BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Antioksidan dan Radikal Bebas Radikal bebas merupakan atom tunggal atau berkelompok yang sedikitnya mempunyai satu orbit terluar yang mempunyai satu elektron tunggal (tidak berpesangan) di mana seharusnya mempunyai elektron berpasangan (Iorio, 2007). Radikal bebas adalah molekul yang mengandung satu elektron tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Selama metabolisme oksidatif, banyak oksigen yang dikonsumsi akan terkait pada hidrogen selama fosforilasi oksidatif, kemudian membentuk air. Akan tetapi, diperkirakan bahwa 4-5% oksigen yang dikonsumsi saat bernapas tidak diubah menjadi air, tetapi akan membentuk radikal bebas. Maka, konsumsi akan meningkat selama pelatihan, juga akan terjadi peningkatan produksi radikal bebas dan peroksida lipid, yang kemudian radikal bebas tadi akan menimbulkan respon inflamasi menyebabkan kerusakan otot setelah pelatihan. Tubuh mempunyai sistem pertahanan antioksidan yang tergantung dari asupan vitamin, antioksidan dan mineral dan produksi antioksidan endogen seperti glutation. Vitamin A (betakaroten) ,C dan E adalah antioksidan dan vitamin utama. (Clarkson dan Thompson, 2000). Pada keadaan normal (saat istirahat) sistem pertahanan antioksidan di dalam tubuh dapat secara mudah mengatasi radikal bebas yang terbentuk. Selama waktu terjadi peningkatan pemakaian oksigen (contohnya saat pelatihan) produksi radikal bebas diyakini berperan menyebabkan penyakit kardiovaskuler, kanker, penyakit Alzheimer dan Parkinson (Capelli dan Cysewski, 2006). Pemakaian oksigen meningkat banyak selama pelatihan, di mana menyebabkan peningkatan terbentuknya radikal bebas. Tubuh akan melawan peningkatan radikal bebas tersebut dengan sistem pertahanan antioksidan. Ketika produksi radikal bebas melebihi kemampuan mengatasinya maka kerusakan oksidatif akan terbentuk. Radikal bebas yang terbentuk selama pelatihan kronik
6
7
dapat melebihi kapasitas proteksi sistem antioksidan, akan membuat imunitas terhadap penyakit menurun dan cidera. Karena itu dibutuhkan asupan vitamin sebagai zat antioksidan. Radikal bebas menyerang membran dan merusak sel dimana dibutuhkan sistem kekebalan untuk melawannya. Jika pembentukan radikal radikal bebas dan penyerangannya tidak dikendalikan di dalam otot selama pelatihan, maka otot dalam jumlah besar dapat dengan mudah menjadi rusak. Kerusakan otot dapat mempengaruhi performa dikarenakan terjadinya kelelahan (Abramson dan Vaccarino, 2002). Radikal secara alami dibentuk oleh sisitem di dalam tubuh dan mempunyai efek yang menguntungkan yang tidak disadari. Sistem kekabalan merupakan sistem utama tubuh
yang menggunakan radikal bebas. Serangan benda asing
ataupun kerusakan jaringan yang ditandai dengan radikal bebas oleh sistem kekebalan. Antioksidan bekerja dengan melindungi lipid dari proses peroksidasi oleh radikal bebas. Ketika radikal bebas mendapat elektron dari antioksidan, maka radikal bebas tersebut tidak lagi perlu menyerang sel dan reaksi rantai oksidasi akan terputus. Setelah memberikan elektron, antioksidan menjadi radikal bebas secara definisi. Antioksidan pada keadaan ini berbahaya karena mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan elektron tanpa menjadi reaktif. Tubuh manusia mempunyai pertahanan sistem antioksidan. Antioksidan yang dibentuk di dalam tubuh dan juga didapat dari makanan seperti buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, daging dan minyak. Ada dua garis pertahanan antioksidan di dalam sel. Garis pertahanan pertama, terdapat di membran sel larut lemak yang mengandung vitamin A (betakaroten) E, dan koensim Q (Clarkson dan Thompson, 2000). Tubuh dalam keadaan normal akan memproduksi radikal bebas yang berhubungan dengan metabolisme sel fisiologis. Contohnya, sintesis beberapa hormon akan menghasilkan radikal bebas, juga lekosit polimorfonukleus akan
