularis dan C. olitoris), rami (Boehmeria nivea), abaca (Musa textilis), dan agave atau sisal (Agave sisalana dan A. cantula) (Isdijoso 1992). Widjaya, Mahyar, dan Utama (1989) dalam Frankistoro (2006) mengemukakan bahwa diantara jenis tumbuhan penghasil bahan kerajinan, rotan merupakan bahan baku utama kerajinan anyaman di Indonesia. Hasil kerajinan tangan yang terbuat dari rotan banyak dijumpai di daerah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Karena di pulau-pulau tersebut merupakan pusat tempat rotan tumbuh. Tumbuhan kedua yang berpotensi tinggi adalah bambu. Hasil kerajinan bambu umumnya berasal dari Bali, Jawa dan Sulawesi; sedangkan untuk di daerah Sumatera dan Kalimantan produksinya lebih sedikit. Selanjutnya yaitu pandan, merupakan bahan baku yang juga berpotensi, hanya saja hasil kerajinannya tidak begitu tinggi apabila dibandingkan dengan rotan dan bambu. Tumbuhan ini biasanya hanya dibuat di dataran-dataran rendah dimana banyak tumbuhan pandan yang cocok sebagai bahan baku anyaman. 2.2.2.12 Tumbuhan Penghasil Kayu Bakar Kepentingan internasional kayu sebagai pemanas rumah dan bahan bakar untuk memasak harus diakui. Secara menyeluruh di dunia, penggunaan kayu untuk bahan bakar merupakan penggunaan tunggal terbesar dari kayu dan masih tetap demikian hingga sekarang. Diperkirakan bahwa 45% kayu yang dikonsumsi di dunia digunakan untuk pemanasan rumah dan memasak (Heygreen dan Bowyer 1989 dalam Purnawan 2006). Sutarno (1996) mengemukakan jenis pohon yang ditujukan untuk pemenuhan kayu bakar, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Beradaptasi pada rentangan kondisi lingkungan yang luas,
14
b) Pertumbuhan cepat, volume hasil kayu maksimal tercapai dalam waktu yang singkat, c) Tidak merusak tanah dan menjaga kesuburannya, d) Tahan penyakit dan hama, e) Waktu pengelolaannya singkat, f) Tahan terhadap kekeringan dan toleran terhadap iklim yang lain, g) Pertumbuhan tajuk baik, siap tumbuh pertunasan yang baru, h) Memiliki manfaat lain yang menguntungkan pertanian, i) Menghasilkan percabangan dengan diameter yang cukup kecil untuk dipotong dengan peralatan tangan dan mudah pengangkutannya, j) Menghasilkan kayu yang mudah dibelah, k) Kadar air rendah dan relatif cepat dikeringkan, l) Menghasilkan sedikit asap dan tidak beracun apabila dibakar.
