BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes Melitus 2.1.1
Definisi Diabetes Melitus Menurut ADA (2010) DM merupakan penyakit metabolisme yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Perkeni, 2011). DM merupakan kelainan metabolik dengan etiologi multifaktoral yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Ramachandran dan Chamukuttan, 2009). Diabetes Melitus tipe 2 atau Non-Insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan oleh resistensi insulin perifer atau produksi insulin berkurang (sekresi insulin). Sering ditemukan keadaan bahwa hormon insulin di dalam tubuh masih ada bahkan masih tersedia dengan jumlah yang cukup di dalam tubuh, namun insulin ini tidak bisa masuk ke dalam pembuluh darah perifer sehingga insulin tidak bisa diserap oleh pembuluh darah dan kadar gula di dalam darah menjadi tinggi. Keadaan lainnya yaitu kurangnya insulin yang diproduksi oleh sel β pankreas sehingga kadar hormon insulin tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tubuh dalam menormalkan kadar gula darah (Marewa, 2015). 2.1.2
Epidemiologi Diabetes Melitus Risiko terkena DM akan meningkat dengan bertambahnya usia. DM tipe 2
biasa terjadi pada usia > 40 tahun. Di negara berkembang kasus DM tipe 2 paling banyak ditemukan pada usia antara 45 – 64 tahun. Sedangkan di negara maju kasus DM tipe 2 terbanyak ditemukan pada kelompok usia > 65 tahun. Namun saat ini kasus 8
9
DM tipe 2 sudah mulai ditemukan pada usia anak-anak dan remaja, yang kasusnya semakin meningkat. Secara umum kasus DM tipe 2 pada pria lebih banyak ditemukan pada usia < 60 tahun dan wanita pada usia > 65 tahun (Marewa, 2015). Kelebihan berat badan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2) merupakan faktor risiko utama terjadinya DM tipe 2. Orang dengan berat badan berlebih berisiko 3 kali lipat dan meningkat 7 kali lebih besar pada orang dengan obesitas dibandingkan dengan orang-orang dengan berat badan ideal. Lingkar pinggang yang lebar juga dikaitkan peningkatan risiko DM tipe 2. Pria berisiko lebih tinggi terkena DM tipe 2 jika memiliki lingkar pinggang 94 – 102 cm dan berisiko sangat tinggi jika > 102 cm. Perempuan berisiko lebih tinggi jika memiliki lingkar pinggang 80 – 88 cm dan berisiko sangat tinggi jika > 88 cm (Gatineau et al, 2014). Prevalensi DM tipe 2 pada ras kulit putih berkisar antara 3 – 6% dari orang dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa ras kulit hitam, Asia, dan kelompok etnis minoritas lainnya berisiko lebih besar terkena DM tipe 2 dibandingkan dengan ras kulit putih Eropa pada tingkat IMT yang setara. Penelitian di Inggris menemukan bahwa orang dewasa non-kulit putih berusia 40 – 69 tahun berisiko 2 – 4 kali lebih cenderung menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan orang dewasa berkulit putih. Sedangkan prevalensi DM pada ras Asia Selatan dengan IMT 22 kg/m2 setara dengan prevalensi DM pada ras kulit putih dengan IMT 30 kg/m2 (Gatineau et al, 2014). Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari prevalensi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada
10
tahun 1993 dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta (Perkeni, 2006). 2.1.3
Diagnosis Diabetes Melitus Diagnosis klinis DM umumnya akan dilakukan bila ada keluhan klasik berupa
poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lainnya seperti lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah yang dapat dilakukan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Ketiga Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dL (Soegondo, 2015).
Sumber: Perkeni (2011) Gambar 2.2 Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa
11
2.1.4
Komplikasi Diabetes Melitus Komplikasi DM dapat dibedakan menjadi dua yaitu komplikasi akut dan
kronik. 1. Komplikasi Akut Komplikasi yang akut akibat DM terjadi secara mendadak. Keluhan dan gejalanya terjadi dengan cepat dan biasanya berat. Komplikasi akut umumnya timbul akibat glukosa darah yang terlalu rendah (hipoglikemia) atau terlalu tinggi (hiperglikemia) (Tandra, 2008). Keadaan hiperglikemia terdiri dari Keto Asidosis Diabetik, Hiperosmolar Non Ketotik, dan Asidosis Laktat (Boedisantoso, 2015). 2. Komplikasi Kronik Komplikasi kronik terjadi karena glukosa darah berada di atas normal yang berlangsung selama bertahun-tahun. Komplikasi kronik diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan saraf (Tandra, 2008). Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu komplikasi vaskular dan non-vaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan nefropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskular). Sedangkan komplikasi non-vaskular dari DM yaitu gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Powers, 2010 dalam Restu, 2013). 2.1.5
Pengendalian Diabetes Melitus Tujuan pengendalian DM secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Untuk jangka pendek tujuannya adalah menghilangkan keluhan/gejala DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian
12
glukosa darah. Untuk jangka panjang, tujuannya yaitu mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangipati, makroangiopati, dan neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortalitas DM (Perkeni, 2011). Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1c juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Penatalaksanaan dan pengelolaan DM tipe 2 dititik beratkan pada 4 pilar utama yaitu (Perkeni, 2011): 1. Edukasi Tujuan pendidikan kesehatan kesehatan bagi penyandang DM adalah meningkatkan
pengetahuan,
perubahan
sikap
sehingga
dapat
meningkatkan kualitas hidup. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. 2. Terapi gizi medis Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari. Prinsip diet yang dianjurkan adalah teratur dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan. Pengaturan diet pada penderita DM diatur dalam 3 makanan utama (pagi, siang, sore) dan 2-3
13
makanan selingan diantara makanan utama jarak waktu makan dilakukan tiap 3 jam (Waspadji, 2015). 3. Latihan jasmani Latihan jasmani secara teratur (3 – 5 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. 4. Intervensi farmakologis Dalam pengendalian DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologi, berupa perencanaan makan dan kegiatan jasmani.