8
membentuk radikal bebas untuk membunuh bakteri yang membantu tubuh memerangi infeksi. Radikal bebas yang lain, seperti Nitric Oxide (NO) merupakan dasar homeostatis di dalam tubuh, karena NO berperan penting, termasuk menjaga tonus vaskuler, agregasi platelet, adhesi sel, dan lain-lain. Adapun hal yang diyakini menyebabkan peningkatan radikal bebas berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan fisik, kimiawi dan alam. Faktor alam yang menyebabkan peningkatan radikal bebas adalah pulusi, radiasi, faktor fisik adalah kehamilan, overtraining, gaya hidup yaitu merokok, minum alkohol, makanan buruk, kurang berolahraga, efek psikologis seperti stres, emosi, berbagai penyakit, faktor lain seperti obat-obatan, terapi radiasi (Iotio, 2007). Pada keadaan sehat, tubuh dapat mencegah terbentuknya radikal bebas karena sistem pertahanan natural antioksidan tubuh, yang mempunyai kemampuan melawan aksi oksigen dari radikal bebas. Menurunnya efektivitas sistem tersebut menyebabkan defisiensi absolut atau relatif kadar antioksidan di dalam tubuh (Iorio, 2007). Radikal bebas berpotensi bahaya karena cenderung mengisi orbit externa yang tunggal dengan elektron lain. Adanya dua elektron pada orbit yang sama merupakan kondisi energi yang stabil secara maksimal. Ketika radikal bebas dekat dengan target molekul, yang mempunyai satu atau lebih elektron, seperti molekul dari asam lemak tidak jenuh (seperti asam arachinoid), radikal bebas tersebut akan segera menarik keluar elektron dari target molekul tadi. Karena efek aksi oksigen ini, radikal bebas tersebut akan kehilangan potensi berbahayanya, sedangkan molekul lain seperti pada karbohidrat, lipid, asam amino, peptide, protein, nukleotid, asam nukleat dan lain-lain (Iorio, 2007). Mekanisme yang paling umum terjadi di mana radikal bebas dapat melawan pertahanan antioksidan, radikal bebas tersebut akan menyerang komponen biokimia di dalam tubuh dan membentuk hydroperoksida. Dalam bentuk patofisiologis tersebut sel akan mulai memproduksi radikal bebas dalam jumlah banyak, dikarenakan stres eksogen (unsur kimia, fisik dan biologi) dan atau
9
aktivitas metaboliknya (khususnya pada membran plasma, mitokondria, retikulum endoplasma, dan sitosol), sitosol diantaranya terdapat radikal hidroksil (HOH) yang berbahaya, merupakan salah satu reaktive oxygen species (ROS) yang paling berbahaya. Radikal hidroksil dapat menyarang setiap macam molekul (termasuk karbohidrat, lemak, asam amino, peptide, protein, nukleotid, asam nukleat dan lain-lain). Akibat dari proses ini, setiap molekul akan kehilangan satu elektron dan kemudian menjadi radikal. Setelah itu akan mulai terjadi reaksi rantai radikal, dikarenakan adanya molekul oksigen (melalui pernapasan), dan terbentuknya hidroperoksida (ROOH), sejenis Reactive Oxygen Metaboltes (ROMs). Walaupun Hidroperoksida termasuk jenis kimia yang relatif stabil, mereka juga berpotensi membentuk radikal bebas lagi dan dapat mengoksidasi target molekul yang lain. Setelah itu sel akan menarik keluar hidroperoksida di lingkungan ekstraseluler, termasuk darah, cairan cerebro-spinal, cairan pleura dan lain-lain (Iorio, 2007). Cidera oksidatif setelah pelatihan dapt dicegah dengan asupan antioksidan seperti vitamin A, C, E, tidak hanya selama pelatihan, juga sehari-hari. Sebaliknya, ada beberapa peneliti menunjukkan antioksidan tidak mempengaruhi kerusakan otot dan respon peradangan yang disebabkan oleh pelatihan sangat berat. Salah satu kemungkinan penyebab hasil yang berbeda adalah karena efek antioksidan sepertinya berbeda pada kondisi pelatihan seperti intensitas dari stres mekanik dan asupan oksigen. Antioksidan adalah unsur kimia atau biologi yang dapat menetralisasi potensi kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas tadi. Beberapa antioksidan endogen (seperti enzim superoxide-dismutase dan katalase) dihasilkan oleh tubuh, sedangkan yang lain seperti vitamin A, C, dan E merupakan antioksidan eksogen yang harus didapat dari luar tubuh seperti buah-buahan dan sayur-sayuran (Iorio, 2007). Menurut Kumalaningsih (2006), antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul
