9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pemberdayaan Masyarakat
2.1.1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan (empowerment) secara etimologis berasal dari kata „power‟ (kekuasaan atau keberdayaan). Empowerment diartikan sebagai pemberian atau peningkatan kekuasaan (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantage). Ife (1995) menyatakan, pemberdayaan menunjuk pada usaha realokasi kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial. Swift dan Levin (1987) menyatakan, pemberdayaan adalah suatu cara sehingga rakyat, organisasi, dan komunitas dapat diarahkan agar mampu menguasai kehidupannya. Berbagai pengertian tentang pemberdayaan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengertian Pemberdayaan No 1
Pengertian Paradigma baru dari konsep pembangunan ekonomi yang bersifat “people centered, participatory, empowering and sustainable”.
2
Upaya meningkatkan harkat dan martabat, kekuasaan, kemampuan, dan kemandirian lapisan masyarakat yang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, agar mampu mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kebutuhan obyektif masyarakat itu sendiri. Suatu aktifitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-determination). The expansion of assets and capabilities of poor people to participate in, negotiate with, influence, control, and hold accountable institutions that affect their lives” .
3
4
Dalam
wacana
pembangunan,
pemberdayaan
Pustaka Korten (1993) Chambers (1995) Kartasasmita (1996) Hikmat (2001) Suharto (2004) Sumodiningrat (2009) Simon (1990), Hikmat (2001) Word Bank (2002)
masyarakat
selalu
dihubungkan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Max Weber (1946) mengatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauankemauannya sendiri. Kekuasaan adalah sebagai alat atau metode yang tepat untuk meneruskan cita-cita eksistensialisme, fenomenologi ataupun personalisme, sekurang-kurangnya di dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyaratan (Soekanto,2003). Ife (1995) menjelaskan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya
10 menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas: (1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal dan pekerjaan; (2) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya; (3) Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan; (4) Kelembagaan: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan dan kesehatan; (5) Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan; (6) Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi serta pertukaran barang serta jasa; (7) Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi. Secara sosiologis, Pranarka dan Vidhyandika (1996) menyatakan bahwa terhadap sistem kekuasaan yang menjadi manifestasi dari determinisme sendiri, terbukti ada variasi dalam sikap dan pandangan. Keadaan tersebut melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan, yaitu: pertama, suatu bentuk penghancuran kekuasaan atau power to no body. Didasari pada keyakinan bahwa kekuasaan telah mengasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan maka kekuasaan harus dihapuskan. Kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan yang terpusat menimbulkan abuse dan cenderung mengeliminasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh karena itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri. Ketiga, pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang moderat dari dua pandangan sebelumnya. Pandangan ini merupakan antitesis dari pandangan power to no body dan pandangan power to every body. Menurut pandangan ini, power to no body adalah kemustahilan dan power to every body adalah chaos dan anarkis.
11 Oleh sebab itu menurut pandangan ini, yang paling realistis adalah power to powerless (Adimihardja dan Hikmat 2004). Menguatnya isu demokratisasi, semangat the civil society serta mencuatnya model pembangunan yang berbasis komunitas ini tidak hanya didasarkan pada pengalaman kegagalan strategi dan kebijakan pembangunan nasional pada masa lalu, tetapi juga pengalaman negara-negara maju yang kemudian mendorong terjadinya reorientasi dan perubahan paradigma pembangunan yang dikembangkan oleh Korten, et al (1984), dari ekonomi sebagai sentral (capital centered development) kepada manusia sebagai pusat utama pembangunan (people centered development). Selanjutnya dalam konteks inilah, wacana pemberdayaan masyarakat perlu dikontekstualkan ke dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan nasional tidak hanya berfungsi sebagai standar dan pemaksa yang menjamin adanya kesempatan yang sama bagi setiap orang, melainkan juga mampu menyediakan ruang bagi pemberdayaan masyarakat, baik dalam perumusan, strategi implementasinya maupun muatan program di dalamnya (Munandar,2008). Menurut Nugraha (2005) ketidakberdayaan yang melahirkan kemiskinan masyarakat desa di kawasan konservasi bukan disebabkan karena faktor budaya (cultural) atau alam (natural) namun lebih disebabkan karena faktor struktural. Secara garis besar faktor penyebab ketidakberdayaan masayarakat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.
2.1.2. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Berdasarkan definisi-definisi pemberdayaan di atas, dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
12 Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Beberapa pendapat tentang tujuan pemberdayaan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Tujuan Pemberdayaan. No
Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Pustaka
1.
Untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup mereka menjadi lebih baik, mandiri, berswadaya, mampu mengadopsi inovasi, dan memiliki pola pikir yang kosmopolitan. 2. Untuk membebaskan rakyat dari ketidakmampuan, keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan yang berpijak pada kemampuan rakyat sendiri dan berorientasi pada penggalian dan pengembangan segenap potensi yang ada dalam masyarakat. 3. Untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung 4. Menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial 5. Suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya
Tampubolon (2004) Suharto (2005b)
Ife (1995) Swift dan Levin (1987) Rappaport (1984);
2.1.3. Proses Pemberdayaan Masyarakat Proses pemberdayaan seperti yang telah dikembangkan oleh UN sejak tahun 1956 mempunyai tahapan-tahapan proses pemberdayaan masyarakat sebagai berikut: (1) mengetahui karakteristik masyarakat yang akan diberdayakan (getting to know the local community); (2) mengumpulkan informasi mengenai masyarakat, yang meliputi informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun informal (gathering knowledge about the local community); (3) mencari dukungan dari pimpinan/tokoh-tokoh masyarakat setempat, karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat (identifying the local leader),; (4) menjelaskan kepada masyarakat bahwa, sadar atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan dan kebutuhan yang perlu dipenuhi (stimulating the community to realize that it has problem)s; (5) membantu masyarakat untuk mendiskusikan persoalan yang mereka hadapi ( helping people to discuss their problem). Memberdayakan
masyarakat
bermakna
merangsang
masyarakat
untuk
mendiskusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan; (6) membantu masyarakat untuk mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan dan harus diutamakan pemecahannya (helping people to identify their most pressing problems,; (7) membangun rasa percaya diri (fostering
13 self-confidence), tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya; (8), masyarakat perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program
yang akan
dilakukan
(deciding
on
a
program
action);
(9),
memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhannya (recognition of strengths and resources); (10) pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara kontinyu (helping people to continue to work on solving their problems); (11), salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian masyarakat (increasing people’s ability for self-help). Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya (Tampubolon, 2004). Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan dilakukan dan dicapai melalui penerapan strategi pemberdayaan. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan (Suharto, 2005), yaitu; 1). Pendekatan mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap individu melalui bimbingan, konseling, stress managemet, intervensi krisis. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih individu dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach); 2). Pendekatan mezzo. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya; 3). Pendekatan makro. Pendekatan ini disebut strategi sistem besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas seperti perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobi, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat, merupakan beberapa strategi dalam pendekatan ini. Lebih lanjut Sumodiningrat (1997) mengatakan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan adalah: (1) bantuan dana
14 sebagai
modal
usaha;
(2)
pembangunan
prasarana
sebagai
pendukung
pengembangan sosial ekonomi rakyat; (3) penyediaan sarana untuk memperlancar pemasaran hasil produksi dan jasa masyarakat; (4) pelatihan bagi aparat dan masyarakat; (5) penguatan kelembagaan sosial ekonomi rakyat. Mashoed (2004) menyebutkan beberapa strategi pemberdayaan yang dapat dilakukan secara simultan, yaitu:1). Strategi De-Linking: Asumsi dasar dari strategi ini adalah bahwa salah satu sumber kemiskinan karena adanya hubungan dependensi antara kaum miskin dengan birokrasi. Mereka sangat tergantung kepada birokrasi.
