BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan ASI 1. ASI dan Kandungan Zat Gizi Air Susu Ibu merupakan makanan alamiah yang ideal untuk bayi, terutama pada bulan-bulan pertama, ASI mengandung semua gizi yang dibutuhkan untuk membangun dan menyediakan energi bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal. Disamping itu, ASI mengandung beberapa zat anti terhadap penyakit-penyakit yang keberadaannya tidak diberikan melalui jalan lain (Riadi dan Tjokronegoro, 1992). Didalam ASI terkandung zat-zat gizi yang diperlukan bayi untuk pertumbuhan dan mengandung zat-zat kekebalan yang sangat penting untuk mencegah timbulnya penyakit, serta mudah dicerna oleh pencernaan bayi. Dengan demikian ASI adalah makanan terbaik bagi bayi, oleh karena itu setiap bayi setidaknya memperoleh ASI (Depkes RI, 1991). Air Susu Ibu yang keluar dari kelenjar susu ibu pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga macam ASI berdasarkan waktu keluarnya serta kandungan zat gizinya. ASI yang keluar pertama kali setelah ibu melahirkan disebut kolostrum. Setelah kolustrum tidak keluar lagi, ASI disebut sebagai ASI masa transisi dan setelah masa itu tepatnya 10 hari kelahiran ASI disebut ASI matang/ASI dewasa (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Kolostrum adalah ASI yang pertama kali keluar pada akhir kelahiran. Zat dalam kolustrum ini lebih banyak mengandung protein, imunoglobin, mineral dan vitamin A. Namun sedikit mengandung lemak dan sedikit hidrat arang. Kolustrum dihasilkan oleh payudara dari lima bulan pertama kehamilan pertama sampai tujuh hari setelah melahirkan. Kolustrum berwarna kekuning-kuningan. Peralihan dari kolostrum ke susu biasa (yang matang) membutuhkan waktu dua minggu (Riadi dan Tjokronegoro, 1992 ).
TABEL 1 KOMPOSISI ZAT GIZI KOLOSTRUM, ASI DAN SUSU SAPI Gizi
Kolostrum
SUSU (per 100 gr)
(100 gr)
ASI
SUSU SAPI
Energi (kal)
58
77
65
Protein (g)
2,7
1,1
3,5
Lemak (g)
2,9
4,0
3,5
Karbohidrat (g)
5,3
9,5
4,9
Kalsium (mg)
31
33
118
Fossor (mg)
14
14
93
Besi (mg)
0,09
0,1
0,0
Vitamin A (SI)
296
240
140
Thiamin (mg)
0,015
0,01
0,03
Riboflavin (mg)
0,029
0,04
0,17
Niacin (mg)
0,075
0,2
0,1
4,4
5
1
Asam askorbat (mg)
Sumber : Stare dan Mc Williams dalam Winarno : 1987
2. ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) sebagai makanan tunggal sebaiknya diberikan sampai bayi berumur 4 sampai 6 bulan. Pemberian ASI tanpa makanan tambahan lainnya disebut menyusui secara eksklusif. Setelah 4 atau 6 bulan bayi perlu mendapat makanan tambahan, atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan diteruskan sampai bayi berumur dua tahun (Depkes RI, 1991) ASI sangat cocok untuk bayi karena merupakan sumber gizi yang diperlukan yang memungkinkan bayinya dapat tumbuh dengan baik selama enam bulan pertama hanya dari air susu ibunya saja (Winarno, 1987).