10
radikal bebas tanpa mengganggu fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas. Menurut Kartikawati (1999), terdapat tiga macam mekanisme kerja antioksidan pada radikal bebas, yaitu: a. Antioksidan primer yang mampu mengurangi pembentukan radikal bebas baru dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Contohnya adalah superoskida dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase yang dapat mengubah radikal superoksida menjadi molekul air. b. Antioksidan sekunder berperan mengikat radikal bebas dan mencegah amplifikasi senyawa radikal. Beberapa contohnya adalah vitamin A (betakaroten), vitamin C, vitamin E, dan senyawa fitokimia. c. Antioksidan tersier berperan dalam mekanisme biomolekuler, seperti memperbaiki kerusakan sel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas
B. Zat Gizi Manusia mendapatkan gizi dari makanan yang mereka konsumsi yang berasal dari hewani dan nabati. Antara lain karbohidrat, protein, dan lemak yang disebut zat gizi makro, serta vitamin dan mineral yang disebut sebagai zat gizi mikro. Juga diperlukan air dan mineral untuk memperlancar proses metabolisme. Tubuh manusia memerlukan beraneka ragam zat gizi untuk mendapatkan angka kecukupan gizi yang seimbang, jika kelebihan atau kekurangan salah satu zat gizi tertentu dapat merugikan tubuh manusia, oleh karena itu maka perlu disusun perencanaan pola makan yang benar. Makanan yang seimbang telah mengandung zat pembangun, zat pengatur, dan zat tenaga (Almatsier, 2009). Vitamin adalah suatu senyawa organik yang terdapat di dalam makanan dalam jumlah yang sedikit. Vitamin dapat larut di dalam air dan lemak. Vitamin yang larut dalam lemak adalah vitamin A, D, E, dan K, dan yang larut dalam air adalah vitamin B dan C (Dorland, 2006).
11
Dalam masa pertumbuhan serta perkembangan, proses kehidupan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya asupan zat gizi. Makanan untuk seorang olahragawan harus mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan untuk mengganti zat-zat gizi dalam tubuh yang berkurang akibat digunakannya zat gizi tersebut untuk aktivitas olahraga (Anonim A, 2002). Dalam beraktivitas, vitamin juga dibutuhkan, terutama untuk berolahraga, belajar, dan sebagainya. Aktivitas seperti berolahraga biasanya membutuhkan vitamin, tetapi jumlah yang dibutuhkan untuk seseorang yang melakukan olahraga sama dengan kebutuhan sehari-hari. Konsumsi vitamin secara berlebihan pada orang yang berolahraga tidak disarankan, karena sisa dari vitamin yang telah dikonsumsi akan dibuang melalui keringat dan urin (Peake, 2003).
1. Vitamin A (Betakaroten) Vitamin
A
memiliki
peran
sebagai
antioksidan
dengan
cara
mendonorkan elektron dari atomnya kepada radikal bebas untuk berikatan dengan elektron yang tidak berpasangan (tunggal) dari radikal bebas tanpa menjadi radikal bebas baru (Kartawiguna, 1998). Vitamin A merupakan salah satu jenis vitamin yang larut lemak. Vitamin A membantu menjaga pertumbuhaan jaringan epitel, mata, rambut dan tulang. Selain itu juga digunakan untuk pengobatan kelainan kukit seperti acne. Vitamin mempunyai efek toksik jika digunakan secara berlebihan (Kamiensky, Keogh 2006). a. Fungsi Vitamin A Sebagai Antioksidan Betakaroten merupakan salah satu bentuk pigmen dari karoten (carotenoid).
