BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aluminium 2.1.1 Sejarah Aluminium Aluminium diambil dari bahasa Latin: alumen, alum. Orang-orang Yunani dan Romawi kuno menggunakan alum sebagai cairan penutup pori-pori dan bahan penajam proses pewarnaan. Pada tahun 1787, Lavoisier menebak bahwa unsur ini adalah Oksida logam yang belum ditemukan. Pada tahun 1761, de Morveau mengajukan nama alumine untuk basa alum. Pada tahun 1827, Wohler disebut sebagai ilmuwan yang berhasil mengisolasi logam ini. Pada tahun 1807, Davy memberikan proposal untuk menamakan logam ini Aluminum, walau pada akhirnya setuju untuk menggantinya dengan Aluminium. Nama yang terakhir ini sama dengan nama banyak unsur lainnya yang berakhir dengan “ium”. C.M.
Hall
seorang
berkebangsaan
Amerika
dan
Paul
Heroult
berkebangsaan Prancis, pada tahun 1886 mengolah Aluminium dari Alumina dengan cara elektrolisa dari garam yang terfusi. Selain itu Karl Josep Bayer seorang ahli kimia berkebangsaan Jerman mengembangkan proses yang dikenal dengan nama proses Bayer untuk mendapat Aluminium murni. Proses Bayer ini mendapat Aluminium dengan memasukkan bauksit halus yang sudah dikeringkan kedalam pencampur lalu diolah dengan soda api (NaOH) dibawah pengaruh tekanan dan suhu diatas titik didih. NaOH akan bereaksi dengan bauksit menghasilkan Aluminat Natrium yang larut. Selanjutnya tekanan dikurangi dengan ampas yang terdiri dari oksida besi, Silicon, Titanium dan kotoran-kotoran lainnya dipisahkan. Lalu Alumina Natrium tersebut dipompa ke tangki pengendapan dan dibubuhkan kristal hidroksida Alumina sehingga kristal itu menjadi inti kristal. Inti dipanaskan diatas suhu 980°C dan menghasilkan Alumina dan dielektrosida sehingga terpisah menjadi oksigen dan Aluminium murni. Pada setiap 1 kilogram Aluminium memerlukan 2 kilogram Alumina dan 4 kilogram bauksit, 0,6 kilogram karbon, criolit dan bahan-bahan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan Aluminium ini menduduki urutan kedua setelah besi dan baja dan tertinggi pada logam bukan besi untuk kehidupan industri. Secara historis, pengembangan praktek pengecoran untuk Aluminium dan paduannya merupakan prestasi yang relatif baru. Paduan Aluminium tidak tersedia dalam jumlah yang substansial untuk pengecoran tujuan hingga lama. Setelah penemuan pada tahun 1886 dari proses elektrolitik pengurangan Aluminium oksida oleh Charles Martin Hall di Amerika Serikat dan Paul Heroult di Perancis. Meskipun penemuan Hall disediakan Aluminium dengan biaya sangat kecil, nilai penuh dari Aluminium sebagai bahan pengecoran tidak didirikan sampai paduan cocok untuk proses pengecoran yang sedang berkembang. Sejak sekitar 1915, kombinasi keadaan-secara bertahap mengurangi biaya, perluasan transportasi udara, pengembangan pengecoran paduan spesifik, sifat yang lebih baik, dan dorongan yang diberikan oleh dua perang dunia telah mengakibatkan penggunaan terus meningkat dari Aluminium coran. Aluminium dan Magnesium paduan coran, logam ringan, yang membuat langkah-langkah cepat ke arah penggunaan teknik yang lebih luas. Aluminium dasar paduan mungkin secara umum akan ditandai sebagai sistem eutektik, mengandung bahan intermetalik atau unsur-unsur sebagai fase berlebih. Karena kelarutan relatif rendah sebagian besar elemen paduan dalam Aluminium dan paduan kompleksitas yang dihasilkan, salah satu paduan dasar Aluminium dapat berisi beberapa fasa logam, yang terkadang cukup kompleks dalam komposisi. Fasa ini biasanya lebih larut lumayan dekat suhu eutektik dari pada suhu kamar, sehingga memungkinkan untuk panas-mengobati beberapa dari paduan oleh solusi dan penuaan panas-perawatan (Purnomo, 2004).
2.1.2 Sifat-sifat Aluminium Aluminium telah menjadi salah satu logam industri yang paling luas penggunaannya di dunia. Aluminium banyak digunakan di dalam semua sektor utama industri seperti angkutan, konstruksi, listrik, peti kemas dan kemasan, alat rumah tangga serta peralatan mekanis.
