BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1.
Otonomi Daerah Otonomi daerah pertama kali di laksanakan di Indonesia per 1 Januari 2001. Tuntutan otonomi daerah tersebut muncul karena proses pembangunan
di
Indonesia
sebelumnya
telah
mengakibatkan
terjadinya kesenjangan pembangunan antara wilayah di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa serta antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Kesenjangan tersebut terjadi karena adanya ketidakmerataan dalam alokasi investasi antarwilayah yang berpengaruh dalam memicu dan memacu ketidakseimbangan dalam pertumbuhan antar wilayah (Waluyo, dalam Badrudin, 2012: 3). Secara etimologis, kata otonomi berasal dari bahasa latin: auto berarti sendiri dan nomein berarti peraturan, atau undang-undang. Maka autonom berarti mengatur sendiri, atau memerintah sendiri, atau dalam arti luas adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri . Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2014, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
10
11
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dijelaskan pula bahwa Republik Indonesia menganut asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah dengan member
kesempatan
dan
keleluasaan
kepada
daerah
untuk
menyelenggarakan otonomi dearah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Otonomi dearah merupakan realisasi dari ide desentralisasi. Daerah otonom merupakan wujud nyata dan dianutnya asas dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi itu sendiri. Menurut Sidik (Badrudin, 2012:19), konsep desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi administrasi. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dan menetapkan prioritas pembangunanya. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan lebih memeratakan pembangunan sesuai dengan keinginan daerah dalam mengembangkan wilayah menurut potensi masing-masing. Menurut Mardiasmo (2002: 1 dan 7) otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Dengan adanya desentralisasi fiskal daerah dituntut untuk meningkatkan kemampuan ekonomi daerahnya sehingga mampu bersaing dengan
12
daerah lain melalui penghimpunan modal pemerintah daerah untuk kebutuhan investasi dan atau kemampuan berinteraksi dengan daerah lain. Agar tujuan desentralisasi fiskal dapat tercapai, maka terdapat empat elemen utama yang harus diperhatikan (Mardiasmo, 2005: 1214), yaitu 1) sistem dana perimbangan (transfer), 2) sistem pajak dan perimbangan daerah, 3) sistem administrasi dang anggaran pemerintah pusat dan daerah, serta 4) penyediaan layanan publik. Menurut Abdul Halim (Andriyanto et all 2007: 2) agar implementasi otonomi daerah dapat berhasil dengan baik paling tidak ada lima strategi yang harus diperhatikan yaitu: (i) Self Regular Power, dalam arti kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah demi kepentingan masyarkat didaerahnya; (ii) Self Modifying Power, berupa kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan komdisi daerah ternmasuk terobosan inovasi kearah kemajuan dalam menyikapi potensi daerah; (iii) Creating Local Political Support, dalam arti penyelenggaraan Pemerintah
Daerah
yang
mempunyai
legitimasi
kuat
dari
masyarakatnya, baik pada posisi kepala daerah sebagai eksekutif maupun DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif; (iv) Managing Financial Resources, dalam arti mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan keuangan guna membiayai aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat; serta (v) Developing Brain Power, dalam arti membangun
13
sumber daya manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitas menyelesaikan masalah. Menurut Said (Badrudin, 2012:17), terdapat empat perspektif yang mendasari segi positif dan empat perspektif yang mendasari segi negative otonomi daerah. empat perspektif yang mendasari segi positif otonomi daerah, yaitu sarana untuk 1) demokratisasi, 2) membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintah, 3) mendorong stabilitas dan kesatuan nasional, dan 4) memajukan pembangunan daerah. Sedangkan empat perspektif negative yang mendasari otonomi daerah, yaitu 1) menciptakan fragmentasi dan keterpecahbelahan yang tidak
diharapkan,
2)
melemahkan
kualitas
pemerintahan,
3)
menciptakan kesenjangan antardaerah yang lebih besar, dan 4) memungkinkan terjadinya penyimpangan arah demokrasi yang lebih besar. Menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Keuangan Daerah tujuan otonomi daerah adalah sebagai berikut: Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahn yang menjadi
urusan
pemerintah,
dengan
tujuan
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dengan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat
dipercepat perwujudannya melalui peningkatan pelayanan di daerah dan pemberdayaan masyarakat atau adanya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan didaerah. Sementara upaya
