BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Komunikasi Non Verbal Jika definisi harfiah komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa
bahasa atau komunikasi tanpa kata, maka tanda non verbal berarti minus bahasa atau tanda minus kata. Jadi secara sederhana tanda non verbal dapat diartikan semua tanda yang bukan kata – kata.3 Menurut Larry A. Samavoar dan Richard E. Porter dalam ilmu komunikasi (Mulyana, 2007), komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim dan penerima.4 Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk non verbal tanpa kata – kata. Komunikasi non verbal dapat berbentuk bahasa tubuh, tanda (sign), tindakan / perbuatan (action), atau objek (object).5 Inti dari komunikasi non verbal adalah fungsi semiotik tubuh manusia dalam waktu dan ruang tetapi masih terdapat sedikit lelaburan dalam pembatasannya pada komunikasi visual dan suara. Kondisi – kondisi dimana 3
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. PT.Rosdakarya. Bandung. Hal.122 Riswandi. Ilmu Komunikasi. Graha Ilmu. Jakarta. 2009. Hal. 69 5 Agus. M. Hardjana. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta. 2003.hal.26 4
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
perilaku non verbal menjadi tanda atau komunikasi yang sangat penting bagi dasar – dasar semiotika.6 Ada cara lain memahami komunikasi non verbal, yakni dengan melihat komunikasi ini berdasarkan kategori – kategorinya. Jenis – jenis ini pun sekaligus menunjukkan bidang luas komunikasi non verbal dalam tindakan komunikasi manusia. Jandt7 mencatat ada Sembilan jenis komunikasi non verbal, yaitu sebagai berikut : 1)
Proxemics (Kedekatan) Istilah ini berasal dari Edward Hall yang mengambilnya dari kata
proximity (kedekatan) untuk menunjukkan adanya ruang atau teritorial baku dan ruang personal yang kita gunakan dalam berkomunikasi. Dengan proxemics ini kita akan membangun jarak antara kita dan lawan komunikasi kita. Makin dekat jaraknya makin menunjukkan keakraban dan makin jauh makin formal suasana komunikasinya. Bandingkanlah jarak yang terbangun saat berkomunikasi dengan ayah-ibu dan saat berkomunikasi dengan guru atau atasan. Dalam ruang personal, dapat dibedakan menjadi 4 ruang interpersonal yaitu : a)
Jarak Intim : Jarak dari mulai bersentuhan sampai jarak satu setengah kaki. Biasanya jarak untuk bercinta, melindungi, dan menyenangkan.
6 7
Ibid. hal. 28 Yosal Iriantara. Komunikasi Antarpribadi.Universitas Terbuka.Tangerang. 2014.Hal.29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
b)
Jarak Personal : Jarak yang menunjukkan perasaan masing – masing pihak yang berkomunikasi dan juga menunjukkan keakraban dalam suatu hubungan, jarak ini berkisar antara satu setengah kaki sampai empat kaki.
c)
Jarak Sosial : Dalam jarak ini pembicara menyadari betul kehadiran orang lain, karena itu dalam jarak ini pembicara berusaha tidak mengganggu dan menekan orang lain, keberadaannya terlihat dari pengaturan jarak antara empat kaki hingga dua belas kaki.
d)
Jarak Publik : Jarak publik yakni berkisar antara dua belas kaki sampai tak terhingga.
2)
Kinesics ( Kinesik ) Istilah ini digunakan untuk menunjukkan gerak – gerik atau sikap tubuh
(gestures), gerak tubuh (body movement), ekspresi wajah dan kontak mata. Kinesics yang cukup populer pada masyarakat kita adalah acungan jempol yang menyatakan pujian atau menggelengkan kepala untuk menunjukkan tidak tahu. 3)
Chronemics (Kronemik) Istilah ini berkaitan dengan waktu. Ada yang memandang waktu itu
berjalan linier atau mengikuti garis lurus yang bergerak dari titik awal menuju titik akhir. Ada juga yang memandang waktu itu skilikal, artinya berputar kembali pada titik awal. Kronemik ini akan tercermin dalam cara kita menepati waktu bila berjanji. Orang yang terbiasa dengan „janji karet” tentulah orang yang secara
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
kronemik siklikal, sedangkan orang yang terbiasa tepat waktu adalah orang yang memandang waktu berjalan linier. 4)
Paralanguage (Parabahasa) Istilah ini menunjuk pada unsur – unsur nonverbal suara dalam percakapan
verbal. Parabahasa ini meliputi karakter vokal, sperti bicara yang disertai senyum atau sedu sedan, sifat vokal, seperti keras – pelan atau tinggi – rendah dan segregasi vokal seperti mengungkapkan “emmmhhh”. Kita bisa tahu seseorang sedih karena berbicara dengan sedu-sedan, kita tahu orang sedang gembira karena berbicara sambil tersenyum. Orang yang marah tentu bicara dengan keras dan bernada tinggi. Saat berbicara juga tergolong unsur paralanguage, dan dalam komunikasi yang baik hal – hal seperti ini harus dihindari. 5)
Kebisuan Istilah ini dipandang agak membingungkan karena membisu dipandang
tidak
berkomunikasi.