Universitas Sumatera Utara
Adapun sifat-sifat Aluminium antara lain sebagai berikut: a) Ringan Memiliki bobot sekitar 1/3 dari bobot besi dan baja, atau tembaga dan banyak digunakan dalam industri transportasi seperti angkutan udara. b) Tahan terhadap korosi Sifatnya durabel sehingga baik dipakai untuk lingkungan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur seperti air, udara, suhu dan unsur-unsur kimia lainnya, baik di ruang angkasa atau bahkan sampai ke dasar laut. c) Kuat Aluminium memiliki sifat yang kuat terutama bila dipadu dengan logam lain. Digunakan untuk pembuatan komponen yang memerlukan kekuatan tinggi seperti: pesawat terbang, kapal laut, bejana tekan, kendaraan dan lain-lain. d) Mudah dibentuk Proses pengerjaan Aluminium mudah dibentuk karena dapat disambung dengan logam/material lainnya dengan pengelasan, brazing, solder, adhesive bonding, sambungan mekanis, atau dengan teknik penyambungan lainnya. e) Konduktor listrik Aluminium dapat menghantarkan arus listrik dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan tembaga. Karena Aluminium tidak mahal dan ringan, maka Aluminium sangat baik untuk kabel-kabel listrik overhead maupun bawah tanah (Surdia, T. 1992). f) Konduktor panas Sifat ini sangat baik untuk penggunaan pada mesin-mesin/alat-alat pemindah panas sehingga dapat memberikan penghematan energi. g) Memantulkan sinar dan panas Aluminium dapat dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan pantul yang tinggi yaitu sekitar 95% dibandingkan dengan kekuatan pantul sebuah cermin. Sifat pantul ini menjadikan Aluminium sangat baik untuk peralatan penahan radiasi panas.
Universitas Sumatera Utara
h) Non magnetik Aluminium sangat baik untuk penggunaan pada peralatan elektronik, pemancar radio/TV dan lain-lain. Dimana diperlukan faktor magnetisasi negatif.
2.2 Magnesium 2.2.1 Sejarah Magnesium Magnesia merupakan daerah di Thessaly. Senyawa-senyawa Magnesium telah lama diketahui. Black telah mengenal Magnesium sebagai elemen pada tahun 1755. Davy berhasil mengisolasikannya pada tahun 1808 dan Busy mempersiapkannya dalam bentuk yang koheren pada tahun 1831. Magnesium merupakan elemen terbanyak kedelepan di kerak bumi. Magnesium tidak muncul tersendiri, tapi selalu ditemukan dalam jumlah deposit yang banyak dalam bentuk magnesite, dolomite dan mineral-mineral lainnya. Logam ini sekarang dihasilkan di AS dengan mengelektrolisis Magnesium klorida yang terfusi dari air asin, sumur, dan air laut. Paduan Magnesium merupakan logam yang paling ringan dalam hal berat jenisnya. Magnesium mempunyai sifat yang cukup baik seperti Alumunium, hanya saja tidak tahan terhadap korosi. Magnesium tidak dapat dipakai pada suhu diatas 150°C karena kekuatannya akan berkurang dengan naiknya suhu. Sedangkan pada suhu rendah kekuatan Magnesium tetap tinggi. Magnesium dan paduannya lebih mahal daripada Alumunium atau baja dan hanya digunakan untuk industri pesawat terbang, alat potret, teropong, suku cadang mesin dan untuk peralatan mesin yang berputar dengan cepat dimana diperlukan nilai inersia yang rendah. Logam Magnesium ini mempunyai temperatur 650°C yang perubahan fasanya dapat dilihat pada gambar 2.1. Karena ketahanan korosi yang rendah ini maka Magnesium memerlukan perlakuan kimia atau pengecekan khusus segera setelah benda dicetak tekan. Paduan Magnesium memiliki sifat tuang yang baik dan sifat mekanik yang baik dengan komposisi 9% Al, 0,5% Zn, 0,13% Mn, 0,5% Si, 0,3% Cu, 0,03% Ni dan sisanya Mg. Kadar Cu dan Ni harus rendah untuk menekan korosi.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Diagram fasa magnesium (www.aluminiumlearning.com)