Volume pengeluaran ASI pada minggu-minggu pertama bayi lahir biasanya besar tetapi setelah itu sekitar 450 sampai 650 ml saja. Seorang bayi memerlukan sebanyak 600 ml susu perhari. Jumlah tersebut dapat dicapai dengan menyususi bayinya selama 4-6 bulan pertama karena itu selama kurun waktu tersebut ASI mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Setelah enam bulan, volume pengeluaran susu menurun dan sejak itu kebutuhan gizi tidak lagi dapat dipenuhi dan ASI saja dan harus mendapat makanan tambahan (Winarno, 1987). Mulai tahun 1970 terjadi pergeseran yang mendasar. Protein Advisori Group menyatakan bahwa ASI adalah satu-satunya sumber makanan bayi yang sempurna sampai bayi berumur 4-6 bulan. Pada akhir tahun 1975 seminar IPA di Montreaux, Swiszerlan berkesimpulan bahwa bayi mendapat cukup ASI dari ibunya, jangan diberikan makanan tambahan sebelum ia berumur 4 bulan. Di berbagai negara maju di Eropa maupun di Amerika dianjurkan pemberian makanan tambahan mulai umur antara empat sampai enam bulan (Suhardjo, 1989). Dilihat dari sudut kematangan fisiologis dan kebutuhan gizinya pemberian makan selain ASI kepada bayi sebelum usia 4 bulan biasanya tidak diperlukan dan bahkan akan mengandung resiko misalnya akan mengandung keadaan bayi mempunyai resiko untuk sakit diare dan penyakit lainnya (Suhardjo, 1989). 3. Manfaat ASI Keuntungan yang diperoleh bila menggunakan ASI sangat benyak. Diantaranya ialah ASI tidak perlu dibeli, selalu tersedia setiap saat dan siap dipakai, suhunya ideal, selalu segar dan bebas pencemaran kuman sehingga mengurangi kemungkinan gangguan infeksi saluran pencernaan (Riadi dan Tjokronegoro, 1992). Disamping itu, pemberian ASI juga menguntungkan bagi bayi maupun ibunya, karena proses menyusui itu sendiri dapat meningkatkan hubungan batin antara ibu dan bayi, terutama ibu akan memperoleh kepuasan emosi karena proses menyusui itu sendiri merupakan memberi
rasa nyaman dan curahan kasih sayang bagi bayinya (Riadi dan Tjokronegoro, 1992). Pemberian ASI adalah menyenangkan karena tersedia dimana saja, tidak usah membutuhkan persiapan alat dan hitungan takar-takaran. Selain itu ASI bersih, aman, sulit untuk kena cemaran. ASI selalu segar dengan bau, rasa dan susunan yang tidak mungkin untuk ditiru. Itulah sebabnya anak yang disusukan (ASI) kelihatan segar bugar, gesit dan cerdik sehingga lebih cepat berjalan. ASI mempunyai daya kontrasepsi walaupun terbatas. Menyusui
dapat mencegah sekitar
15-25% kelahiran
(Suharyono, 1989) Menyusukan ASI menimbulkan perasaan puas dan senang serta membangkitkan rasa keibuan yang luhur sehingga seluruh jiwa raga sang ibu merasa siap menerima bayi yang merupakan tetes darahnya sendiri. Bila persiapan ini demikian sempurna maka kesulitan apa saja baik yang menimpa bayi maupun yang lain akan diterima dengan tabah (Ibid hal 68). Manfaat ASI bagi negara, ASI menurunkan angka kematian dan angka kesakitan anak. Dengan adanya faktor protektif dalam ASI bayi terlindungi dari kesakitan dan lebih jauh lagi akan melindunginya dari kematian. Keadaan ini tentunya akan mempengaruhi angka kematian dan angka kematian lebih kecil (Depkes RI, 1991). Menyusukan secara baik hingga dua tahun seorang wanita akan mendapat tingkat kesuburan yang rendah. Kemungkinan akan penyediaan telur untuk dibuahi akan jauh lebih kecil (Suharyono,1989). 4. Kecenderungan Pemberian ASI Pada masyarakat pedesaan menyusui adalah cara yang wajar dalam memberikan makan bayi pada semua masyarakat petani. Dalam suatu penelitian yang luas diseluruh dunia yang mencakup 45 golongan kebudayaan dan bangsa disusui selama 1,5 - 2 tahun dan bahkan sampai pada beberapa masyarakat dilanjutkan sampai umur 6 tahun. Beberapa kebudayaan yang membesarkan bayi dengan cara demikian terdapat anggapan bahwa menyusui adalah cara alamiah untuk menjarangkan bayi,