Oleh
karenanya
sasaran
penanggulangan
kemiskinan
adalah
meningkatkan kemampuan mereka untuk mengartikulasikan kepentingan kepada sistem sehingga dapat diharapkan adanya sustainability atau keberlanjutan program pengentasan kemiskinan.; 2). Strategi desentralisasi: Dengan menempatkan lokus pengambilan keputusan pada unit yang paling dekat dengan kelompok sasaran, akan terwujud keputusan yang paling merefleksikan aspirasi dan kepentingan objektif masyarakat miskin. Apabila pusat pelayanan masyarakat termasuk pelayanan pemerintah berada jauh dari lokasi kelompok sasaran (masyarakat miskin), maka diperlukan upaya untuk mendekatkan pelayanan dan berada pada lingkungan masyarakat miskin tersebut.; 3). Strategi Integrasi Spatial: Dengan strategi ini, pengentasan kemiskinan dilakukan melalui perencanaan yang terintegrasi, yaitu antara rural dan urban, antara desa tertinggal dengan kota terdekat, antara desa terisolasi dengan kota kecamatan, dan seterusnya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan kebijakan, komitmen, organisasi, program, serta pendekatan yang tepat. Lebih dari itu diperlukan juga suatu sikap yang tidak memperlakukan orang miskin hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek. Orang miskin bukanlah orang yang tidak memiliki apa pun, melainkan orang yang memiliki sesuatu walaupun hanya sedikit.
2.1.4. Kelompok Miskin, Lemah dan Tidakberdaya Pengertian kemiskinan dari batasan yang digariskan oleh BPS dan Depsos dapat diuraikan sebagai berikut: 1). Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak; 2). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan
15 minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya; 3). Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (Suharto, 2004); 4). Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan; 5). Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Suharto, 2004). Menurut SMERU (2001), kemiskinan memiliki berbagai dimensi: 1). Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan); 2). Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).; 3). Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).; 4). Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal; 5). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.; 6). Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.; 7). Tidak adanya akses terhadap lapangan
kerja
dan
mata
pencaharian
yang
berkesinambungan;
8).
Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.; 9). Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
16 Dari berbagai pendapat selajutnya Suharto (2004) mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang disebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan: i). Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, rumah ibadah, ke rumah tetangga; ii). Kemampuan membeli komoditas „kecil‟: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo,dll); iii). Kemampuan membeli komoditas „besar‟: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, iv). Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusankeputusan keluarga; v). Kebebasan relatif dari dominasi keluarga; vi). Kesadaran hukum dan politik; vii). Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes; vii). Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat miskin dan kelompok lemah lainnya. Mereka adalah kelompok yang pada umumnya kurang memiliki keberdayaan. Oleh karena itu, untuk melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi: i). Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis; ii). Kelompok lemah khusus, seperti manula, anakanak dan remaja, penyandang cacat, masyarakat terasing; iii). Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/atau keluarga; iv). Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari „keumuman‟ kerapkali dipandang sebagai „deviant‟ (penyimpang). Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali
17 merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.
2.1.5. Faktor-Faktor Penyebab Ketidakberdayaan Masyarakat Ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat telah menjadi diskusi dan wacana akademis yang cukup hangat dalam dekade ini. Kelompokkelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat seperti kelas ekonomi rendah, minoritas etnis, wanita, penyandang cacat, dan sebagainya, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Menurut Munandar (2008), ketidakberdayaan disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional. Memberdayakan masyarakat berarti menciptakan peluang bagi masyarakat untuk menentukan kebutuhan, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, sehingga dapat menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Proses dalam mengupayakan pemberdayaan masyarakat harus tetap mengakomodir akar penyebabnya. Harus dapat diidentifikasi sekaligus dibuktikan berbagai penyebab ketidakberdayaan yang menimpa masyarakat desa di kawasan konservasi. Ketidakberdayaan masyarakat perdesaan umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi dan potensi desa atau kawasannya.
Menurut Nugraha, (2005)
ketidakberdayaan yang melahirkan kemiskinan masyarakat desa di kawasan konservasi bukan disebabkan karena faktor budaya (cultural) atau alam (natural) namun lebih disebabkan karena faktor struktural. Secara garis besar faktor penyebab ketidakberdayaan masayarakat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.
2.1.5.1. Faktor Internal Para ahli pendukung teori modernisasi seperti Rostow (1960) dan Lewis (1954)
dalam menganalisis masalah ketidakberdayaan cenderung memakai
pendekatan internal (cultural). Mereka menyimpulkan bahwa keterbelakangan dan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat tidak lain diakibatkan oleh faktor-faktor internal yang bersumber dari nilai-nilai budaya tradisional yang dianut masyarakat.
