BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hidrologi Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi – penguapan, presipitasi
dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan di mana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan-dahan ke permukaan tanah. Gambar 2.1 berikut merupakan gambar siklus hidrologi.
Gambar 2.1 Siklus Hidrologi
4 Universitas Sumatera Utara
5
2.1.1 Curah Hujan Data curah hujan yang tercatat diproses berdasarkan areal yang mendapatkan hujan sehingga didapat tinggi curah hujan rata-rata dan kemudian diramalkan besarnya curah hujan pada periode tertentu. Berikut dijabarkan tentang cara menentukan tinggi curah hujan arel. Dengan melakukan penakaran atau pecatatan hujan, kita hanya mendapat curah hujan di suatu titik tertentu (point rainfall). Jika di dalam suatu areal terdapat beberapa alat penakar atau pencatat curah hujan, maka dapat diambil nilai rata-rata untuk mendapatkan nilai curah hujan areal. Ada 3 macam cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan ratarata pada areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos penakar atau pencatat. 1. Cara Tinggi rata-rata Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata hitung (arithmatic mean) pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan di dalam areal studi. d =
…
= ∑
(2.1)
di mana d = tinggi curah hujan rata-rata, d1, d2 . . . dn = tinggi curah hujan pada pos penakar 1, 2, . . . , n, dan n = banyak pos penakaran.
Universitas Sumatera Utara
6
Cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika pos-pos penakarnya ditempatkan secara merata di areal tersebut, dan hasil penakaran masing-masing pos penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh pos di seluruh areal.
2.
Cara Poligon Thiessen
Cara ini berdasarkan rata-rata timbang (weighted average). Masing-masing penakar mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung di antara dua buah pos penakar. Gambar 2.2 menunjukkan contoh posisi stasiun 1, 2, dan 3 dari skema poligon Thiessen dalam Daerah Aliran Sungai (DAS).
Gambar 2.2 Poligon Thiessen pada DAS Curah hujan pada suatu daerah dapat dihitung dengan persamaan berikut:
d
A1 . d1 A 2 . d 2 ..... A n . d n A1 A 2 ..... A n
d
A1. d1 A 2 . d 2 ..... A n . d n A
(2.2)
(2.3)
Universitas Sumatera Utara
7
dimana d = tinggi curah hujan rerata daerah (mm), dn = hujan pada pos penakar hujan (mm), An = luas daerah pengaruh pos penakar hujan (km2), dan A = luas total DAS (km2). 3.
Cara isohyet
Dalam hal ini kita harus menggambarkan dulu kontur dengan tinggi curah hujan yang sama (isohyet), seperti terlihat pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Peta Isohyet
Kemudian luas bagian di antara isohyet-isohyet yeng berdekatan diukur, dan nilai rata-ratanya dihitung sebagai berikut: d 0 d 1A d 1 d 2 dn 1 dn A A ... An 2 2 2 d A1 A2 ...An
d
di 1 di Ai 2 Ai
(2.4)
(2.5)
Universitas Sumatera Utara
8
di mana d = tinggi curah hujan rata-rata areal, A = luas areal total = A1 + A2 + A3 + ...+ An, dan d0, d1, ..., dn = curah hujan pada isohyet 0, 1, 2, ..., n. Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat isohyet. Pada waktu menggambar garis-garis isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan (hujan orografik).
2.1.2 Analisis Frekuensi Untuk memperkirakan besarnya debit banjir dengan kala ulang tertentu, terlebih dahulu data-data hujan didekatkan dengan suatu sebaran distribusi, agar dalam memperkirakan besarnya debit banjir tidak sampai jauh melenceng dari kenyataan banjir yang terjadi. Adapun rumus-rumus yang dipakai dalam penentuan distribusi tersebut antara lain:
CV =
(2.7)
Sd X n
n Xi - X CS =
(2.6)
( X - X )2 n -1
Sd =
3
i =1
(n - 1) (n - 2) S3
(2.8)
Universitas Sumatera Utara
9
n
n 2 Xi - X CK =
4
i =1
(2.9)
(n - 1) (n - 2) (n - 3) S 4
di mana Sd = standar deviasi, CV = koefisien keragaman, CS = koefisien kemencengan, dan Ck = koefisien kurtosis.