sistem kekeluargaan yang luas dan kehidupan masyarakat yang tertutup di pedesaan memberi kesempatan yang kontinyu bagi anak muda untuk mengamati dinamika menyusui dan umumnya remaja bertumbuh dengan sikap positif terhadap menyusui (Ebrahim, 1989). Masalah penyusuan bayi di daerah perkotaan dan pinggiran kota, sering kali dihadapkan hal-hal yang menyulitkan ibu-ibu. Keluarga di kota cenderung lebih sedikit anggotanya dan kurang mantap. Dalam keadaan ini ibu-ibu muda kurang memperoleh kemungkinan belajar dari pengalaman mereka yang lebih tua atau kerabatnya, demikian juga bantuan dalam kegiatan sehari-hari sukar diperoleh. Karena peraturan ditempat kerjanya ibu harus meninggalkan bayinya untuk waktu yang lama. Mereka mungkin melahirkan di rumah sakit atau di rumah petugas kurang menunjang penyusuan bayi, juga karena industri makanan bayi, yaitu melalui iklan dan promosinya sehubungan dengan kebutuhan ibu-ibu didaerah perkotaan, merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penurunan praktek penyusunan bayi diamati di seluruh dunia, juga di Indonesia sering kali dijumpai pendeknya masa penyusuan. Hal ini terdapat pandangan bahwa penurunan penyusuan bayi sejalan dengan proses perkembangan. Ditinjau dari segi biologi, gizi dan kesehatan pandangan ini sanat disesalkan. Penyusuan adalah salah satu cara untuk mencegah gizi dan kematian. Program perlu disusun sedemikian rupa sehingga membatasi pengaruh negatif dan mendukung penyusunan (Sri karjati,1985). 5. Pemberian Makanan Tambahan ASI baik mutunya sebagai makanan bayi, merupakan jaminan bahwa gizi bayi selalu baik, kecuali apabila ASI tersebut diberikan secara tepat dan benar (Moehji : 1988). Usia 5 bulan merupakan usia peralihan tahap pertama dalam pengaturan makanan bayi. Memasuki usia 5 bulan ASI tetap menduduki tempat yang penting sebagai makanan anak, akan tetapi memasuki usia 5 bulan kebutuhan akan berbagai zat gizi menjadi semakin banyak oleh
karena tubuh bayi semakin besar. Memasuki usia 5 bulan produksi ASI sering juga sudah memperlihatkan tanda-tanda akan berkurang. Karenanya mulai usia 5 bulan kepada bayi harus sudah diberikan makanan lain sebagai pendamping ASI ( Kardiati :1985) Jellife dan Jellife (1978) dalam buku Human Milk In The Modern World terbitan Oxvojrd University mengungkapkan bahwa jika pasangan bayi ibu menyusui mempunyai kondisi kesehatan yang baik dengan pembinaan dan pemeliharaan laktasi yang baik pula, maka kualitas dan kuantitas ASI biasanya baik dan cukup untuk pertumbuhan yang optimal sampai umur 4 bulan tanpa pemberian makanan tambahan (Hardinsyah Drajat Martianto,1992) Pada usia 4 bulan bayi dapat diberi bubur beras tepung. Nasi tim yang disaring dapat diberikan pada bayi yang telah berumur 9 bulan. Dan pada umur 12 bulan sudah dapat diberi nasi lembek, baru meningkat ke nasi biasa, seperti nasi yang dimakan oleh anggota keluarga lain yang lebih dewasa. Pemberian makanan tambahan yang tidak mengikuti tahapan tertentu biasanya berpengaruh buruk terhadap kesehatan bayi. Pemberian makanan sebelum waktunya biasanya mengakibatkan bayi berak mencret. Pada prinsipnya pemberian makanan tambahan ditujukan untuk : a. Mencukupi kebutuhan gizi karena kekurangan ASI akibat ASI tidak keluar atau gangguan lainnya. b. Memenuhi kebutuhan bayi yang semakin meningkat dengan bertambahnya umur, berat badan dan aktifitas bayi. c. Untuk memberikan serat makanan sebagai pelancar defeksi (BAB) pada bayi yang menderita konstipasi (Hardinsyah Drajad Martianto, 1992). Pada sekitar bayi usia 6 bulan, lambung bayi sudah mulai siap makanan dewasa. Bayi yang baru lahir belum memiliki semua enzim yang diperlukan untuk mencerna makanan lain selain ASI. Sebagai contoh usus halus hanya mengandung sedikit emilase yang diperlukan untuk mencerna karbohidrat atau zat tepung. Pada usia 5-6 bulan bayi sudah mulai dapat mencerna makanan ( King, dalam Winarno : 1987).