Namun,
jika
dengan
langkah-langkah
tersebut
sasaran
pengendalian diabetes yang ditentukan belum tercapai, dilanjutkan dengan penggunaan obat/pengelolaan farmakologis yang terdiri dari: a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi beberapa golongan: pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue), penambah sensitifitas terhadap insulin, penghambat glukoneogenesis, penghambat absorpsi glukosa, dan DPP-IV inhibitor. b. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan: penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis
14
laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO. Tabel 2.1 Kriteria Pengendalian DM Glukosa darah puasa (mg/dL) Glukosa darah 2 jam pp (mg/dL) A1c (%) Kolesterol total (mg/dL) Kolesterol LDL (mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) Trigeliserida (mg/dL) IMT (kg/m2) Tekanan darah (mmHg)
Baik 80 - < 100 80 – 144 < 6,5 < 200 < 100 Pria: > 40 Wanita: > 50 < 150 18,5 - < 23 < 130/80
Sedang 100 – 125 145 – 179 6,5 – 8 200 – 239 100 – 129
Buruk > 126 > 180 >8 > 240 > 130
150 – 199 23 – 25 > 130 – 140/ > 80 – 90
> 200 > 25 > 140/90
Sumber: Perkeni (2006) Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa < 150 mg/dL dan sesudah makan < 200 mg/dL), demikian pada kadar lipid, tekanan darah, dll mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjur dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat (Waspadji, 2015).
Perilaku 2.2.1
Definisi perilaku Perilaku dapat diartikan suatu respons atau reaksi seseorang terhadap
rangsangan (stimulus) yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Sarwono, 2012). Sedangkan perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang
15
baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan (Notoatmodjo, 2014). 2.2.2
Faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan Menurut teori Lawrence Green, perubahan perilaku seseorang ditentukan oleh
tiga faktor utama yaitu (Notoatmodjo, 2010): 1. Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku
seseorang,
antara
lain
pengetahuan,
sikap,
keyakinan,
kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainnya. a. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2010). Hasil penelitian Tazkiyya (2010) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pengetahuan dengan perilaku upaya pencegahan sekunder pada pasien DM tipe 2 di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Ciputat Tangerang Selatan (p = 0,008). b. Sikap Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2010). Hasil penelitian Tazkiyya
16
(2010) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku upaya pencegahan sekunder pada pasien DM tipe 2 di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Ciputat Tangerang Selatan (p = 0,042). 2. Faktor pendukung (enabling factors) Faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan serta kemudahan untuk mencapainya. a. Persepsi Jarak Fasilitas Kesehatan Jarak fasilitas kesehatan yang mudah terjangkau dapat membantu meningkatkan kepatuhan penderita DM untuk selalu teratur menjalankan pengobatan dan pemeriksaan gula darah secara rutin (Purwitaningtyas, 2015). Hasil penelitian Purwitaningtyas (2015) menunjukkan bahwa jarak fasilitias kesehatan merupakan salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kendali glikemik buruk pada pasien DM tipe 2 (p = 0,021). b. Persepsi Biaya Pengobatan DM Biaya pengobatan dapat menjadi hambatan yang signifikan terutama bagi pasien dengan status sosial ekonomi rendah dan tidak memiliki asuransi kesehatan (Nam, et al., 2011). Hasil penelitian Balkrishnan et al (2003) menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kepatuhan pengobatan DM dengan biaya perawatan kesehatan pada pasien DM Tipe 2 di wilayah tenggara Amerika Serikat (p < 0,001).
17
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) Faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, keluarga, dan teman sebaya yang merupakan kelompok referensi dari perilaku seseorang yang bersangkutan. a. Dukungan Keluarga Dukungan keluarga diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga yang lain sehingga akan memberikan kenyamanan fisik dan psikologis pada orang yang dihadapkan pada situasi stress (Taylor, 2006 dalam Yusra, 2010). Hasil penelitian Lestari (2012) menyatakan bahwa dukungan keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan kepatuhan diet pada pasien DM tipe 2 rawat jalan di RSUP Fatmawati (p = 0,001). b. Dukungan Petugas Kesehatan Komunikasi, informasi, dan edukasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan
diharapkan
dapat
meningkatkan
pengetahuan
dan
pemahaman pasien DM terhadap penyakit dan pengobatannya (Perkeni, 2011). Hasil penelitian Kusniawati (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi petugas kesehatan dengan pengendalian DM pada pasien DM tipe 2 di RSU Tangerang (p = 0,001).