Namun
sebenarnya,
dalam
kebisuan
orang
mengkomunikasikan sesuatu. Kebisuan bisa mengkomunikasikan persetujuan, apatis, terpesona, bingung, termenung, tidak setuju, malu, menyesal, sedih, dan tertekan. Oleh karena itu, kebisuan merupakan salah satu jenis komunikasi nonverbal.orang yang terpesona pada penampilan satu grup musik tidak mengungkapkan dengan ungkapan verbal namun diam membisu menikmati pertunjukan tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
6)
Haptics (Sentuhan) Istilah ini berkaitan dengan penggunaan sentuhan dalam berkomunikasi.
Tujuan atau perasaan dari sang penyentuh. Sentuhan juga dapat menyebabkan suatu perasaan pada sang penerima sentuhan, baik positif ataupun negatif. Sentuhan tangan di pundak atau elusan tangan pada lawan komunikasi menyampaikan pesan tertentu pada lawan komunikasi. Seorang ibu misalnya, mengusap – usap kepala anaknya saat memberi nasehat pada anaknya. 7)
Tampilan Fisik dan Busana Istilah ini menunjukkan pesan nonverbal dapat juga berupa tampilan fisik
dan busana yang dikenakan. Orang yang melayat kerabat atau kenalannya yang meninggal dunia mengenakan busana berwarna hitam untuk menyatakan kedukaan. Orang yang ingin menunjukkan dirinya berstatus sosial – ekonomi tentu mengenakan cincin dan gelang emas berukutran besar. 8)
Olfactics Istilah ini berkaitan dengan penggunaan indera penciuman dalam
berkomunikasi nonverbal. Bukan hanya bau wangi parfum, tetapi juga bau badan berpengaruh terhadap komunikasi. Bau badan tertentu juga mengkomunikasikan sesuatu. Pada masyarakat kita, misalnya bau kemenyan selalu identik dengan halhal yang menyeramkan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
9)
Oculesics Istilah ini menunjuk pada pesan yang disampaikan melalui mata. Mata
yang membelalak atau melotot menyatakan sesuatu pada lawan bicara. Orang bisa menunjukkan kekaguman atau marah dengan membelalakkan matanya. Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting. Periset nonverbal mengidentifikasi enam fungsi utama :8 a) Menekankan
:
kita
menggunakan
komunikasi
nonverbal
untuk
menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan nonverbal. Misalnya saja, anda mungkin tersenyum untuk menekankan kata atu ungkapan tertentu, atau anda dapat memukulkan tangan anda kemeja untuk menekankan suatu hal tertentu. b) Melengkapi (complement) : Komunikasi untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan nonverbal. Jadi, anda mungkin tersenyum ketika menceritakan ketidak jujuran seseorang. c) Kontradiksi : menolak pesan verbal atau memberikan makna lain terhadap pesan verbal. d) Mengatur : Gerak - gerik nonverbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan anda untuk mengatur arus pesan verbal.