Karoten
berfungsi
sebagai
antioksidan,
sedangkan
betakaroten merupakan salah satu bentuk senyawa karoten sebagai penawar yang kuat untuk oksigen reaktif (suatu radikal bebas destruktif ) (Tim Redaksi Vitahealth, 2004). Ditambahkan oleh Esvandiary (2007) bahwa beta karoten juga mampu menangkap oksigen reaktif dan radikal peroksil lalu menetralkannya. Hidajat (2005) mengatakan bahwa
12
betakaroten sebagai antioksidan yang larut dalam lemak yang dapat menjaga terhadap proses pengrusakan oksidasi dinding sel yang terdiri dari lemak. Vitamin A memiliki peran sebagai antioksidan dengan cara mendonorkan elektron dari atomnya kepada radikal bebas untuk berikatan dengan elektron yang tidak berpasangan (tunggal) dari radikal bebas tanpa menjadi radikal bebas baru (Kartawiguna, 1998). Selain itu vitamin A juga berfungsi untuk mempertahankan stabilitas membran sel terhadap radikal bebas (WHO, 2004). Vitamin A atau lebih tepatnya provitamin betakaroten, memang memiliki daya antioksidan. (Youngson, 2005). Vitamin A didapat dalam 2 bentuk yaitu performed vitamin A (vitamin A, retinoid, retinol, dan derivatnya) dan provitamin A (karotenoid/ karoten dan senyawa sejenis) (Dewono 2007). Sumber makanan yang mengandung vitamin A antara lain semua jenis susu, mentega, telur, sayuran dengan daun berwarna hijau dan kuning, buah-buahan, dan liver (Kamiensky, Keogh 2006).
b. Akibat Kekurangan Vitamin A Fungsi kekebalan tubuh menurun pada kekurangan vitamin A, sehingga mudah terserang infeksi. Dan menghambat pertumbuhan sel-sel, termasuk sel-sel tulang (Almatsier, 2009).
13
c. Kecukupan Vitamin A yang Dianjurkan Angka kecukupan vitamin A yang dianjurkan untuk berbagai golongan umur dan jenis kelamin untuk Indonesia dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Aangka Kecukupan Vitamin A Yang Dianjurkan Umur (tahun) Kecukupan Vitamin A (mg) 10-12 600 13-15 600 16-18 600 19-29 600 30-49 600 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004, dalam Almatsier, 2009 2. Vitamin C (Asam Askorbat) Vitamin C adalah salah satu jenis vitamin yang larut dalam air dan memiliki peranan penting dalam menangkal berbagai penyakit. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat (Almatsier, 2009). a. Fungsi Vitamin C Sebagai Antioksidan Vitamin C adalah antioksidan yang kuat (Youngson, 2005). Menurut Kumalaningsih (2006), vitamin C tergolong dalam antioksidan alami, sedangkan berdasar pada fungsinya vitamin C tergolong dalam antioksidan sekunder dan oxygen scavanger. Vitamin C termasuk golongan vitamin antioksidan yang mampu menangkal berbagai radikal bebas ekstraseluler (Anonim, 2012). Menurut Kumalaningsih (2006) vitamin C merupakan antioksidan yang berperanan penting dalam membantu menjaga kesehatan sel. Vitamin C merupakan suatu donor elektron dan agen pereduksi. Disebut antioksidan, karena dengan mendonorkan elektronnya, vitamin ini mencegah senyawasenyawa lain agar tidak teroksidasi. Walaupun demikian, vitamin C sendiri akan teroksidasi dalam proses antioksidan tersebut, sehingga menghasilkan
14
