BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Toxoplasmosis Toxoplasmosis ditemukan pada tahun 1909 oleh Nicelle dan Manceaux yang pada saat itu menyerang hewan pengerat di Tunisia, Afrika Utara (Hiswani, 2003). Walaupun telah lama ditemukan, tetapi baru pada tahun 1970 dapat diketahui siklus hidup parasit Toxoplasma Gondii selengkapnya, yakni dengan ditemukannya siklus seksual pada kucing sebagai hospes tetapnya. Tidak hanya kucing, Toxoplasma gondii ini dapat menginfeksi secara luas, yang juga bisa ditularkan dari burung sampai mamalia, termasuk manusia (Suryawan, et al, 2006) Toxoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh protozoa yang disebut Toxoplasma Gondii (Ghonelm, et al, 2009). Infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii tersebar di seluruh dunia, pada hewan berdarah panas dan mamalia termasuk manusia sebagai hospes perantara, sedangkan kucing dan berbagai jenis Felidae lainnya sebagai hospes definitif (Chahaya, 2003). Berdasarkan cara penularan dan gejala klinisnya, toxoplasmosis dapat dikelompokkan atas toxoplasmosis akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongential. Baik toxoplasmosis akuista maupun kongential sebagian besar asimtomatik atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak sering tidak spesifik dan dibedakan dengan penyakit lain (Chahaya, 2003).
7
8
2.2. Morfologi dan Siklus Hidup Toxoplasma Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel-sel endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, pam-pam, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya. Toxoplasma gondii ditemukan dalam segala macam sel jaringan tubuh kecuali sel darah merah. Tetapi pada umumnya parasit ini ditemukan dalam sel retikulo endotelial dan sistem syaraf pusat dimana berkembang biak dalam sel dengan cara membelah diri. Setelah berkembang biak secara aseksual pada tubuh inang perantara (hewan dan manusia), parasit ini akan membentuk kista jaringan. Dalam bentuk kista inilah parasit akan berdiam diri di dalam jaringan saraf mata, otot jantung, alat pencernaan, dan lain sebagainya. Toxoplasma gondii mudah mati karena suhu panas, kekeringan dan pembekuan. Hal ini disebabkan pembekuan darah induk semangnya dan bila induk semangnya mati, parasit ini akan ikut mati (Hiswani, 2003). Di dalam usus kucing, Toxoplasma gondii berkembang biak secara seksual dan menghasilkan oosista, kemudian oosista dikeluarkan bersama-sama dengan tinja yang dapat hidup di tanah yang lembab dalam waktu yang cukup lama, bisa mencapai 18 bulan. Hewan dan manusia akan terinfeksi apabila menelan tanah, air atau tanaman yang terkontaminasi oosista (CDC, 2010). Di dalam usus, oosista pecah dan melepaskan 8 sporozoit, kemudian berkembang secara intraseluler di dalam usus dan nodus limfatikus. Selanjutnya terbentuk takizoit (bentuk yang membelah cepat) dan menyebar ke seluruh
9
tubuh melalui darah dan limfe. Takizoit dapat menginfeksi sel-sel otak, otot, jantung dan hati serta membentuk sista yang berisi bradizoit (bentuk yang membelah perlahan), jika inang membentuk zat kebal terhadap Toxoplasma gondii (Hartati, 2011). Infeksi transplasental terjadi jika induk terinfeksi primer selama kehamilan. Toxoplasma gondii berkembang di dalam plasenta, kemudian menyebar ke jaringan janin. Pada individu immunocomprimised bradizoit dapat dibebaskan dari kista menjadi bentuk takizoit dan menyebabkan infeksi ulang atau reaktivitasi (Hartati, 2011). 2.3. Siklus Penularan Toxoplasmosis
Gambar 2.1. Cara Penularan Toxoplasma Gondii Sumber: CDC, 2010
Infeksi toxopalsmosis terjadi, dimana ada kucing yang mengeluarkan ookista bersama tinjanya (Setta & Yamani, 2008). Ookista ini adalah bentuk yang infektif dan dapat menular pada manusia atau hewan lain. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista sehari selama 2 minggu. Di dalam tanah yang lembab dan teduh, ookista dapat hidup lama sampai lebih dari satu tahun, sedangkan pada tempat yang terkena