14
peningkatan daya saing diharapkan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan keistimewaan atau kekhususan serta potensi daerah dan keanekaragaman yang dimilki oleh darah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Daerah otonomi yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat
setempat
menurut
prakarsa
sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Tamboto et all 2014: 756-757). Menurut Mardiasmo (2002: 59), tujuan utama penyelenggaraan otonomi
daerah
adalah
untuk
meningkatkan
pelayanan
dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan hidup demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Halim (2009)
dalam
Sijabat et all (2013: 237)
pelaksanaan otonomi daerah, salah satu kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur rumah tangganya
15
adalah self supporting di dalam bidang keuangan. Artinya, daerah harus mampu untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri serta mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan daerahnya. Tujuan otonomi daerah menurut Smith (1985) dalam Analisa CSIS yang dikemukakan oleh Syarif Hidayat dalam Abdul Halim, (2004: 23) dibedakan dari dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari sisi Pemerintah Pusat tujuan utamanya adalah pendidikan politik, pelatihan kepemimipinan, menciptakan stabilitas politik dan mewujudkan demokrasi sistem Pemerintah di daerah. Sementara, bila dilihat dari sisi Pemerintha Daerah ada tiga tujuan yaitu: a. Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality, artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat local atau daerah. b. Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan otonomi akan meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat. c. Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan otonomi daerah diharapkam akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan dan ekonomi daerah.
16
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usahausaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu: a.
Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
b.
Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.
c.
Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut
serta
(berpartisipasi)
dalam
proses
pembangunan.
(Mardiasmo, 2002: 3). 2.
Keuangan Daerah Pengertian keuangan daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk didalamnya adalah segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Sedangkan ruang lingkup keuangan daerah yang terdapat pada pasal 2 meliputi: a.
Hak Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta melakukan Pinjaman.
17
b.
Kewajiban
Daerah
untuk
menyelenggarakan
urusan
Pemerintahan Daerah dan membayar tagihan pihak ketiga c.
Penerimaan Daerah, yaitu uang yang masuk ke Kas Daerah
d.
Pengeluaran Daerah, yaitu uang yang keluar dari Kas Daerah
e.
Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa Uang, Surat Berharga, Piutang, Barang, serta Hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada Perusahaan Daerah
f.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas Pemerintahan Daerah dan/atau kepentingan umum (Mulyanto. 2007:28). Keuangan daerah menurut Mamesah (1995)
dalam Halim
(2007:24) adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Sedangkan pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan pelaksanaan, pematausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah. Dari pengertian tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam keuangan daerah terdapat dua unsur penting yaitu : pertama, semua
18
hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi daerah dan/atau penerimaan dan sumber-sumber lain sesuai ketentuan yang berlaku merupakan penerimaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah, dan kedua, kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau sehubungan adanya tagihan kepada daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan. Pemerintah daerah di dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana/modal untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (government expenditure) terhadap barang-barang publik (publik goods) dan jasa pelayanannya. Keuangan daerah dikelola melalui manajemen keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah yaitu keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggung jawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Dalam Permendagri No. 13 tahun 2006, Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakatAdapun ruang lingkup keuangan daerah menurut Halim (2001: 20) ada 2 (dua) yaitu: Pertama; Keuangan daerah yang dikelola langsung, meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta
19
Barang-barang inventaris milik daerah. Kedua; Kekayaan daerah yang dipisahkan, meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 3.
Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan
sebagai
pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Untuk itu kemampuan keuangan daerah harus mampu mendukung terhadap pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Menurut Munir et all (2004) dalam Sijabat (2013: 238), ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah, artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumbersumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2007 tentang pengelompokan kemampuan keuangan daerah, penganggaran dan pertanggungjawaban penggunaan belanja penunjang operasional pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat daerah serta tata cara pengembalian tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional, mengemukakan bahwa kelompok kemampuan keuangan daerah adalah klasifikasi/klaster suatu daerah untuk menentukan kelompok
20
kemampuan keuangan daerah tertentu yang ditetapkan dengan formula sebagai dasar penghitungan besaran Tunjangan Komunikasi Intensif dan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan pada setiap klaster. Kemampuan keuangan daerah terdiri atas 3 (tiga) kelompok, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Penentuan kelompok kemampuan keuangan daerah dihitung dengan menggunakan formula:
Dengan kriteria, sebagai berikut: a.
Di atas Rp. 400.000.000.000,00
dikelompokkan pada
kemampuan keuangan daerah tinggi. Bagi daerah dengan kemampuan keuangan daerah tinggi, BPO (belanja penunjang operasional) Pimpinan DPRD disediakan paling banyak sebesar 6 kali uang representasi Ketua DPRD ditambah 4 kali jumlah uang representasi seluruh Wakil Ketua DPRD. b.
Antara
Rp.
200.000.000.000,00
400.000.000.000,00
sampai
dikelompokkan
pada
dengan
Rp.
kemampuan
keuangan daerah sedang. Bagi daerah dengan kemampuan keuangan daerah sedang, BPO Pimpinan DPRD disediakan paling banyak sebesar 4 kali uang representasi Ketua DPRD ditambah 21/2 kali jumlah uang representasi seluruh Wakil Ketua DPRD.
21
c.
Di bawah Rp. 200.000.000.000,00 dikelompokkan pada kemampuan keuangan daerah rendah. Bagi daerah dengan kemampuan keuangan daerah rendah, BPO Pimpinan DPRD disediakan paling banyak sebesar 2 (dua) kali uang representasi Ketua DPRD ditambah 11/2 kali jumlah uang representasi seluruh Wakil Ketua DPRD.
4.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Pasaal 1 UU No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Yuwono et all (2008) mengemukakan, jika keuangan daerah (APBD) dapat dikatakan sebagai jantung pengelolaan lembaga pemerintahan daerah, maka pengelolaan APBD merupakan denyut nadi yang merefleksikan dinamika keuangan daerah sekaligus merupakan bagian integral dari sistem keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2003. Dalam UU No. 32/2004 juga disebutkan bahwa pengelolaan APBD merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pengelolaan pemerintah daerah. Mengingat bahwa salah satu sumber pendanaan APBD berasal dari APBN, maka proses penyusunan APBD diatur dalam UU No. 33/2004 tentang
22
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang penjabarannya diatur dalam PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan PP terkait lainnya. Berdasar Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa struktur APBD terdiri atas pendapatan, belanja, dan pembiayaan. a.
Pendapatan Daerah Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan (UU No. 33/2004 pasal 1). Pendapatan daerah dalam struktur APBD dikelompokkan menjadi 3 kategori: 1) Pendapatan asli daerah, merupakan semua penerimaan yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. 2) Dana perimbangan, merupakan dana yang bersumber dari penerimaan anggaran pendapatan belanja negara yang di alokasikan pada daerah untuk membiyai kebutuhan dananya. 3) Lain-lain pendapatan yang sah, adalah pendapatan lain-lain yang dihasilkan dari dana bantuan dan dana penyeimbang dari Pemerintah Pusat.
b. Belanja Daerah Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode
23
tahun anggaran yang bersangkutan. (UU No. 33/2004 pasal 1). Belanja daerah terdiri dari: 1) Belanja Tidak Langsung Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung terdiri dari: (a) belanja pegawai; (b) bunga; (c) subsidi; (d) hibah; (e) bantuan sosial; (f) belanja bagi basil; (g) bantuan keuangan; dan (h) belanja tidak terduga (UU No. 13/2012). 2) Belanja Langsung Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung terdiri dari: (a) belanja pegawai; (b) belanja barang dan jasa; dan (c) belanja modal (UU No. 13/2012). Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan propinsi/kabupaten/kota yang terdiri atas urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan
dengan
ketentuan
perundang-undangan.
