BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS)
2.1.1
Pengertian kesehatan dan keselamatan kerjadi rumah sakit (K3RS) Rumah sakit termasuk dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman
bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di rumah sakit, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung rumah sakit. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola rumah sakit menerapkan K3 di rumah sakit. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 432 tentang Pedoman Kesehatandan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS) termasuk pengertian dan ruang lingkup keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Sedangkan K3 adalah upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan pekerja dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi (Depkes RI, 2009). Menurut Depkes RI (2009) konsep dasar kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit adalah upaya pengendalian berbagai faktor lingkungan, fisik, kimia, biologi yang menimbulkan dampak atau gangguan kesehatan terhadap petugas, pasien, pengunjung masuk sekitar rumah sakit. Tujuan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit adalah agar tercapai suatu kondisi dan lingkungan kerja rumah sakit memenuhi
persyaratan K3 antara lain: adanya peningkatan efisiensi kerja serta peningkatan produktifitas kerja yang ditandai dengan peningkatan mutu pelayanan rumah sakit. 2.2
Infeksi Nosokomial Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, nosos yang artinya penyakit dan komeo
yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat atau rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai suatu infeksi yang diperoleh pasien atau sesorang di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh beberapa macam agen penyakit dapatberupa bakteri, virus, jamur, parasit yang merupakan mikroba pathogen penyebab penyakit (Patricia dan Potter, 2005). 2.2.1
Cara penularan infeksi nosokomial Tranmisi mikroorganisme di rumah sakit dapat terjadi dengan berbagai cara, bisa
lebih dari satu cara. Menurut Septiari (2012) ada empat cara terjadinya tranmisi mikroorganisme yaitu: a.
Penularan secara kontak Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung, dan
droplet. Kontak langsung terjadi apabila sumber infeksi berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya person to person pada penularan terjadi antara pasien ke pasien, petugas ke pasien, pengunjung ke pasien. Kontak tidak langung terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi, misalnya kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme.
b.
Penularan melalui common vehicle Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman, dan dapat
menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu. Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah atau produk darah, cairan intravena, obat-obatan dan sebagainya. c.
Penularan melalui udara, dan inhalasi Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat kecil
sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh, dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus) dan mikroorganisme yang dapat hidup di udara seperti bakteri. d.
Penularan dengan perantara vector Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut penularan
secara eksternal apabila hanya terjadi pemindahan secara mekanis dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vector, misalnya shigella, dan salmonella oleh lalat. Penularan secara internal apabila mikroorganisme masuk ke dalam tubuh vector, dan dapat terjadi perubahan secara biologis. 2.2.2
Faktor yang mempengaruhi infeksi nosokomial Menurut Darmadi (2008) beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi
nosokomial adalah: 1.
Petugas kesehatan Petugas kesehatan khususnya perawat dapat menjadi sumber utama terpapar infeksi yang dapat menularkan berbagai kuman ke pasien maupun tempat lain karena perawat rata-rata setiap harinya 7-8 jam melakukan kontak langsung dengan pasien.
2.
Peralatan medis Peralatan medis yang dimaksud yaitu alat yang digunakan untuk melakukan tindakan keperawatan seperti jarum, kateter, instrumen, respirator, kain atau doek, kassa, dan sebagainya. Jika peralatan medis tidak dikelola kebersihan dan sterilitasnya maka dapat menyebabkan infeksi nosokomial.
3.
Lingkungan Lingkungan rumah sakit yang tidak bersih juga dapat menyebabkan infeksi nosokomial sebab mikroorganisme penyebab infeksi bisa tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang tidak bersih.
4.
Makanan dan minuman Makanan dan minuman yang diberikan kepada pasien harus sudah sesuai dengan standar kebersihan bahan yang layak untuk dikonsumsi. Apabila makanan dan minuman yang diberikan tidak dijaga kebersihannya maka dapat menyebabkan infeksi terutama pada saluran pencernaan yang sedang mengalami iritasi.
5.
