BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Proses Pendinginan
Proses pendinginan merupakan proses pengambilan kalor/panas dari suatu ruang atau benda untuk menurunkan suhunya dengan jalan memindahkan kalor yang terkandung dalam ruangan atau benda tersebut (Kamaruddin, 1998). Proses pendinginan merupakan rangkaian proses pindah panas. Proses pindah panas dapat terjadi secara konveksi, konduksi maupun radiasi. Konveksi adalah pindah panas yang terjadi karena adanya gaya gerak dari luar yang dinamakan dengan konveksi paksa, sedangkan jika pergerakan fluida terjadi karena perbedaan massa jenis yang disebabkan perbedaan temperatur dinamakan dengan konveksi bebas. Konduksi adalah pertukaran melalui kontak langsung antara molekul yang berbeda temperatur. Radiasi merupakan perpindahan panas melalui gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh getaran atom dan sub atom pada permukaan suatu benda. Dalam bidang pertanian, pendinginan dan pembekuan digunakan sebagai salah satu cara untuk menjaga agar produk pertanian yang mudah rusak, dapat tetap terjaga kualitasnya dengan baik selama waktu tertentu sebelum produk tersebut dikonsumsi maupun diperdagangkan. Tujuan lain pendinginan pada bidang pertanian adalah untuk memperlambat aktivitas bakteri, sedangkan pada proses pembekuan bertujuan untuk menghentikan sepenuhnya aktivitas bakteri pada produk yang diinginkan. Perkembangan teknologi pendinginan sangat dipengaruhi oleh dua permasalahan besar, yaitu pemakaian refrigeran dan penggunaan energi. Pemakaian refrigeran dalam sistem pendingin mengakibatkan semakin menipisnya lapisan ozon sehingga berdampak pada pemanasan global. Namun dalam pendinginan itu sendiri refrigeran merupakan komponen terpenting dalam siklus refrigerasi karena refrigeran inilah yang menimbulkan efek pendinginan dan pemanasan pada mesin refrigerasi. Misalnya refrigeran seperti, CFCs (Chloro Fluoro Carbons), HCFCs (Hydro Chloro Fluoro Carbons), HFCs (Hydro Fluoro Carbons) merupakan jenis refrigeran yang pada tahun 2030 harus dihapuskan sesuai kesepakatan Protokol Montreal tahun 1987 dan Protokol Kyoto tahun 1997. Pemakaian refrigeran yang tidak ramah lingkungan ini mendorong peneliti untuk mencari beberapa refrigeran alternatif yaitu melakukan penelitian untuk menggantikan refrigeran amonia dan hidrokarbon. Beberapa kendala didalam pemakaian refrigeran ini yaitu, amonia yang bersifat racun (toxic) dan cukup mudah terbakar. Sedangkan hidrokarbon termasuk dalam zat yang mudah terbakar. Untuk refrigeran hidrokarbon beberapa penelitian dilakukan untuk menekan tingkat keterbakaran yaitu dengan cara mencampurkannya dengan refrigeran lain yang tidak mudah terbakar. Perkembangan lain dari sistem pendingin selain permasalahan pemakaian refrigeran adalah penggunaan energi. Sehingga para peneliti berusaha memunculkan sistem pendingin alternatif yang tidak mengandung permasalahan serupa diatas. Teknologi pendingin alternatif diantaranya adalah refrigerasi sistem absorpsi, adsorpsi padatan (solid adsorption) dan efek magnetokalorik. Keunggulan dari sistem absorpsi dan adsorpsi padatan adalah tidak menggunakan refrigeran yang merusak lapisan ozon dan menimbulkan pemanasan global. Untuk meningkatkan tekanan refrigerannya dapat menggunakan panas buangan, sinar matahari dan juga bisa menggunakan biomassa. Sedangkan refrigerasi sistem efek magnetokalorik sama sekali tidak menggunakan refrigeran primer. Refrigerasi magnetik dipandang sebagai teknologi hijau (green technology) yang memiliki potensi untuk menggantikan siklus konvensional kompresi uap.