Dalam
penyelenggaraan belanja, urusan wajib diprioritaskan untuk
24
melindungi dan meningkatkan kuaitas kehidupan masyarakat sebagai upaya pemenuhan kewajiban daerah yang diwujudkan dalam
bentuk
peningkatan
pelayanan
dasar,
pendidikan,
kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat tersebut diwujudkan melalui prestasi kinerja dalam pencapaian standar minimal sesuai peraturan perundang-undangan. c. Pembiayaan Daerah Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibiayai kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahuntahun anggaran berikutnya (UU No. 33/2004 pasal 1). Pembiayaan daerah bersumber dari: sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, transfer dari dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pinjaman daerah. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. 1) Penerimaan
pembiayaan
mencakup:
(a)
sisa
lebih
perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA); (b) pencairan dana cadangan; (c) hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; (d) penerimaan pinjaman daerah; (e)
25
penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan (f) penerimaan piutang daerah. 2) Pengeluaran pembiayaan mencakup: (a) pembentukan dana cadangan; (b) peneemaan modal (investasi) pemerintah daerah; (c) pembayaran pokok utang; dan (d) pemberian pinjaman daerah. 5.
Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Mulyanto 2007: 24). PAD terdiri dari: a.
Pajak Daerah Secara umum (Resmi, 2009: 1-2) pajak terdapat beberapa pendefinisian yaitu sebagai berikut : 1) Definisi pajak yang dikemukakan oleh Rochamat Soemitra: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang
(yang
dapat
dipaksakan)
dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 2) Definisi pajak yang dikemukakan oleh Djajadiningrat: Pajak
sebagai
suatu
kewajiban
menyerahkan
sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu
26
keadaan, kejadiaan, perbuatan dan memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksa, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum. 3) Definisi pajak yang dikemukan oleh Feldman: Pajak adalah prestasi yang secara sepihak oleh dan terutama kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontarpretasi, dan semata-mata
digunakan
untuk
menutup
pengeluaran-
pengeluaran umum. Sementara dalam konteks daerah, pajak daerah adalah pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah (misal: provinsi, kabupaten/kota) yang diatur berdasarkan peraturan daerah masin-masing dan hasil pungutannya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah (Prokosa, 2005:1). Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
27
Ketentuan mengenai pajak daerah ditetapkan dengan Undang-undang. Sedangkan penetuan tarif dan tata cara pemungutan pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan ritribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong pemerintah daerah dalam mengoptimalkan Pendapatan Asil Daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah (Sidik, 2006: 2). Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pajak provinsi terdiri dari 4 jenis pajak sedangkan daerah terdiri dari 11 jenis pajak, antara lain: a) Pajak Provinsi : i.
Pajak Kendaraan Bermotor;
ii.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
iii.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
iv.
Pajak Air Permukaan; dan
v.
Pajak Rokok.
b) Pajak Daerah: i.
Pajak Hotel;
28
ii.
Pajak Restoran;
iii.
Pajak Hiburan;
iv.
Pajak Reklame;
v.
Pajak Penerangan Jalan;
vi.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
vii.
Pajak Parkir;
viii.
Pajak Air Tanah;
ix.
Pajak Sarang Burung Walet;
x.