Penderita lain Keberadaan penderita lain dalam satu kamar atau bangsal perawatan merupakan sumber penularan infeksi.
6.
Pengunjung atau keluarga Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam lingkungan rumah sakit atau sebaliknya, dapat menularkan dari dalam ke luar lingkungan rumah sakit. Selain faktor-faktor di atas, karateristik perawat dapat mempengaruhi terjadinya
infeksi nosokomial yaitu (Rini, 2008):
1.
Usia Faktor usia merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan, mengingat hal tersebut mempengaruhi kekuatan fisik dan psikis seseorang. Hasil kemampuan dan ketrampilan seseorang seringkali dihubungkan dengan umur, sehingga semakin lama umur seseorang maka pemahaman terhadap masalah akan lebih dewasa dalam bertindak (Muchias, 2000).
2.
Tingkat pendidikan Menurut Jackson (2000) bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi kualitas kerja seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi kemampuan dalam bekerja karena dengan pendidikan tinggi akan meningkatkan kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal.
3.
Masa kerja Masa kerja biasanya dikaitkan dengan waktu mulai bekerja dimana masa kerja juga ikut menentukan kinerja seseorang. Semakin lama masa kerja maka kecakapan akan lebih baik karena sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (Depkes RI, 1998).
4.
Jenis kelamin Pekerjaan yang pada umumnya lebih baik dikerjakan oleh laki-laki akan tetapi pemberian ketrampilan yang cukup memadai pada wanita juga mendapatkan hasil pekerjaan yang cukup baik. Ada sisi lain yang positif dalam karakter wanita yaitu ketaatan dan kepatuhan dalam bekerja, hal ini akan mempengaruhi kinerja personal (Gibson dkk, 2000).
5.
Pelatihan Pelatihan merupakan sebagai bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan pada praktik dari pada teori (Rivai, 2006).
2.2.3
Pencegahan infeksi nosokomial Salah satu upaya pencegahan infeksi nosokomial adalah meningkatkan
kemampuan petugas kesehatan, karena di antara golongan yang mempunyai faktor resiko yang tinggi untuk menularkan infeksi nosokomial adalah perawat dalam rumah sakit tersebut. Cara penularan melalui tenaga perawat ditempatkan sebagai penyebab yang paling utama dalam infeksi nosokomial. Terdapat beberapa penelitian yang menunjukan persentase tingkat pengetahuan dan perilaku perawat, yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Yulianti dkk (2011) di Bangsal Rawat Inap RS PKU Muhamadiyah Yogyakarta menunjukan pengetahuan baik perawat dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial yaitu 76%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Habni (2009) di RSU Haji Adam Malik Medan menunjukan perilaku baik perawat dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial yaitu 10%. Dari hasil penelitian tersebut diketahui besarnya tingkat pengetahuan dan perilaku perawat, sehingga pihak rumah sakit mendapatkan informasi yang dapat digunakan dalam mengelola manajemen rumah sakit khususnya upaya pencegahan infeksi nosokomial. Pencegahan infeksi nosokomial dapat dilakukan dengan menerapkan universal precaution pada petugas kesehatan, khususnya perawat. Universal precaution adalah kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan perlakuan
terhadap setiap pasien, dan tidak tergantung pada diagnosis penyakitnya (Irianto, 2010). Universal precaution adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien, setiap saat pada semua tempat, pelayanan dalam rangka mengurangi risiko penyebaran infeksi (Nursalam, 2007). Zuidah (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan universal precaution yaitu mencuci tangan, menggunakan alat pelindung diri, pengelolaan alat kesehatan dan desinfeksi lokasi tindakan. Adapun prinsip utama universal precaution adalah: 1) Menjaga higiene sanitasi individu, 2) Higiene sanitasi ruangan dan 3) Sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan melalui beberapa kegiatan pokok yang dianggap mendukung program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) antara lain (Depkes RI, 2007): 1.