B. Tinjauan Pendidikan Undang-undang Dasar 1945 dalam batang tubuhnya telah menyatakan dengan tegas bahwa :
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tehnologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (Batang tubuh UUD’45 Pasal 28 C ayat 1). Jika melihat makna dari pasal di atas bahwa pendidikan adalah hak dari setiap warga negara, dan manfaatnya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia. Peningkatan kualitas hidup termasuk di dalamnya adalah kualitas kesehatan dalam arti secara umum. Dengan mutu pendidikan yang berkualitas maka akan memungkinkan tercapainya tingkat kesehatan yang baik. Sedangkan berdasarkan UU RI No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Secara etimologi, pendidikan berasal dari kata Paedagogie yang berasal dari bahasa Yunani terdiri dari kata”Pais” artinya anak dan”Again” yang artinya membimbing, sehingga dapat diartikan bahwa pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan kepada anak untuk menjadi dewasa, cakap dan mampu menyelesaikan tugas hidupnya. Menurut Ki Hajar Dewantara (Ahmadi dan Uhbiyati , 2001) bahwa pendidikan itu dimulai sejak anak dilahirkan dan berakhir setelah ia meninggal dunia, jadi pendidikan itu berlangsung seumur hidup (Ahmadi dan Uhbiyati , 2001), Sedangkan dalam GBHN dirumuskan bahwa pendidikan di negara indonesia dimulai sejak anak dilahirkan dan berakhir setelah meninggal dunia, namun demikian tersirat juga bahwa sebenarnya anak sejak dalam kandungan telah hidup (GBHN , 2002) Pendidikan dapat dimulai sejak awal lagi bahkan ketika calon suami isteri, hal ini selaras dengan pendapat Notonagoro bahwa pendidikan itu dapat dimulai sejak anak itu masih dalam kandungan. Muda mudi dapat mempersiapkan diri dengan jalan mendidik dirinya sendiri sehingga mereke dapat menjadi bibit dan persemaian yang lebih baik dan pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat (Ahmadi dan Uhbiyati , 2001)
Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan ketrampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan dan kebutuhan serta kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan. (Sudirman, 1987) Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh secara formal melalui bangku sekolah. Di Indonesia dikenal ada 4 jalur pendidikan yaitu pendidkan Formal, Pendidikan non Formal, pendidikan In-Formal dan Pendidikan Un-Formal. Pendidikan formal adalah pendidkan resmi yang memiliki jenjang bertingkat, seperti lembaga pendidikan SD dari kelas I sampai kelas VI, SLTP, SLTA, PT yang dilakukan karena tugas jabatan oleh guru kepada muridmuridnya.