3
Pada penelitian pendahulu oleh Setyawan, Y. (1997) mengenai penggunaan garam NaCl, CaCl2, dan LiCl sebagai kondensor pada pendinginan vakum dilakukan pengukuran laju penyerapan uap. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh besarnya nilai laju penyerapan NaCl sebesar 0.0184 g/menit, CaCl2 sebesar 0.1434 g/menit, dan LiCl sebesar 0.4467 g/menit. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa garam LiCl memiliki laju penyerapan yang lebih tinggi dibandingkan nilai penyerapan bahan yang lainnya, ini menunjukkan bahwa garam LiCl memiliki kemampuan yang lebih lebih baik dalam penyerapan uap air pada sistem pendinginan.
2.2
Refrigeran
Unit-unit refrigerasi banyak dipergunakan untuk daerah-daerah dengan temperatur yang tinggi. Untuk unit refrigerasi tersebut diatas, hendaknya dapat dipilih jenis refrigeran yang paling sesuai dengan jenis kompresor yang dipakai, dan karekteristik termodinamikanya antara lain meliputi temperatur penguapan dan tekanan penguapan serta temperatur pengembunan dan tekanan pengembunan. (Arismundar dan Saito, 2005) Refrigeran merupakan zat yang diserap oleh absorban atau lebih dikenal dengan absorbat, sedangkan absorban merupakan zat penyerap uap air berupa larutan. Absorbat yang biasa digunakan untuk sistem pendingin adalah air, metanol dan ammonia. (Ambarita, N, 2008). Dalam sistem pendingin absorpsi LiBr-H2O, refrigeran yang digunakan air sedangkan absorbannya berupa larutan pekat LiBr. Air merupakan absorbat yang ideal karena memiliki panas laten spesfik terbesar, mudah didapat, murah dan tidak beracun. Tekanan penguapan air yang rendah merupakan keterbatasan air sebagai absorbat, sehingga sering menyebabkan: - Temperatur penguapan rendah (100oC), sehingga penggunaan air terbatas hanya untuk airconditioning dan chilling. - Tekanan sistem selalu dibawah tekanan normal (1 atm). Sistem harus memiliki instalasi yang tidak bocor agar udara tidak masuk. - Rendahnya tekanan penguapan air menyebabkan rendahnya tekanan proses absorpsi, sehingga proses perpindahan massa uap air kedalam absorban menjadi terbatas. Metanol memiliki peforma diantara air dan amonia, dimana metanol memiliki tekanan penguapan yang lebih tinggi dibandingkan dengan air (meskipun pada tekanan 1 atm), sehingga sangat cocok untuk membuat es. Meskipun demikian, pada temperatur lebih dari 120oC tekanan menjadi tidak stabil. Sedangkan ammonia memiliki panas laten spesifik setengah lebih rendah dari panas laten spesifik air pada temperatur 0oC dan memiliki tekanan penguapan yang tinggi. Ammonia memiliki keuntungan yang ramah lingkungan dan dapat digunakan sebagai refrigeran sampai -40oC, dan dapat dipanaskan sampai 200oC. Kerugian dari ammonia yaitu, bersifat racun sehingga penggunaannya dibatasi dan tidak dapat ditampung pada instalasi yang terbuat dari tembaga atau campurannya. Persyaratan refrigeran menurut Arismundar dan Saito (2005) untuk unit refrigerasi adalah sebagai berikut: 1. Tekanan penguapannya harus cukup tinggi Sebaiknya refrigeran memiliki temperatur penguapan pada tekanan yang lebih tinggi, sehingga dapat dihindari kemungkinan terjadinya vakum pada evaporator, dan turunnya efisiensi volumetrik karena naiknya perbandingan kompresi. 2. Tekanan pengembunan yang tidak terlampau tinggi Apabila tekanan pengembunan rendah, maka perbandingan kompresinya menjadi lebih rendah sehingga penurunan prestasi kompresor dapat dihindarkan. Selain itu, dengan tekanan kerja yang
4