Untuk menganalisis probabilitas curah hujan biasanya dipakai beberapa macam distribusi yaitu:
1.
Distribusi Normal Distribusi ini mempunyai fungsi densitas peluang normal (normal probability
density function) dari variabel acak kontinyu X sebagai berikut:
P’ (x) =
1 σ 2π
[-(x -μ) 2 ]
.e
2σ 2
(2.10)
di mana P’(x) = fungsi densitas peluang normal (normal probability density function), π = 3.14156, x = variabel acak kontinyu, = varian, = rata-rata. 2.
Ditribusi Log-Normal Distribusi log normal merupakan hasil transformasi dari distribusi normal,
yaitu dengan mengubah nilai varian x menjadi nilai logaritmik varian x. Distribusi ini mempunyai fungsi densitas peluang (probability density function) dari variabel acak kontinyu x sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
10
2 log(x - x ) P' (x) eksp 0,5. log(x) . (S d ) . 2π (S d )
1
(2.11)
di mana P’(x) = log normal, x = nilai varian pengamatan, X = nilai rata-rata dari logaritmik varian x, dan Sd = standar deviasi dari logaritmik varian x. Distribusi log-normal dua parameter mempunyai persamaan transformasi
LogX LogX k ( SLogX)
(2.12)
di mana log x = nilai varian x yang diharapkan terjadi pada peluang atau periode ulang tertentu, log X = rata-rata nilai x hasil pengamatan, SLog x = deviasi standar logaritmik nilai x hasil pengamatan, dan k = karakteristik dari distribusi log normal. Distribusi Log-Normal tiga parameter mempunyai persamaan transformasi. ln x - μ n 2 eksp 0,5. P' (x) ; μ 0 x . σ n . 2π σn 1
dimana n =
1 μ4 ln 2 μ 2 σ 2
σ2 μ2 dan σ 2n ln 2 μ
(2.13)
Sri Harto (1993) memberikan sifat-sifat distribusi log normal berikut: Besar skewness (Cs) adalah:
γ η3v 3ηv di mana η v
(2.14)
0.5 σ σ2 e n 1 μ
Universitas Sumatera Utara
11
Besarnya kurtosis (Ck ) adalah: Ck = v8 6 v6 15 v4 16 v2 3 3.
(2.15)
Distribusi Log Pearson Tipe III Rumus yang digunakan dalam metode Log Pearson III adalah:
Log X T log X G . Sd
(2.16)
di mana Log XT = logaritma dari curah hujan rancangan dengan kala ulang,
LogX = logaritma rata-rata dari data curah hujan, G = besaran dari fungsi koefisien kemencengan dari kala ulang, dan Sd = simpangan baku logaritma data curah hujan. Rumus-rumus parameter yang digunakan pada metode ini yaitu: 1. Harga Rata-rata (Mean) n
Log X
Log X i 1
(2.17)
i
n
2. Koefisien Kemencengan (Skewness) n
CS
n. (Log X i - Log X ) 3
(2.18)
i 1
(n - 1).(n - 2). S d
3
Universitas Sumatera Utara
12
3. Simpangan Baku (Standard Deviasi) (2.19)
n
Sd
(Log X i 1
i
- Log X ) 2
n -1
Besarnya curah hujan rancangan adalah:
LogXT log X G . Sd
(2.20)
Probability density function distribusi ini adalah: c Px P0 x 1 x/a e cx/a
(2.21)
di mana c = 4/1 – 1, a cμ 3c / 2μ 2c , P0 x nc
4.