2.2.2 Sifat-Sifat Magnesium Magnesium merupakan logam yang ringan, putih keperak-perakan dan cukup kuat. Magnesium mudah ternoda di udara, dan Magnesium yang terbelahbelah secara halus dapat dengan mudah terbakar di udara dan mengeluarkan lidah api putih yang menakjubkan. Magnesium digunakan di fotografi, flares, pyrotechnics, termasuk incendiary bombs. Magnesium sepertiga lebih ringan dibanding Aluminium dan dalam campuran logam digunakan sebagai bahan konstruksi pesawat dan missile. Logam ini memperbaiki karakter mekanik, fabrikasi dan las Aluminium ketika digunakan sebagai alloying agent. Magnesium digunakan dalam memproduksi grafit dalam cast iron, dan digunakan sebagai bahan tambahan conventional propellants. Magnesium juga digunakan sebagai agen pereduksi dalam produksi uranium murni dan logam-logam lain dari garam-garamnya. Hidroksida (milk of magnesia), klorida, sulfat (Epsom salts) dan sitrat digunakan dalam kedokteran. Magnesite digunakan untuk refractory, sebagai batu bata dan lapisan di tungkutungku pemanas.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Paduan Aluminium-Magnesium Aluminium lebih banyak dipakai sebagai paduan daripada logam paduan sebab tidak kehilangan sifat ringan dan sifat-sifat mekanisnya serta mampu cornya diperbaiki dengan menambah unsur-unsur lain. Unsur-unsur paduan yang tidak ditambahkan pada Aluminium murni selain dapat menambah kekuatan mekaniknya juga dapat memberikan sifat-sifat baik lainnya seperti ketahanan korosi dan ketahanan aus. Keberadaan Magnesium hingga 15,35% dapat menurunkan titik lebur logam paduan yang cukup drastis, dari 660oC hingga 450oC. Namun, hal ini tidak menjadikan Aluminium paduan dapat ditempa menggunakan panas dengan mudah karena korosi akan terjadi pada suhu di atas 60oC. Keberadaan Magnesium juga menjadikan logam paduan dapat bekerja dengan baik pada temperatur yang sangat rendah, di mana kebanyakan logam akan mengalami failure pada temperatur tersebut. Gambar diagram fasa Aluminium-Magnesium dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Diagram fasa Paduan Al-Mg, temperatur vs persentase Mg (www.aluminiumlearning.com)
Universitas Sumatera Utara
2.4 Pengecoran 2.4.1 Sejarah Pengecoran Sejarah pengecoran dimulai ketika orang mengetahui bagaimana mencairkan logam dan bagaimana membuat cetakan. Hal itu terjadi kira-kira 4.000 tahun sebelum Masehi, sedangkan tahun yang lebih tepat tidak diketahui. Coran dibuat dari logam yang dicairkan, dituang ke dalam cetakan, kemudian dibiarkan mendingin dan membeku. Awal penggunaan logam oleh orang ialah ketika orang membuat perhiasan dari emas atau perak tempaan, dan kemudian membuat senjata atau mata bajak dengan menempa tembaga, hal itu dimungkinkan karena logam-logam ini terdapat di alam dalam keadaan murni, sehingga dengan mudah orang menempanya. Kemudian secara kebetulan orang menemukan tembaga mencair, selanjutnya mengetahui cara untuk menuang logam cair kedalam cetakan, dengan demikian untuk pertama kalinya orang dapat membuat coran yang berbentuk rumit. Coran tersebut dibuat dari perunggu yaitu suatu paduan tembaga, timah dan timbal yang titik cairnya lebih rendah dari titik cair tembaga. Pengecoran perunggu di lakukan pertama di Mesopotamia, kira-kira 3000 tahun sebelum Masehi. Teknik ini diteruskan ke Asia Tengah, India dan Cina. Kemudian teknik pengecoran Mesopotomia diteruskan juga ke Eropa pada tahun 1500 - 1400 sebelum Masehi. Baru pada abad ke 14 saja pengecoran besi kasar dilakukan secara besar-besaran. Cara pengecoran pada zaman itu ialah menuangkan secara langsung logam cair yang di dapat dari biji besi, ke dalam cetakan, jadi tidak dengan jalan mencairkan kembali besi kasar seperti cara sekarang. Coran paduan Aluminium dibuat pada akhir abad 19 setelah cara pemurnian elektrolisasi ditemukan.