10
sinar matahari langsung dan tanah kering, parasit ini akan cepat mati. Bila di sekitar rumah tidak ada tanah, kucing akan berdefekasi di lantai atau tempat lain, di mana ookista bisa hidup cukup lama bila tempat tersebut lembab. Cacing tanah mencampur ookista dengan tanah, kecoa dan lalat dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan ookista dari tanah atau lantai ke makanan (Chahaya, 2003). Selain itu, penularan bisa terjadi melalui tangan yang terkontaminasi (Hiswani, 2003). Daging yang mengandung kista T.Gondii juga merupakan sumber infeksi yang potensial terhadap manusia. Pada daging babi, domba dan kambing paling sering ditemukan kista parasit tersebut dibandingkan dengan daging ternak lainnya. (Dwinata, et al, 2009). Penularan toxoplasmosis dapat terjadi dari ibu ke janin (Toxoplasmosis kongential). Transmisi Toxoplasma gondii kepada janin terjadi dalam uterus melalui plasenta apabila pada saat kehamilan, ibu mengalami infeksi primer Toxoplasma gondii. Risiko penularan pada trimester pertama sebesar 15%, trimester kedua 25% dan trimester ketiga 65%. Namun, derajat infeksi terhadap janin paling besar terjadi pada trimester pertama, dimana sekitar 75% kasus infeksi Toxoplasma gondii tidak memperlihatkan gejala saat persalinan. Akan tetapi, 25-50% bayi yang dilahirkan akan mengalami hidrosefalus, korioretinitis, mikroptalmia, hepatosplenomegali, klasifikasi serebral, adepati, konvulsi dan perkembangan mental terganggu (Yaudza, 2010). Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang terinfeksi Toxoplasma gondii dan waktu mengerjakan autopsi
11
(Rosmaliah, 2001). Penularan toxoplasmosis juga dapat terjadi melalui transfusi darah dan transplantasi organ (CDC, 2010)
2.4. Gejala Klinis Gejala klinis toxoplasmosis akuista biasanya jarang menimbulkan gejala. Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toxoplasmosis akuista adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dengan sakit kepala. Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjar getah bening daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut dapat disertai demam, mialgia, malaise. Bentuk kelainan pada kulit akibat toxoplasmosis berupa ruam makulopapuler, sedangkan pada jaringan paru dapat terjadi pneumonia (Chahaya, 2003). Apabila Toxoplasma gondii menyerang
mata (toxoplasmosis ocular) akan
menimbulkan gejala meliputi retinokoroiditis yang ditandai dengan floaters, lesi mata dan pengelihatan kabur. Pada kasus berat dapat pula disertai nyeri fotofobia. Pada retina dapat terjadi vaskulitis dan pendarahan (Vaughan, et al, 2008). Bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer, ada kemungkinan 50% akan melahirkan anak dengan toxoplasmosis kongential. Gambaran klinis toxoplasmosis kongential dapat bermacam-macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat sehingga terjadi abortus
12
atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, klasifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata (Chahaya, 2003). Toxoplasmosis kongential dapat menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada sistem syaraf penderita (Hiswani, 2003).
2.5. Diagnosis Dasar pemeriksaan serologis ialah antigen toxoplasmosis bereaksi dengan antibodi spesifik yang terdapat dalam serum darah penderita. Beberapa jenis pemeriksaan serologis yang umum dipakai ialah : Dye test Sabin Feldman, Complement Fixation test (CFT), reaksi Fluoresensi antibodi, Indirect Hemagglutination Test dan enzym linked immunosorben assay (ELISA) (Hiswani, 2003). Diagnosis terhadap toxoplasmosis secara mudah dapat ditegakkan dengan menemukan antibodi terhadap serum darah penderita. Anti toxoplasma gondii kelas IgM timbul segera setelah infeksi, dan baru mencapai puncaknya pada minggu keempat kemudian
menurun secara lambat dan tidak terdeteksi lagi setelah empat bulan.