c1
/ae r c
c1
Distribusi Gumbel Distribusi ini mempunyai fungsi densitas peluang (probability density
function) dari variabel acak kontinyu x sebagai berikut: C X A P x e C B di mana A 1.281/ σ , dan B μ 0.45σ
(2.22)
Hubungan antara faktor frekuensi K dengan kala ulang T dapat disajikan dalam persamaam sebagai berikut:
K 6/η0.5772 ln ln Tx / Tx 1
(2.23)
Universitas Sumatera Utara
13
Secara umum frekuensi analisis dapat disederhanakan dalam bentuk: X T X Sd K
(2.24)
di mana XT = besaran dengan kala ulang tertentu, X = besaran rata-rata, dan Sd = simpangan baku.
2.1.3 Uji Distribusi Frekuensi Curah Hujan Untuk mengetahui apakah data tersebut benar sesuai dengan jenis sebaran teoritis yang dipilih maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Untuk keperluan analisis uji kesesuaian dipakai dua metode statistik sebagai berikut: 1.
Uji Chi Kuadrat Uji Chi Kuadrat digunakan untuk menguji apakah distribusi pengamatan
dapat disamai dengan baik oleh distribusi teoritis. Perhitungannya dengan menggunakan persamaan berikut: k
X 2hit i 1
(EF - OF ) 2 EF
(2.25)
di mana k = 1 + 3,22 Log n, OF = nilai yang diamati, dan EF = nilai yang diharapkan. Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2 hitung < X2Cr. Harga X2Cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikan α dengan derajat kebebasan. Batas kritis X2 tergantung pada derajat kebebasan dan . Untuk kasus ini derajat kebebasan mempunyai nilai yang didapat dari perhitungan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
14
DK = JK - (P + 1)
(2.26)
di mana DK = derajat kebebasan, JK = jumlah kelas, dan P = faktor keterikatan (untuk pengujian Chi-Square mempunyai keterikatan 2). 2.
Uji Smirnov Kolmogorof Tahap-tahap pengujian Smirnov Kolmogorof adalah sebagai berikut:
a.
Plot data dengan peluang agihan empiris pada kertas probabilitas, dengan menggunakan persamaan Weibull:
P
m x 100% n 1
(2.27)
di mana m = nomor urut dari nomor kecil ke besar, dan n = banyaknya data. b.
Tarik garis dengan mengikuti persamaan:
Log X T log X G . Sd
(2.28)
Dari grafik ploting diperoleh perbedaan perbedaan maksimum antara distribusi teoritis dan empiris:
max Pe - Pt
(2.29)
di mana max = selisih maksimum antara peluang empiris dengan
teoritis,
Pe = peluang empiris, dan Pt = peluang teoritis. c. Taraf signifikan diambil 5% dari jumlah data (n), didapat Δ Cr dari tabel. Dari tabel Uji Smirnov Kolmogorof, bila Δ maks < Δ Cr, maka data dapat diterima.
Universitas Sumatera Utara
15
2.1.4 Debit Banjir Penentuan debit banjir ini dilakukan dengan beberapa metode dengan mempergunakan data-data yang tersedia, minimal dibuat 4 cara perhitungan. Metode yang akan dipergunakan adalah metode-metode empiris yang mempunyai kesesuaian atau relevansi untuk dipergunakan di daerah pekerjaan. Dalam hal ini akan dipergunakan metode-metode yang dianjurkan pelaksanaannya antara lain: 1.
Metode Hasper Perhitungan debit banjir rencana dengan cara Haspers ini menggunakan
rumus: Q = ..q.F
(2.30)
di mana Q = debit banjir rencana (m3/dt), run off coefficient dihitung dengan rumus:
1
t 3,7 10 0, 4.t F 0, 75 t 2 1,5 12
=
1
(2.31)
di mana t waktu perambatan air (jam) = 0,1 x L0,8 x I-0,3, L = panjang sungai, dan I = kemiringan dasar sungai rata-rata di mana harga t mempunyai 3 kemungkinan yaitu: untuk t < 2 jam, maka r =
kedua,
t.Rt t 1 0,0008(260 Rt )(2 t 2 )
2 jam < t < 19 jam, maka r =
t . Rt , t 1
kemungkinan
kemungkinan
ketiga,
Universitas Sumatera Utara
16
19 jam t < 30 hari, maka r = 0,707 x Rt x
(t 1) dengan q = hujan maximum,
m3/det/km2, dan r = waktu perambatan banjir. 2. Metode Der Weduwen Perhitungan debit banjir dengan metode Der Weduwen ini menggunakan rumus sebagai berikut:
Q = F.q.