Pajak
Bumi
dan
Bangunan
Perdesaan
dan
Perkotaan; dan xi. b.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Retribusi Daerah Retibusi
Daerah
adalah
pungutan
daerah
sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Retribusi daerah dikelompokan menjadi: 1) Retribusi Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan (Darise, 2009: 67). Berdasarkan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
29
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, retribusi jasa umum terdiri dari: a) Retribusi Pelayanan Kesehatan; b) Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan; c) Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; d) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; e) Retribusi Pelayanan Pasar; f) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; g) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; h) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; i) Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus; j) Retribusi Pengolahan Limbah Cair; k) Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang; l) Retribusi Pelayanan Pendidikan dan; m) Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. Retribusi jasa umum dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma. 2) Retribusi Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta (Darise, 2009: 67), atau
30
dengan kata lain objek retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal dan pelayanan oleh pemerintah daerah yang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta. Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah: a) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; b) Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; c) Retribusi Tempat Pelelangan; d. Retribusi Terminal; d) Retribusi Tempat Khusus Parkir; e) Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa; f) Retribusi Rumah Potong Hewan; g) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; h) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; i) Retribusi Penyeberangan di Air; dan j) Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah ( UU No. 28/2009). 3) Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, pengguaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
31
lingkungan. (Darise, 2009: 67). Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah: a) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; b) Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; c) Retribusi Izin Gangguan; d) Retribusi Izin Trayek; dan e) Retribusi Izin Usaha Perikanan ( UU No. 28/2009). Sebagaimana pajak daerah, ketentuan mengenai retribusi daerah juga ditetapkan dengan Undang-Undang. Sementara penentuan tarif dan tata cara pemungutan retribusi daerah ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. c.
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: bagian laba atas
penyertaan
modal
baik
pada
perusahaan
milik
daerah/BUMD, perusahaan milik pemerintah/BUMN, maupun pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Ketentuan mengenai hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
ditetapkan
undangan.
Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan terdiri dari:
berdasarkan
peraturan
perundang-
32
1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; 2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; dan 3) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat (UU No. 13/2012). d.
Lain-lain PAD yang Sah Lain-lain PAD yang sah meliputi: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; jasa giro; pendapatan bunga; keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; serta komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Jenis Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah antara lain: 1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan secara tunai atau angsuran; 2) Hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; 3) Jasa giro; 4) Pendapatan bunga; 5) Penerimaan atas tuntutan ganti rugi;
33
6) Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah; 7) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; 8) Pendapatan
denda
atas
keterlambatan
pelaksanaan
pekerjaan; 9) Pendapatan denda pajak dan retribusi; 10) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; 11) Pendapatan dari pengembalian; 12) Fasilitas sosial dan fasilitas umum; 13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; 14) Pendapatan dari Badan Layanan Umum Daerah (BUMD) (UU No. 13/2012). B. Penelitian Terdahulu Untuk mendukung penelitian yang akan dilakukan, maka ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu bertujuan untuk membandingkan dan memperkuat atas hasil analisis yang dilakukan yang merujuk dari beberapa studi, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung. Ringkasan tentang penelitian terdahulu dapat dilihat di bawah ini :
34
