3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keawetan Kayu Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan organisme perusak yang datang dari luar, seperti misalnya jamur, serangga, marine borer, dan lain-lain. Karena sifat kayu yang sangat beragam, maka tingkat ketahanan kayu tersebut sangat beragam pula. Ada jenis-jenis kayu yang sangat rentan terhadap serangan organisme, ada pula yang ketahanannya sedang, dan ada beberapa jenis kayu yang sangat tahan terhadap faktor perusak tersebut, seperti misalnya kayu ulin, kayu jati, kayu hitam, dan beberapa jenis kayu lain. Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai yang lama. Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam-macam faktor perusak kayu. Kayu diselidiki keawetannya pada bagian terasnya, sedangkan kayu gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur pakainya (Rowell 1984). Keawetan alami kayu terutama dipengaruhi oleh kadar ekstraktifnya. Meskipun tidak semua ekstraktif beracun bagi organisme perusak kayu, umumnya terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar ekstraktif, keawetan alami kayu cenderung meningkat pula (Wistara 2002). Menurut Nandika et al. 1996, di Indonesia penggolongan keawetan kayu dibagi menjadi lima kelas yaitu mulai dari kelas awet I (yang paling awet) sampai kelas awet V (yang paling tidak awet) (Tabel 1). Kelas awet kayu ini didasarkan atas keawetan kayu teras, karena bagaimana pun awetnya suatu jenis kayu, bagian gubalnya selalu mempunyai keawetan yang terendah (kelas awet V), hal ini disebabkan karena pada bagian kayu gubal belum terbentuk zat-zat ekstraktif, seperti : phenol, tannin, alkaloide, saponine, chinon, dan damar. Zat-zat tersebut mempunyai daya racun terhadap organisme perusak kayu (Findly dan Martawijaya, diacu dalam Padlinurjaji 1977) .
4
Tabel 1 Penggolongan Kelas Awet Kayu Kelas Awet
Umur Pakai (Tahun)
I
>8
II
5-8
III
3-5
IV
1-3
V
<1
Sumber: Nandika et al. 1996
2.2 Kayu Karet Kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) termasuk Famili Euphorbiaceae, dikenal dengan nama perdagangan karet dan sering disebut kayu getah (Kurniawan dan Pandit 2008). Ciri umum dari kayu karet adalah kayu terasnya berwarna putih kekuning-kuningan pucat, kadang agak merah jambu jika segar, lambat laun menjadi kuning jerami atau coklat pucat, tidak tegas batasnya dengan kayu gubal. Tekstur kayu karet agak kasar tetapi rata, arah seratnya lurus sampai agak berpadu. Berat jenis kayu ini berkisar antara 0,55-0,70 termasuk kelas awet V dan kelas kuat II-III (Mandang dan Pandit 1997). Variasi berat jenis ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain perbedaan genetik, tempat tumbuh, dan contoh yang dianalisis (Boerhendy 2006). Kayu karet memiliki potensi yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Kayu karet pada perkebunan besar masih banyak yang dimanfaatkan sebagai kayu bakar (energi) dalam proses pengolahan lateks. Kayu karet juga dapat dimanfaatkan untuk membuat berbagai macam produk, antara lain kayu gergajian, moulding dan panel kayu. 2.3 Kayu Mangium Kayu mangium (Acacia mangium Willd) termasuk Famili Fabaceae. Sebaran alaminya di Irian Jaya dan Kepulauan Maluku. Tumbuh pada ketinggian 500-1400 mdpl dengan curah hujan di atas 1920 mm/th. Toleran terhadap tanah asam, miskin hara dan drainase jelek (Nurhasybi et al. 2000). Kayu mangium merupakan salah satu jenis pohon primadona pada pembangunan HTI dan termasuk ke dalam golongan pohon cepat tumbuh (fast growing). Kelebihan kayu mangium dari jenis pohon lain adalah