Mencuci tangan Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan paling penting yang dapat dilakukan
oleh semua orang untuk mencegah penyebaran kuman. Mencuci tangan adalah tindakan aktif, singkat dengan menggosok bersamaan semua permukaan tangan dengan memakai sabun, yang kemudian diikuti dengan membasuhnya dibawah air yang mengalir. Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada saat itu (Depkes RI, 2007). Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum perawat memeriksa (kontak langsung) dengan pasien dan sebelum memakai sarung tangan bedah steril sebelum pembedahan atau sarung tangan pemeriksaan untuk pemeriksaan rutin. Mencuci tangan juga sebaiknya dilakukan setelah perawat melakukan kontak yang lama dan intensif dengan pasien, setelah memegang instrumen atau alat yang kotor, dan setelah menyentuh
selaput lendir, darah serta setelah melepaskan sarung tangan. Jadi paling tidak perawat mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan ke pasien (WHO, 2005). Kebersihan tangan adalah ukuran utama untuk mengurangi infeksi. Meskipun mencuci tangan terlihat suatu tindakan yang sederhana, tetapi hal itu kurang adanya dukungan dengan dilaksanakannya perilaku mencuci tangan di kalangan penyedia layanan kesehatan di seluruh dunia yang mempunyai masalah infeksi nosokomial (WHO, 2005). Ada 10 langkah yang menjadi pedoman dalam WHO untuk mensosialisasikan cuci tangan dengan sabun dan air. Langkah mencuci tangan yang benar menurut WHO (2005) adalah: a. Basahi tangan dengan air. b. Tuangkan sabun ke telapak tangan. c. Ratakan sabun dengan ke dua tangan sampai kedua telapak tangan terkena sabun. d. Gosok punggung tangan kanan dengan tangan kiri sampai sela-sela jari bergantian. e. Telapak tangan saling bersentuhan dengan jari yang disilangkan pada sela jari. f. Letakan punggung jari pada telapak satunya dengan jari saling mengunci. g. Menggosok ibu jari dengan menggenggam ibu jari kiri dengan tangan kanan lalu diputar begitu pula sebaliknya. h. Menggosok jari-jari tangan kanan pada telapak tangan kiri untuk membersihkan kotoran kuku tangan kanan, begitu pula sebaliknya. i. Bilas dengan air yang mengalir.
j. Pakai handuk kering dan bersih atau tissue sekali pakai untuk mengeringkan tangan. 2.
Menggunakan alat pelindung diri (APD) Alat pelindung diri merupakan peralatan yang digunakan tenaga kesehatan untuk
melindungi diri dan mencegah infeksi nosokomial. APD perawat ketika praktik terdiri dari (Depkes RI, 2003): a. Sarung tangan Pemakaian sarung tangan merupakan bagian terpenting dari universal precaution bagi perawat yang sering berinteraksi dengan pasien maupun alat-alat terkontaminasi (Depkes RI, 2003). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan sarung tangan (Depkes RI, 2003) yaitu: 1.
Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan.
2.
Mengganti sarung tangan jika berganti pasien atau robek.
3.
Mengganti sarung tangan segera setelah melakukan tindakan.
4.
Menggunakan sarung tangan saat menggunakan alat nonkontaminasi.
5.
Menggunakan sarung tangan untuk satu prosedur tindakan.
6.
Menghindari penggunaan atau mendaur ulang kembali sarung tangan sekali pakai.
b. Alat pelindung wajah Alat pelindung wajah terdiri dari dua alat yaitu masker dan kaca mata pelindung (Depkes RI, 2003). Penggunaan kaca mata digunakan sesuai dengan kebutuhan dan tindakan yang memiliki risiko tinggi terpapar dengan darah atau cairan tubuh pasien
lainnya. Sedangkan masker dianjurkan untuk selalu digunakan perawat ketika melakukan tindakan khususnya pada pasien TB atau tuberkulosis (DepkesRI, 2003). Hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan masker (WHO, 2004) yaitu: 1.
Memasang masker sebelum memakai sarung tangan.
2.
Tidak dianjurkan menyentuh masker ketika menggunakannya.
3.
Mengganti masker ketika kotor atau lembab.
4.