Sedangkan
menurut
Notoadmodjo
(1984)
bahwa
jenjang
pendidikan terdiri dari : (1) Tingkat pendidikan dasar, yang ditempuh selama 9 tahun, antara lain harus menyelesaikan Sekolah dasar dan Sekolah lanjutan Tingkat Pertama atau yang sederajad, (2) Tingkat pendidikan menengah, ditempuh setelah tamat pendidikan dasar yang ditempuh selama 3 tahun (SMK/SMA), dan (3) Tingkat Pendidikan Tinggi, yang harus ditempuh setelah pendidikan menengah. Pendidikan
non
formal
ialah
semua
bentuk
pendidikan
yang
diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan berencana diluar kegiatan persekolahan, atau pendidikan yang bukan resmi, misalnya seperti dalam pramuka, organisasi Masyarakat, PKK, Pengajian dan sebagainya. Sedangkan Pendidikan Informal ialah pendidikan yang berlangsung di tengah keluarga, lingkungan, dan tempat-tempat lain yang tidak memerlukan organisasi dan tidak terprogram dengan tidak ada batas waktu, atau dapat diartikan sebagai pendidikan tidak resmi, misalnya orang tua mendidik anak secara kodrati, pergaulan lingkungan. Kemudian Pendidikan Un-Formal ialah pendidikan yang diperoleh tidak melalui/tidak memiliki jenjang bertingkat, seperti misalnya kursus-kursus dan latihan-latihan. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang terutama pada ibu-ibu ternyata merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan seseorang atau masyarakat secara umum. Hal ini berkaitan dengan prilaku ibu dalam mengasuh anaknya, termasuk dalam hal ini adalah perilaku atau sikap
terhadap pemberian ASI eksklusif dan hal lain yang berkaitan dengan ASI, artinya bahwa semakin baik atau semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin mudah menerima informasi kesehatan dan memiliki perilaku yang baik dan positif dari informasi atau pengetahuan yang diperolehnya melalui berbagai cara atau media. Berkaitan dengan Hal tersebut di atas, dikatakan oleh Koentjoroningrat dalam bukunya yang berjudul Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Kesehatan bahwa keadaan yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan adalah tingkat pendidikan umum yang belum memadahi, terutama pada golongan wanita, disamping itu adat istiadat, sikap, tingkah laku dan kebiasaankebiasaan warga untuk hidup sehat masih belum baik dan peran aktif mereka dalam pembangunan kesehatan masih sangat rendah (Koentjaraningrat, 1985). Dengan demikian ternyata tingkat pendidikan seseorang sangat menentukan sikap dan perilaku hidup seseorang terutama ibu balita yang masih menyusui bayinya. Tingkat pendidikan juga akan berpengaruh pada kebiasaan-kebiasaan hidup sehat termasuk pemberian ASI eksklusif serta akan lebih terbuka menerima informasi kesehatan dan diharapkan nantinya tidak hanya untuk diri dan keluarganya saja tetapi ikut berperan aktif dalam pembangunan kesehatan secara umum (Koentjaraningrat , 1985) C. Tinjauan Pengetahuan Pengetahuan merupakan suatu ilmu yang diperoleh melalui pendidikan atau pembelajaran baik formal, non formal, informal maupun unformal, dengan kata lain bahwa pengetahuan bisa diperoleh melalui banyak cara, bukan saja dari bangku sekolah, tetapi bisa dari buku-buku, pengalaman, lingkungan, kursus-kursus, pelatihan-pelatihan, atau dari penyuluhanpenyuluhan. Semua pengetahuan itu diperoleh melalui proses dengan menggunakan indera manusia. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan seseorang bukanlah hal yang mudah. Menurut Gunakarya (1984)
dalam bukunya Sosiologi dan