Rt 240
(2.32)
di mana Qt = besarnya debit banjir rencana dengan periode ulang t tahun (m 3/det), F = luas catchment area (km2), q’ = . . q = besarnya air dalam m3/det/km2 dengan presmal 240 mm yang telah diperhitungkan dengan faktor kehilangan air dan perlambatan pengaliran air dalam miringnya tanah, dan Rt = besarnya curah hujan dalam return periode t tahun (mm). 3.
Metode Rasional Perhitungan debit banjir rencana dengan cara rasional ini menggunakan
rumus:
Q =
.r. A 3,6
(2.33)
Universitas Sumatera Utara
17
di mana = run off coefisient, r intensitas hujan selama time of concentration R 24 =r= 24 t
2/3
dengan R = hujan sehari (mm), A = luas daerah pengaliran (km2),
Q = debit maksimum (m3/detik). Tabel 2.1 Koeffisien Limpasan Dr. Mononobe Kondisi daerah pengaliran dan sungai Daerah pegunungan yang curam Daerah pegunungan tersier Tanah bergelombang dan hutan Tanah dataran yang ditanami Persawahan yang diairi Sungai di daerah pegunungan Sungai kecil di dataran Sungai besar yang lebih dari setengah daerah pengalirannya terdiri dari dataran
Harga dari 0.75 – 0.90 0.70 – 0.80 0.50 – 0.75 0.45 – 0.60 0.70 – 0.80 0.75 – 0.85 0.45 – 0.75 0.50 – 0.75
2.1.5 Hidrograf Satuan Sintetis Di daerah di mana data hidrologi tidak tersedia untuk menurunkan hidrograf satuan, maka dibuat hidrograf satuan sintetis yang didasarkan pada karakteristik fisik dari DAS. Berikut ini diberikan beberapa metode yang biasa digunakan dalam menurunkan hidrograf banjir. 1.
Hidrograf Satuan Sintetis Gama I Kajian sifat dasar Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gamma I adalah hasil
penelitian 30 buah daerah aliran sungai di Pulau Jawa. Sifat-sifat daerah aliran sungai dalam metode HSS Gamma I adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
18
1.
Faktor sumber (source factor, SF) adalah perbandingan antara jumlah panjang sungai-sungai tingkat satu dengan jumlah panjang sungai semua tingkat.
2.
Frekuensi sumber (source frequency, SN) ditetapkan sebagai perbandingan antara jumlah pangsa sungai semua tingkat.
3.
Faktor simetri (symmetry factor, SIM), ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas relatif DPS sebelah hulu (RUA).
4.
Faktor lebar (width factor, WF) adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari titik di sungai yang berjarak ¾ L dan lebar DPS yang diukur dari titik di sungai yang berjarak ¼ L dari tempat pengukuran.
5.
Luas relatif DPS sebelah hulu (relative upper catchment area), yaitu perbandingan antara luas DPS sebelah hulu garis yang ditarik terhadap garis yang mengubungkan titik tersebut dengan tempat pengukuran dengan luas DPS.
6.
Jumlah pertemuan sungai (number of junction, JN) Gambar 2.5 berikut merupakan model parameter karakteristik DAS Metode Gamma I. untuk X ~ A = 0,25 L, X ~ B = 0,75 L, dan WF = WU/WL.