Melepaskan masker dilakukan setelah melepaskan sarung tangan dan cuci tangan.
5.
Tidak membiarkan masker menggantung dileher.
6.
Segera melepas masker jika tidak digunakan.
7.
Tidak dianjurkan menggunakan kembali masker sekali pakai.
c. Penutup kepala Fungsi utama penutup kepala membantu mencegah terjadinya percikan darah maupun cairan pasien pada rambut perawat. Selain itu, penutup kepala dapat mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut perawat maupun kulit kepala ke area steril (Depkes RI, 2003). d. Gaun pelindung Gaun pelindung wajib digunakan ketika menangani pasien dengan pendarahan, melakukan pembersihan luka, maupun tindakan lainnya yang terpapar darah atau cairan tubuh pasien lainnya. Gaun pelindung terdiri dari beberapa macam berdasarkan kegunaannya. Terdapat dua jenis gaun pelindung yaitu gaun pelindung steril dan non steril (Depkes RI, 2003). Gaun steril digunakan untuk memberikan perlindungan ketika berada di area steril seperti ruang bersalin, ICU, operasi dan
pada tindakan yang membutuhkan prosedur steril. Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan gaun pelindung (Rosdahl & Marry, 2008): 1.
Ukuran gaun pelindung harus cukup panjang dan dapat menutupi seragam perawat bagian depan dan belakang namun tidak menutupi lengan.
2.
Jika menggunakan seragam lengan panjang, seragam harus digulung ke atas siku dan perawat baru menggunakan gaun pelindung.
3.
Ketika hendak melepaskan gaun pelindung, cara melepaskannya adalah dari dalam keluar untuk mencegah kontaminasi cairan dengan seragam.
4.
Setelah melepas gaun jangan lupa untuk selalu mencuci tangan sebelum melakukan aktivitas.
e. Alas kaki sepatu Penggunaan alas kaki juga bertujuan untuk mencegah kemungkinan tusukan benda tajam maupun kejatuhan alat kesehatan (Depkes RI, 2003). Standar alas kaki yang memenuhi standar APD adalah alas kaki yang menutupi seluruh ujung jari dan telapak kaki serta terbuat dari bahan yang sudah dicuci dan tahan tusukan (Rosdahl & Marry, 2008). Penggunaan alas kaki termasuk juga sepatu yang dipakai seharihari harus memenuhi standar tersebut dan juga penggunaan sepatu khusus seperti sepatu khusus di ruang tertentu misalnya operasi, ICU, ruang bersalin dan isolasi (Depkes RI, 2003). 2.
Tangani dan buang jarum suntik atau alat tajam lain secara aman, yang sekali pakai tidak boleh dipakai ulang. Menurut Tietjen (2004) apabila perlu memasang kembali penutup jarum, maka gunakan metode penutupan “satu tangan” dengan cara:
a.
Tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh, kemudian angkat tangan anda.
b.
Kemudian dengan satu tangan memegang spuit, gunakan jarum untuk menyekop tutup tersebut dengan penutup di ujung jarum, putar spuit tegak lurus sehingga jarum dan spuit mengarah ke atas.
c.
Setelah sumbat yang menutup ujung jarum sepenuhnya, peganglah spuit ke arah atas dengan pangkal dekat pusat (dimana jarum itu bersatu dengan spuit dengan satu tangan, dan gunakan tangan lainnya untuk menyegel tutup itu dengan baik).
d.
Sterilisasi alat medis Bersihkan dan desinfeksikan tumpahan cairan tubuh dengan bahan yang cocok. Dekontaminasi merupakan langkah pertama dalam menangani alat bedah dan sarung tangan yang tercemar. Segera setelah alat digunakan, alat harus direndam di larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Langkah ini bertujuan mencegah penyebaran infeksi alat kesehatan atau suatu permukaan benda, menginaktivasi virus serta dapat mengamankan petugas yang membersihkan alat tersebut dari risiko penularan (Nursalam dan Ninuk, 2010).
e.