18 Teori ini bertolak dari suatu kerangka pemikiran yang mempertentangkan antara nilai-nilai modern dan nilai-nilai tradisional secara asimetris. Lebih lanjut Lewis
bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau
kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, dan rendahnya pendidikan. Keadaan ini berakar dari kondisi lingkungan yang serba miskin dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin telah memasyarakatkan nilai-nilai dan perilaku kemiskinan secara turun temurun. Akibatnya, perilaku tersebut melanggengkan kemiskinan mereka, sehingga masyarakat yang hidup dalam kebudayaan kemiskinan sulit membebaskan diri dari pengaruhnya. Demikian juga Solomon (1979) melihat bahwa ketidakberdayaan dapat bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal datang dari dalam diri kelompok lemah dan tidak berdaya itu sendiri, seperti: (1) rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya; (2) penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negatif dari orang lain; (3) lemahnya
struktur-struktur
memungkinkan
penghubung‟
kelompok-kelompok
(mediating
lemah
structures)
mengekspresikan
aspirasi
yang dan
menunjukkan kemampuannya terhadap lingkungan sosial yang lebih luas, seperti organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga keluarga yang secara tradisional merupakan lembaga alamiah yang dapat memberi dukungan dan bantuan informal, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan para anggotanya; (4) akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka lemah dan tidak berdaya,
karena
masyarakat
memang
menganggapnya
demikian;
(5)
ketidakberdayaan merupakan hasil dari pembentukan interaksi terus-menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan-diri sendiri, perasaan tidak dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan politik. Diantara beberapa aspek yang mempengaruhi kehidupan sosial termasuk keberdayaan masyarakat adalah agama,
budaya, pendidikan, adat istiadat,
ekonomi, hukum dan politik. Aspek yang paling dominan mempengaruhi kehidupan masyarakat tergantung pada sistem nilai yang dipegang oleh masyarakat itu sendiri. Pada masyarakat perkotaan yang paling berpengaruh adalah dimensi
19 ekonomi dan pendidikan, sedangkan pada masyarakat perdesaan biasanya adat istiadat, budaya setempat dan agama (Aziz, dalam Suhartini, et al. 2005). Faktor yang tidak kalah penting untuk diberikan perhatian adalah kendalakendala struktural yang terdapat di dalam masyarakat, kendala-kendala struktural tersebut
mendapat perhatian dari pendukung teori-teori struktural untuk
melengkapi analisis mereka secara komprehensif mengenai faktor penyebab kemiskinan masyarakat. 2.1.5.2. Faktor-faktor Eksternal Pendekatan eksternal berasumsi bahwa kemiskinan dan ketidakberdayaan yang melanda seseorang atau kelompok masyarakat lebih diakibatkan oleh adanya pengaruh yang berasal dari luar individu atau masyarakat itu sendiri, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi, kebijakan pembangunan yang terlalu terpusat, pola perencanaan yang kurang melibatkan institusi setempat sekaligus mengakomodir aspirasi masyarakat di tingkat bawah serta implementasi berbagai sistem yang tidak mencerminkan sistem sosial, ekonomi dan budaya setempat, sehingga dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan dan ketidakberdayaan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan atau ketidakberdayaan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan dan ketidakberdayaan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja (Suharto, 2004). Pernyataan Frank (1967) mengisyaratkan dengan tegas bahwa penyebab keterbelakangan dan kemiskinan yang dialami masyarakat terletak pada dimensi eksternal, yakni akibat proses ekploitasi yang terjadi, seperti yang berkaitan dengan penetrasi sistem kapitalisme sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, bahwa sistem kapitalisme yang dipraktikkan telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan secara besar-besaran dan kontinyu surplus ekonomi yang dimiliki
masyarakat,
sehingga mengakibatkan keterbelakangan dan
kemiskinan pada diri mereka. Berkaitan dengan itu, pendekatan eksternal struktural pada dasarnya bersumber dari pemikiran Marx, serta kaum neo-Marxis, dan teori ketergantungan. Intinya adalah mempersoalkan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam
20 masyarakat akibat adanya dominasi dan praktik-praktik ekploitasi yang berlangsung dalam sistem ekonomi kapitalisme. Solomon (1979), Escap (1999) dan Adimihardja & Hikmat (2004) juga menjelaskan bahwa ketidakberdayaan dapat disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, antara lain seperti: (1) interaksi negatif dengan orang lain.; (2) berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih luas; (3) kebijakan yang keliru, implementasi kebijakan yang tidak konsisten dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kebijakan yang sentralistik dalam penanganan masalah sosial berakibat masalah sosial bukan masalah komunitas. Mereka juga kurang mampu memanfaatkan potensi dan sumberdaya sosial yang ada. Kondisi masyarakat berada dalam situasi struktural yang tidak memperoleh kesempatan secara bebas untuk memuaskan aspirasinya dan merealisasikan potensi mereka. Akibatnya, masyarakat berada dalam kondisi tidak berdaya (Hikmat, 1999). Suharto, et al. (1997) menguraikan bahwa ketidakberdayaan juga disebabkan oleh beberapa faktor seperti: ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional. Rojek (1996) menambahkan bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses pemberdayaan adalah faktor-faktor determinan, antara lain, perubahan sistem sosial yang diperlukan sebelum proses pemberdayaan yang sebenarnya dimungkinkan terjadi. Karena itu, perubahan struktur sosial masyarakat dalam sistem sosial menjadi faktor terpenting dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat. Rojek menekankan bahwa sistem sosial yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah ekonomi dan politik. Perubahan sosial budaya berjalan dengan lambat dan bertahap, sehingga para warga masyarakat yang bersangkutan tidak merasakan adanya tahapan disorgananisasi sosial yang sedang berjalan. Selain itu faktor-faktor kunci keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat adalah partisipasi
dan kebijakan pemerintah serta pengakuan kedaulatan rakyat oleh
pemerintah (Hidayat 1997). Adapun partisipasi merupakan suatu bentuk interaksi dan komunikasi yang khas, yaitu berbagi dalam kekuasaan dan tanggungjawab (Dusseldorf, 1981). Lebih lanjut dijelaskan Upe (2005), bahwa partisipasi adalah: (1) keterlibatan masyarakat
21 dalam proses pembuatan keputusan
tentang tindakan yang dilakukan; (2)
bagaimana keterlibatan dalam pelaksanaan program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi-organisasi atau kegiatan-kegiatan khusus; (3) berbagi manfaat dari program pembangunan; atau (4) keterlibatan dalam evaluasi program.
2.2. Kawasan Konservasi Istilah konservasi muncul sebagai koreksi atas kekeliruan dasar dalam perlindungan, yang cenderung melihat sumberdaya hayati dari logika arkeologis sebagai sesuatu yang statis, sehingga aksi-aksi perlindungan hanya bertujuan untuk mengawetkan (preservation) sumberdaya tersebut. Sedangkan dari logika biologi melihat hutan dan segala isinya sebagai sesuatu yang dinamis dan terbarui, sehingga memunculkan istilah yang lebih relevan yaitu konservasi (conservation), yang diartikan sebagai perlindungan dengan nuansa yang lebih dinamis. Marsh dalam Wiratno, et al. (2004) mendasarkan konsep pemanfaatan dalam konservasi, yaitu pendayagunaan sumber daya alam secara bertanggung jawab agar berguna bagi manusia. Pemanfaatan sumber daya hayati dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup (ekonomis) manusia, namun di sisi lain diperlukan pemeliharaan eksistensi sumberdaya tersebut demi keberlanjutan hidup (ekologis) dan pemanfaatannya.