5
kemampuannya untuk tumbuh dengan baik pada tanah terkikis, batuan, tanah miskin mineral dan juga pada tanah alluvial (Dulsalam 1987). Sementara itu kayu mangium potensial untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas, kayu gergajian, moulding, mebel, vinir, perkakas rumah tangga, rangka pintu dan jendela (Anonim 1983). Ciri umum dari kayu mangium adalah kayu terasnya berwarna coklat pucat sampai coklat tua, kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal yang berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. Tekstur kayu mangium halus sampai agak kasar dan merata, arah serat lurus, kadang-kadang berpadu, permukaan agak mengkilap, licin. Berat jenis kayu ini berkisar antara 0,43-0,66 dan termasuk ke dalam kelas awet III, kelas kuat II-III (Mandang dan Pandit 1997). 2.4 Kayu Pinus Pinus mempunyai nama ilmiah Pinus merkusii Jungh. et de Vriese yang diklasifikasikan ke dalam Famili Pinaceae. Pinus memiliki nama lokal : Tusam (Indonesia.); Son song bai (Thai); Merkus pine (perdagangan); Mindoro pine (Philipina); Tenasserim pine (Inggris). Sebaran alaminya di Aceh, Sumatera Utara dan Jambi. Tumbuh pada ketinggian 800-1600 mdpl dengan curah hujan 2400-3600 mm/th. Tumbuh pada tanah berdrainase baik (Nurhasybi et al. 2000). Ciri umum dari kayu pinus adalah kayu terasnya sukar dibedakan dengan gubalnya kecuali pada pohon berumur tua. Terasnya berwarna kuning kemerahan sedangkan gubalnya berwarna putih krem. Tekstur kayu pinus agak kasar dan serat lurus tapi tidak rata. Berat jenis kayu ini berkisar antara 0,40-0,75 dan termasuk ke dalam kelas awet IV, kelas kuat III (Mandang dan Pandit 1997). Kayu pinus banyak digunakan untuk pembuatan korek api, papan partikel, pulp dan kertas, vinir, dan perabotan rumah tangga.
6
2.5 Kayu Sengon Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) termasuk Famili Fabaceae, dikenal dengan nama perdagangan sengon atau jeungjing. Tumbuh pada ketinggian 0-1200 mdpl dengan curah hujan 2400-4800 mm/th. Jenis ini tumbuh pada tanah berlapisan dalam, drainase baik. Tumbuh baik di tempattempat yang mempunyai iklim basah sampai agak kering. (Nurhasybi et al. 2000). Kayu sengon termasuk ringan dan cocok untuk konstruksi ringan, mebel, bahan korek api, alat musik, alat-alat dapur, papan partikel dan untuk bahan pembuat kertas. Kayu sengon tidak tahan lama dan mudah terserang serangga dan jamur. Ciri umum kayu sengon adalah kayu terasnya berwarna hampir putih atau coklat muda pucat (seperti daging), warna kayu gubal umumnya tidak berbeda dengan kayu teras. Teksturnya agak kasar dan merata dengan arah serat lurus, bergelombang lebar atau berpadu. Permukaan kayu agak licin atau licin dan agak mengkilap. Kayu yang masih segar berbau petai, tetapi bau tersebut lambat laun hilang jika kayunya menjadi kering. Kayu sengon termasuk kelas awet IV-V dan kelas kuat IV-V dengan berat jenis 0,24-0,49. Kayunya mudah digergaji, tetapi tidak semudah kayu meranti merah dan dapat dikeringkan dengan cepat tanpa cacat yang berarti (Martawijaya dan Kartasujana 1977). 2.6 Rayap Menurut Nandika et al. (2003), rayap adalah serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang disebut koloni. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk hidup lebih lama
bila tidak berada dalam koloninya.