Pengelolaan limbah Limbah medis berupa limbah klinis, limbah laboratorium dan limbah berbahaya. Limbah klinis dapat berupa darah atau cairan tubuh pasien, material yang mengandung darah kering, jaringan tubuh dan benda-benda tajam bekas pakai. Semua limbah klinis dan laboratorium dikategorikan limbah infeksius berdasarkan aturan setempat (WHO, 2005). Cara penanganan limbah medis, salah satunya dengan pemilahan yang menyediakan tempat sampah yang sesuai dengan jenis
sampah medis. Wadah-wadah tersebut biasanya menggunakan kantong plastik berwarna misalnya kuning untuk infeksius, hitam untuk non medis atau wadah yang diberi label yang mudah dibaca (Depkes RI, 2003).
2.3
Perawat Menurut Depkes RI (2007), perawat adalah seorang yang telah dipersiapkan
melalui pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang yang sakit, usaha rehabilitasi, pencegahan penyakit, yang dilaksanakannya sendiri atau di bawah pengawasan dan supervise dokter atau suster kepala. Sistem pendidikan tinggi keperawatan di Indonesia menurut hasil Lokakarya Nasional dalam bidang keperawatan tahun 1983 telah menghasilkan kesepakatan nasional secara konseptual yang mengakui keperawatan di Indonesia sebagai professional dan pendidikan keperawatan sebagai pendidikan profesi. Sejalan dengan perkembangan teknologi, pendidikan keperawatan juga mengalami peningkatan baik jenjang maupun mutu pendidikan. Pendidikan keperawatan yang dahulu adalah pendidikan dasar atau menengah kini telah meningkat pada jenjang pendidikan tinggi. Saat ini masih banyak variasi pendidikan keperawatan yang utama adalah sekolah perawat kesehatan (SPK), akademi atau pendidikan ahli madya keperawatan atau politeknik dengan 3 tahun program diploma keperawatan (D3), program studi ilmu keperawatan yang menawarkan program strata 1 keperawatan (S1 Keperawatan) dan S2 terkait dengan keperawatan (Priharjo, 2005).
2.4
Pengetahuan
2.4.1 Pengertian Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat, yaitu (Notoatmodjo, 2007): a. Tahu (know) Tahu berarti sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (application) Aplikasi telah diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabar materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis) Sintesis
menunjuk
pada
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis ini suatu kemampuan yang menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
2.5
Perilaku
2.5.1
Pengertian Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan
oleh makhluk hidup bersangkutan. Pada hakekatnya, manusia sebagai salah satu makhluk hidup mempunyai berbagai macam perilaku yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, perilaku manusia dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Aktivitas-aktivitas dilakukan manusia antara lain: berfikir, berbicara, membaca, berjalan, bekerja, dan lain-lain (Notoatmodjo, 2010). Menurut Notoatmodjo (2010) diuraikan bahwa aktivitas manusia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu aktivitas yang dapat diamati orang lain dan aktivitas yang tidak dapat diamati oleh orang lain. Perilaku dibedakan menjadi dua yaitu (Notoatmodjo, 2010):
a.
Perilaku tertutup (cover behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(cover). Respon atau reaksi stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. b.
Perilaku terbuka (over behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. 2.5.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku Menurut Sunaryo (2004) perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor internal Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri. Dalam perilaku manusia faktor internal yang dimaksud adalah faktor genetik (keturunan). Faktor internal yang berasal dari dalam diri sendiri terdiri dari jenis ras, jenis kelamin, fisik, kepribadian, bakat bawaan dan kemampuan seseorang. 2. Faktor eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri seseorang seperti faktor lingkungan, pendidikan, agama, sosial, ekonomi dan kebudayaan seseorang.