1. Penelitian Basri et all (2013) Penelitian tersebut berjudul “ Pemetaan Kinerja Pendapatan Asli Daerah dan Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi”. Penelitian tersebut berdasarkan pertumbuhan PAD dan kontribusinya terhadap APBD Kota Jambi dan Kabupaten Sarolangun kinerja PAD lebih baik jika dibanding Kabupaten/kota lain di Provinsi Jambi dan memiliki status kemampuan keuangan tinggi. Sedangkan Kabupaten Bungo, Muaro Jambi dan Tebo memiliki status kemampuan keuangan rendah. Dan jika dilihat dari peta kemampuan keuangannya, hanya Kota Jambi, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Bungo yang memiliki tingkat kemandirian diatas rata-rata dan tingkat ketergantungan dibawah rata-rata daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi. 2. Penelitian Sijabat et all (2013) Penelitian ini berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Serta Kemampuan Keuangan Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah: Studi Pada Dinas Pendapatan Daerah dan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Malang Tahun Anggaran 2008-2012”. Secara umum hasil penelitian menunjukan bahwa Kota Malang dari sisi keuangan sudah mampu melaksanakan otonomi daerah. Selain itu, kemampuan keuangan pemerintah daerah Kota Malang tahun 2008-2012 dapat dikatakan baik karena setiap tahun dapat mengoptimalkan kemampuan keuangannya meskipun hasil persentasenya masih berada dalam kategori kurang mampu. Selain itu kinerja keuangan tahun 2008-
35
2012 juga menunjukkan tren positif karena setiap tahunnya dapat meningkatkan kinerjanya dan perolehan SILPA tahun berjalan selalu meningkat yang dikarenakan adanya efisiensi pada komponen belanja daerah. 3. Penelitian Adriyanto et all (2007) Penelitian ini berjudul “Evaluasi Kemandirian Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Wiayah SUBOSUKAWONOSRATEN Propinsi Jawa Tengah (Tinjauan Keuangan Daerah)”. Hasil yang diperoleh
dari
penelitian
tersebut
yakni,
Daerah
SUBOSUKAWONOSRATEN belum mampu menggali potensi PAD yang dimiliki ini terlihat dari rendahnya DDF yang dimiliki sehingga menyebabkan daerah SUBOSUKAWONOSRATEN harus mencari sumber pemasukan lain yang lebih besar dari PAD yang sudah didapat. Tingkat kemandirian juga masih rendah sehingga mempunyai pola hubungan yang instruktif. Artinya peranan pemerintah pusat lebih dominan datipada pemerintah daerah. Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN mempunyai rasio belanja rutin terhadap total pengeluaran lebih besar dari pada rasio belanja pembangunan terhadap total pengeluaran sehingga sebagian besar anggaran
terserap
untuk
alokasi
belanja
rutin.
Daerah
SUBOSUKAWONOSRATEN dengan Pendapatan Asli Daerahnya ada yang belum mampu untuk membiayai pembangunan sehingga perlu dicari upaya
untuk meningkatkannya. Pertumbuhan PDRB terhadap PAD
36
belum mampu berjalan sinergis karena idealnya meningkatnya PDRB berarti meningkatnya PAD. Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN masih menetapkan alokasi yang besar untuk belanja rutin terutama pada pos belanja pegawai dibandingkan
dengan
pos
belanja
rutin
yang
lain.
Daerah
SUBOSUKAWONOSRATEN juga masih mengandalkan paradigma lama yaitu perolehan pendapatan terbesar berasal dari pos non PAD yaitu pos subsidi daerah otonom atau atau dana rutin daerah (sebelum OTDA) dan pos dana rutin daerah atau DAU (setelah OTDA). Dan dalam menyiapkan otonomi daerah masih terlihat setengah hati. Ini ditunjukkan dengan kecilnya proporsi IKOD tiap instrumen alat analisis. 4. Penelitian Susanto (2014) Penelitian ini berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat”. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut, yaitu Kemampuan Keuangan Daerah Propinsi NTB Tahun Anggaran 2003-2007 jika dilihat dari indikator kinerja PAD, secara umum sumbangan PAD (share) terhadap total pendapatan daerah Propinsi NTB TA 2003-2007 masih rendah, namun pertumbuhan (growth) PAD tinggi. Kendati tetap terjadi peningkatan pada PAD, namun apabila dibandingkan dengan peningkatan Belanja Daerah, maka proporsi peningkatan PAD sangat kecil. Berdasarkan pengukuran Indeks Kemampuan Keuangan (IKK), Propinsi NTB berada pada skala indeks
37
0,541 selanjutnya diklasifikasikan menurut Kriteria Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah adalah Propinsi dengan kemampuan keuangan tinggi. 5. Penelitian Wenny (2012) Penelitian ini berjudul “Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Kinerja Keuangan Pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Di Propinsi Sumatera Selatan”. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pengaruh Pendapatan Asli daerah (PAD) terhadap kinerja keuangan pada pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan, diperoleh hasil bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan pada pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan, artinya keseluruhan dari komponen PAD sangat mempengaruhi kinerja keuangan pada pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. Penelitian juga dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara parsial terhadap kinerja keuangan pada pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan. Hasilnya menyatakan bahwa secara parsial hanya lain-lain PAD yang sah yang secara dominan berpengaruh terhadap kinerja keuangan pada pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil perusahaan dan kekayaan daerah tidak dominan mempengaruhi kinerja keuangan pada pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan.