2.4.2 Teori Pengecoran Pengecoran logam merupakan salah satu ilmu pengetahuan tertua yang dipelajari oleh umat manusia. Ilmu pengecoran logam terus berkembang dengan pesat. Berbagai macam metode pengecoran logam telah ditemukan dan terus disempurnakan, diantaranya adalah centrifugal casting, investment casting, dan sand casting serta masih banyak lagi metode-metode lainnya. Pengecoran adalah
Universitas Sumatera Utara
membuat komponen dengan cara menuangkan bahan yang dicairkan ke dalam cetakan. Bahan di sini dapat berupa metal maupun non-metal. Untuk mencairkan bahan diperlukan furnace (dapur kupola). Furnace adalah sebuah dapur atau tempat yang dilengkapi dengan heater (pemanas). Bahan padat dicairkan sampai suhu titik cair dan dapat ditambahkan campuran bahan seperti chrome, silikon, titanium, Aluminium dan lain-lain agar bahan menjadi lebih baik. Aplikasi dari proses pengecoran sangat banyak salah satunya dapat ditemukan dalam pembuatan komponen permesinan. Proses pengecoran dilakukan melalui beberapa tahap mulai dari pembuatan cetakan, persiapan dan peleburan logam, penuangan logam cair ke dalam cetakan, pembersihan coran dan proses daur ulang pasir cetakan. Hasil pengecoran disebut dengan coran atau benda cor. Proses pengecoran bisa dibedakan atas 2 yaitu proses pengecoran dan proses pencetakan. Proses pengecoran tidak menggunakan tekanan sewaktu mengisi rongga cetakan sedangkan proses pencetakan adalah logam cair ditekan agar mengisi rongga cetakan. Cetakan untuk kedua proses ini berbeda dimana proses pengecoran cetakan biasanya dibuat dari pasir sedangkan proses pencetakan, cetakannya dibuat dari logam.
2.4.3 Proses Pengecoran Proses pengecoran akan dihasilkan Aluminium dengan sifat-sifat yang diinginkan. Aluminium murni memiliki sifat mampu cor dan sifat mekanis yang tidak baik, maka dipergunakanlah Aluminium alloy untuk memperbaiki sifat tersebut. Beberapa elemen alloy yang sering ditambahkan diantaranya Tembaga, Magnesium, Mangan, Nikel, Silikon dan sebagainya. Pada desain coran perlu dipertimbangkan beberapa hal sehingga diperoleh hasil coran yang baik, yaitu bentuk dari pola harus mudah dibuat, cetakan dari coran hendaknya mudah, cetakan tidak menyebabkan cacat pada coran. Untuk membuat cetakan, dibutuhkan saluran turun yang mangalirkan cairan logam kedalam rongga cetakan. Besar dan bentuknya ditentukan oleh ukuran, tebalnya irisan dan macam logam dari coran. Selanjutnya diperlukan penentuan keadaan-keadaan penuangan seperti temperatur penuangan dan laju
Universitas Sumatera Utara
penuangan. Karena kualitas coran tergantung pada saluran turun, penambah, keadaan penuangan, maka penentuannya memerlukan pertimbangan yang teliti. Sistem saluran adalah jalan masuk bagi cairan logam yang dituangkan ke dalam rongga cetakan. Tiap bagian diberi nama, dari mulai cawan tuang dimana logam cair dituangkan dari ladle, sampai saluran masuk ke dalam rongga cetakan. Bagian-bagian tersebut terdiri dari: cawan tuang, saluran turun, pengalir, dan saluran masuk. a. Cawan tuang Merupakan penerima yang menerima cairan logam langsung dari ladle. Cawan tuang biasanya berbentuk corong atau cawan dengan saluran turun di bawahnya. Cawan tuang harus mempunyai konstruksi yang tidak dapat melakukan kotoran yang terbawa dalam logam cair dari ladle. Oleh karena itu cawan tuang tidak boleh terlalu dangkal. Kalau perbandingan antara: H tinggi logam cair dalam cawan tuang dan d diameter cawan, harganya terlalu kecil, umpamanya kurang dari 3, maka akan terjadi pusaran-pusaran dan timbullah kerak atau kotoran yang terapung pada permukaan logam cair. Karena itu dalamnya cawan tuang sebaiknya dibuat sedalam mungkin. Sebaliknya kalau terlalu dalam, penuangan menjadi sukar dan logam cair yang tersisa dalam cawan tuang akan terlalu banyak sehingga tidak ekonomis. Oleh karena itu kedalaman cawan tuang biasanya 5 sampai 6 kali diameter.
b. Saluran turun Salurun turun adalah saluran yang pertama yang membawa cairan logam dari cawan tuang kedalam pengalir dan saluran masuk. Saluran turun dibuat lurus dan tegak dengan irisan berupa lingkaran. Kadang-kadang irisannya sama dari atas sampai bawah, atau mengecil dari atas kebawah yang pertama dipakai kalau dibutuhkan pengisian yang cepat dan lancar, sedangkan yang kedua dipakai apabila diperlukan penahan kotoran sebanyak mungkin. Salurun turun dibuat dengan melubangi cetakan dengan mempergunakan satu batang atau dengan memasang bumbung tahan panas yang dibuat dari samot. Samot ini cocok untuk membuat salurun turun yang panjang. Ukuran diameter saluran turun bervariasi, tergantung dari berat coran.