Tarik-menarik antara
kepentingan pengawetan dan
pemanfaatan sumberdaya alam inilah yang kemudian memunculkan gerakan konservasi. Wiratno (2004) menegaskan bahwa konservasi merupakan pengelolaan kehidupan alam oleh manusia guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Maka konservasi sebenarnya bernilai positif, mencakup pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan berkelanjutan, pemulihan dan peningkatan kualitas lingkungan alam. Pengembangan
kawasan
konservasi
ditujukan
untuk
mengusahakan
kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam rangka mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara berkelanjutan. Menurut McKinnon (1993) suatu kawasan konservasi dapat ditetapkan untuk melindungi berbagai ciri berikut: (1) karakteristik atau keunikan ekosistem, misalnya hutan hujan dataran rendah, fauna pulau endemik dan
22 ekosistem pegunungan tropika; (2) spesies khusus dengan pertimbangan kelangkaan dan terancam punah; (3) areal yang memiliki keanekaragaman spesies; (4) lansekap atau ciri geofisik yang bernilai estetika atau pengetahuan misalnya mata air panas, air terjun dan lain-lain;(5) fungsi perlindungan hidrologi, tanah, air dan iklim lokal; (6) fasilitas untuk rekreasi alam ataupun wisata alam misalnya danau, pantai, pemandangan pegunungan dan satwa liar yang menarik; dan (7) tempat peninggalan budaya, misalnya candi, kuil dan galian purbakala. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, kategorisasi kawasan perlindungan dan pelestarian terbagi menjadi Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. Kawasan Suaka Alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kawasan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Kawasan Cagar Alam hanya diperuntukkan bagi kepentingan penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu dan budaya. Sedangkan
Kawasan
Suaka
Margasatwa berfungsi melestarikan keanekaragaman atau keunikan jenis satwa, baik secara alami maupun dengan membina habitatnya, untuk tujuan penelitian, pendidikan dan juga wisata terbatas. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan yang hampir sama dengan kawasan suaka alam dengan fungsi lebih yaitu dapat dimanfaatkan sumberdaya hayati dan ekosistemnya secara lestari. Tipe kawasan ini terdiri atas Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Taman Nasional adalah mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman hutan raya adalah kawasan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, untuk tujuan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi. Sedangkan taman wisata alam dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi. Selain kedua jenis kawasan tersebut di Indonesia ada pula hutan lindung, yang berfungsi untuk melindungi sumberdya air, tanah, dan ekosistem yang memberikan penyangga kepada sistem kehidupan.
23 Menurut IUCN (1994) kawasan dilindungi (protected area) didefinisikan sebagai suatu areal, baik darat dan laut yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya yang terkait dengan sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau upaya-upaya efektif lainnya. Untuk dapat menjabarkan definisi diatas maka IUCN (1994) mengelompokkan kawasan dilindungi terdiri atas 6 (enam) kategori yaitu : (1) Strict Nature Reserve/Wilderness Area, yang meliputi : 1a = Strict Nature Reserve dan Monument;
(4)
1b = Wilderness Area; (2) National Park; (3) National Habitat/spesies
management
Area;
(5)
Protected
landscape/Seascape; (6) Managed Resources protected Area. Selanjutnya pada tahun 2004 IUCN mendefiniskan kembali tentang pengelolaan kawasan lindung seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Pergeseran Paradigma Pengelolaan Kawasan Lindung Topik Tujuan
Pengelolaan Masyarakat setempat Cakupan pengelolaan
Persepsi
Teknik Pengelolaan
Pendanaan
Kemampuan manajemen
Paradigma lama Khusus untuk tujuan konservasi Untuk perlindungan hidupan liar yang istimewa, Dikelola khusus untuk pengunjung wisatawan Nilai utamanya : wild life protection Dilakukan oleh pemerintah pusat Perencanaan dan pengelolaan tidak mempedulikan opini pendapat masyarakat lokal Dikembangkan secara terpisah Dikelola seperti pulau biologi
Dipandang sebagai aset nasional (milik pemerintah) untuk kepentingan nasional Pengelolaan kawasan konservasi sebagai respon jangka pendek Orientasi pengelolaan hanya difokuskan pada orientasi teknis Dibayarkan hanya dari pajak (taxpayer) → pemerintah Dikelola oleh ilmuwan dan para ahli sumberdaya Pemimpin “ahli”
Paradigma baru Mempunyai tujuan sosial dan ekonomi Juga untuk tujuan ilmiah melindungi wild life dan nilai budaya Dikelola bersama masyarakat lokal Also about restoration, rehabilitation & socioeconomic purposes Melibatkan berbagai pihak terkait Dikelola bersama masyarakat lokal Mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal Direncanakan dan dikembangkan sebagai bagian dari sistem nasional, regional dan internasional Dikembangkan dalam bentuk „jaringan‟ (Protected Area Network) Dipandang sebagai aset publik (milik masyarakat) dan untuk kepentingan internasional Pengelolaan diadaptasi menurut perspektif jangka panjang Orientasi pengelolaan juga mempertimbangkan aspek politik Dibiayai dari berbagai sumber keuangan (pemerintah, swasta, masyarakat) nasional internasionalt) Dikelola oleh multi-skilled individual Dikembangkan dari kearifan lokal (local knowledge)
Sumber: IUCN (2004)