lebih rendah, mesin dapat bekerja lebih aman karena kemungkinan terjadinya kebocoran, kerusakan, ledakan menjadi lebih kecil. 3. Panas laten penguapan harus lebih tinggi Refrigeran yang memiliki panas laten penguapan yang tinggi lebih menguntungkan karena untuk kapasitas refrigerasi yang sama, jumlah refrigeran yang bersirkulasi menjadi lebih kecil. 4. Volume spesifik (terutama dalam fasa gas) yang cukup kecil Refrigeran dengan panas laten penguapan yang besar dan volume spesifik gas yang kecil (berat jenis yang besar) akan memungkinkan penggunaan kompresor dengan volume langkah torak yang lebih kecil. Dengan demikian untuk kapasitas refrigeran yang sama, ukuran unit refrigrasi yang bersangkutan menjadi lebih kecil. Namun untuk unit pendingin air sentrifugal yang kecil, lebih dikehendaki refrigeran dengan volume spesifik yang agak besar. Hal tersebut diperlukan untuk menaikkan jumlah gas yang bersirkulasi, sehingga dapat mencegah menurunnya efisiensi kompresor sentrifugal. 5. Konduktivitas termal yang tinggi Konduktivitas termal sangat penting untuk menentukan karakteristik perpindahan panas. 6. Viskositas yang rendah dalam fasa cair maupun fasa gas Dengan turunnya tahanan aliran refrigeran dalam pipa, kerugian tekanannya akan berkurang. 7. Refrigeran hendaknya stabil dan tidak bereaksi dengan material yang dipakai sehingga tidak menyebabkan korosi. 8. Refrigeran tidak boleh beracun dan berbau tajam. 9. Refrigeran tidak boleh mudah terbakar dan mudah meledak. 10. Refrigeran harus mudah dideteksi jika terjadi kebocoran.
2.3
Siklus Pendinginan Absorpsi
Absorpsi menyatakan adanya proses penyerapan suatu zat oleh absorban dalam fungsi waktu. Absorpsi terjadi pada permukaan zat cair karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat cair. Molekul-molekul pada kedua permukaan zat cair, mempunyai gaya tarik ke arah dalam, karena tidak ada gaya-gaya lain yang mengimbangi. Adanya gaya-gaya ini menyebabkan zat absorban dan zat absorbat, mempunyai gaya absorpsi. Absorpsi berbeda dengan adsorpsi. Pada absorpsi zat yang diserap masuk ke dalam absorban sedangkan pada adsorpsi zat yang diserap hanya terdapat pada permukaannya (Sukardjo, 1990). Dasar siklus pendingin absorpsi disajikan pada Gambar 1. Pada gambar ditunjukkan adanya dua tingkat tekanan yang bekerja pada sistem, yaitu tekanan rendah yang meliputi proses penguapan (di evaporator) dan penyerapan (di absorber), dan tekanan tinggi yang meliputi proses pembentukan uap (di generator) dan pengembunan (di kondensor). Siklus absorpsi juga menggunakan dua jenis zat yang umumnya berbeda, zat pertama disebut penyerap sedangkan yang kedua disebut refrigeran. Selanjutnya, efek pendinginan yang terjadi merupakan akibat dari kombinasi proses pengembunan dan penguapan kedua zat pada kedua tingkat tekanan tersebut. Proses yang terjadi di evaporator dan kondensor sama dengan pada siklus kompresi uap. Kerja siklus secara keseluruhan adalah sebagai berikut (Tambunan, A H. 2001) : Proses 1-2/1-3:
Larutan encer campuran zat penyerap dengan refrigeran (konsentrasi zat penyerap rendah) masuk ke generator pada tekanan tinggi. Di generator panas dari sumber bersuhu tinggi ditambahkan untuk menguapkan dan memisahkan refrigeran dari zat penyerap, sehingga terdapat uap refrigeran dan larutan pekat
5
zat penyerap. Larutan pekat campuran zat penyerap mengalir ke absorber sedangkan uap refrigeran mengalir ke kondensor. Proses 2-7:
Larutan pekat campuran zat penyerap dengan refrigeran (konsentrasi zat penyerap tinggi) kembali ke absorber melalui katup cekik. Pengunaan katup cekik bertujuan untuk mempertahankan perbedaan tekanan antara generator dan absorber.
Proses 3-4:
Di dalam kondensor, uap refrigeran bertekanan dan bersuhu tinggi diembunkan, panas dilepas ke lingkungan, dan terjadi perubahan fase refrigeran dari uap ke cair. Dari kondensor dihasilkan refrigeran cair bertekanan tinggi dan bersuhu rendah.