Sedangkan anti toxoplasma kelas IgG dapat dideteksi setelah 3 atau 4 bulan infeksi dan kadarnya menetap sampai bertahun-tahun. Bila IgG positif dan dan IgM negatif, wanita tersebut terinfeksi sebelum kehamilan, ada risiko penularan kepada janinnya dan perlu
13
pengobatan. Bila IgG positif dan IgM positif, maka dilakukan uji ulang tiga minggu kemudian, bila titer tidak naik, berarti infeksi terjadi sebelum kehamilan, ada risiko untuk janin dan perlu dilakukan pengobatan. Bila IgG dan IgM negatif, wanita tersebut masih memungkinkan mendapat infeksi dan sebaiknya diulang setiap 4-6 minggu sekali, untuk mendeteksi serokonversi. Pemeriksaan antibodi kelas IgG dan IgM, bermanfaat untuk mengetahui apakah
seseorang dalam efeksi akut, rentan atau kebal tehadap
toxoplasmosis. Selain seperti cara diatas, bisa juga dilakukan pemeriksaan histopatologis jaringan otak, sum-sum tulang belakang, kelenjar limpe, cairan otak merupakan diagnosis pasti tetapi cara ini sulit dilakukan (Hiswani, 2003). Toxoplasmosis pada mata didiagnosis berdasarkan penampilan lesi pada mata dan uji serologis (CDC, 2010).
2.6. Pengobatan Pada umumya penderita Toxoplasmosis dengan status imun yang baik tidak perlu pengobatan. Pengobatan dilakukan dengan memberikan kombinasi pyrimethamine dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi obat tersebut secara sinergis akan menghambat siklus p-amino
asam benzoat dan siklus asam folat. Dosis yang dianjurkan untuk
pyrimethamine ialah 25 – 50 mg per hari selama sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 – 6.000 mg sehari selama sebulan (Hiswani, 2003). Kombinasi kedua obat tersebut dapat menembus otak dan menghambat sintesa asam folat yang diperlukan untuk replikasi parasit. Kelemahan dari kedua obat ini adalah efek teratogenik sehingga tidak diberikan pada wanita hamil. Dan efek samping yang
14
lain ialah leukopenia dan trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan (Rosmaliah, 2001). Untuk ibu hamil yang terinfeksi, dapat diberikan Spiramycin. Dosis spiramycin yang dianjurkan ialah 2 – 4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali pemberian. Beberapa peneliti mengajurkan pengobatan wanita hamil trimester pertama dengan spiramycin 2 – 3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu kemudian disusul 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang-seling
sampai sembuh. Pengobatan juga
ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis (Hiswani, 2003). Bayi baru lahir yang terinfeksi toxoplasmosis kongential umumnya diobati dengan pirimetamin, sulfonamida dan leucovorin (CDC, 2010).
2.7. Pencegahan Apabila memelihara kucing, harus dijaga agar tidak berburu dan berkeliaran di luar rumah. Sebaiknya diberi makanan kering, makanan kaleng atau makanan matang saja. Hendaknya memakai sarung tangan pada saat membersihkan tempat kotoran kucing, setelah itu cuci tangan dengan sabun dan air hangat, begitu pula sehabis berkebun/kontak dengan tanah (CDC, 2010). Karena ookista biasanya memerlukan waktu 48 jam untuk menjadi infektif, maka pembersihan kotoran kucing setiap hari (dan pembuangannya dengan aman) dapat mencegah penularan.
Bila kucing diberikan
monensin 200 mg/kg melalui makanannya, maka kucing tersebut tidak akan mengeluarkan ookista bersama tinjanya, tetapi ini hanya dapat digunakan untuk kucing
15
peliharaan. Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70oC yang disiramkan pada tinja kucing (Chahaya, 2003). Untuk mencegah risiko toxoplasmosis dan infeksi lain dari makanan, sebaiknya setelah membeli daging, bekukan terlebih dahulu daging selama beberapa hari pada suhu 0°F untuk mengurangi kemungkinan infeksi. Dianjurkan untuk memasak makanan dengan suhu yang aman, yang bisa diukur dengan menggunakan thermometer makanan. USDA (United States Departement of Agriculture) merekomendasikan suhu yang aman untuk persiapan daging yaitu 63°C pada potongan daging utuh (tidak termasuk unggas), 71°C - 74°C untuk daging giling dan daging utuh (termasuk unggas). Setelah dimasak, sebaiknya daging diistirahatkan terlebih dahulu selama 3 menit, karena pada saat itu suhu konstan atau terus meningkat akan menghancurkan patogen. (CDC, 2010). Ibu yang memasak, sebaiknya jangan mencicipi hidangan daging yang belum matang. Setelah memegang daging mentah (tukang jagal, penjual daging, tukang masak) sebaiknya cuci tangan dengan sabun sampai bersih (Chahaya, 2003). Sayur mayur yang dimakan sebagai lalapan harus dicuci bersih, karena ada kemungkinan ookista melekat pada sayuran, makanan yang matang harus di tutup rapat supaya tidak dihinggapi lalat atau kecoa yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan tersebut (Sukaryawati, 2011). Setelah kontak dengan daging mentah, unggas, makanan laut, buah dan sayur mentah, bersihkan talenan, piring, meja, peralatan dan tangan dengan menggunakan air hangat dan sabun (CDC, 2010).