38
6. Penelitian Hidayat et all (2007) Penelitian
ini
berjudul
“Analisis
Kinerja
Keuangan
Kabupaten/Kota Pemekaran di Sumatera Utara”. Jika dilihat dari indikator
PAD,
Kabupaten/Kota
pemekaran
di
Sumatera
Utara
mengalami pertumbuhan (growth) PAD yang positif tetapi relatif masih kecil perananya (share) dalam struktur APBD. Dari sisi pertumbuhan penerimaan dan pengeluaran anggaran, kabupaten Mandailing Natal, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, dan Pakpak Barat secara rata-rata mengalami pertumbuhan dari pertumbuhan penerimaan. Sedangkan kabupaten Samosir, Serdang Bedagai dan Kota Padang mengalami pertumbuhan pengeluaran yang lebih besar. Sedangkan dari peta kemampuan keuangan (metode kuadran) mengindikasikan ketidak siapan masing-masing kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara dan masih kurangnya kemandirian dalm berotomoni. 7. Penelitian Wenur P. Gebriany (2013) Penelitian ini berjudul “Analisis Kemampuan Pendapatan Asli Daerah dalam Membiayai Belanja Daerah Kota Bitung”. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut, yaitu (a) Pajak dan Retribusi Daerah adalah salah satu sumber PAD yang memberikan kontribusi dalam APBD Kota Bitung, dimana persentase penerimaan PAD dari hasil Pajak terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan realisasi yang diperoleh mampu mencapai bahkan melebihi target yang telah ditetapkan. Persentase kontribusi PAD terhadap pembiayaan APBD Kota Bitung
39
masih dibawah sepuluh persen. Hal ini menunjukkan bahwa keuangan Pemerintah Daerah Kota Bitung belum cukup mandiri dalam pembiayaan pembangunan. (b) Dengan menggunakan analisis trend maka bisa dilihat pencapaian penerimaan PAD tahun 2013-2017 meningkat dari tahun ke tahun. Dalam rangka mengoptimalisasikan penerimaan PAD guna peningkatan kemampuan Keuangan Daerah, yaitu melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber Pajak dan Retribusi Daerah. Guna meningkatkan kemandirian pembiayaan keuangan daerah, maka diperlukan peningkatan PAD yang bersumber dari Pajak dan Retribusi. Upaya pemerintah untuk mengoptimalkan potensi pajak diperlukan kesadaran dan ketaatan wajib pajak untuk membayar kewajibannya sebesar yang telah ditentukan oleh peraturan yang berlaku. 8. Penelitian Rinaldi Udin (2012) Penelitian
ini
berjudul
“Kemandirian
Keuangan
Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah”. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bengkayang mengalami perkembangan yang berfluktuatif dan perkembangan pertumbuhannya cendrung menurun, secara riil meningkat rata-rata sebesar 14,34% pertahun. Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami
kecendrungan
meningkat
secara
riil,
dan
rata-rata
pertumbuhannya setiap tahun relatif rendah yaitu sebesar 20,03%. Kemampuan keuangan Kabupaten Bengkayang menunjukkan rasio yang rendah, untuk Total Penerimaan Daerah (TPD) rasio kemandirian
40
dibawah 25,39%. Derajat Otonomi Fiskal (DOF) rasio kemandirian dibawah 10%. Tingkat Rasio Dana alokasi Umum (RDAU) rata-rata 69,94%. Indeks Kemampuan Rutin (IKR) rata-rata 147,820%. Rasio Ketergantungan Keuangan rata-rata 82,42%. Rasio pembiayaan rata-rata 3,10%. Artinya pola hubungan yang instruktif bahwa peranan pemerintah pusat lebih dominan melalui dana perimbangan dari pada kemandirian pemerintah daerah dalam APBD. Mengoptimalkan tingkat rasio kemandirian keuangan daerah perlu mendongkrak PAD melalui kebijakan arah pembelanjaan daerah kepada belanja langsung yang terfokus pada perbaikan struktur peningkatan PAD masih sangat minim dalam pengembangnnya. Peningkatan sumberdaya manusia yang terencana, pembukaan jalan dan transportasinya sebagai akses peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Apabila semua pintu akses perekonomian telah dibuka maka sumber-sumber penerimaan pemerintah daerah terutama pajak dan retribusi akan meningkat. Sementara itu pengaruh efek pengganda (multi player efect) akan berpengaruh positif pada sumber-sumber penerimaan daerah. 