asam dehidroaskorbat (Padayatty, 2003). Vitamin C atau asam askorbat merupakan vitamin yang larut dalam air. Vitamin C bekerja sebagai suatu koenzim dan pada keadaan tertentu merupakan reduktor dan antioksidan. Vitamin ini dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan elektron ke enzim yang membutuhkan ion-ion logam tereduksi dan bekerja sebagai kofaktor untuk prolil dan lisil hidroksilase kolagen. Zat ini terbentuk Kristal dan bubuk putih kekuningan, stabil pada keadaan kering (Dewoto, 2007). Menurut Padayatty (2003), setelah terbentuk, radikal askorbil (suatu senyawa dengan elektron tidak berpasangan, serta asam dehidroaskorbat dapat tereduksi kembali menjadi asam askorbat dengan bantuan enzim 4hidroksifenilpiruvat dioksigenase. Tetapi, di dalam tubuh manusia, reduksinya hanya terjadi secara parsial, sehingga asam askorbat yang terlah teroksidasi tidak seluruhnya kembali. Vitamin C dapat dioksidasi oleh senyawa-senyawa lain yang berpotensi pada penyakit. Jenis-jenis senyawa yang menerima elektron dan direduksi oleh vitamin C, dapat dibagi dalam beberapa kelas, antara lain: senyawa dengan elektron (radikal) yang tidak berpasangan, contohnya radikal-radikal oksigen (superoksida, radikal hidroksil, radikal peroksil, radikal sulfur, dan radikal nitrogen-oksigen), senyawa-senyawa yang reaktif tetapi tidak radikal, misalnya asam hipoklorit, nitrosamin, asam nitrat, dan ozon, senyawa-senyawa yang dibentuk melalui reaksi senyawa pada kelas pertama atau kelas kedua dengan vitamin C dan reaksi transisi yang diperantarai logam (misalnya ferrum atau cuprum)
Vitamin C dapat menjadi antioksidan untuk lipid, protein, dan DNA, dengan cara : (1) Untuk lipid, misalnya Low-Density Lipoprotein (LDL), akan beraksi dengan oksigen sehingga menjadi lipid peroksida. Reaksi berikutnya
akan
menghasilkan
lipid
hidroperoksida,
yang
akan
menghasilkan proses radikal bebas. Asam askorbat akan bereaksi dengan oksigen sehingga tidak terjadi interaksi antara lipid dan oksigen, dan akan mencegah terjadinya pembentukan lipid hidroperoksida. (2) Untuk protein,
15
vitamin C mencegah reaksi oksigen dan asam amino pembentuk peptide, atau reaksi oksigen dan peptida pembentuk protein. (3) Untuk DNA, reaksi DNA dengan oksigen akan menyebabkan kerusakan pada DNA yang akhirnya menyebabkan mutasi (Padayatti, 2003). Jika asam dehidroaskorbat tidak tereduksi kembali menjadi asam askorbat, maka asam dehidroaskorbat akan dihidrolisis menjadi asam 2,3diketoglukonat. Senyawa tersebut terbentuk melalui rupture ireversibel dari cincin lakton yang merupakan bagian dari asam askorbat, radikal askorbil, dan asam dehidroaskorbat. Asam 2,3-diketoglukonat akan dimetabolisme menjadi xilosa, xilonat, liksonat, dan oksalat (Sharma, 2007).
b. Akibat Kekurangan Vitamin C Kekurangan vitamin ini menyebabkan luka sulit sembuh, melemahnya dan pecahnya pembuluh darah yang kecil dan semua jaringan kolagen pada tubuh (Youngson, 2005). Defisiensi vitamin C mengakibatkan timbulnya penyakit yang disebut skorbut (scurvy), penuaan, serta penurunan daya tahan tubuh (Barclay,2008). Tanda-tanda awal antara lain lelah, lemah, napas pendek, persendian sakit serta kurang nafsu makan (Almatsier, 2009). Turunya daya tahan tubuh kontraksi otot melemah dan kelelahan. Dan ditandai dengan kemunduran penampilan fisik (William 2005).
