BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 2.1.1
Persepsi Definisi Persepsi Ferderber mendefinisikan persepsi sebagai proses menafsirkan informasi
indrawi. Sedangkan menurut Wenburg & Wilmot mendefinisikan persepsi sebagai cara organisme memberi makna. Di sisi lain Cohen mengemukakan bahwa persepsi adalah interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal atau pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana (Riswandi, 2009). Persepsi merupakan hal yang berbeda dengan sensasi. Sensasi merupakan pengalaman elementer yang segera dan yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual, terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indra. Sedangkan, persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan. Dengan kata lain, persepsi diartikan sebagai proses pemberian makna terhadap stimulus yang diterima (Notoatmodjo, 2010). Persepsi
merupakan
serangkaian
proses
dalam
memperhatikan,
mengorganisasikan dan menafsiran pengalaman secara selektif agar dapat memberi makna pada lingkungan, yang mana proses ini didahului dari adanya stimulus kemudian masuk ke dalam alat indra sehingga munculah interpretasi yang menghasilkan persepsi. Dalam memandang satu hal yang sama, seseorang dengan yang lain bisa memiliki persepsi yang berbeda-beda (Dewi, 2012).
9
10
Berdasarkan beberapa definisi persepsi di atas, dapat diketahui bahwa persepsi yang dimiliki setiap orang terhadap suatu hal dapat berbeda-beda dengan orang lainnya. Persepsi merupakan sebuah proses dalam memaknai stimulus atau rangsangan yang ditangkap oleh alat indra kemudian diinterpretasikan sehingga menghasilkan persepsi. 2.1.2
Jenis-Jenis Persepsi Menurut Riswandi (2009), terdapat dua jenis persepsi yaitu persepsi
lingkungan fisik atau terhadap objek dan persepsi sosial atau terhadap manusia. Berikut merupakan perbedaan antara persepsi lingkungan fisik dan persepsi sosial yaitu sebagai berikut: 1. Persepsi Lingkungan Fisik atau Terhadap Objek a. Persepsi lingkungan fisik atau terhadap objek yaitu melalui lambanglambang fisik. b. Persepsi terhadap objek menanggapi sifat-sifat luar c. Persepsi terhadap objek bersifat non interaktif karena objek sifatnya statis. d. Persepsi setiap orang terhadap lingkungan fisik berbeda-beda, ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti latar belakang pengalaman, latar belakang budaya, latar belakang psikologis, dan latar belakang keyakinan maupun harapan, serta kondisi faktual alat-alat panca indra orang tersebut. 2. Persepsi Sosial atau Terhadap Manusia a. Persepsi sosial atau terhadap manusia yaitu melalui lambang-lambang verbal dan non verbal.
11
b. Persepsi terhadap manusia menanggapi sifat-sifat luar dan dalam (seperti perasaan, motif, harapan, keyakinan, dan sebagainya). c. Persepsi terhadap manusia bersifat interaktif karena manusia bersifat dinamis. d. Dengan kata lain, persepsi sosial atau terhadap manusia adalah proses menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang kita alami dari lingkungan kita.
2.2
Mutu Pelayanan Kesehatan Josep Juran mengemukakan bahwa mutu adalah apa yang diharapkan atau
ditentukan oleh konsumen. Pelanggan adalah seseorang yang membeli maupun menggunakan produk/jasa pelayanan kesehatan. Pelanggan dalam institusi pelayanan kesehatan dibedakan menjadi dua yaitu pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Pelanggan internal merupakan mereka yang bekerja di institusi pelayanan kesehatan seperti staf medis, paramedis, administrasi, dan sebagainya. Sedangkan pelanggan eksternal yaitu pasien, keluarga pasien, pengunjung, asuransi swasta, masyarakat, dan sebagainya (Muninjaya, 2010). Dalam buku Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan oleh Muninjaya (2010), terdapat empat kaidah jaminan mutu yang harus dipenuhi institusi pelayanan kesehatan untuk memgembangkan mutu pelayanan kesehatan secara berkelanjutan, yaitu sebagai berikut: 1. Pemenuhan kebutuhan dan harapan individu atau kelompok masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan. 2. Mengikuti sistem dan proses (standar) di dalam institusi pelayanan kesehatan.