8
Joseph A Devito. Komunikasi Antar Manusia. Profesional books . Jakarta. 1994. Hal.178
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
e) Mengulangi : Mengulangi atau merumuskan ulang makna dari pesan verbal. f) Menggantikan : komunikasi nonverbal juga dapat menggantikan pesan verbal. Dengan fungsi – fungsinya seperti di atas maka jelas komunikasi nonverbal merupakan salah satu bagian penting komunikasi manusia. Hubungan antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal berdasarkan fungsi – fungsi di atas, bisa menggantikan komunikasi verbal. Namun, yang terasa lebih banyak adalah saling menguatkan dan saling melengkapi antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Pesan – pesan yang disampaikan secara verbal diperkuat dan dilengkapi dengan pesan-pesan nonverbal. Tinjauan psikologis terhadap peranan pesan nonverbal dalam perilaku komunikasi. Dale G. Leathers9 penulis Nonverbal Communication System, menyebutkan 6 alasan mengapa pesan nonverbal sangat penting. 1) Faktor – faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. 2) Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal ketimbang pesan verbal. 3) Pesan nonverbal menyampaikan dan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi dan keracunan.
9
Jalaluddin Rahmat. Psikologi Komunikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. 1998. Hal. 289
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
4) Metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. 5) Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibanding dengan pesan verbal. 6) Sarana sugesti yang paling tepat. 2.2
Adzan Sebagai Bentuk Informasi & Pesan 2.2.1 Pengertian Adzan di Televisi Menurut bahasa, kata adzan berarti pemberitahuan. Sedangkan menurut
istilah syara’, adzan ialah pemberitahuan tentang masuknya waktu dan seruan untuk berkumpul menunaikan shalat berjamaah di masjid.10 Adzan memberitahukan
artinya akan
pemberitahuan, masuknya
yaitu
waktu
kata-kata
shalat
fardhu.
seruan Orang
untuk yang
mengumandangkan adzan disebut muadzin. 11 Stasiun televisi setiap harinya menyajikan berbagai jenis program yang jumlahnya sangat banyak dan jumlahnya sangat beragam. Pada dasarnya apa saja bisa dijadikan program untuk tayangan televisi selama program itu menarik dan disukai audien, selama tidak bertentangan dengan kesusilaan, hukum dan peraturan yang berlaku. Pengelola stasiun penyiaran dituntut untuk memiliki kreativitas seluas mungkin untuk menghasilkan berbagai program menarik.
10
Ust.Abdul Muiz, Panduan Shalat Terlengkap. Pustaka Makmur.2014. Hal. 35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
“Allahu Akbar Allahu Akbar (2x) Asyhadu anla ilaha aillallah (2x) Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2x) Hayya ‘alash shalah (2x) Hayya ‘alal falah (2x) Allahu Akbar, Allahu Akbar La ilaha illallah Setiap hari kita mendengar suara adzan yang mengalun di masjid maupun tayangan di televisi. Lagunya khas dan merdu. Liriknya menggugah rasa. Kalimat itu sudah “ditiupkan” ke telinga kanan kita sejak baru lahir. Dalam tradisi umat, kalimat itu bahkan “diperdengarkan” pada tubuh yang sudah kaku berbalut kain putih di liang kubur. Simbol (syi’ar) kebesaran Islam itu kita harapkan terus berkumandang di udara. Selalu lekat di hati. Terus menyertai langkah umat menempuh hari depan yang semakin penuh rintangan dan tantangan.