2.3. Taman Nasional dan Pengelolaannya Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang paling umum dan dikenal secara populer (McKinnon 1993). Kebijakan pengelolaan Taman Nasional ditujukan untuk melestarikan sumberdaya alam hayati dan
24 ekosistemnya, memenuhi fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, serta pemanfaatan secara lestari dan optimal (IUCN 1994). UndangUndang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mendefinisikan bahwa Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sejak Yellowstone ditetapkan sebagai Taman Nasional pertama di dunia pada tahun 1872, dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, sudah ada lebih dari 2000 Taman Nasional yang ditetapkan di 136 negara (Wiratno,et al.2004). IUCN (1969) menetapkan beberapa prinsip pokok Taman Nasional, sebagai berikut: 1) mempunyai areal yang cukup luas. Karenanya, Taman Nasional sering mencakup beberapa ekosistem yang rata-rata merupakan kawasan hidupan liar (wilderness), yaitu kawasan yang
relatif belum terjamah manusia, baik yang berupa hutan
primer, hutan sekunder, semak belukar, padang rumput, pesisir pantai dan laut atau daerah pegunungan. Kawasan-kawasan yang relatif masih alami ini hendaknya dapat dikelola secara baik agar kondisi alamnya tetap seperti sedia kala, sehingga satwa liar yang ada di dalamnya tetap dapat bertahan hidup dan mampu berkembang biak dengan baik; 2) Taman Nasional harus mengandung isi yang istimewah, dimana jenis-jenis vegetasi dan binatangnya, habitat dan letak geomorfologisnya serta keindahan alamnya masih dalam keadaan utuh; 3) terdapat sistem penjagaan dan perlindungan yang efektif, dimana satu atau beberapa ekosistem secara fisik tidak berubah karena adanya ekploitasi dan permukiman manusia; 4) kebijakan dan manajemen dipegang oleh badan pemerintah pusat yang mempunyai kompetensi sepenuhnya, yang harus segera mengambil langkahlangkah pencegahan atau meniadakan semua bentuk gangguan atau pengrusakan terhadap ekosistem dan isi Taman Nasional; 5) kemungkinan pengembangan pariwisata, dimana para pengunjung diperkenankan memasuki Taman Nasional dengan persyaratan-persyaratan khusus untuk kepentingan mencari inspirasi, pendidikan, kebudayaan dan rekreasi. Kebijakan pengelolaan Taman Nasional ditujukan untuk melestarikan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pengelolaan Taman Nasional bertujuan agar Taman Nasional dapat memenuhi fungsi sebagai perlindungan sistem
25 penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari dan optimal (IUCN,1994). Wiratno, et al. (2004) mengusulkan agar pengelolaan Taman Nasional di Indonesia dilakukan dalam bentuk paket-paket pembangunan yang menyeluruh, yang meliputi sekolah-sekolah, pusat kesehatan, sistem irigasi, sistem komunikasi dan penyuluhan pertanian yang lebih baik. Selain itu, karena Taman Nasional juga memiliki kepentingan nasional, maka pemerintah pusat harus menyiapkan dana khusus untuk daerah-daerah di sekitar Taman Nasional. Dukungan ini dimaksudkan sebagai kompensasi bagi masyarakat setempat karena hak-hak tradisional mereka berkurang dalam memanfaatkan sumber daya alam di dalam kawasan yang kini menjadi Taman Nasional. Masyarakat setempat juga perlu diajak untuk menyadari bahwa dukungan pembangunan di daerahnya merupakan bagian dari pembangunan Taman Nasional, yaitu manfaat langsung yang diterima daerah di dekat kawasan alami, yang oleh pemerintah pusat dibuat sebagai zona untuk mengakomodasi kepentingan nonkonsumsi oleh masyarakat. Dilihat dari kedua definisi di atas, maka beberapa kegiatan pengelolaan dimungkinkan untuk dilakukan pada Taman Nasional. Oleh karenanya diperlukan kehati-hatian karena beberapa kegiatan mempunyai peluang eksploitatif seperti kegiatan pariwisata dan kegiatan budidaya. Pemanfaatan kawasan Taman Nasional sering menimbulkan konflik peruntukan, sehingga diperlukan adanya sistem zonasi, yaitu pembagian kawasan Taman Nasional berdasarkan fungsi dan tujuan pengelolaannya. UU No 5/1990 telah membagi kawasan Taman Nasional menjadi beberapa zonasi yaitu: (1) zona inti adalah bagian dari kawasan Taman Nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia; (2) zona pemanfaatan adalah bagian dari Taman Nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata; (3) zona lain adalah zona di luar zona inti dan zona-zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya. Upaya pengembangan Taman Nasional harus disesuaikan dengan pola kehidupan masyarakat yang bermukim disekitarnya (Alikodra 1990). Syarat Taman Nasional bebas dari okupasi manusia sulit diterapkan di Indonesia karena sebagian besar masyarakat adat dan masyarakat tradisional masih sangat mengandalkan
26 hidupnya pada sumber daya hutan, pesisir dan laut. Sebagian besar dari masyarakat masih tinggal menetap di dalam kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai Taman Nasional. Taman Nasional harus mendapat perhatian, khususnya pada otonomi daerah saat ini. Beberapa aspek pengelolaan yang masih sentralistik akan menjadi lebih baik jika menjadi otoritas yang lebih besar pada daerah. Pembenahan aspek-aspek yang berhubungan dengan faktor sumberdaya manusia (masyarakat) melalui pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan kawasan Taman Nasional sangat diperlukan. Oleh karena itu pemberdayaan dan partisipasi masyarakat yang baik dalam pengelolaan Taman Nasional yang ditunjang dengan sumberdaya manusia yang handal harus dilakukan untuk menjawab tantangan ini. 2.4.
Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Konservasi di Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 telah dijelaskan bahwa
penyelenggaraan kehutanan adalah berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan tersebut bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, yang salah satunya adalah dengan cara meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal. Poin tersebut sangat menjelaskan bahwa porsi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan menempati posisi yang sangat penting. Hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia berada dalam pola interaksi yang kuat dengan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Di mana masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi masih mengandalkan hidupnya pada hutan tersebut. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah penyangga kawasan konservasi masih sangat tergantung pada hutan. Aktivitas – aktivitas mereka antara lain mencari ikan, berburu, ladang berpindah dan sebagainya. Kebanyakan aktivitas mereka lambat laun juga akan mengganggu kawasan konservasi itu sendiri akibat meningkatnya kebutuhan yang disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk. Untuk saat ini mungkin aktivitas mereka masih pada tahap “ancaman bukan tindakan”. Ancaman disini adalah aktivitas mereka yang nantinya akan benar-benar mengganggu atau bahkan akan merusak hutan. Melihat ancaman tersebut, maka sangat perlu sekali adanya tindakan preventif untuk mencegah semakin
27 membesarnya bentuk tekanan manusia terhadap kawasan konservasi yang salah satunya melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dimulai dengan menggali potensi dan keinginan masyarakat tersebut dengan mempertimbangkan kebijakan pengelolaan hutan itu sendiri. Hal tersebut perlu dipertimbangkan, karena pemberdayaan masyarakat adalah kegiatan yang dilakukan dan untuk masyarakat itu sendiri. Kegiatan pemberdayaan masyarakat bila dimungkinkan dapat diarahkan untuk menjadikan masyarakat mempunyai aktivitas di luar kawasan konservasi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya sehingga akan mengurangi frekuensi aktivitas mereka di dalam kawasan. Tentunya, pola pemberdayaan akan berbeda di setiap kawasan konservasi. Pengelolaan zonasi yang bijaksana dan mengakomodir kebutuhan masyarakat juga dapat menjadi solusi dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya kawasan konservasi yang memiliki tingkat tekanan penduduk sangat kuat, dan tidak dimungkinkan untuk proses pengalihan aktivitas masyarakat. Poin utama pemberdayaan masyarakat sebagai kunci perlindungan kawasan adalah dengan mengurangi atau mengatur pola aktivitas masyarakat di dalam hutan. Dengan berkurangnya frekuensi aktivitas masyarakat di hutan maka akan mengurangi bahaya kerusakan hutan. Jika pemberdayaan tersebut berjalan lancar dan sesuai target maka tidak mustahil lambat laun masyarakat akan merubah pola hidup mereka menjadi lebih baik dan tidak lagi menggantungkan hidup mereka dengan hutan. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat diukur dengan adanya peningkatan kesejahteraan mayarakat dan perubahan pola pikir masyarakat tersebut. Jika tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan menurun dengan adanya aktivitas pemberdayaan masyarakat maka niscaya tingkat ancaman terhadap hutan konservasi akan berkurang. Masyarakat sekitar kawasan konservasi, merupakan masyarakat yang mendambakan suatu perubahan sosial dari kondisi kehidupannya. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi mempunyai makna meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat. Atau dengan kata lain pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi adalah upaya peningkatan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar mereka mampu mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kebutuhan obyektif masyarakat, baik sosial, budaya maupun ekonomi dalam suatu ekosistem hutan yang lestari.
28 Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi yang telah digariskan oleh Departemen Kehutanan (2004) adalah: (1) pelestarian lingkungan dan keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; (2) pemberdayaan
masyarakat
dilakukan
dalam
rangka
mendukung
dan
mempromosikan kegiatan pendidikan, pelatihan dan penelitian yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman sumberdaya alam hayati serta pembangunan berkelanjutan;
(3)
pemanfaatan
yang
proporsional
guna
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kartasasmita (1996), Sumodiningrat (1997) dan Departemen Kehutanan (2004) menguraikan proses pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi melalui tiga strategi, sebagai berikut: (1) proses enabling, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Pada tahap ini dilakukan pengembangan aspirasi dan partisipasi masyarakat, memotivasi dan membangkitkan kesadaran masyarakat.
Dengan maksud memahami
permasalahan dan potensi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang perlu dikembangkan sesuai aspirasi dan partisipasi masyarakat; (2) proses empowering yaitu memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Upaya pokok pada tahap ini antara lain meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang ada pada masyarakat memanfaatkan
setiap
peluang
yang
serta membuka kesempatan untuk ada,
mengembangkan
kelembagaan
masyarakat. Dengan maksud untuk mendorong peranserta masyarakat untuk memahami, merencanakan dan melaksanakan serta pemecahan permasalahannya dengan membangun kelembagaan yang mampu mendorong terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi. Selain itu dilakukan pengembangan usaha ekonomi masyarakat, pendekatan lintas sektoral dan menerapkan teknologi ramah lingkungan; (3) proses protecting (perlindungan), yaitu memberdayakan yang mengandung arti melindungi. Proses ini adalah untuk mencegah terjadinya kecenderungan persaingan yang tidak seimbang serta terjadinya eksploitasi bagi yang lemah oleh yang kuat. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi juga merupakan bagian integral NKRI dan berhak untuk dapat hidup layak dan setara dengan masyarakat lain di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat perlu diberdayakan. Selain itu, dalam menyikapi otonomi daerah, Taman Nasional harus mendapat perhatian yang lebih serius. Beberapa aspek pengelolaan yang masih sentralistik
29 akan menjadi lebih baik jika bergeser menjadi otoritas yang lebih besar pada daerah. Untuk itu perlu pembenahan terutama aspek-aspek yang berhubungan dengan
faktor
sumberdaya
manusia
(masyarakat)
melalui
pemberdayaan
masyarakat dan pengelolaan kawasan Taman Nasional. Oleh karena itu pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional yang ditunjang dengan sumberdaya manusia yang handal dituntut untuk menjawab tantangan ini. Kondisi ini mengantarkan pada suatu pemikiran bahwa pemberdayaan masyarakat harus dilaksanakan. Dasar kebijakan yang dapat dijadikan landasan penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4 : Tabel 4. Dasar Hukum Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Hutan No 1
Nomor peraturan perundang-undangan Undang-undang No. 5 Tahun 1990
Isi peraturan tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
2
Undang-undang No. 5 Tahun 1994
3 4
Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Undang-Undang No 41 Tahun 1999
tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati; tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; tentang Kehutanan;
5
Undang-Undang No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah;
6
Peraturan Pemerintah No 13 Tahun 1994 Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 1998
7 8 9
Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 2002
10
Peraturan Menteri Kehutanan No P19/Menhut II/2004 Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No 43/Kpts/DJ-VI/1997 tanggal 3 April 1997
tentang Perburuan Satwa Liar tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa; tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam tentang Pedoman Pengembangan Daerah Penyangga.