Universitas Sumatera Utara
c. Pengalir Pengalir adalah saluran yang membawa logam cair dari saluran turun ke bagian-bagian yang cocok pada cetakan. Pengalir biasanya mempunyai irisan seperti trapesium atau setengah lingkaran sebab irisan demikian mudah dibuat pada permukaan pisah, lagi pula pengalir mempunyai luas permukaan yang terkecil untuk satu luas irisan tertentu, sehingga lebih efektif untuk pendinginan yang lambat. Pengalir lebih baik sebesar mungkin untuk melambatkan pendinginan logam cair. Logam cair dalam pengalir masih membawa kotoran yang
terapung,
terutama
pada
permulaan
penuangan
sehingga
harus
dipertimbangkan untuk membuang kotoran tersebut. Perpanjangan pemisah dibuat pada ujung saluran pengalir agar logam cair yang pertama masuk akan mengisi seluruh ruang pada cetakan, serta membuat kolam putaran pada saluran masuk dan membuat saluran turun bantu.
d. Saluran Masuk Saluran masuk adalah saluran yang mengisikan logam cair dari pengalir kedalam rongga cetakan. Saluran masuk dibuat dengan irisan yang lebih kecil dari pada irisan pengalir, agar dapat mencegah kotoran masuk kedalam rongga cetakan. Bentuk irisan saluran masuk biasanya berupa bujur sangkar, trapesium, segitiga atau setengah lingkaran yang membesar kearah rongga cetakan untuk mencegah terkikisnya cetakan. Kadang-kadang irisannya diperkecil ditengah dan diperbesar lagi kearah rongga. Pada pembongkaran saluran turun, irisan terkecil ini mudah diputuskan sehingga mencegah kerusakan pada coran. Saluran masuk dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Saluran masuk
Universitas Sumatera Utara
Pada gambar 2.3 diatas terlihat posisi saluran masuk diletakkan disamping saluran pengalir, tujuannya penghubung atau aliran cairan kedalam coran yang akan dibentuk. Saluran masuk tidak bagus terlalu panjang, dapat mengakibatkan penurunan temperatur ke dalam coran yang akan dibentuk.
2.4.4 Pembuatan Cetakan Ada 2 jenis cetakan yang sering digunakan pada proses pengecoran, yaitu: a. Cetakan Logam Cetakan yang biasa digunakan pada pengecoran logam adalah cetakan logam. Cetakan logam umumnya sering digunakan karena porositas yang terjadi lebih sedikit bila dibandingkan dengan cetakan pasir. Pada penuangan, logam cair mengalir melalui pintu cetakan, maka bentuk pintu
cetakan harus dibuat
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu aliran logam cair. Pada umumnya logam cair dituangkan dengan pengaruh gaya berat, walaupun dapat juga dipergunakan tekanan pada logam cair selama atau setelah penuangan. Pengecoran cetak adalah suatu cara pengecoran dimana logam cair ditekan ke dalam cetakan logam dengan tekanan tinggi.