16
Wanita hamil trimester pertama sebaiknya diperiksa secara berkala terhadap kemungkinan infeksi toxoplasma gondii (Hiswani, 2003). Pencegahan dengan tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambatnya sampai kehamilan 21-24 minggu, dapat mengurangi kejadian Toxoplasmosis kongenital kurang dari 50%, karena lebih dari 50% Toxoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer pada trimester terakhir kehamilan (Chahaya, 2003). Pendidikan kesehatan tentang toxoplasmosis dan skrining antibodi anti Toxoplasma gondii sangat dianjurkan terutama bagi ibu yang hamil atau yang akan hamil (Rosmaliah, 2001).
2.8. Faktor risiko toxoplasmosis Faktor risiko adalah kumpulan karakteristik, tanda-tanda, gejala pada seseorang dari suatu penyakit yang secara statistik memperlihatkan peningkatan insiden. Faktor risiko toxoplasmosis dapat dilihat dari faktor host, agent dan environment. Toxoplasma gondii merupakan faktor agent dari penyakit ini. Faktor host atau faktor penjamunya adalah konsumsi daging mentah dan kurang matang sempurna, konsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi ookista Toxoplasma gondii, penularan melalui ibu ke janin (toxoplasmosis kongential), memelihara hewan, higine individu, transplantasi organ, transfusi darah serta kecelakaan kerja (tertular saat di laboratorium). Sedangkan faktor environment atau lingkungan adalah keberadaan hewan baik peliharaan maupun liar serta sanitasi makanan dan minuman (Chahaya, 2003). Daging yang mengandung kista Toxoplasma gondii merupakan sumber infeksi yang potensial terhadap manusia terutama bila dikonsumsi mentah atau tidak matang
17
sempurna. Di Korea pernah dilaporkan adanya outbreak toxoplasmosis pada 8 orang dewasa, dimana penyebabnya berkaitan erat dengan konsumsi daging babi mentah. Tiga orang diantaranya dilaporkan dalam waktu 3 bulan terakhir pernah mengkonsumsi makanan yang mengandung limpa dan hati babi mentah, sedangkan 5 orang lainnya pernah mengkonsumsi makanan yang mengandung hati babi mentah (Choi, et al, 1996). Hal serupa juga dinyatakan oleh Lopez, et al dimana dari 750 kematian akibat toxoplasmosis, 375 (50%) diantaranya disebabkan oleh konsumsi daging yang terkontaminasi dalam bentuk mentah atau tidak matang sempurna (Lopez, et al, 2000). Penelitian Kapperud, et al tahun 1994 menyatakan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi produk daging cincang mentah dan kurang matang berisiko 4,1 kali lebih tinggi daripada yang tidak mengkonsumsi daging mentah dan kurang matang (OR = 4,1 p = 0,002). Konsumsi daging kambing mentah atau setengah matang (OR = 11,4 p = 0,005) ; serta konsumsi daging babi mentah atau setengah matang (OR = 3,4 p = 0,03). Hasil penelitian Bobie, et al tahun 1998 menyatakan bahwa konsumsi daging mentah dan kurang matang merupakan faktor risiko toxoplasmosis pada wanita usia subur di Belgrade, Yugoslavia (RR = 2,22 CI = 95% (1,2-2,86)) dengan nilai p = 0,001. Penelitian oleh Dwiniata, et al, tahun 2009 juga menyatakan bahwa konsumsi daging mentah dan tidak matang sempurna merupakan salah satu faktor risiko toxoplasmosis pada ibu hamil di Kabupaten Badung (RR = 8,168 CI = 95% (1,710-38,958)) dan p (0,019) < 0,05). Hasil penelitian Sukaryawati tahun 2011 menyatakan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian toxoplasmosis pada ibu hamil di Kecamatan