WL
B
A
X
WU
Gambar 2.4 Model Parameter Karakteritik DAS Metode Gamma I
Universitas Sumatera Utara
19
Rumus-rumus yang digunakan dalam metode HSS Gamma I adalah sebagai berikut: B = 1,5518 N-0,14991 A-0,2725 SIM –0,0259 S-0,0733
(2.34)
di mana N = jumlah stasiun hujan, A = luas DAS (km2), SIM = faktor simetri, S = landai sungai rata-rata, dan B = koefiesien reduksi. Menghitung waktu puncak HSS Gamma I (tr) dengan rumus berikut: tr = 0.43 ( L/ 100 SF) 3 + 1.0665 SIM + 1.277
(2.35)
di mana tr = waktu naik (jam), L = panjang sungai induk (km), SF = faktor sumber, dan SIM = faktor simetri. Menghitung debit puncak banjir HSS Gamma I (Qp) dengan rumus berikut: Qp = 0,1836 A0,5884 JN0,2381 tr-0,4008
(2.36)
di mana Qp = debit puncak (m3/det), dan JN = jumlah pertemuan sungai. Menghitung waktu dasar pada metode HSS Gamma I (tb) dengan rumus berikut: tb = 27,4132 tr0,1457 S-0,0986 SN0,7344 RUA0,2574
(2.37)
di mana S = landai sungai rata-rata, SN = frekuensi sumber, dan RUA = luas relatif DPS sebelah hulu (km2). Menghitung koefisien resesi (K) pada metode ini dihitung dengan rumus: K = 0,5671 A0,1798 S-0,1446 SF-1,0897 D0,0452
(2.38)
Universitas Sumatera Utara
20
di mana K = koefisien tampungan (jam), A = luas DPS (km2), S = landai sungai ratarata, SF = faktor sumber (km/km2), dan D = kerapatan jaringan kuras (km/km2). Menghitung aliran dasar sungai dihitung dengan rumus: QB = 0,4751 A0,6444 D0,9430
(2.39)
di mana QB = aliran dasar (m3/det), A = luas DPS (km2), dan D = kerapatan jaringan kuras (km/km2). 2.
Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu Perhitungan debit banjir rancangan menggunakan metode Nakayasu.
Persamaan umum Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut:
Qp
C.A.R0 3,6 (0,3 TP T0,3 )
(2.40)
Tp = tg + 0,8 tr
(2.41)
tg = 0,21 x L0,7
(L < 15 km)
(2.42)
tg = 0,4 + 0,058 x L
(L > 15 km)
(2.43)
T0,3 = α x tg
(2.44)
di mana Qp = debit puncak banjir (m3/det), C= koefisien pengaliran, R0 = hujan satuan (mm), A = luas DAS (km2), Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam), T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak sampai menjadi 30% dari debit puncak, tg= waktu konsentrasi (jam),
Universitas Sumatera Utara
21
tr = satuan waktu hujan, diambil 1 jam, = parameter hidrograf, bernilai antara 1.5 – 3.5, dan L
= panjang sungai (m).
Gambar 2.5 merupakan contoh gambar hidrograf nakayasu berupa hubungan antara waktu dengan debit puncaknya.
Tr
0,8 Tr
tg Qp
LengkungNaik
Q (m3/det)
Lengkung Turun
0,32 Qp
0,3 Qp
t (jam) Tp
T0,3
1,5 T0,3
Gambar 2.5 Model Hidrograf Nakayasu Persamaan-persamaan yang digunakan dalam hidrograf nakayasu adalah:
a.
t Pada kurva naik, 0 ≤ t ≤ T p, maka Q t T p
2, 4
x Qp
Universitas Sumatera Utara
22
b.