Proses 4-5:
Tekanan tinggi refrigeran cair diturunkan dengan menggunakan katup cekik dan dihasilkan refrigeran cair bertekanan dan bersuhu rendah yang selanjutnya dialirkan ke evaporator.
Proses 5-6:
Di evaporator, refrigeran cair mengambil panas dari lingkungan yang akan didinginkan dan menguap sehingga terjadi uap refrigeran bertekanan rendah.
Uap tekanan tinggi
3
Sumber Panas
P T
Lingkungan kalor
1
Kondensor
Generator
P T Larutan pekat
2
P T
4P
katup cekik
7P T
Larutan encer
5
P T
Evaporator
Absorber
P
T katup cekik
8 kalor
Air dingin
P
T
kalor
6
P T
Produk
Uap tekanan rendah
Gambar 1. Bagan Alir Proses Pendinginan Absorpsi Proses 6-8/7-8:
Uap refrigeran dari evaporator diserap oleh larutan pekat zat penyerap di absorber dan membentuk larutan encer zat penyerap. Jika proses penyerapan tersebut terjadi secara adiabatik, terjadi peningkatan suhu campuran larutan yang pada gilirannya akan menyebabkan proses penyerapan uap terhenti. Agar proses penyerapan berlangsung terus-menerus, absorber didinginkan dengan air yang mengambil dan melepaskan panas tersebut ke lingkungan.
6
Proses 8-1:
2.4
Pompa menerima larutan cair bertekanan rendah dari absorber, meningkatkan tekanannya, dan mengalirkannya ke generator sehingga proses berulang secara terus menerus.
Model Sorpsi Isothermis
Pada umumnya absorpsi dinyatakan dengan isoterm absorpsinya, yaitu yang menunjukkan hubungan konsentrasi-konsentrasi dari bahan terabsorpsi pada suatu suhu tetap. Empat tipe persamaan utama yang digunakan untuk menguraikan isoterm absorpsi adalah : (1) model Freundlich, (2) model Langmuir, (3) dan model BET (Brunauer, Emmet, Teller). Nilai dari suatu model sorpsi isotermis tergantung pada kemampuannya secara matematis untuk menguraikan sorpsi isotermis dan kemampuan tetapan-tetapan dalam model tersebut untuk menjelaskan fenomena secara teoritis. Model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah kurva sorpsi isotermis. Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung pada tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982 dalam Fitria, 2007).
2.4.1 Model Sorpsi Isotermis Freundlich Model isoterm absorpsi Freundlich didasarkan atas terbentuknya lapisan monolayer dari molekulmolekul absorbat pada permukaan absorban. Namun pada absorpsi Freundlich situs-situs aktif pada permukaan absorban bersifat heterogen. Persamaan isoterm absorpsi Freundlich dapat dituliskan sebagai berikut : /
= =
1) +
y= a + bx
2) 3)
dimana : Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan absorban dalam kondisi setimbang (g absorbat/g absorban) Ce : konsentrasi pada kesetimbangan (g absorbat/ml) K, n : konstanta Freundlich
2.4.2 Model Sorpsi Isotermis Langmuir Isoterm absorpsi Langmuir didasarkan atas beberapa asumsi, yaitu (a) absorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal (monolayer), (b) panas absorpsi tidak tergantung pada penutupan permukaan, dan (c) semua situs dan permukaannya bersifat homogen. Persamaan isoterm absorpsi Langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya kesetimbangan antara molekul-molekul zat yang diabsorpsi pada permukaan absorban dengan molekul-molekul zat yang tidak terabsorpsi. Persamaan isoterm absorpsi Langmuir dapat dituliskan sebagai berikut: =
4)
7
= =
5) +
6)
y= b x + a dimana: Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan absorban dalam kondisi setimbang (g absorbat/g absorban) Ce : konsentrasi pada kesetimbangan (g absorbat/ml) KL : konstanta Langmuir Qo : kapasitas jerat maksimum absorban terhadap absorbat (g absorbat/g adsorban)
7)
Kurva absorpsi isoterm Langmuir dapat dilihat pada Gambar. berikut:
Gambar 2. Kurva absorpsi isoterm Langmuir