Betapa adzan berperan besar
sebagai pengungkit yang dapat menciptakan perubahan besar. Shalat berjamaah terdongkrak dan melalui terciptanya keseimbangan keadaan banyak berubah kearah yang lebih baik. Itu tidak lepas dari masuknya hayya a’lal falah sebagai panggilan, sehingga setiap usaha memenuhi panggilan itu mengikuti prinsip 11
Ust.Syaifurrahman El-Fati. Panduan Shalat Praktis & Lengkap. Kawah Media. Jakarta.2014.Hal.25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
ekonomi yaitu hasil besar bukanlah berasal dari upaya bersekala besar, melainkan dari tindakan – tindakan kecil tetapi terfokus dengan baik. Adzan memiliki keutamaan yang besar, yang apabila orang-orang mengetahui keutamaan itu, pasti banyak orang yang akan berebutan. Bahkan jika perlu mereka melakukan undian untuk sekedar mendapatkan kemuliaan itu. Rasulullah SAW bersabda : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda “Seandainya orang-orang tahu keutamaan adzan dan berdiri di barisan pertama shalat, di mana mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali harus mengundi, pastilah mereka mengundi di antara mereka.” (HR. Bukhari)12
2.3
Kaum Disabilitas Kecacatan adalah suatu kondisi dimana adanya kelainan fisik dan atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi seseorang untuk melakukan aktivitas secara selayaknya. Disabilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk terlibat dalam aktivitas penting yang berguna oleh karena keterbatasan fisik atau mental yang dapat ditentukan secara medis dan dapat berakibat kematian atau telah berlangsung atau akan diperkirakan akan berlangsung secara terus menerus dalam kurun waktu tidak kurang dari 12 bulan.13
12
Abdul Muiz Bin Nur. Kitab Tuntunan Shalat Paling Lengkap. Al-Makmur.Jakarta.2015.Hal.180
13
staff.uny.ac.id/sites/default/.../pengantar%20ABK.doc.diunduh tgl, 19-10-2015,pukul 22.00.WIB
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
Teori kecacatan menurut Perserikatan Bangsa – Bangsa, yaitu ; Disability adalah keterbatasan atau kekurang mampuan untuk melaksanakan kegiatan secara wajar bagi kemanusiaan yang diakibatkan oleh kondisi impairment. Menurut NAWS : Disability may be defined as a reduction in personal coping and adaptive function that causes significant limitation in over all daily living. (Kecacatan dapat didefinisikan sebagai keadaan berkurangnya fungsi pribadi dalam memenuhi kebutuhan dan daya penyesuaiannya sehingga menyebabkan keterbatasan dalam keseluruhan penampilan hidup sehari – hari ). Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberi definisi disabilitas ke dalam 3 kategori, yaitu :
Impairment : disebutkan sebagai kondisi ketidak normalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis, atau anatomis.
Disability : Ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan ccara yang dianggap normal bagi manusia.
Handicap : merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya imparment, disability, yang mencegahnya dari pemenuhan peranan normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
Secara singkat World Health Organization (WHO) memberikan definisi disabilitas sebagai keadaan terbatasnya kemampuan untuk melakukan aktivitas dalam batas – batas yang dianggap normal.14 Ada beberapa ciri – ciri penyandang disabilitas, antara lain sebagai berikut: 1) Penyandang Cacat Fisik, yaitu individu yang mengalami kelainan kerusakan
fungsi
organ
tubuh
dan
kehilangan
organ
sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi tubuh. Misalnya gangguan pengelihatan, pendengaran, dan gerak. 2) Penyandang Cacat Mental, yaitu individu yang mengalami kelainan mental dan atau tingkah laku akibat bawaan atau penyakit. Individu tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang umum dilakukan orang lain (normal), sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari – hari. 3) Penyandang Cacat Fisik dan Mental, yaitu individu yang mengalami kelainan fisik dan mental sekaligus atau cacat ganda seperti gangguan pada fungsi tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan berbicara serta mempunyai kelainan mental atau tingkah laku, sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan kegiatan sehati – hari selayaknya.
14
http://al-islam.faa.im/about.xhtml , Disabilitas dan Pandangan Masyarakat, diunduh tgl 24-102014, pukul 11.30.WIB
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
UU No. 4 / 1997 Psl. 1 menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari :15 1.
Penyandang Cacat Fisik a.
Tuna Netra
Berarti kurang pengelihatan. Keluarbiasaan ini menuntut adanya pelayanan khusus sehingga potensi yang dimiliki oleh para tuna netra dapat berkembang secara optimal. b.
Tuna Rungu / Wicara
Tuna Rungu, ialah individu yang mengalami kerusakan alat atau organ pendengaran yang menyebabkan kehilangan kemampuan menerima atau menangkap bunyi serta suara. Sedangkan Tuna Wicara ialah individu yang mengalami kerusakan atau kehilangan kemampuan berbahasa, menangkap kata – kata, ketepatan dan kecepatan berbicara, serta produksi suara. c.
Tuna Daksa
Secara harfiah berarti cacat fisik. Kelompok tuna daksa antara lain adalah individu yang menderita penyakit epilepsy (ayan), kelainan tulang belakang, gangguan pada tulang dan otot, serta yang mengalami amputasi.
15
http://www.dpr.go.id/dok/dokjdih/document/uu/UU_1997_4.pdf, diunduh tgl, 24-10-2014, pukul 10.00.WIB
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
2.