11
2.5. Analisis Faktor Analisis faktor merupakan suatu metode yang dalam prosesnya mencoba menemukan hubungan antar sejumlah variabel – variabel yang saling bebas satu sama lainsehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Selain itu, pada aplikasi penelitian lainnya analisis faktor dapat digunakan untuk menguji validitas konstruk. Tujuan lain analisis faktor yaitu: (1) Data summarization, yakni mengidentifikasi adanya hubungan antar variabel dengan melakukan uji korelasi. Jika korelasi dilakukan antar variabel analisis tersebut dinamakan R Factor Analysis. Tetapi apabila korelasi dilakukan antar responden atau kasus sampel penelitian, analisis
30 tersebut disebut Q Factor analysis, yang juga popular disebut Cluster Analysis, dan (2) Data reduction, yakni setelah melakukan korelasi, dilakukan proses membuat sebuah variabel set baru yang dinamakan faktor untuk menggantikan sejumlah variabel tertentu (Rahayu, 2005). Analisis
faktor
mempunyai
beberapa
asumsi
yang
penting
untuk
diperhatikan, diantaranya yaitu: (1) besaran korelasi atau korelasi antar independen variabel harus cukup kuat, misal di atas 0.5; (2) besaran korelasi parsial, korelasi antar dua variabel dengan menganggap tetap variabel yang lain, justru harus kecil. Pada SPSS, deteksi terhadap korelasi parsial diberikan lewat pilihan Anti-Image-Correlation; (3) pengujian seluruh matrik korelasi (korelasi antar variabel), yang diukur dengan besaran Barlett Test of Sphericity atau Measure Adequacy (MSA). Pengujian ini mengharuskan adanya korelasi yang signifikan di antara paling sedikit beberapa variabel; dan (4) pada beberapa kasus, asumsi normalitas dari variabel-variabel atau faktor yang terjadi sebaiknya dipenuhi. Menurut Rahayu (2005), secara garis besar, tahapan dalam analisis faktor terbagi menjadi beberapa langkah sebagai berikut: (1) Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor. Oleh karena analisis faktor berupaya mengelompokkan sejumlah variabel, maka seharusnya ada korelasi yang cukup kuat di antara variabel, sehingga akan terjadi pengelompokkan. Jika sebuah variabel atau lebih berkolerasi lemah dengan variabel lainnya, maka variabel tersebut akan dikeluarkan dari analisis faktor. Dari sejumlah variabel, mungkin saja, dalam seleksi ada satu atau lebih variabel yang gugur. Alat Barletts‟s Test dapat digunakan untuk keperluan ini, (2) Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan ‟ekstraksi‟ variabel tersebut hingga menjadi satu atau beberapa faktor. Beberapa metode pencarian faktor yang populer adalah Principal Component Analysis (PCA) dan Common Factors, (3) Faktor yang terbentuk, pada banyak kasus, kurang menggambarkan perbedaan di antara faktor-faktor yang ada. Misalnya masih ada kesamaan antara faktor 1 dengan faktor 2 atau sebenarnya masih sulit dikatakan apakah isi (variabel) pada faktor 1 benar-benar layak masuk faktor 1, ataukah mungkin dapat masuk faktor 2. Hal ini akan membingungkan proses analisis, karena sebuah faktor harus berbeda secara nyata dengan faktor yang lain. Jika isi faktor masih diragukan, dapat dilakukan dengan proses rotasi untuk memperjelas apakah faktor yang terbentuk sudah
31 signifikan berbeda dengan faktor lain; (4) Setelah faktor benar-benar sudah terbentuk, maka proses dilanjutkan dengan menamakan faktor yang terbentuk. Selanjutnya yang diperlukan adalah validasi hasil faktor. Tujuan analisis faktor adalah menggunakan matriks korelasi hitungan untuk: 1) mengidentifikasi jumlah terkecil dari faktor umum yang mempunyai penjelasan terbaik
atau
menghubungkan
korelasi
diantara
variabel
indikator;
2)
mengidentifikasi, melalui faktor rotasi, solusi faktor yang paling masuk akal; 3) estimasi bentuk dan struktur loading, komunality dan varian unik dari indikator. 4.) intrepretasi dari faktor umum. 5.) Jika perlu, dilakukan estimasi faktor skor. 2.5.1. Kaiser Meyer Oikin (KMO) Uji KMO bertujuan untuk mengetahui apakah semua data yang telah diambil telah cukup untuk difaktorkan. Hipotesis dari KMO adalah sebagai berikut : Hipotesis : Ho : Jumlah data cukup untuk difaktorkan H1 : Jumlah data tidak cukup untuk difaktorkan Statistik uji : p
p
r KMO =
i 1 j 1
p
p
r i 1 j 1
2 ij
2 ij
p
(4)
p
a i 1 j 1
2 ij
i = 1, 2, 3, ..., p dan j = 1, 2, ..., p rij = Koefisien korelasi antara variabel i dan j aij = Koefisien korelasi parsial antara variabel i dan j Apabila nilai KMO lebih besar dari 0,5 maka terima Ho sehingga dapat disimpulkan jumlah data telah cukup difaktorkan.
2.5.2. Uji Bartlett (Kebebasan Antar Variabel) Uji Bartlett bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antar variabel dalam kasus multivariat. Jika variabel X1, X2,…,Xp independent (bersifat saling bebas), maka matriks korelasi antar variabel sama dengan matriks identitas. Sehingga untuk menguji kebebasan antar variabel ini, uji Bartlett menyatakan hipotesis sebagai berikut: H0 : ρ = I H1 : ρ ≠ I
Statistik Uji :
rk
1 p rik , k = 1, 2,...,p p 1 i 1
32 r
ˆ
2 rik p( p 1) i k
( p 1) 2 1 (1 r ) 2 p ( p 2)(1 r ) 2
(5)
Keterangan : r k = rata-rata elemen diagonal pada kolom atau baris ke k dari matrik R (matrik korelasi) r = rata-rata keseluruhan dari elemen diagonal Daerah penolakan : tolak H0 jika p 2 (n 1) 2 2 ˆ T ( r r ) ( r k r ) ( p 1) ( p 2 ) / 2; ik 2 (1 r ) i k k 1
(6)
Jika variabel-variabel saling berkorelasi berarti terdapat hubungan antar variabel. Jika H0 ditolak maka analisis multivariat layak untuk digunakan terutama metode analisis komponen utama dan analisis faktor.
2.6. Analisis Strategi Pemberdayaan Masyarakat dengan AWOT Analisis strategi pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan cara pemilihan faktor-faktor strategis dengan masing-masing kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki serta sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan
analisis kebijakan dengan
pendekatan A'WOT, yang merupakan gabungan antara pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process) dan SWOT.