9. Penelitian Pramidaya Adha (2015) Penelitian ini berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah Provinsi (Studi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Utara)”. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut, yaitu hasil uji-t indeks peran, pertumbuhan dan IKK tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah pemekaran, sedangkan
41
hasil analisis kualitatif terdapat penurunan rata-rata indeks peran, pertumbuhan dan IKK. Indeks peran turun karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak didesain sebagai sumber utama APBD, indeks pertumbuhan turun karena kabupaten/kota menggunakan deposito untuk meningkatkan PAD sehingga sesudah pemekaran, deposito digunakan untuk menutup defisit APBD. Penurunan IKK setelah pemekaran juga terjadi karena kabupaten/kota cenderung bergantung dana perimbangan. Hasil uji-t pendapatan dan belanja daerah terdapat perbedaan lebih besar sesudah pemekaran. Hasil analisis kualitatif, mengindikasikan kenaikan pendapatan dan belanja daerah hanya dua tahun awal pemekaran karena adanya alasan politik dan tahun selanjutnya terjadi penurunan APBD disebabkan DBH Migas turun drastis. Perbedaan hasil analisis dipengaruhi kepentingan politik dari masing-masing provinsi. Penelitian ini membuktikan bahwa dalam jangka pendek pemekaran provinsi bukan solusi percepatan pembangunan kabupaten/kota di Kalimantan Utara.
42
C. Kerangka Berfikir Adapun konsep penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut : OTONOMI DAERAH
Keuangan Daerah
APBD
Pendapatan
Belanja Daerah
PAD
B.Langsung
Pemetaan Kinerja PAD
Pembiayaan
Kemampuan Keuangan Daerah
Efektivitas PAD
Indek Kemampuan Keuangan (IKK)
Tingkat Kemandirian Daerah (TKD)
Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Tingkat Ketergantungan Daerah (TKtD)
Peta Kemampuan Kuangan Daerah
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Dari Gambar 2.1 di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, pengelolaan keuangan daerah dituntut untuk semakin transparan, demokratis, efektif, dan efisien. Maka kajian mengenai keuangan daerah sangat diperlukan, sehingga dapat menjadi bahan
43
pertimbangan untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah serta menilai apakah pemerintah daerah telah mampu dan berhasil mengelola keuangannya dengan baik. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan gambaran kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan
aktivitas
pembiayaan
pelaksanaan
tugas
pembangunan,
pemerataan, dan keadilan melalui pengembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Pengembangan potensi yang dimiliki oleh
masing-masing
daerah
menyebabkan
terjadinya
ketimpangan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) antar daerah, hal ini perlu diminimalisir sehingga perlu dilakukan pemetaan PAD. Analisis secara mendalam mengenai PAD dilakukan dalam bentuk pemetaan pendapatan asli daerah dan mengukur tingkat kemampuan keuangan daerah. Parameter yang digunakan dalam menganalisis kemampuan keuangan pemerintah daerah antara lain Rasio Efektivitas PAD, Indeks Kemampuan Keuangan daerah (IKK), Tingkat Kemandirian Daerah (TKD), dan Tingkat Ketergantungan Daerah (TKtD). Pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dipetakan berdasarkan hasil perhitungan IKK dan TKD, sedangkan Peta Kemampuan Keuangan Daerah dipolakan berdasarkan perhitungan TKD dan TKtD. Selain itu, dilakukan pemetaan kinerja PAD yang diukur dari pertumbuhan PAD dan konstribusinya terhadap APBD.