Penyandang Cacat Mental a.
Tuna Laras
Dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan emosi. Gangguan yang muncul pada individu yang berupa gangguan perilaku seperti suka menyakiti diri sendiri, suka menyerang teman, dan lainnya. b.
Tuna Grahita
Sering dikenal dengan cacat mental yaitu kemampuan mental yang berada di bawah normal. Tolak ukurnya adalah tingkat kecerdasan IQ. Tuna grahita dapat dikelompokkan sebagai berikut : Penyandang Cacat Mental Eks Psikotik : Eks psikotik penderita gangguan jiwa, sering mengganggu Kadang masih mengalami kelainan tingkah laku Penyandang Cacat Mental Retardasi : Tuna Grahita Ringan (Debil) Tampang dan fisiknya normal, mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70. Mereka juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis, dan berhitung, anak tuna grahita ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
Tuna Grahita Sedang (Embisil) Tampang atau kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak tuna grahita yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas II SD Umum.
Tuna Grahita Berat (Idiot) Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak tuna grahita berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata – rata 30 kebawah. Dalam kegiatan sehari – hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.
3.
Penyandang Cacat Fisik dan Mental Tuna Ganda Kelompok penyandang jenis ini adalah mereka yang menyandang lebih dari satu jenis keluarbiasaan, misalnya penyandang tuna netra dengan tuna rungu sekaligus, penyandang tuna daksa disertai tuna grahita atau bahkan sekaligus. Selain itu, orang-orang yang mengalami keterbatasan fisik dapat disebakan
oleh tiga hal :16
16
Joan Esherick. Mendobrak Hambatan Pemuda dengan Keterbatasan Fisik. PT Intan Sejati : Klaten.2009.Hal.16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
1.
Mereka dilahirkan dengan keterbatasan fisisk. Keterbatasan ini mungkin timbul dari masalah perkembangan janin di dalam rahim atau sebuah kejadian yang terjadi pada saat janin tumbuh atau saat mereka dilahirkan. Masalah ini bisa terlihat pada saat lahir, seperti ketidaknormalan anggota tubuh atau spina bifida (sumbing tulang belakang), atau membutuhkan waktu untuk dapat didiagnosis seperti serebral palsi, karena masalah ini berhubungan dengan sistem saraf pusat.
2.
Mereka menderita penyakit atau kondisi yang berdampak pada cacat tubuh. Distrofi otot, skierosis ganda, diabetes, kanker, meningitis tulang belakang, stroke, serta penyakit dan kondisi lainnya yang menyebabkan cacat fisik.
3.
Mereka mengalami cedera, kecelakaan, nyaris tenggelam, keracunan, jatuh, olahraga, kebakaran dan kekerasan dapat mengakibatkan cedera yang menyebabkan cacat seumur hidup.
2.4
Eksploitasi Dalam Media Televisi
2.4.1 Pengertian Eksploitasi Eksploitasi merupakan suatu bagian penting dari ekonomi kapitalis, di dalam kapitalisme adalah bahwa eksploitasi dilakukan oleh sistem ekonomi yang impersonal dan objektif. Kapitalis membayar para pekerja kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri. Hal ini membawa kita pada konsep sentral Marx tentang nilai surplus, nilai surplus didefinisikan sebagai perbedaan antara nilai produk ketika dijual dan nilai – nilai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
elemen – elemen yang digunakan untuk membuat produk tersebut (termasuk para pekerja). Nilai surplus, seperti halnya kapital, merupakan relasi sosial partikular dan suatu bentuk dominasi, karena kerja merupakan sumber nilai surplus yang sebenarnya. Angka nilai surplus merupakan ekspresi yang paling tepat bagi tingkat eksploitasi tenaga kerja oleh kapital atau eksploitasi para pekerja oleh kapitalis. Marx mengemukakan poin paling penting lainnya tentang kapital : “kapital eksis dan hanya bisa eksis sebagai kapital – kapital” maksudnya, bahwa kapitalisme selalu didorong oleh kompetisi yang tiada henti. Marx pada dasarnya berpendapat bahwa struktur dan etos kapitalisme mendorong kapitalis dalam mengarahkan akumulasi pada penumpukan kapital yang lebih banyak lagi. Berdasarkan pandangan Marx bahwa kerja merupakan sumber nilai, kapitalis digiring untuk meningkatkan eksploitasi terhadap ploretariat. Inilah yang mendorong terjadinya konflik kelas.17 2.4.2 Eksploitasi Kaum Disabilitas Dalam perkembangannya, media massa memang sangat berpengaruh di wilayah kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Dari aspek sosial – budaya, media adalah institusi sosial yang membentuk definisi dan citra realitas serta dianggap sebagai ekspresi sosial yang berlaku umum; secara ekonomis, media adalah institusi bisnis yang membantu masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari berbagai usaha yang dilakoni; sedang dari aspek politik, media 17