12
3. Menggunakan data untuk menganalisis proses pemberian dan produk (output dan outcome) pelayanan kesehatan. 4. Mendorong berkembangnya team work yang solid untuk mengatasi setiap hambatan dan kendala yang muncul dalam proses pengembangan mutu secara berkesinambungan. Menurut Muninjaya (2010), pelayanan kesehatan di suatu kabupaten/kota harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Availability : pelayanan kesehatan harus tersedia untuk melayani seluruh masyarakat di suatu wilayah dan dilaksanakan secara komprehensif mulai dari upaya pelayanan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. 2. Appropriateness : pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat di suatu wilayah. 3. Contuinity-Sustainability : pelayanan kesehatan di suatu wilayah harus berlangsung
untuk
jangka
waktu
lama
dan
dilaksanakan
secara
berkesinambungan. 4. Acceptability : pelayanan kesehatan harus diterima oleh masyarakat dan memerhatikan aspek sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. 5. Affordable : biaya pelayanan kesehatan harus dapat terjangkau oleh masyarakat umum. 6. Efficient : pelayanan kesehatan harus dikelola secara efisien. 7. Quality : pelayanan kesehatan yang diakses oleh masyarakat harus terjaga mutunya. Berdasarkan hasil penelitian Hufron & Supratman (2008) mengenai analisis hubungan persepsi pasien tentang mutu pelayanan kesehatan dengan tingkat
13
kepuasan pasien di Puskesmas Penumping Kota Surakarta, didapatkan hasil yaitu berdasarkan uji statistik membuktikan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara mutu pelayanan kesehatan dengan kepuasan pasien rawat jalan di Puskesmas Penumping Kota Surakarta. Selain itu, berdasarkan hasil uji multivariat diketahui bahwa sub variabel mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas Penumping secara bersama-sama memberi kontribusi sebesar 59,9% terhadap kepuasan pasien (Hufron & Supratman, 2008). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Subekti (2009) mengenai analisis hubungan persepsi mutu pelayanan dengan tingkat kepuasan pasien Balai Pengobatan Umum Puskesmas di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2009, dapat disimpulkan bahwa variabel pelayanan administrasi, pelayanan dokter, pelayanan perawat, dan pelayanan obat memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat kepuasan pasien.
2.3
Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem SJSN ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013a). 2.3.1
Definisi Jaminan Kesehatan Nasional Program JKN merupakan jaminan untuk memberikan perlindungan kesehatan
kepada setiap orang yang sudah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah dalam bentuk manfaat pemeliharan kesehatan sebagai upaya memenuhi
14
kebutuhan dasar kesehatan (Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2013). 2.3.2
Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, dinyatakan bahwa prinsip-prinsip penyelenggarann program JKN mengacu pada prinsip-prinsip SJSN (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014c). Prinsipprinsip tersebut yaitu sebagai berikut: 1. Kegotongroyongan Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaannya bersifat wajib untuk seluruh penduduk. 2. Nirlaba Dana yang dikelola oleh BPJS Kesehatan adalah dana amanah yang dikumpulkan dari masyarakat secara nirlaba bukan untuk mencari laba. Ini bertujuan agar dapat memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. 3. Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Efisiensi, dan Efektivitas Prinsip ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya. 4. Portabilitas Prinsip ini bertujuan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah NKRI.
15
5. Kepesertaan Bersifat Wajib Prinsip ini dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Walaupun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah, serta kelayakan penyelenggaraan program. 6. Dana Amanah Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada BPJS Kesehatan untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. 7. Hasil Pengelolaan Dana Jaminan Sosial Dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesarbesarnya untuk kepentingan peserta. 2.3.3
Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional Peserta program JKN adalah seluruh penduduk Indonesia, termasuk orang
asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia yang telah membayar iuran (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014c). Pada Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, dijelaskan bahwa peserta JKN dibedakan menjadi dua yaitu sebagai berikut: 1. Peserta Penerima Bantuan Iuran Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu. 2. Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran Peserta bukan PBI meliputi peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan tidak mampu yang terdiri atas:
16
a. Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya; Pekerja penerima upah terdiri atas: 1) Pegawai Negeri Sipil; 2) Anggota TNI; 3) Anggota Polri; 4) Pejabat Negara; 5) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri; 6) Pegawai swasta; dan 7) Pekerja yang tidak termasuk angka (1) sampai dengan angka (6) yang menerima upah. b. Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya; dan 1) Pekerja bukan penerima upah maksudnya pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri. 2) Pekerja yang tidak termasuk angka (1) yang bukan penerima upah. c. Bukan pekerja dan anggota keluarganya. Bukan pekerja terdiri atas: 1) Investor; 2) Pemberi kerja; 3) Penerima pensiun; 4) Veteran; 5) Perintis kemerdekaan; dan 6) Bukan pekerja yang tidak termasuk angka (1) sampai dengan angka (5) yang mampu membayar iuran.