2.3 Budaya Suku Dayak yang Berkaitan dengan Pemanfaatan Tumbuhan Suku Dayak merupakan suku asli yang menetap dan tinggal di pulau Kalimantan, salah satu wilayah penyebarannya yaitu di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Menurut Arman (1989), salah satu faktor permasalahan dalam pemanfaatan dan pelestarian tumbuhan berguna pada beberapa areal perkebunan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat adalah kurangnya kesadaran masyarakat di sekitar kawasan khususnya Suku Dayak terhadap pentingnya pelestarian tumbuhan berguna yang terdapat di areal perkebunan tersebut. Salah satu kegiatan suku Dayak yang dapat mengganggu kelestarian tumbuhan berguna adalah budaya kegiatan berladang. Ukur dalam Widjono (1995) mengemukakan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Atas dasar inilah Widjono (1998) secara tegas menyatakan bahwa orang Dayak yang tidak bisa berladang boleh diragukan kedayakannya, karena mereka telah tercabut dari akar kebudayaan leluhurnya. Ave dan King dalam Arman (1994), mengemukakan bahwa tradisi berladang orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka dan merupakan kegiatan mata pencaharian utama. Sellato (1989) dalam
15
Soedjito (1999), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan berwawasan kearifan tradisional, pada dasarnya di kalangan orang Dayak memiliki cara-cara tertentu dalam memperlakukan kawasan hutan. Menurut Bamba (1996), orang Dayak memandang alam tidak sebagai aset atau kekayaan, melainkan sebagai rumah bersama. Konsep rumah bersama ini terlihat dalam setiap upacara yang mendahului kegiatan tertentu yang berkaitan dengan memanfaatkan hutan, dimana selalu terdapat unsur permisi atau minta izin dari penghuni hutan yang akan digarap. Suara burung atau binatang tertentu menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam. Berbagai
kepercayaan
sebagaimana
yang
digambarkan
tersebut,
menandakan bahwa orang Dayak memiliki persentuhan yang mendalam terhadap mitos, yaitu suatu kejadian yang dipandang suci atau peristiwa yang dialami langsung oleh para leluhur, meskipun waktu terjadinya peristiwa itu tidak dapat dipastikan secara historis, namun sejarah kejadian itu bagi orang Dayak berfungsi sebagai norma kehidupan. Pemikiran seperti itu melahirkan suatu persepsi mereka tentang kearifan pengelolaan sumberdaya hutan (Widjono 1995). Dalam berladang, Suku Dayak umumnya yang mejadi prioritas utama bukan produktivitas tetapi adanya kekayaan tanaman yang ditanam. Hal ini dapat dipahami karena suku Dayak bersifat subsisten. Kekayaan ini diberlakukan dalam semua jenis usaha pertanian termasuk juga dalam usaha kebun karet. Dalam kegiatan berladang yang ditanam tidak hanya tanaman padi, tetapi juga ditanam berbagai jenis sayur-mayur yang umurnya relatif pendek dibandingkan dengan umur padi. Di samping menanam berbagai jenis sayur-mayur di tanah ladang, mereka juga menyempatkan untuk menanam berbagai jenis pohon buah-buahan di sekitar pondok. Jenis tanaman yang ditanami antara lain tengkawang, durian, langsat, nangka, rambai, rambutan, kelapa, pinang dan pisang. Pohon-pohon itu juga merupakan pertanda bahwa hutan tersebut sudah ada yang mengolahnya dan jika orang lain ingin membuka ladang di tempat itu, haruslah minta izin kepada yang pertama kali membuka hutan itu. Setelah seluruh tahapan dalam kegiatan
16
berladang itu dilakukan hingga selesai panen, sebagian bekas ladang itu mereka tanam kembali dengan pohon karet, sedangkan bagian lain dibiarkan tumbuh menjadi hutan kembali agar suatu saat dapat dibuka menjadi ladang. Secara tradisional sistem dan pola pengelolaan sumberdaya hutan di Kalimantan masih dapat kita temukan, dimana masing-masing memiliki karakteristik yang belum tentu dapat diduplikasi di tempat lain, misalnya di Kalimatan Barat kita kenal adanya sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang disebut dengan istilah tembawang, sedangkan di Kalimantan Timur dikenal dengan istilah Simpukng Munan dan ragam simpukng lainnya. Sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh orang Dayak tersebut secara ekonomis terbukti mampu memberikan konstribusi untuk pendapatan keluarga sekaligus melestarikan sumberdaya hutan.