Didanel.wordpress.com/2011/06/24/teori-karl-marx-dalam-realita-kehidupan/, diunduh tgl, 512-2014, pukul 11.12.WIB
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
memberi ruang atau arena pertarungan diskursuf bagi kepentingan berbagai kelompok sosial – politik yang ada dalam masyarakat demokratis. Di dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, “exploitation” yang kemudian diserap menjadi “eksploitasi” dalam Bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah yang sering muncul dalam diskursus Marxis tapi kini menjadi istilah yang jamak dipakai. Di dalam Glosarium online istilah Marxis, eksploitasi secara sederhana diartikan sebagai pemanfaatan titik lemah satu pihak lain sebagai alat untuk meraih tujuannya sendiri dengan biaya (expense) dari pihak yang dimanfaatkan tersebut. Pengertian yang dirumuskan Feinberg mungkin lebih mudah dipahami, eksploitasi adalah ketika A menjadikan suatu kapasitas dari B sebagai alat untuk mengeruk keuntungan. 2.5
Semiotika Secara epistimologis, istilah semiotik berasal dari Bahasa Yunani semeion,
yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain dalam batas – batas tertentu.18 Secara terminologis, menurut Eco, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek – objek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest mengartikan semiotik sebagai ilmu 18
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana. Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2001. hal.95
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.19 Dalam kaitannya dengan semiotik, Preminger memberi batasan yang jelas. Semiotik adalah ilmu tentang tanda – tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda – tanda. Semiotik itu mempelajari sistem – sistem, aturan – aturan, konvensi – konvensi yang memungkinkan tanda –tanda tersebut mempunyai arti.20 Semiotik juga dapat diartikan sebagai suatu ilmu atau metode analisis yang mempelajari hakikat keberadaan suatu tanda, bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal – hal (things), sekaligus merupakan studi media massa yang melihat sesuatu lain dibalik suatu naskah atau narasi, melalui tanda – tanda. Oleh karena itu, ilmu ini merupakan suatu alat penting dalam menganalisa isi dari pesan – pesan media, baik dalam media verbal, non verbal maupun keduanya. Secara singkat, semiotik menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Tanda tersebut dapat berupa kata, gambar, image, citra, suara, bahasa tubuh, atau objek yang tidak memiliki arti sampai kita memberikan arti tersebut.
19 20
Ibid. hal.95-96 Ibid. hal. 96
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
Berkaitan dengan studi semotik, pada dasarnya pusat perhatian pendekatan semiotik adalah tanda (sign). Menurut Jhon Fiske terdapat tiga aliran penting dalam semiotik, yaitu :21 1. Tanda itu sendiri. Hal itu berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda,
seperti
cara
mengantarkan
makna
serta
cara
menghubungkannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang – orang yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem dimana lambang – lambang itu disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam sistem kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan. 3. Kebudayaan dimana kode lambang itu beroperasi. Pada intinya, semiotik adalah teori tentang bahasa, tentang tanda, dan dapat membantu hidup kita sejauh semiotik membuat kita semakin kreatif dalam menggunakan bahasa atau paling tidak dapat membuat kita tidak terikat pada bahasa yang sudah kita ciptakan.22 Sebagai ilmu yang mengkaji tanda, semiotik juga melihat tanda sebagai gejala budaya. Semiotik melihat kebudayaan sebagai suatu “sistem pemaknaan” (signifying system) (cf.Danessi dan Peron 1999 : 23). Bahkan Eco mengatakan 21
John Fiske, Cultural and Communication Studie : Sebuah Pengantar Paling Komperhensif. Terj. Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim. Jalasutra. Yogyakarta : 1990. Hal. 60 22 St. Sunardi. Semiotika Negativa. Buku Baik. Yogyakarta : 2004. Hal 83
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
bahwa makna tanda adalah hasil suatu konvensi, suatu prinsip dalam kehidupan berkebudayaan.23 2.6