17
2.3.4
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Mutu pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh tenaga kesehatan yang
berkualitas, ketersediaan obat-obatan, serta alat dan fasilitas kesehatan. Bagi tenaga dokter, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan organisasi profesi tenaga kesehatan yang memiliki peran menjaga kompetensi anggotanya. IDI telah menyusun berbagai standar profesi bagi seluruh anggotanya sperti Kode Etik Kedokteran Indonesia, Standar Kompetensi dan Standar Pelayanan Kedokteran yang terdiri atas Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014a). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, dijelaskan bahwa tingkat kemampuan dokter dalam pengelolaan penyakit di dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) dikelompokkan menjadi empat tingkatan yaitu sebagai berikut: 1. Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan Pada tingkat kemampuan 1, lulusan dokter harus mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut, dan menentukan rujukan yang paling tepat, serta menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. 2. Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk Pada tingkat kemampuan 2, lulusan dokter harus mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut, menentukan rujukan yang paling tepat, dan menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
18
3. Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk a. Tingkat Kemampuan 3A: bukan gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik, memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat, dan menentukan rujukan yang paling tepat, serta menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. b. Tingkat Kemampuan 3B: gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik, memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien, dan mampu menentukan rujukan yang paling tepat serta menindaklanjui sesudah kembali dari rujukan. 4. Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas Lulusan dokter harus mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalasanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. a. Tingkat Kemampuan 4A Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. b. Tingkat Kemampuan 4B Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB). Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan primer ini diharapkan dapat membantu dokter layanan primer untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan sekaligus menurunkan angka rujukan dengan beberapa cara seperti:
19
1. Memberi pelayanan sesuai bukti sahih terkini yang cocok dengan kondisi pasien, keluarga dan masyarakatnya. 2. Menyediakan fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan standar pelayanan. 3. Meningktakan mawas diri untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan profesional sesuai dengan kebutuhan pasien dan lingkungan. 4. Mempertajam kemampuan sebagai gate keeper pelayanan kedokteran dengan menapis penyakit dalam tahap dini untuk dapat melakukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat sebagaimana mestinya layanan primer. Menurut Baequny (2009), dokter sebagai petugas utama dalam pelayanan kesehatan dituntut dapat memberikan perhatian dan segera merespon setiap keluhan pasiennya serta memberikan informasi yang dibutuhkan pasien terkait penyakit yang dideritanya.Menurut BPJS Kesehatan (2014c), dinyatakan bahwa rata-rata waktu konsultasi setiap pasien BPJS Kesehatan minimal 15 menit. Berdasarkan pernyataan BPJS Kesehatan dalam Info BPJS Edisi XI tahun 2014, dinyatakan bahwa saat ini FKTP sudah bisa menangani 155 diagnosis penyakit sesuai dengan kompetensi dokter umum yang dapat ditangani di FKTP sehingga para peserta JKN tidak perlu lagi berobat langsung ke rumah sakit. Namun, tidak menutup kemungkinan pada kasus-kasus tersebut dapat langsung berobat ke rumah sakit dengan mempertimbangkan Time (lama perjalanan penyakitnya), Age (usia pasien), Complication (komplikasi penyakit/tingkat kesulitan), Comorbidity (penyakit penyerta), dan Condition (kondisi fasilitas kesehatan) (BPJS Kesehatan, 2014b). Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, adapun pelayanan kesehatan yang dijamin di FKTP meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup: 1. Administrasi pelayanan;
20
2. Pelayanan promotif dan preventif; 3. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis; 4. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif; 5. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; 6. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis; 7. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama; dan 8. Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi.