b. Cetakan Pasir Cara ini dibuat dengan cara memadatkan pasir. Pasir yang dipakai adalah pasir alam atau pasir buatan yang mengandung tanah lempung. Biasanya dicampurkan pengikat khusus seperti air-kaca, semen, resin furan, resin fenol (minyak pengering), dan bentonit karena penggunaan zat-zat tersebut memperkuat cetakan atau mempermudah pembuatan cetakan. Untuk membuat coran, harus dilakukan beberapa proses seperti pencairan, pembuatan cetakan, penuangan, pembongkaran dan pembersihan coran. Untuk mencairkan logam bermacam-macam dapur yang dipakai. Umumnya kupola (dapur induksi frekwensi rendah) dipergunakan untuk besi cor, dapur busur listrik (dapur induksi frekwensi tinggi) digunakan untuk baja tuang dan dapur krus untuk paduan tembaga atau coran paduan ringan, karena dapur ini dapat memberikan logam cair yang baik dan sangat ekonomis untuk logam-logam tersebut. Cetakan pasir jarang digunakan karena kemungkinan terjadinya porositas lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Uji Tarik Uji tarik termasuk dalam pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujiannya sangat sederhana dan sudah memiliki standarisasi di seluruh dunia (Amerika ASTM E8 dan Jepang JIS 2241). Dengan melakukan uji tarik suatu bahan, maka akan diketahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap energi tarikan dan sejauh mana material itu bertambah panjang. Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiffness). Gambar mesin uji tarik dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Mesin Uji Tarik (Tensile Test)
Bila gaya tarik terus diberikan kepada suatu bahan (logam) sampai putus, maka akan didapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva seperti digambarkan pada Gambar 2.5. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang. Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang memakai bahan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Hasil dan kurva pengujian tarik (www.infometrik.com)
Hal paling penting dalam pengujian tarik adalah kemampuan maksimum bahan tersebut dalam menahan beban. Kemampuan
ini umumnya disebut
“Ultimate Tensile Strength” disingkat dengan UTS, atau Tegangan Tarik Maksimum. Gambar spesimen uji tarik yang sesuai dengan standar E8 ASTM volume 3 bisa dilihat pada gambar 2.6.
Gambar 2.6 Sampel standar uji tarik E8 ASTM volume 3
Universitas Sumatera Utara
Detail profil uji tarik dan sifat mekanik logam dapat dilihat pada gambar 2.7.
Gambar 2.7 Profil data hasil uji tarik (www.infometrik.com)
Analisa uji tarik dimulai dari titik O sampai D sesuai dengan arah panah dalam gambar. Keterangannya dalah sebagai berikut: • Batas Elastis σE (Elastic Limit) Dalam Gambar 2.7. dinyatakan dengan titik A. Bila sebuah bahan diberi beban sampai pada titik A, kemudian bebannya dihilangkan, maka bahan tersebut akan kembali ke kondisi semula (tepatnya hampir kembali ke kondisi semula) yaitu regangan “nol” pada titik O (lihat inset dalam Gambar 2.7.). Tetapi bila beban ditarik sampai melewati titik A, hukum Hooke tidak lagi berlaku dan terdapat perubahan permanen dari bahan. Terdapat konvensi batas regangan permamen (permanent strain) sehingga masih disebut perubahan elastis yaitu kurang dari 0.02%, tetapi sebagian referensi menyebutkan 0.005%. Tidak ada standarisasi yang universal mengenai nilai ini. • Batas Proporsional σp (Proportional Limit) Titik sampai dimana penerapan hukum Hooke masih bisa ditolerir. Tidak ada standarisasi tentang nilai ini. Dalam praktek, biasanya batas proporsional sama dengan batas elastis.
Universitas Sumatera Utara
• Deformasi Plastis (Plastic Deformation) Yaitu perubahan bentuk yang tidak kembali ke keadaan semula. Pada Gambar 2.7. yaitu bila bahan ditarik sampai melewati batas proporsional dan mencapai daerah landing. • Tegangan Luluh Atas σuy (Upper Yield Stress) Tegangan maksimum sebelum bahan memasuki fase daerah landing peralihan deformasi elastis ke plastis. • Tegangan Luluh Bawah σly (Lower Yield Stress) Tegangan rata-rata daerah landing sebelum benar-benar memasuki fase deformasi plastis. Bila hanya disebutkan tegangan luluh (yield stress), maka yang dimaksud adalah tegangan ini. • Regangan Luluh εy (Yield Strain) Regangan permanen saat bahan akan memasuki fase deformasi plastis. • Regangan Elastis εe (Elastic Strain) Regangan yang diakibatkan perubahan elastis bahan. Pada saat beban dilepaskan regangan ini akan kembali ke posisi semula. • Regangan Plastis εp (Plastic Strain) Regangan yang diakibatkan perubahan plastis. Pada saat beban dilepaskan regangan ini tetap tinggal sebagai perubahan permanen bahan. • Regangan Total (Total Strain) Merupakan gabungan regangan plastis dan regangan elastis, εT = εe+εp. Perhatikan beban dengan arah OABE. Pada titik B, regangan yang ada adalah regangan total. Ketika beban dilepaskan, posisi regangan ada pada titik E dan besar regangan yang tinggal (OE) adalah regangan plastis. • Tegangan Tarik Maksimum TTM (UTS, Ultimate Tensile Strength) Pada Gambar 2.7. ditunjukkan dengan titik C (σβ), merupakan besar tegangan maksimum yang didapatkan dalam uji tarik. • Kekuatan Patah (Breaking Strength) Pada Gambar 2.7. ditunjukkan dengan titik D, merupakan besar tegangan dimana bahan yang diuji putus atau patah. Untuk hampir semua logam, pada tahap sangat awal dari uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan
Universitas Sumatera Utara
perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linear zone. Tegangan yang terjadi adalah beban yang terjadi dibagi luas penampang bahan dan regangan adalah pertambahan panjang dibagi panjang awal bahan. Atau secara matematis dapat ditulis: 𝑃
𝜎=𝐴
…(2.1)
Dan
𝜀=
∆𝑙 𝑙0
𝑥100%
…(2.2)
Hubungan kedua persamaan ini adalah: E=
Dimana :
σ
…(2.3)
ε
𝜎 = Tegangan (MPa) 𝜀 = Regangan (%)
𝑙1 = Panjang akhir (cm)
𝑙0 = Panjang awal (cm)
E = Modulus elastisitas (MPa)
Grafik tegangan-regangan Aluminium 1100 dapat dilihat pada gambar 2.8. σyield
0.2%
Gambar 2.8 Diagram tegangan-regangan Aluminium (www.ncssm.edu)
Universitas Sumatera Utara
Untuk hasil uji tarik yang tidak memiliki daerah linier dan landing yang jelas, tegangan luluh biasanya didefinisikan sebagai tegangan yang menghasilkan regangan permanen sebesar 0.2%, regangan ini disebut offset-strain. Diagram tegangan-regangan bahan keramik dengan menggunakan uji lentur mirip dengan hasil pengujian tarik untuk bahan logam (Aluminium). Terdapat hubungan linear antara tegangan dan regangan. Nilai modulus elastisitas bahan adalah slope (kemiringan) dari nilai tegangan regangan yang dihasilkan. Diagram tegangan-regangan linier untuk deformasi elastis bahan dapat dilihat pada gambar 2.9.
Gambar 2.9 Diagram tegangan-regangan linier untuk deformasi elastis bahan (Callister, 2001)
Dalam bentuk matematis, persamaan dapat ditulis sebagai berikut:
𝐸=
∆𝜎 ∆𝜀
…(2.4)
Dimana: E = Modulus Elastisitas bahan (MPa) 𝜎 = Tegangan (MPa) 𝜀 = Regangan (%)
Universitas Sumatera Utara
Sifat mekanis (pada Tension) dari bahan dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sifat mekanis (pada Tension) bahan pada suhu kamar untuk jenis logam paduan.
Gambar patahan spesimen hasil pengujian tarik untuk Aluminium dapat dilihat pada gambar 2.10.
Gambar 2.10 Patahan hasil uji tarik dari Aluminium (www.mse.mtu.edu)
Universitas Sumatera Utara
2.6 Metallography Analisa mikro adalah suatu analisa mengenai struktur logam melalui pembesaran dengan menggunakan mikroskop khusus metallography. Dengan analisa mikro struktur, kita dapat mengamati bentuk dan ukuran kristal logam, kerusakan logam akibat proses deformasi, proses perlakuan panas, dan perbedaan komposisi. Sifat-sifat logam terutama sifat mekanis dan sifat teknologis sangat mempengaruhi dari mikro struktur logam dan paduannya. Struktur mikro dari logam dapat diubah dengan jalan perlakuan panas ataupun dengan proses perubahan bentuk (deformasi) dari logam yang akan diuji. Pengamatan metallography dengan mikroskop optik dapat dibagi dua, yaitu metallography makro yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran 10-100 kali dan metallography mikro yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran diatas 100 kali. Adapun gambar alat uji foto mikro dapat dilihat pada gambar 2.11.
Gambar 2.11 Alat Uji Foto Mikro (Mikroskop optic)
Gambar 2.11 adalah alat uji struktur mikro, yang fungsinya untuk mengambil gambar dari spesimen yang di uji dengan ukuran 200 x pembesaran (metallography). Sebelum melakukan percobaan metallography terhadap suatu material, terlebih dahulu harus ditentukan material logam apa yang akan diuji. Sebaiknya harus ada data pembanding antara data mikro struktur yang di dapat dari
Universitas Sumatera Utara
percobaan dengan data mikro struktur yang sebenarnya dari suatu material yang dijadikan benda uji. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam percobaan metallography ini adalah sebagai berikut: a. Cutting (Pemotongan) Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskopik merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersil tidak homogen, sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat dianggap representatif. Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau kondisi di tempat-tempat tertentu (kritis), dengan memperhatikan kemudahan pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya. Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong yang digunakan, yaitu meliputi proses pematahan, pengguntingan, penggergajian, pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge Machining). Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan terbagi menjadi dua yaitu teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan gerinda dan teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan low speed diamond saw. Sebagai contoh, untuk pengamatan mikrostruktur material yang mengalami kegagalan, maka sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan yang memadai.