Tokoh – Tokoh Semiotika Perkembangan dari teori semiotika tidak terlepas dari tokoh – tokoh yang
berhasil meneliti dan mengembangkannya, seperti Ferdinand De Sausure , Roland Barthes, dan Charles Sanders Peirce. Ketiga tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah. Saussure, yang menyebut ilmu yang dikembangkan semiology (semiologi), beranggapan bahwa semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna, atau selama berfungsi membawa tanda, harus ada dibelakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Barthes, mempunyai pikiran yang sama dengan Saussure dan meneruskan pemikiran tersebut dengan menekan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan curtural penggunaannya, interaksi antara konvensi teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan „Order of Signification‟, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman personal dan kultural). Meskipun Barthes tetap menggunakan istilah signifier – signified, disinilah letak perbedaan Saussure dan Barthes. 23
Christomy & Untung Yuwono. Semiotika Budaya. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Depok : 2004. Hal 66 – 67
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
Lalu ada Charles Sanders Pierce, dia menyebabkan bahwa ilmu kajian semiotika yang dibangunnya merupakan penalaran manusia senantiasa dilakukan melalui tanda, maksudnya manusia hanya bisa bernalar lewat tanda, dalam pikiran manusia, logika adalah sama dengan semiotika, dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda. 2.7
Teori Semiotika Roland Barthes Semiotik pada perkembangannya menjadi perangkat teori yang digunakan
untuk mengkaji kebudayaan manusia. Barthes, dalam karyanya (1957) menggunakan pengembangan teori tanda de Saussure (Penanda dan Petanda) sebagai upaya menjelaskan bagaimana kita dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh konotasi. Konotasi adalah pengembangan segi petanda (makna atau isi suatu tanda) oleh pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya. Kalau konotasi sudah menguasai masyarakat, akan menjadi mitos. Barthes mencoba menguraikan betapa kejadian keseharian dalam kebudayaan kita menjadi seperti “wajar”, padahal itu mitos belaka akibat konotasi yang mantap di masyarakat.24
24
Benny H. Hoed. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu. Depok : 2011. Hal 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja :
1. Signifier (penanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative Sign (Tanda Denotatif) 4. CONOTATIVE SIGNIFER
5. CONOTATIVE SIGNIFIED
(PENANDA KONOTATIF)
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes. Sumber : Paul Cobley & Litza Jansz, 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, Hal 51
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.25 Barthes disebut – sebut sebagai penerus Saussure dengan mengadopsi sistem tanda (signifier, signified) yang sebelumnya dikemukakan oleh Saussure. Namun Barthes melihat beberapa “kekurangan” dari teori-teori yang dikemukakan oleh pendahulunya tersebut. Kekurangan tersebut terdapat pada kurangnya perhatian Saussure terhadap perhitungan makna sebagai proses negoisasi antara 25
Paul Cobley & Lita Jansz.Introducing Semiotics. Totem Books. New York. 1999. Hal. 51
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
pembaca/penulis teks. Dia menekankan pada teks, bukan cara tanda – tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, tidak juga tertarik pada konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Untuk itulah kemudian Barthes menyusun model semantik untuk menganalisis negoisasi dan gagasan makna interaktif. Intinya adalah gagasan mengenai dua tatanan pertandaan (order of signification)26 Barthes mengkritik masyarakatnya dengan mengatakan bahwa semua yang dianggap sudah wajar di suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil dari proses konotasi. Bila konotasi menjadi tetap, itu akan menjadi mitos, sedangkan kalau mitos sudah menjadi mantap, akan menjadi ideologi. Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Ia mengatakan bahwa dalam suatu kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan ideologi” yang mendominasi pikiran anggota masyarakat. 2.8
Denotasi Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna
harafiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama. Dalam hal ini denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama. Dalam hal ini 26
John Fiske. Cultural and Communication Studies. Jalasutra. Yogyakarta. Hal 17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis.27 2.9