2.4
Sistem Rujukan Berjenjang Suatu sistem rujukan yang baik mengutamakan keselamatan pasien di atas hal-
hal lainnya. Semua keputusan terkait merujuk harus dibuat demi keselamatan pasien. Sistem rujukan diselenggarakan dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan secara bermutu sehingga tujuan pelayanan dapat tercapai tanpa harus menggunakan biaya yang mahal atau sistem rujukan berjalan secara efektif dan efisien. Efisien dalam hal ini dimaksudkan dengan berkurangnya waktu tunggu dalam proses merujuk dan berkurangnya rujukan yang tidak perlu karena sebenarnya dapat ditangani di FKTP bersangkutan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012a). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 tahun 2012 pada pasal 11 (1), dijelaskan bahwa setiap pemberi layanan kesehatan berkewajiban merujuk pasien apabila keadaan penyakit atau permasalahan kesehatan memerlukannya, kecuali dengan alasan yang sah dan mendapat persetujuan pasien atau keluarganya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012b). Menurut BPJS Kesehatan (2012a), dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas
21
kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 dinyatakan bahwa terkait dengan rujukan, bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi layanan kesehatan tingkat pertama, dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012b). Menurut pendapat Ali, dkk (2015), dinyatakan bahwa rujukan harus dibuat oleh orang yang mempunyai kompetensi dan wewenang untuk merujuk, mengetahui kompetensi sasaran atau tujuan rujukan dan mengetahui kondisi serta kebutuhan objek yang dirujuk. Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik bertikal maupun horizontal. Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai dengan kebutuhan medis yang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sistem rujukan diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012b). Berdasarkan penjelasan BPJS Kesehatan dalam Buku Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang, dinyatakan bahwa peserta yang ingin mendapatan pelayanan yang tidak sesuai dengan sisterm rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS Kesehatan (BPJS Kesehatan, 2014a).
22
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari tiga tingkatan yaitu sebagai berikut: 1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi di puskesmas, puskesmas perawatan, tempat praktik perorangan, klinik pratama, klinik umum di balai/lembaga pelayanan kesehatan, dan rumah sakit pratama. 2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Contoh pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah Rumah Sakit Tipe C dan Tipe B. 3. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik. Contoh pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah Rumah Sakit Tipe A dan Rumah Sakit Khusus. 2.4.1
Alur Rujukan Sistem Rujukan Berjenjang Menurut BPJS Kesehatan (2014a), pelayanan rujukan dapat dilakukan dua
cara yaitu sebagai berikut: 1. Rujukan Horizontal Rujukan horizontal merupakan rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
23
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap. 2. Rujukan Vertikal Rujukan vertikal adalah rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila: a. Pasien
membutuhkan
pelayanan
kesehatan
spesialistik
atau
subspesialistik. b. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan. Sedangkan, rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila: a. Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan
yang
lebih
rendah
sesuai
dengan
kompetensi
dan
kewenangannya. b. Kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut. c. Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan palayanan jangka panjang.
24
d. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.
Gambar 2.1 Alur Sistem Rujukan Sumber: BPJS Kesehatan (2014a) Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medisnya yaitu dimulai dari pasien BPJS Kesehatan mendapatkan pelayanan kesehatan tingkat pertama di FKTP. Apabila diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke FKRTL yaitu rumah sakit. Pelayanan rujuk balik hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis/sub spesialis yang merawat pasien di FKRTL. Rujuk balik ini dilakukan apabila FKRTL menyatakan bahwa pasien tersebut layak untuk dilayani atau dirawat di FKTP yang merujuk pasien tersebut. Setelah pasien mendapatkan penanganan di rumah sakit, maka rumah sakit akan mengajukan klaim ke BPJS Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksananaan Program JKN dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat
25
diberikan atas rujukan pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama, kecuali pada keadaan darurat, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014c).
2.5
Penelitian Terdahulu Terkait Rujukan Rawat Jalan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan
tingkat pertama peserta wajib PT. Askes pada tiga puskesmas di Kota Banda Aceh tahun 2007, dapat disimpulkan bahwa sekitar 30-75% rujukan rawat jalan merupakan atas permintaan pasien/keluarganya dan bukan atas indikasi medis. Kepala puskesmas mengakui bahwa faktor sugesti pasien terhadap pemberi pelayanan kesehatan
sangat
berperan
dalam
pertimbangan
pemberian
rujukan
oleh
dokter.Beberapa alasan pasien meminta rujukan diantaranya karena kecewa dengan obat-obatan di puskesmas, fasilitas kesehatan yang kurang lengkap di puskesmas dan jika berobat ke rumah sakit maka memiliki kesempatan untuk diperiksa oleh dokter spesialis (Zuhrawadi, 2007). Dari hasil penelitian Kesumawati (2012) mengenai analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta Askes Sosial PT Askes Kantor Cabang Sukabumi di Puskesmas Nanggeleng dan Gedong Panjang Tahun 2012 didapatkan hasil yaitu: 1. Aspek kebijakan pada kedua puskesmas belum dilaksanakan sepenuhnya sehingga masih banyak rujukan berdasarkan indikasi non medis.