Komunitas tersebut bertambah efisien dengan adanya spesialisasi (kasta) dimana masing-masing kasta mempunyai bentuk dan peran yang berbeda dalam kehidupannya. Dalam setiap koloni rayap pada umumnya terdapat tiga kasta yang dinamai menurut fungsinya masing-masing yaitu kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif yang terdiri dari kasta primer (raja dan ratu ) serta kasta reproduktif suplementer. Dalam Nandika (1984) kasta pekerja merupakan anggota yang terbesar dalam koloni, berbentuk seperti nimfa dan berwarna pucat dengan
7
kepala hipognat tanpa mata faset. Fungsi dari kasta ini adalah mencari makan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang. Mereka mengatur efektivitas koloni dengan jalan membunuh dan memakan individu-individu yang lemah atau mati untuk menghemat energi dalam koloninya. Sifat kanibalisme seperti ini umum pada setiap jenis rayap. Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu). Fungsi kasta ini adalah menghasilkan telur, sedangkan makannya dilayani oleh para pekerja. Seekor ratu dapat hidup antara 6 sampai 20 tahun, bahkan sampai berpuluh-puluh tahun. Apabila reproduktif primer mati atau koloni memerlukan penambahan reproduktif bagi perluasan koloninya maka akan dibentuk reproduktif sekunder (neoten). Neoten juga akan terbentuk jika sebagian koloni terpisah dari sarang utamanya, sehingga suatu koloni baru akan terbentuk. Kasta ini dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang besar sesuai dengan perkembangan koloni. Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepalanya besar dengan penebalan kulit yang nyata. Anggota-anggota kasta ini mempunyai rahang yang besar dan kuat. Berdasarkan bentuk dari kasta prajuritnya, rayap dibedakan atas dua kelompok yaitu tipe mandibulate dan tipe nasuti. Pada tipe-tipe mandibulate prajurit-prajurit mempunyai rahang yang kuat dan besar tanpa rostum, sedangkan tipe nasuti mempunyai rostum yang panjang tapi rahangnya kecil. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar. Menurut Tambunan dan Nandika (1989), di dalam hidupnya rayap mempunyai 4 sifat yang khas, yaitu: 1. Trophalaksis, yaitu sifat rayap untuk saling menjilat dan melakukan pertukaran makanan melalui anus dan mulut. 2. Cryptobiotic, yaitu sifat menyembunyikan diri, menjauhkan diri dari cahaya dan gangguan. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap. 3. Cannibalism, yaitu sifat rayap untuk memakan sesamanya yang telah lemah atau sakit. Sifat ini menonjol dalam kedaan kekurangan makanan. 4. Necrophagy, yaitu sifat rayap yang memakan bangkai sesamanya.
8
Rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) merupakan golongan rayap yang banyak menyebabkan kerusakan. Rayap ini bersarang di dalam tanah dan membangun liang-liang kembara yang menghubungkan sarang dengan benda yang diserangnya (Nandika et al. 1996). Karena sifatnya yang cryptobiotic dan membutuhkan air untuk melembabkan kayu, liang kembara biasanya tertutup dengan bahan-bahan tanah. Sistematika jenis rayap ini adalah: Kelas
: Insekta
Ordo : Isoptera Famili
: Rhinotermitidae
Subfamili : Coptotermitinae Genus
: Coptotermes
Spesies
: Coptothermes curvignathus Holmgren
Terjadi perubahan ordo pada rayap, yaitu berdasarkan hasil analisis molekuler dan analisis morfologi menunjukkan bahwa rayap masuk dalam golongan kecoak yang berkerabat dekat dengan cryptocercus. Kekerabatan rayap dan cryptocercus merupakan kerabat dekat dari suku blatidae sehingga konsekuensi dari analisis filogeni tersebut diusulkan bahwa isoptera tidak digunakan lagi untuk nama kelompok rayap dan sekaligus ditempatkan suku termitidae untuk mengakomodasi semua jenis rayap dan tingkatan famili yang ada sekarang diturunkan tingkatan taksonnya, sehingga rayap termasuk dalam ordo yang sama dengan kecoa yaitu Blattodea (Inward et al. 2007).