b. Mounting Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran metal tipis, potongan yang tipis, dan lain-lain. Untuk memudahkan
Universitas Sumatera Utara
penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah sebagai berikut : 1. Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa). 2. Sifat eksoterimis rendah. 3. Viskositas rendah. 4. Penyusutan linier rendah. 5. Sifat adhesi baik. 6. Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel. 7. Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan yang terdapat pada sampel. 8. Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus kondusif. Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang dicampur dengan hardener, atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk materialmaterial yang keras. Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam. Thermosetting mounting membutuhkan alat khusus, karena dibutuhkan aplikasi tekanan (4200 lb/in2) dan panas (1490˚C) pada mold saat mounting. c. Grinding (Pengamplasan) Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan
Universitas Sumatera Utara
mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah (hingga 150 mesh) ke nomor mesh yang tinggi (180 hingga 600 mesh). Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan. Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air. Air berfungsi sebagai pemidah geram, memperkecil kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya.
d. Polishing (Pemolesan) Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan. Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidak teraturan sampel. Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus benarbenar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel. Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara lain yaitu sebagai berikut: 1. Pemolesan Elektrolit Kimia Hubungan rapat arus dan tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit dan material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis pada permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa. Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses pemolesan.
2. Pemolesan Kimia Mekanis Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur dengan larutan pengetsa yang umum digunakan.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemolesan Elektro Mekanis (Metode Reinacher) Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, Tembaga, Kuningan, dan Perunggu.
e. Etching (Etsa) Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material, mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat, yaitu: 1. Etsa Kimia Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia dimana zat etsa
yang
digunakan
ini
memiliki
karakteristik
tersendiri
sehingga
pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati. Contohnya antara lain: nitrid acid / nital (asam nitrit + alkohol 95%), picral (asam picric + alkohol), ferric chloride, hydroflouric acid, dan lain-lain. Perlu diingat bahwa waktu etsa jangan terlalu lama (umumnya sekitar 4-30 detik), dan setelah dietsa, segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan alkohol kemudian dikeringkan dengan alat pengering. 2. Elektro Etsa (Etsa Elektrolitik) Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektro etsa. Cara ini dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu pengetsaan. Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel karena dengan etsa kimia susah untuk mendapatkan detil strukturnya.
2.7 Variabel Riset Dan Analisis Sebelum peleburan dilakukan, terlebih dahulu ditentukan Aluminium yang ingin dilebur. Pada penelitian ini ada 3 variasi yang dikerjakan. Peleburan pertama Aluminium dibutuhkan sebanyak 2,75 kg dimana Magnesium yang akan dipadu sebanyak 2%, sehingga dapat diketahui kekuatan tarik yang terkandung dalam
Universitas Sumatera Utara
paduan Aluminium-Magnesium. Tetapi pada peleburan selanjutnya, kandungan Magnesium yang akan dicampur bervariasi. Pada peleburan pertama, total Aluminium-Magnesium yang akan dilebur 2,8 kg. Aluminium 2,75 kg, jadi Magnesium yang dibutuhkan 50 gram. Perhitungannya sebagai berikut:
Keterangan: Aluminium: 2750 gram
a = % Magnesium yang diinginkan
Magnesium: 50 gram
𝑎
Solusi: 2750 x 100 = 50 jadi,
a=
50 𝑥 100 2750
= 1,818%
Jadi hasil % Magnesium yang diinginkan pada percobaan ini adalah 1,818%, tetapi sering terjadi perbedaan hasil uji komposisi yang tidak sesuai dengan variasi yang diinginkan pada paduan Aluminium-Magnesium ini. Penyebabnya ialah pada waktu peleburan yang dilakukan banyak terdapat kotoran pada cairan Aluminium. Maka sebaiknya menggunakan bahan kimia berupa fluks. Fluks fungsinya ialah pembersih kotoran yang terkandung di dalam AluminiumMagnesium pada waktu dilebur. Sehingga pada waktu peleburan tidak menghasilkan ampas/kotoran yang banyak. Demikian pula pada peleburan selanjutnya untuk mendapatkan variasi paduan Aluminium-Magnesium yang dikerjakan.
Universitas Sumatera Utara