16
c. Kecukupan Vitamin C yang Dianjurkan Angka kecukupan vitamin C yang dianjurkan untuk berbagai golongan umur dan jenis kelamin untuk Indonesia dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Aangka Kecukupan Vitamin C Yang Dianjurkan Umur (tahun) Kecukupan Vitamin C (mg) 10-12 50 13-15 75 16-18 90 19-29 90 30-49 90 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004, dalam Almatsier, 2009 3. Vitamin E (Tokoferol) Selain vitamin A, C dan vitamin E juga dikenal sebagai vitamin yang berfungsi sebagai antioksidan. Vitamin E mampu bereaksi dengan lipid peroksidase yang dibentuk dari asam lemak tak jenuh ganda yang bereaksi dengan radikal bebas. Hasil dari reaksi vitamin E dengan lipid peroksidase menghasilkan komponen tokoferoksil radikal yang tidak reaktif (Murray, 2003). Vitamin E adalah substansi yang larut dalam lemak. Vitamin ini merupakan antioksidan utama dalam semua membran seluler, dan melindungi asam lemak tak jenuh terhadap peristiwa oksidasi. (Tuminah, 1999). Vitamin E adalah vitamin yang larut dalam lemak dan dapat melindungi jantung, anteri, dan komponen seluler untuk tetap melakukan oksidasi dan mencegah lisis sel darah merah. Jika terdapat ketidakseimbangan garam, sekresi pancreas, dan lemak, vitamin E diabsorbsi disaluran pencernaan dan disimpan di seluruh jaringan, terutama liver, otot, dan jaringan lemak. 75% dari jumlah vitamin E diekskresi di empedu dan sisanya melalui urin (Kamiensky, Keogh 2006). Vitamin E terdiri atas beberapa macam diantaranya adalah α-tokoferol, β-tokoferol, δ-tokoferol, dan γ-tokoferol. Komponen vitamin E yang paling
17
banyak ditemukan adalah α-tokoferol yang memiliki cincin aromatik tersubtitusi dan rantai panjang isoprenoid sebagai rantai samping (Lehninger 1982). Peranan vitamin E dalam sel adalah dengan cara mengikat radikal bebas. Dalam jaringan, vitamin E menekan terjadinya asam lemak tidak jenuh yang terdapat
pada
membran,
dengan
demikian
mampu
menjaga
atau
mempertahankan fungsi membrane (Turkoglu et al. 2006). a. Fungsi Vitamin E Sebagai Antioksidan Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan mudah memberikan hydrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur cincin ke radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat merusak, yang mempunyai elektron tidak berpasangan. Bila menerima hydrogen, radikal bebas menjadi tidak reaktif. Pembentukan oksigen secara bertahap direduksi menjadi air. Radikal bebas yang dapat merusak itu juga diperoleh tubuh dari benda-benda polusi, ozon, dan asap rokok (Almatsier, 2009). Sekarang ini telah semakin jelas bahwa vitamin E terlibat dalam banyak proses tubuh dan beroperasi sebagai antioksidan alami yang membantu melindungi struktur sel yang penting, terutama selaput sel, dari efek radikal bebas yang merusak (Youngson, 2005). Vitamin E merupakan antioksidan yang tergolong senyawa fenolik yang larut lemak serta terletak di membran eritosit dan plasma lipoprotein. Sebagai antioksidan dalam tubuh, vitamin E bertindak sebagai scavenger (penangkap) radikal-radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh atau terbentuk di dalam tubuh dari proses metabolism normal. Vitamin E bertindak sebagai donor ion hidrogen dan dapat mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid) menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif dan relatif stabil sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak (Widjaja 1997). Vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan memegang peranan biologik utama dalam melindungi asam lemak tidak
18
jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas (Almatsier, 2009). Agar tidak terjadi kerusakan sel oleh radikal bebas maka untuk mencegah oksidasi/kerusakan oleh antioksidan yang larut dalam lemak merupakan antioksidan
radikal bebas diperlukan sejumlah dan larut dalam air. Vitamin E
yang larut dalam lemak. Antioksidan
sendiri
bekerja secara sinergi untuk memunahkan radikal bebas tersebut (Muhillal, 2004). Peroksidase lipida dan vitamin E, membrane sel terutama terdiri atas asam lemak tidak jenuh ganda yang sangat mudah dioksidasi oleh radikal bebas. Proses peroksidasi lipida dapat menyebabkan kerusakan dan dapat dicegah bila semua radikal bebas dapat dipubahkan oleh antioksidan. Proses ini dimlai oleh radikal bebas OH+ yang mengikat satu hydrogen dari asam lemak tidak jenuh ganda/ALTJG:H, sehingga membentuk radikal ALTJG (ALTJG´). ALTJG´ bereaksi dengan oksigen dan membentuk radikal bebas peroksil (ALTJG:OO´), yang kemudian bereaksi dengan ALTJG:H lain hingga membentuk suatu hidroksiperoksida (ALTJG:OOH) dan suatu ALTJG´ lagi. Peranan biologik utama vitamin E aalah memutuskan rantai proses peroksidasi lipida dengan menyumbangkan suatu atom hydrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas, sehingga membentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak (Almatsier, 2009). Sistem pertahanan antioksidan, bila vitamin E tidak berhasil mencagah pembentukan ALTJG:OOH di dalam membran sel ada sistem pertahanan lain yang berperan. ALTJG:OH dapat dilepaskan dari fosfolipida oleh enzim fosfolipase A₂ dan dipunahkan di dalam sitoplasma sel oleh enzim glutation peroksidase yang mengandung selenium. Jadi aktivitas antioksidan vitamin E dan selenium melalui glutation peroksidase sangat erat berkaitan satu sama lain. Enzim antioksidan penting lain adalah superoksida
19
dismutase, katalese dan glukosa-6-fosfat dehidrogenase, serta ikatan-ikatan karoteroid, asam urat dan asam askorbat (vitamin C) . Walaupun vitamin E sebagai antioksidan larut lemak utama di dalam membrane sel, konsentrasinya sangat kecil yaitu satu molekul per 2000-3000 molekul fosfolipida. Diduga terjadi regenerasi dengan bantuan vitamin C atau reduktase lain yang mereduksi radikal vitamin E kembali ke bentuk aslinya (Almatsier, 2009).