Pada kurva turun, Tp < t ≤ (T p + T0,3), maka Q t Q p x 0,3 t -Tp 0,5T0,3 1,5T0,3
T0,3) ≤ t ≤ (T p + T0,3 + 1,5T0,3), maka Q t Q p x 0,3
+ T0,3 + 1,5T0,3), maka Q t Q p x 0,3
t -Tp 1,5T0,3 2T0,3
t -Tp T0,3
, untuk (Tp +
, dan untuk t > (Tp
.
di mana Qt = debit pada saat t jam (m3/det)
2.2
Kebutuhan Air
2.2.1 Debit Andalan Perhitungan debit andalan bertujuan menentukan areal persawahan yang dapat diairi. Perhitungan ini menggunakan cara analisis water balance dari Dr. F. J. Mock berdasarkan
data curah hujan bulanan, jumlah hari hujan
evapotranspirasi dan karakteristik hidrologi daerah pengaliran. Prinsip
perhitungan
ini
adalah
hujan
yang
jatuh
di
atas
tanah
(presipitasi) sebagian akan hilang karena penguapan (evaporasi),sebagian akan menjadi aliran permukaan (direct run off) dan sebagian akan masuk tanah (infiltrasi). Infiltrasi mula-mula menjenuhkan permukaan (top soil) yang kemudian menjadi perkolasi dan akhirnya keluar ke sungai sebagai base flow (Soewarno, 2000). Pada saat itu terjadi water balance antara presipitasi, evapotranspirasi, direct run off dan ground water discharge. Oleh karena itu aliran yang terdapat di sungai disebut direct run off dan base flow.
Universitas Sumatera Utara
23
2.2.2 Neraca Air Dari
hasil
perhitungan
neraca
air,
kebutuhan
pengambilan
yang
dihasilkan untuk pola tanam yang dipakai akan dibandingkan dengan debit andalan untuk tiap setengah bulan dan luas daerah yang bias diairi, luas d aerah irigasi, jatah debit air dan pola pengaturan rotasi. Apabila debit sungai melimpah, maka luas daerah irigasi adalah tetap karena luas maksimum daerah layanan dan proyek yang akan direncanakan sesuai dengan pola tanam yang dipakai. Jika debit sungai kurang maka akan terjadi kekurangan debit, maka ada 3 pilihan yang perlu dipertimbangkan sebagai berikut : 1. Luas daerah irigasi dikurangi. Bagian-bagian tertentu dari daerah yang bias diairi (luas maksimum daerah layanan) tidak diairi. 2. Melakukan modifikasi pola tanam. Dapat diadakan perubahan dalam pemilihan tanaman atau tanggal tanam untuk mengurangi kebutuhan air irigasi di sawah (l/dt.ha) agar ada kemungkinan untuk mengairi areal yang lebih luas dengan debit yang tersedia. 3. Rotasi teknis/golongan. Untuk mengurangi kebutuhan puncak air irigasi. Rotasi teknis atau golongan mengakibatkan ekploitasi yang lebih kompleks dan dianjurkan hanya untuk proyek irigasi yang luasnya sekitar 10.000 ha atau lebih.
Universitas Sumatera Utara
24
2.3
Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-
punggung gunung/pegunungan di mana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik/stasiun yang ditinjau. Luas DAS diperkirakan dengan mengukur daerah itu pada peta topografi. Luas DAS sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Pada umumnya semakin besar DAS semakin besar jumlah limpasan permukaan sehingga semakin besar pula aliran permukaan.