2.4 Tipe Ekosistem Menurut Soemarwoto (1983) dalam
Indriyanto (2008), ekosistem
merupakan konsep sentral dalam ekologi karena ekosistem (sistem ekologi) itu terbentuk oleh hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan
lingkungannya. Ekosistem juga dapat dikatakan sebagai unit fungsional dasar dalam ekologi yang di dalamnya tercakup organisme dan lingkungannya (lingkungan biotik dan abiotik) dan di antara keduanya saling mempengaruhi (Odum 1993). Menurut Odum (1993), ekosistem dikatakan sebagai suatu unit fungsional dasar dalam ekologi karena merupakan satuan terkecil yang memiliki komponen secara lengkap, memiliki relung ekologi secara lengkap, serta terdapat proses ekologi secara lengkap, sehingga di dalam unit ini siklus materi dan arus energi terjadi sesuai dengan kondisi ekosistemnya. 2.4.1 Hutan Dataran Rendah Menurut Vickery (1984) dalam Indriyanto (2008), hutan dataran rendah merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10°LU dan 10°LS. Ekosistem hutan dataran rendah terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun,
17
rata-rata temperatur 25°C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, rata-rata kelembapan udara 80%. Hutan dataran rendah merupakan ekosistem yang memiliki kekayaan jenis dan tingkat endemisitas tertinggi dibandingkan dengan tipe ekosistem lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuswanda dan Antoko (2008) mengenai kekayaan hutan dataran rendah, yang menyebutkan bahwa sebagian besar jenis tumbuhan endemis Sumatera ditemukan di hutan-hutan dataran rendah dengan ketinggian tempat dibawah 500 m dpl. 2.4.2 Hutan Kerangas Kissinger (2002) menyatakan bahwa hutan kerangas merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang berada pada tanah miskin hara, mosaik-mosaik kanopi hutan yang memiliki warna hijau kelabu dengan permukaan yang seragam, dan bila dibandingkan dengan hutan dataran rendah maka pohon-pohonnya relatif lebih rendah dan berukuran kecil, sedikit memiliki liana dan rotan serta memiliki jumlah vegetasi tingkat pohon yang lebih sedikit. Komposisi floristik hutan kerangas bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi biasanya terdapat jenis tertentu yang secara konsisten selalu ada dan mencirikan tipe hutan ini terutama dengan tipe tanah podosol (Riswan 1987 dalam Kissinger 2002). Hutan kerangas merupakan bentuk tipe hutan yang menggambarkan suatu komunitas tumbuhan yang tumbuh pada kondisi habitat yang relatif stabil dan serba terbatas. Didalamnya terkandung suatu mekanisme proses pertumbuhan dan perkembangan suatu organism yang tumbuh pada kondisi lingkungan yang khusus (Kissinger 2002). 2.4.3 Hutan Rawa Gambut Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5-4,0 (Arief 1994). Hal tersebut tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara. Sedangkan menurut Indriyanto (2008), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut adalah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan-bahan tanaman yang telah mati.
18
Menurut Santoso 1996 dalam Indriyanto (2008), ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar. 2.4.4 Hutan Rawa Air Tawar Beberapa ciri dari tipe ekosistem hutan rawa air tawar adalah ekosistem hutan yang tidak terpengaruh oleh iklim, terdapat pada daerah dengan kondisi tanah yang selalu tergenang air tawar, pada daerah yang terletak di belakang hutan payau (mangrove) dengan jenis tanah alluvial dan kondisi aerasinya buruk (Arief 1994). Jenis tumbuhan sungkai (Peronema canescens Jack.) merupakan salah satu jenis khas yang terdapat di tipe ekosistem hutan rawa air tawar. Jenis ini ditemukan di kawasan Sempadan Sungai Putat. Karakteristik jenis tumbuhan ini dapat tumbuh di tanah alluvial, hidup di hutan jati, hutan sekunder, kebun, ladang, dan di hutan rakyat pada ketinggian tempat 25-300 m dpl. Indriyanto (2008) menambahkan bahwa beberapa jenis tumbuhan yang biasa ditemukan pada ekosistem hutan rawa air tawar adalah Palaquium leiocarpum, Shorea uliginosa, Campnosperma macrophylla, Garcinia spp., Eugenia spp., Canarium spp., Koompassia spp., Calophyllum spp., Xylopia spp. Pada umumnya jenis tumbuhan yang ada didalam ekosistem ini cenderung berkelompok membentuk komunitas tumbuhan yang miskin jenis. Dengan kata lain penyebaran pada sistem ekosistem ini tidak merata.