b. Akibat Kekurangan Vitamin E Defisiensi vitamin E sangat langka. Pada situasi dimana ada gangguan penyerapan vitamin E ada kemungkinan terjadinya
kekurangan produksi
lipoprotein seperti abetolipoproteinemia. Defisiensi
juga mungkin dapat
terjadi bila tidak mengkonsumsi vitamin E dalam jangka lama, misalnya lebih dari satu tahun tidak mengkonsumsi vitamin E, yang akibatnya terjadi degenerasi membran sel antara lain mudah pecahnya membran sel darah merah (Muhillal. 2004).
c. Kecukupan Vitamin E yang Dianjurkan Angka kecukupan vitamin E yang dianjurkan untuk berbagai golongan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Aangka Kecukupan Vitamin E Yang Dianjurkan Umur (tahun) Kecukupan Vitamin E (mg) 10-12 11 13-15 15 16-18 15 19-29 15 30-49 15 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004, dalam Almatsier, 2009
20
4. Keterkaitan Antar Vitamin Sistem pertahanan antioksidan, bila vitamin E tidak berhasil mencegah pembentukan ALTJG:OOH di dalam membran sel ada sistem pertahanan lain yang berperan. ALTJG:OH dapat dilepaskan dari fosfolipida oleh enzim fosfolipase A₂ dan dipunahkan di dalam sitoplasma sel oleh enzim glutation peroksidase yang mengandung selenium. Jadi aktivitas antioksidan vitamin E dan selenium melalui glutation peroksidase sangat erat berkaitan satu sama lain. Enzim antioksidan penting lain adalah superoksida dismutase, katalese dan glukosa-6-fosfat dehidrogenase, serta ikatan-ikatan karoteroid, dan asam askorbat (vitamin C). Walaupun vitamin E sebagai entioksidan larut lemak utama di dalam membrane sel, konsentrasinya sangat kecil yaitu satu molekul per 2000-3000 molekul fosfolipida. Diduga terjadi regenerasi dengan bantuan vitamin C atau reduktase lain yang mereduksi radikal vitamin E kembali ke bentuk aslinya (Almatsier, 2009). Dalam melaksanakan fungsinya sebagai antioksidan di dalam tubuh, vitamin E sendiri diubah menjadi radikal. Namun radikal ini segera beregenerasi menjadi vitamin aktif melalui proses biokimia yang melibatkan vitamin C dan glutation (Youngson. 2005). Vitamin E melindungi asam lemak tak jenuh pada membran fosfolipid. Radikal peroksil bereaksi 1000 kali lebih cepat dengan vitamin E dari pada dengan asam lemak tak jenuh dan membentuk radikal tokoferoksil. Radikal ini selanjutnya berinteraksi dengan antioksidan yang lain seperti vitamin C yang akan membentuk kembali tokoferol (Dewoni, 2007).