Konotasi Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk
menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai – nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama.28
2.10
Representasi Media Istilah representasi merupakan penggambaran (perwakilan) kelompok-
kelompok pada institusi sosial. Penggambaran itu tidak hanya berkenaan dengan tampilan fisik (appreance) dan deskripsi, melainkan juga terkait dengan makna (atau nilai) dibalik tampilan fisik. Tampilan fisik representasi adalah jubbah yang menyembunyikan bentuk makna sesungguhnya yang ada dibaliknya.29 Persepsi tentang representasi (penggambaran) realitas oleh media khususnya televisi dapat diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman tersebut 27
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Rosda. Bandung : 2004. Hal 70 John Fiske. Cultural and Communication Studies. Jalasutra. Yogyakarta. Hal. 118 - 119 29 Graeme Burton. Membincangkan Televisi. Jalasutra. Yogyakarta dan Bandung. 2007. Hal 41-42 28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
membentuk penilaian. Ada tiga pengalaman dimana penilaian tersebut bisa dibentuk.30 1. Membaca ungkapan (kata-kata atau gagasan) dan perilaku nonverbal (visual) orang – orang di dalam televisi tak ubahnya membacanya dalam kehidupan nyata atau pengalaman sosial. 2. Penilaian yang cenderung dibuat melalui pengalaman dengan media saat membaca „karakter-karakter‟ atau cerita televisi. 3. Proses encoding materi televisi oleh para pembuatnya (mislanya melalui kamera) atau sebuah pengalaman tidak langsung. Bisa dikatakan bahwa representasi mengharuskan kita berurusan dengan persoalan bentuk. Cara penggunaan televisilah yang menyebabkan khalayak membangun makna yang merupakan esensi dari representasi. Pada tingkatan ini, repsentasi juga berkaitan dengan produksi simbolik yaitu pembuatan tanda-tanda dalam kode-kode dimana kita menciptakan makna-makna. Dengan mempelajari representasi, kita mempelajari pembuatan, konstruksi makna. Karenanya, representasi juga berkaitan dengan penghadiran kembali (representing), bukan gagasan asli atau objek fiskal asli, melainkan sebuah representasi atau sebuah versi yang dibangun darinya. Setiap representasi yang dihadirkan lewat program-program televisi, merupakan bagian kompleks dari representasi lainnya. Proses melihat gambar televisi yang tersususn atas representasi-representasi adalah proses yang kompleks. Melihat bukan sekedar aktivitas visual. Tindakan melihat hanya 30
Ibid hal 41-42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
merupakan bagian dari persepsi, yang dalam prosesnya harus memahami apa yang dilihat. Ada persoalan pengalaman budaya yang dihubungkan dengan penglihatan atau pencerapan ini. Menurut Burton (2000), melihat citra/gambar dalam televisi terbagi menjadi dua yaitu melihat sebagai sudut pandang kritis dan melihat sebagai posisioning spasial atau temporal. Melihat dengan sudut pandang kritis adalah menggunakan frasa berdasarkan posisi pemirsa namun terutama berdasarkan konotasi kritisnya. Menurut Croteau dan Hoynes, representasi bukanlah realitas yang sesungguhnya (real world) melainkan representasi media mengenai dunia sosial (social world). Selalu terjadi kesenjangan antara realitas sesungguhnya (real world) dengan representasi media terhadap dunia sosial (social world). Dalam pembicaraann kita representasi merujuk kepada segala konstruksi media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film. Konsep representasi sendiri dilihat sebagai sebuah produk dari proses representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan atau lebih tepatnya dikonstruksikan didalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan didalam proses produksi dan resepsi oleh masyarakat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi. Seperti yang dikatakan Chris Barker sebagai berikut : “Citra, bunyi, objek, dan aktivitas pada dasarnya merupakan aktivitas sistem tanda yang memaknai dengan sistem yang sama dengan bahasa, sehingga kita dapat menunjukkannya sebagai teks budaya. Makna diproduksi dlam interaksi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
antara teks dan pembacanya, sehingga momen konsumsi juga momen produksi yang penuh makna”31
31
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26291/1/ITA%20BARSITHA%20FIR MAN-FDK.pdf diunduh tgl, 19-10-2015, pukul 23.03.WIB
http://digilib.mercubuana.ac.id/