2.6
Lokasi Penelitian di Rumah Sakit Umum Puri Raharja Denpasar Rumah Sakit Umum Puri Raharja Denpasar pada awalnya adalah sebuah rumah
bersalin yang sederhana yang didirikan pada tahun 1972. Bertepatan dengan Ulang Tahun
KORPRI yaitu pada tanggal 29 November 1989, ditingkatkan statusnya menjadi rumah sakit umum serta diresmikan oleh Gurbernur Daerah Tingkat I Bali dan Ketua Dewan Pembina KORPRI Provinsi Bali menjadi RSU Puri Raharja. Rumah sakit ini mempunyai visi menjadikan RSU Puri Raharja sebagai pilihan utama dan terpercaya dari masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan. Misi RSU Puri Raharja Denpasar adalah menyelenggarakan rumah sakit yang efektif dan efisiensi, bermutu, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan bidang kesehatan disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat. Rumah Sakit Umum Puri Raharja telah berusaha untuk melaksanakan program K3 khususnya pencegahan infeksi nosokomial. Pencegahan infeksi nosokomial yang telah dilakukan antara lain dengan membentuk tim pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) yang bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya infeksi. Jumlah total sumber daya manusia di RSU Puri Raharja 298 orang berdasarkan jenis tenaga kesehatan sesuai dengan keahlian terdiri dari: dokter 18 orang, paramedis keperawatan 118 orang, paramedis kebidanan 18 orang, non keperawatan 37 orang, non medis 107 orang. Paramedis keperawatan yang menangani pasien terdiri dari perawat yang bekerja di RSU Puri Raharja berjumlah 112 orang dan perawat yang sedang praktek kerja (daily worker) berjumlah 6 orang. Karena jumlah perawat daily worker sedikit sehingga tidak dimasukan ke dalam populasi sampel penelitian. Kegiatan perawat di RSU Puri Raharja Denpasar dibedakan menjadi dua yaitu kegiatan keperawatan langsung dan tidak langsung. Kegiatan keperawatan langsung adalah kegiatan keperawatan yang langsung berhubungan dan berpusat pada pasien, sedangkan kegiatan keperawatan tidak langsung adalah tindakan keperawatan yang dilakukan untuk melengkapi dan menunjang kegiatan keperawatan
langsung. Kegiatan tidak langsung di masing-masing ruangan hampir sama, namun kegiatan langsung masing-masing ruangan yang berbeda. Kegiatan keperawatan langsung di ruangan secara garis besar adalah kegiatan keperawatan langsung berupa adanya komunikasi kepada pasien, pemberian obat, pemenuhan kebutuhan nutrisi dan melaksanakan tindakan sesuai standar operasional prosedur (SOP) rumah sakit. Dimana beberapa tindakan yang dimaksud adalah pemeriksaan tanda-tanda vital (pemeriksaan nadi, suhu, tekanan darah, napas) pemasangan infus, menyuntik, perawatan luka dan membantu dalam proses pembedahan/operasi khusus perawat ruang operasi. Alur pasien RSU Puri Raharja ada dua yaitu rawat jalan dan rawat inap. Pasien rawat jalan bisa langsung mendaftar ke poliklinik dan unit gawat darurat yang mendapatkan perawatan sesuai keluhan, sedangkan pasien rawat inap dapat dirujuk dari unit gawat darurat dan poliklinik. Perawat berperan dalam proses rawat jalan dan rawat inap, dimana perawat tersebut mempunyai tugas pada masing-masing ruang yang sudah ditentukan oleh manajemen rumah sakit. Perawat rawat inap terdiri dari perawat di ruang ICU dan ruang perawatan biasa, sedangkan perawat rawat jalan terdiri dari perawat di instalansi gawat darurat, ruang operasi, ruang hemodialisa, dan poliklinik (poliklinik umum, BKIA, gigi dan sub spesialis). Tidak ada pertukaran tugas kerja antara perawat rawat inap dan rawat jalan. Perawat rawat inap mempunyai tiga shift dalam bekerja yaitu shift pagi, sore dan malam. Pada perawat rawat jalan juga mempunyai tiga shift kerja, kecuali pada perawat poliklinik hanya shift pagi dan sore. Pembagian shift kerja pada perawat menggunakan sistem rolling, jadi setiap perawat dapat bekerja pada shift yang berbeda-beda dan jadwal shift kerja ditentukan oleh kepala tim setiap ruangan.