26
2. Ketersediaan dokter di kedua puskesmas tersebut masih kurang dilihat dari segi tenaga dan waktusehingga pelayanan kepada pasien belum optimal dan ini berpengaruh terhadap tingginya angka rujukan. 3. Ketidaksesuain drop obat dari dinas kesehatan dengan yang diajukan kedua puskesmas mempengaruhi kenaikan angka rujukan di kedua puskesmas tersebut. 4. Tingkat pengetahuan petugas terhadap pelaksanaan rujukan di kedua puskesmas sudah cukup baik, tetapi dokter di Puskesmas Nanggeleng masih belum tegas dalam menjalankan aturan rujukan terhadap pasien yang meminta dirujuk atau atas indikasi non medis. Dari hasil penelitian Ramah (2014), disimpulkan bahwa masyarakat di Puskesmas Air Putih Kecamatan Samarinda Ulu merasa bahwa pelaksanaan sistem rujukan rumit karena masyarakat tidak mengerti dengan prosedur administrasi di puskesmas. Kurangnya sosialisasi atau penjelasan yang jelas oleh petugas puskesmas membuat masyarakat merasa rumit dengan sistem rujukan yang ada (Ramah, 2014). Dari hasil penelitian Ali, dkk (2015) mengenai analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta program JKN di Puskesmas Siko dan Puskesmas Kalumata Kota Ternate Tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa pemahaman petugas tentang sistem rujukan rawat jalan tingkat pertama masih kurang baik, ketersediaan obat-obatan dan bahan habis pakai dalam kategori cukup baik namun masih sering terjadi keterlambatan dan kekosongan obat, ketersediaan fasilitas dan alat medis masih minim dibandingkan dengan Pedoman Sistem Rujukan Nasional, dan pemahaman petugas tentang fungsi puskesmas sebagai gatekeeper cukup baik meskipun dalam prakteknya sering tidak mengikuti aturan yang ditetapkan (Ali, dkk, 2015)
27
Pada hasil penelitian terkait analisis pelaksanaan sistem rujukan rawat jalan tingkat pertama pada peserta BPJS Kesehatan di Puskesmas 5 Ilir dan Puskesmas Merdeka, dapat disimpulkan bahwa pemahaman kapitasi pimpinan puskesmas dan dokter pelayanan umum belum baik dan ketersediaan alat/fasilitas kesehatan pada kedua puskesmas belum lengkap. Implementasi aspek kebijakan dalam pelaksanaan sistem rujukan di Puskesmas 5 Ilir tidak berjalan dengan baik, ini dilihat dari tingginya rasio rujukan yang mencapai 60% setiap bulannya. Selain itu, Puskesmas 5 Ilir belum menegakkan 144 diagnosis penyakit dengan baik karena merujuk atas dasar permintaan dari pasien BPJS Kesehatan (Suhartati, 2015). Berdasarkan hasil penelitian Melawati (2015) mengenaigambaran pelaksanaan rujukan rawat jalan pasien JKN di Puskesmas se-Kabupaten Tabanan tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa ketersediaan input (SDM, alat, fasilitas, dan obat-obatan) dan kontribusi pasien JKN dalam pelaksanaan rujukan rawat jalan di puskesmas sangat mempengaruhi tingginya rasio rujukan di puskesmas se-Kabupaten Tabanan. Ketersediaan tenaga dokter dan perawat masih terbatas, alat dan fasilitas kesehatan masih belum lengkap, serta ketersediaan obat masih kurang. Selain pelaksanaan rujuk balik yang belum optimal, rujukan atas permintaan pasien itu sendiri dan jarangnya pihak rumah sakit memberikan surat masih dalam perawatan jika pasien harus kontrol ke rumah sakit merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya rasio rujukan rawat jalan di Puskesmas se-Kabupaten Tabanan (Melawati, 2015).