18
Mengwi adalah konsumsi daging yang tidak matang sempurna (OR = 4,889 CI = 95% (1,915 -12,479)) dan p (0,001) < 0,05). Daging mentah dan tidak matang sempurna oleh masyarakat di Bali biasanya dikonsumsi dalam bentuk pepes, sate, bakso, steak, dan lawar. Bahan makanan tersebut umumnya terbuat dari daging babi, sapi, kambing dan ayam. Dimana berbagai penelitian menyatakan adanya parasit Toxoplasma gondii pada hewan-hewan tersebut. Penelitian yang dilakukan Damriyasa tahun 1999 terhadap 420 induk babi di Provinsi Bali, melaporkan 35% dari induk babi yang diteliti positif terinfeksi Toxoplasma gondii. Penelitian serupa dengan prevalensi lebih rendah dilaporkan oleh Mastra yang meneliti 180 sampel serum babi yang diambil dari seluruh Kabupaten/Kota di Bali, dilaporkan prevalensi toxoplasmosis pada babi di Bali rata-rata 21,6% dengan variasi berkisar antara 5% -50%, dimana prevalensi toxoplasmosis pada babi di Kabupaten Badung dilaporkan sebesar 20% (Mastra, 2008). Selain daging babi, kambing dan sapi juga dilaporkan mengandung parasit Toxoplasma gondii. Toxoplasmosis pada kambing di Provinsi Shaanxi, Cina dilaporkan sebesar 14,1% (Zhao, et al, 2011). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malaysia tahun 2008, menunjukkan prevalensi pada masing-masing hewan yang diuji yakni 35,5% pada kambing, 14,5% pada kucing, 9,6% pada anjing dan 7,9% pada sapi lokal dan 4% pada sapi kuning (Chandrawathani, et al, 2008). Jittapalong, et al di Thailand menguji keberadaan Toxoplasma gondii pada sapi perah, dinyatakan prevalensinya sebesar 22,3% (Jittapalapong, et al, 2008). Di Indonesia prevalensi toxoplasmosis pada kambing berkisar antara 11-61% dan pada sapi kurang dari 10% (Gandahusada, 1995).
19
Di Provinsi Lampung dilaporkan prevalensi toxoplasmosis pada kambing sebesar 47,5% dan 9% pada sapi (Matsuo, 1996). Sedangkan di Ibukota Jakarta dilaporkan prevalensi toxoplasmosis pada kambing sebesar 48% (Iskandar, 1996). Berdasarkan uraian di atas, prevalensi toxoplasmosis pada hewan yang umum dikonsumsi masyarakat cukup tinggi terutama pada kambing dan babi. Tingginya prevalensi toxoplasmosis pada babi sangat berisiko dalam penularan toxoplasmosis terhadap manusia, khususnya bagi masyarakat Bali, mengingat tingginya konsumsi daging babi di Provinsi Bali termasuk di Kabupaten Mengwi. Konsumsi ternak babi di Bali biasanya dalam bentuk lawar dan sate. Lawar merupakan salah satu jenis makanan tradisional Bali yang bahannya terdiri atas daging, sayur, bumbu dan darah segar yang berfungsi sebagai pewarna merah (Suter, 1997). Penggunaan daging, kulit dan darah hewan mentah dalam lawar sangat berisiko dalam penularan parasit Toxoplasma gondii. Berdasarkan hasil penelitian Dwinata et al tahun 2009, dilaporkan bahwa lawar merupakan salah satu faktor risiko terjadinya toxopasmosis pada ibu hamil di Kabupaten Badung. Dimana orang yang sering mengkonsumsi lawar 1,224 kali lebih berisiko daripada yang jarang mengkonsumsi lawar, dengan nilai p (0,006) < (0,05) (RR = 1,224 CI = 95% (1,154-1,298)). Hewan peliharaan merupakan sumber penularan parasit Toxoplasma gondii terutama kucing sebagai hospes definitif. Hasil penelitian Dwinata, et al tahun 2009 menyatakan bahwa kepemilikan kucing merupakan faktor risiko toxoplasmosis pada ibu hamil di Kabupaten Badung (RR = 2,154 CI = 95% (1,567-2,961)) dan p (0,000) < 0,05). Membersihkan kotoran kucing juga dinyatakan sebagai faktor risiko