Antrhopologi mengatakan bahwa yang disebut pengetahuan adalah kesan yang ada dalam pikiran sebagai hasil dari penggunaan panca indranya
yang
bertujuan mendapat kepastian. Sedangkan menurut Suharjo (1991) dalam bukunya yang berjudul pengantar ilmu komunikasi, membagi pengetahuan menjadi dua yaitu (1)
pengetahuan yang di dapat dari pengalaman, dan (2) Pengetahuan yang didapat dari keterangan. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman kebenarannya tergantung pada benar atau tidaknya pandangan kita, Pengetahuan yang di dapat dari keterangan, dimana pengetahuan ini akan dapat memberi dasar yang kokoh akan pengetahuan kita.(Gunakarya, 1984) Pengetahuan tentang gizi merupakan suatu ilmu yang dimiliki seseorang tentang gizi, seperti telah disebutkan dalam tinjauan konsep terdahulu, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan derajad kesehatan atau status gizi rendah adalah masalah rendahnya tingkat pendidikan, dimana jika tingkat pendidikannya rendah akan berpengaruh pada tingkat penerimaan informasi, sehingga memungkinkan rendahnya pengetahuan gizi termasuk rendahnya penghetahuan tentang ASI Eksklusif dan manfaat-manfaatnya serta kerugiankerugiannya jika tidak memberikan ASI secara Eksklusif. Masyarakat
dengan
tingkat
pendidikan
rendah
akan
lebih
mempertahankan tradisi-tradisi, adat dan kebiasaan negatif, termasuk yang berhubungan dengan pembaharuan di bidang ilmu gizi. Dengan demikian pengetahuan gizi yang rendah akan sulit membuka diri dengan menerima ilmu yang rasional dan ilmiah, sehingga akan menyebabkan terkungkung dalam keterbelakangan pengetahuan termasuk tidak menjalankan Pola asuh yang baik terhadap anaknya dengan tidak memberikan ASI secara Eksklusif meskipun secara fisik tidak ada alasan bagi ibu untuk tidak memberikan ASI kepada bayinya secara Eksklusif. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya pemberian ASI Eksklusif. Sebenarnya masalah anak/bayi kurang gizi dapat dihindari jika ibu memiliki pengetahuan gizi yang cukup terutama masalah pemberian makan pada anak termasuk pemberian ASI Eksklusif, seperti yang dikatakan oleh Rulina bahwa Rendahnya pemberian ASI secara Eksklusif di Indonesia disebabkan antara lain karena pengetahuan ibu tentang pentingnya ASI masih rendah, tatalaksana rumah sakit yang
salah, dan banyaknya ibu yang
mempunyai pekerjaan di luar rumah. Dengan demikian jelaslah bahwa memburuknya status gizi bayi dan anak balita
bisa jadi disebabkan karena ketidak tahuan ibu tentang manfaat
ASI dan tatacara bemberiannya. Pengaruh kehidpan kota yang tidak memberikan ASI secara Eksklusif telah menjalar ke desa-desa, sehingga
dengan ketidakmampuan mereka memberikan susu buatan akan menambah parah terhadap status gizi anak. Hal ini sebenarnya tak perlu terjadi jika ibu cukup pengetahui kelebihan ASI dan bahaya yang mungkin timbul dari pengganti ASI dengan makanan buatan lain (Moehji, 1988). D. Kerangka Teori GAMBAR 1 PENYEBAB MASALAH GIZI
STATUS GIZI
ASUPAN GIZI
INFEKSI PENYAKIT
PERILAKU / KETERSEDIAAN PANGAN TINGKAT RT
ASUHAN IBU DAN
PELAYANAN KESEHATAN
ANAK/ PEMBERIAN
PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN KEMISKINAN KETERSEDIAAN PANGAN DAN KESEMPATAN KERJA
KRISIS EKONOMI DAN POLITIK
Sumber : Depkes RI, 2002
E. Kerangka Konsep
TINGKAT PENDIDIKAN
PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF
PENGETAHUAN GIZI
F. Hipotesis 1. Ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan pemberian ASI Eksklusif. 2. Ada hubungan pengetahuan gizi ibu dengan pemberian ASI Eksklusif.