2.4 Tinjauan Hidraulis Sungai. Sungai merupakan alur panjang di atas permukaan bumi dimana air mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah hingga bermuara di danau atau laut. Fungsi sungai sebagai saluran pembawa sekaligus pengatur (drainage) yang dibentuk alam. Dimensi sungai bervariasi dengan sistem yang kompleks tetapi tidak tak beraturan (complicated). Sistem yang kompleks tersebut terdiri dari banyak komponen
dimana
komponen-komponen
itu
saling
berhubungan
dan
berpengaruh dalam satu sistem yang sinergis, dan mampu menghasilkan sistem kerja dan produk yang efisien. Kompleksitas sistem sungai dapat ditinjau dari berbagai komponen penyusun sungai antara lain bentuk alur dan percabangan sungai, formasi dasar sungai (river bed form), morfologi sungai, dan ekosistem sungai. Sebagai pendekatan tentang klasifikasi sungai ditinjau dari dimensi ukurannya dapat digunakan definisi tentang sungai kecil. Sungai kecil yang umumnya melintas di
Universitas Sumatera Utara
25
kawasan sekitar lebarnya antara 0,5 s/d.10 m, selanjutnya dikategorikan sebagai sungai sedang lebar antara 10 hingga 20 m, dan selebihnya merupakan sungai besar. Secara umum penetapan koefisien kekasaran Manning diuraikan pada tabel 2.2. Kriteria perencanaan yang biasa digunakan adalah persamaan umum : Q
= A . V (m3/dtk)
A
= (b + mh)h
(2.46)
P
= b + 2h √m + 1
(2.47)
R
=
V = 1/n x R2/3 x S0.5
(2.45)
(2.48) (2.49)
di mana Q = debit rencana (m3/dt), A = luasan basah (m²), b = lebar dasar saluran (m), h = kedalaman air (m), m = kemiringan talud (1 : m), V = kecepatan aliran air (m/dt), n = koefisien kekasaran Manning, R = jari-jari hidraulis (m), S = kemiringan dasar saluran, P = keliling basah (m).
Universitas Sumatera Utara
26
2.5 Bangunan Pengambilan Pembilas pengambilan dilengkapi dengan pintu dan bagian depannya terbuka untuk menjaga jika terjadi muka air tinggi selama banjir, besarnya bukaa pintu bergantung kepada kecepatan aliran masuk yang diizinkan. Kecepatan ini bergantung kepada ukuran butir bahan yang dapat diangkut. Kapasitas pengambilan harus sekurang-kurangnya 120% dari kebutuhan pengambilan (dimension requirement) guna menambah fleksibilitas dan agar dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi selama umur proyek. Rumus dibawah ini memberikan perkiraan kecepatan yang dimaksud: 1
h 3 v 2 32 d d
(2.50)
di mana v = kecepatan rata-ratam (m/dtk), h = kedalaman air (m), d = diameter butiran. Dengan kecepatan masuk sebesar 1,0 – 2,0 m/dtk yang merupakan besaran perencanaan normal, dapat diharapkan bahwa butir-butir berdiameter 0,01 sampai 0,04 m dapat masuk.
Q ba 2gz
(2.51)
di mana Q = debit (m /dtk), μ = koefisien debit untuk bukaan di bawah permukaan
air dengan kehilangan energi 0,80, b = lebar bukaan (m), tinggi bukaan (m), g = percepatan gravitasi (m/dtk ), z = kehilangan energi pada bukaan (m). Gambar 2.6 menyajikan dua tipe pintu pengambilan.
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 2.6 Tipe Pintu Pengambilan Bila pintu pengambilan dipasangi pintu radial, maka μ = 0,80 jika ujung pintu bawah tenggelam 20 cm di bawah muka air hulu dan kehilangan energi sekitar 10 cm. Elevasi mercu bendung direncana 0,10 di atas elevasi pengambilan yang dibutuhkan untuk mencegah kehilangan air pada bendung akibat gelombang. Elevasi ambang bangunan pengambilan ditentukan dari tinggi dasar sungai. Ambang direncana di atas dasar dengan ketentuan berikut: -
0,50 m jika sungai hanya mengangkut lanau
-
1,00 m bila sungai juga mengangkut pasir dan kerikil
-
1,50 m kalau sungai mengangkut batu-batu bongkah.
Harga-harga itu hanya dipakai untuk pengambilan yang digabung dengan pembilas terbuka; jika direncana pembilas bawah, maka kriteria ini tergantung pada ukuran saluran pembilas bawah. Dalam hal ini umumnya ambang pengambilan direncanakan 0 < p < 20 cm di atas ujung penutup saluran pembilas bawah.
Universitas Sumatera Utara