21
C. Kecukupan Zat Gizi Asupan zat gizi yang diterima oleh tubuh dipengaruhi oleh faktor pola konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi. Kedua hal tersebut amat berkaitan erat dengan keragaman jenis asupan pangan yang dikonsumsi. Pola konsumsi seseorang tercermin dari komposisi makanan yang dikonsumsinya, seperti perbandingan asupan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Pola konsumsi yang seimbang antar sumber zat gizi berpengaruh pada kompleksitas zat gizi yang diterima oleh tubuh. Tingkat kecukupan vitamin tercermin dari jumlah vitamin yang dikonsumsi oleh tubuh sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Hal ini tercermin dari total kalori yang berasal dari makanan, baik itu bersumber dari karbohidrat, protein, maupun lemak yang dipergunakan oleh tubuh sebagai sumber penyeimbang. Kecukupan zat gizi (recomemded diatery allowance/RDA) adalah jumlah masing-masing zat gizi yang dianjurkan dipenuhi oleh seseorang agar hampir semua orang hidup sehat. Kecukupan zat gizi disusun untuk kelompok umur dan berat badan tertentu menurut jenis kelamin (Hardiansyah & Martianto 1992). Menurut Karyadi dan Muhillal (1991), kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan untuk mencakup semua orang sehat. Secara umum ada dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu kalori dan konsumsi protein. Kebutuhan kalori biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan protein dipenuhi dari konsumsi sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur, dan susu. Dan vitamin dipenuhi dari konsumsi buah-buahan dan sayuran (Hardinsyah & Martianto 1988).
22
1. Pengukuran Asupan Zat Gizi Cara pengukuran konsumsi makanan tingkat individu atau perorangan ada 5 yaitu: a. Metode estimated food record b. Metode penimbangan makanan (food weighting) c. Metode riwayat makan (dietary history method) d. Metode recall e. Metode frekuensi makan(food frecuency) Food weighting adalah salah satu metode penimbangan makanan. Pada metode penimbangan makanan ini responden atau petugas menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi selama 1 hari. ) Terdapat sisa makanan setelah makan juga perlu ditimbang sisa tersebut untuk mengetahui jumlah sesungguhnya makanan yang dikonsumsi. Food weighting mempunyai ketelitian yang lebih tinggi dibanding metode-metode lain karena banyaknya makanan yang dikonsumsi sehari-hari diketahui dengan cara menimbang (Mey 2010). Proses food weighting ini, semua makanan yang akan dikonsumsi pada waktu makan pagi, siang dan malam serta makanan selingan antara dua waktu makan ditimbang dalam keadaan mentah (AP). Juga ditimbang dan dicatat makanan segar yang siap santap serta makanan pemberian. Selain itu dilakukan inventory terhadap pangan yang tahan lama seperti gula, garam, merica, kopi, dan sebagainya pada waktu sebelum masak pagi dan setelah makan malam atau keesokan harinya. Setiap selesai makan ditimbang semua makanan yang tidak dimakan, yang meliputi makanan sisa dalam piring, sisa makanan yang masih dapat dilakukan untuk waktu makan selanjutnya, yang diberikan pada ternak dan yang diberikan pada orang lain. Makanan yang dibawa ke luar rumah oleh anggota keluarga misalnya untuk bekal sekolah dan yang dimakan oleh tamu juga ditimbang dan dicatat untuk menghitung konsumsi actual (Kusharto dan Sa’diyah 2008).
23
Kelebihan metode penimbangan makanan antara lain: memerlukan waktu dan cukup mahal karena perlu peralatan, bila penimbangan dilakukan dalam periode yang cukup lama, maka responden dapat merubah kebiasaan makan mereka, tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil dan memerlukan kerjasama yang baik dengan responden (Arisman, 2004).
2. Cara Menghitung Kecukupan Gizi Untuk menghitung kecukupan gizi seseorang dapat mengacu pada Daftar Kecukupan Gizi (DKG), yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan zat gizi rata-rata per orang perhari bagi orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut sudah memperhitungkan variasi kebutuhan individu, sehingga kecukupan ini setara dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi seseorang (Hardinsyah & Briawan 1994). Tingkat konsumsi zat gizi dihitung dengan rumus sebagai berikut : Ki TkGi = -------------- x 100 % AKGi Keterangan : TkGi
= Tingkat konsumsi zat gizi
AKGi
= Angka kecukupan zat gizi
Ki
= konsumsi zat gizi