20
toxoplasmosis pada ibu hamil di Kabupaten Badung (RR = 4,473 CI = 95% (2,1299,395)) dan p (0,001) < 0,05). Hal yang sama dinyatakan pada tahun 1994 oleh Kapperud et al dimana membersihkan kotoran kucing merupakan faktor risiko toxoplasmosis pada ibu hamil di Norwegia (OR = 5,5 p = 0,02). Menurut Dwinata et al, hal tersebut disebabkan adanya kontak dengan kotoran kucing yang mengandung ookista Toxoplasma gondii, sehingga terjadi kontaminasi (Dwinata, et al 2009). Tahun 2011, Sukaryawati juga menyatakan bahwa keberadaan kucing dalam lingkungan merupakan faktor risiko toxoplasmosis pada ibu hamil di Kecamatan Mengwi (OR = 3,249 CI = 95% (1,188-8,884)) dan p (0,022) < 0,050). Ayam merupakan host intermediat yang efisien untuk penularan Toxoplasma Gondii. Prevalensi Toxoplasma gondii pada ayam buras adalah indikator yang baik dalam mengukur prevalensi Toxoplasma gondii di lingkungan (Dubey, et al, 2003). Hal ini disebabkan kebiasaan ayam buras yang suka mencari makan di tanah (Dubey & Jones, 2008). Penularan toxoplasmosis oleh ayam dapat terjadi melalui konsumsi ayam yang terinfeksi (Dubey, 2010). Menurut hasil penelitian Sroka, et al di Brazil, konsumsi daging ayam lebih dari 2 kali seminggu merupakan faktor risiko toxoplasmosis (OR = 1,49 CI = 95% (1,12-2,00) p = 0,007) (Sroka, et al, 2010). Pada tahun 2003, dilaporkan prevalensi toxoplasmosis pada ayam buras di Brazil sebesar 40% (Dubey, et al, 2003). Di Mesir, diketahui prevalensi toxoplasmosis pada ayam buras sebesar 30%. (Deyab & Hassanein, 2005). Pada tahun yang sama di Austria dilaporkan prevalensi toxoplasmosis pada ayam buras sebesar 36,3% (Dubey, 2005). Di Lampung juga dilakukan penelitian tehadap ayam dan diketahui 3,8% (dari 130 ekor)
21
ayam positif toxoplasmosis. Prevalensi pada ayam buras (6%) lebih tinggi dibandingan dengan ayam ras (2,5%). Diperkirakan hal ini disebabkan adanya perbedaan lingkungan, karena ayam buras lebih banyak kontak dengan sumber penularan toxoplasma gondii yaitu air, tanah sampah dan bangkai (Matsuo, 1996). Berdasarkan berbagai penelitian di Dunia yang dikutip Dubey (2008), infeksi Toxoplasma gondii pada ayam buras mencapai 100%, dimana prevalensi tertinggi terjadi di kota Illinois di Amerika Serikat yakni sebesar 100% (Dubey, 2007). Sedangkan prevalensi toxoplasmosis pada ayam buras di Indonesia sebesar 26,6% (Dubey, 2010). Penelitian tahun 2010 juga menyatakan tingginya prevalensi toxoplasmosis pada ayam buras di Bali yakni dengan rata-rata sebesar 41,8% dengan variasi berkisar antara 32,451,2%. Dilaporkan prevalensi toxoplasmosis pada ayam di Kabupaeten Badung sebesar 36,1% (Mastra, 2010). Penularan toxoplasmosis melalui telur ayam juga dapat terjadi. Hal ini dinyatakan oleh Musafirin & Suwanti dalam penelitiannya terhadap telur yang dijual sebagai campuran jamu di Kota Surabaya, dilaporkan dari 30 butir telur yang diuji, terdapat 5 (16,7%) butir telur yang terinfeksi Toxoplasma gondii (Musafirin & Suwanti, 2008).