2.4.3 Model Sorpsi Isotermis BET (Brunauer, Emmett dan Teller) Brunauer, Emmett dan Teller (1938) mengembangkan pendekatan persamaan Langmuir pada absorpsi multilayer yang kemudian dikenal dengan BET. Asumsi dasarnya adalah setiap molekul pada lapisan absorpsi pertama dianggap melengkapi permukaan kedua dan berikutnya, molekul ini memungkinkan terjadinya kontak dengan molekul absorbat dibandingkan dengan permukaan adsorban dimana konstanta kesetimbangan untuk lapisan molekul pertama kontak dengan permukaan adsorban berbeda. Isoterm absorpsi BET diformulasikan sebagai berikut:
=
(
)
8)
= 1 + ( ā 1)
9)
=
10)
+
y = a + b x 11) dimana: Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan adsorban dalam kondisi setimbang (g absorbat/g adsorban) Qo : kapasitas jerat maksimum absorban terhadap absorbat (g absorbat/g adsorban) K : konstanta kesetimbangan absorpsi Ce : konsentrasi absorbat dalam cairan pada kondisi kesetimbangan (g absorbat/ml)
8
2.5
Kesetimbangan Kandungan Uap Air
Hubungan antara kelembaban dan kandungan uap air pada temperatur yang sama (isoterm) dikenal sebagai kesetimbangan isoterm sorpsi uap air (Equilibrium Moisture Sorption Isotherm) seperti yang dikemukakan oleh Bell dan Labuza. Masing-masing produk mempunyai kesetimbangan kandungan uap air yang unik karena perbedaan interaksi (efek koligatif larutan, efek kapiler, dan interaksi permukaan) antara air dengan komponen padat pada kandungan uap air yang berbeda. Informasi mengenai mekanisme sorpsi uap air pada suatu bahan dapat diketahui dari bentuk kesetimbangan kandungan uap airnya, karena hal itu sangat tergantung pada interaksi antara molekul air dengan suatu bahan. Isoterm sorpsi fisis ini dapat digolongkan menjadi 6 tipe utama (I-VI), berdasarkan klasifikasi IUPAC. Isoterm tipe V dan VI tidak umum untuk dijumpai (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010). Tipe I adalah tipe Langmuir, yang ditandai oleh adanya absorpsi yang terbatas yang diasumsikan sebagai terbentuknya suatu lapisan tunggal yang sempurna. Tipe I memiliki absorban dengan mikropori yang luas permukaannya relatif kecil, yang dapat menyimpan banyak uap air pada RH yang rendah (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010). Isoterm tipe II, bentuk sigmoidal atau bentuk āSā umumnya berhubungan dengan sorpsi lapisan tunggal-multi lapisan pada bahan dengan permukaan yang tidak berpori atau makropori. Isoterm tipe II dan IV menunjukkan pengikatan tertentu pada kelembaban rendah yang diikuti dengan absorpsi yang rendah pada kelembaban menengah, selanjutnya meningkat lagi pada kelembaban yang lebih tinggi. Adanya histeresis menunjukkan adanya mesopori dan umum terjadi pada isoterm tipe II dan IV (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010). Berbeda dengan isoterm tipe IV, isoterm tipe II tidak memiliki penyerapan yang stabil pada aw yang tinggi. Isoterm tipe IV terjadi karena tertutupnya mesopori yang diikuti dengan kondensasi kapiler atau pengisian pori (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010). Isoterm tipe III dan V menandakan adanya interaksi adsorban-absorbat yang lemah dan ditandai dengan penyerapan yang rendah pada kelembaban rendah dan terjadi peningkatan yang pesat pada kelembaban yang lebih tinggi. Isoterm tipe VI, isoterm bertingkat dimana terjadi sorpsi tingkat demi tingkat pada permukaan bahan tidak berpori yang seragam (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010).
9
Gambar 3. Klasifikasi Isoterm Sorpsi Uap Air dan Berbagai Bentuknya (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010).
Kesetimbangan dari absorpsi uap air (dimulai dari keadaan kering) tidak sama persis dengan kesetimbangan yang dihasilkan dari desorpsi uap air (dimulai dari keadaan basah). Fenomena dari kandungan uap air yang berbeda dengan aw yang sama ini dikenal sebagai histeresis sorpsi uap air (moisture sorption hysteresis).
Gambar 4. Skema Histeresis antara Absorpsi dan Desorpsi Uap Air
10