AHP banyak digunakan pada
keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pengambil keuputusan. ain dalam situasi konflik (Saaty, 1993). A'WOT, yaitu analisis strengs, weaknesses, opportunities, and threats (SWOT), yang diintegrasikan ke dalam analytical hierarchy process (AHP). Tujuan integrasi ini adalah meningkatkaan basis informasi kuantitatif dari prosesproses perencanaan strategis. Integrasi AHP ke dalam SWOT menghasilkan prioritas-prioritas yang ditentukan secara analitis berdasarkan faktor-faktor yang tercakup dalam SWOT dan membuat semua itu sepadan. SWOT memberikan kerangka dasar untuk pembentukan suatu analisis keputusan, sementara AHP
33 membantu pembuatan SWOT lebih analitis, sehingga strategi-strategi alternatif keputusan pemberdayaan dapat diprioritaskan. Tahapan metode A' WOT sebagai berikut. Setelah analisis SWOT dilakukan, selanjutnya adalah analisis dengan menggunakan Analytical Hierarchy Prosess (AHP). Analytical Hierarchy Prosess (AHP), pertama kali dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty (1970) dengan maksud untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih alternatif yang paling disukai. Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan yang akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisisr, sehingga dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategis, dan dinamis menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). Secara grafis, persoalan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat, yang dimulai dengan goal/sasaran, lalu kriteria level pertama, sub kriteria dan alternatif. Dari berbagai kriteria dan sub kriteria serta alternatif di atas, akan diberikan bobot relatif dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparasion) secara konsisten, sehingga akan diperoleh suatu himpunan bilangan yang merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif tersebut. Metode AWOT dikembangkan dari gabungan metode AHP dan SWOT dengan memanfaatkan kelebihan kedua metode tersebut untuk saling melengkapi dalam meminimalisasi kelemahannya. Metode AHP adalah strukturisasi dari berbagai criteria guna menentukan alternative pilihan (keputusan) terbaik. Sementara analisis SWOT merupakan kumpulan faktor dan sub-faktor kondisi internal (kekuatan dan kelemahan), serta eksternal (peluang dan ancaman) suatu objek, guna memperoleh pilihan strategi terbaik. Metode AWOT merupakan kombinasi dari strukturisasi AHP yang menggunakan berbagai faktor dan subfaktor
34 SWOT sebagai criteria dalm strukturnya. Selain itu, alternatif dalam struktur merupakan startegi analisis SWOT. Hal ini dijelaskan dalam gambar berikut.
Gambar 2. Strukturisasi metode AWOT
2.7. Review ICDP TNKS Kelahiran TNKS mendapat perhatian banyak lembaga internasional: GEF (Global Environment Facility), UNDP (United Nations Development Program), Bank Dunia dan JGF (Japan Grand Facility). GEF, bekerjasama dengan UNDP, menawarkan proyek pelestarian keragaman hayati. Bank Dunia, dengan mengontrak konsultan, melaksanakan kajian investasi untuk komponen program ICDP (Integrated Conservation and Development Project). Implementasi kegiatan ICDP, yang dirancang sebagai proyek pengelolaan TNKS, melibatkan semua pihak. Karena itu, kerangka kerjanya difokuskan pada empat komponen: Komponen A pada pengelolaan taman; Komponen B pada pengembangan desa-desa yang tingkat interaksi dan ketergantungan pada TNKS relatif tinggi; Komponen C memfokuskan diri pada pengelolaan wilayah konsesi hutan di kawasan penyangga taman; dan Komponen D melakukan evaluasi dan monitoring terhadap ketiga komponen. Konsultan ini membentuk tim spesialis, yang berasal dari berbagi pihak: Pemerintah, LSM (nasional dan internasional – WWF) dan juga kalangan swasta. Mereka mengkaji berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan TNKS. Untuk menjembatani tahap persiapan ke implementasi, JGF melalui Bank Dunia, membantu kegiatan melalui Paket C dan D. Paket C untuk survei bentang alam dan kondisi sosial ekonomi desa-desa perbatasan TNKS, dan Paket D untuk penguatan LSM lokal diserahkan pada Warsi (Warung Informasi Konservasi) dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKS.
35 Selain kerjasama internasional dengan koordinasi Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia, WWF Indonesia, melalui WWF ID 0094, sejak tahun 1991 membantu pengelolaan TNKS sebelum terbentuk UPT dan balai. Kegiatan yang dilakukan, antara lain, penguatan nilai-nilai tradisional masyarakat tentang konservasi dengan membentuk hutan adat, pendampingan ekowisata dan pemanfaatan lahan terlantar. Tahun 1995, Flora Fauna International melalui dukungan lembaga internasional dan bekerjasama dengan Ditjen PHKA Dephut, melakukan beberapa kegiatan TNKS. Diantaranya proyek orang pendek, yang sempat dikabarkan menjadi ”penjaga” hutan TNKS, dan perlindungan pelestarian mamalia besar seperti harimau Sumatera, badak Sumatera, gajah dan tapir, yang populasinya mulai langka. Setahun kemudian, Bank Dunia membantu pengelolaan, bersama UPT TNKS, dengan memberikan dana kepada WWF ID 0094. Kegiatan yang dirancang adalah melakukan pra implementasi ICDP di 10 desa, dengan fokus kegiatan pada pengembangan wilayah perdesaan. Sepuluh desa ini diambil dari desa yang sebelumnya melaksanakan kegiatan paket C dan D. Dari proses fasilitasi desa dan KKD, hambatan itu berkaitan dengan persiapan rencana pengembangan ekonomi desa yang menggunakan dana dari hibah konservasi desa (HKD). Semua permasalahan yang ditangkap selama pelaksanaan adalah perlunya sebuah strategi dan pendekatan terpadu disemua tingkatan dan disemua sektor. Solusi yang ditangkap untuk mengatasi hambatan pelaksanaan ICDP, termasuk proses HKD dan KKD--- adalah tidak mudah untuk mengembangkan atau melaksanakan. Salah satu tujuan TNKS-ICDP adalah meningkatkan pengelolaan dan perlindungan TNKS, termasuk melibatkan masyarakat setempat. Hal ini menandakan pentingnya pengelolaan bersama yang berkelanjutan. Lebih lanjut, dituliskan dalam laporan yang sama bahwa pendekatan ICDP di Indonesia adalah mencari pengembangan yang sistematis atas tanggung jawab pengelolaan bagi kehidupan masyarakat disekitar daerah yang dilindungi. Ini memerlukan suatu desentralisasi wewenang pengelolaan bagi instansi setempat, termasuk pendanaan untuk daerah-daerah yang dilindungi. Namun demikian, masyarakat maupun pengelola TNKS sendiri diharapkan memiliki kemampuan untuk melindungi TNKS. Penempatan staf lapangan Balai TNKS di desa merupakan suatu kesempatan untuk mencapai tujuan itu.
36 Dalam kaitan ini susunan dan peran Balai TNKS perlu diklarifikasi, dipertimbangkan kembali, dan diperkuat. Lembaga ini perlu mendapat kewenangan oleh Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Departemen Kehutanan untuk menangani secara leluasa keadaan-keadaan setempat dan diberi desentralisasi tanggung jawab lebih banyak untuk membuat keputusan yang bersifat lokal dan pengambilan resiko-resiko atas kebijakan setempat. Seperti dikemukakan Wells dkk. (1999), sangat sedikit ICDP di Indonesia dapat secara realistis menyatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati telah atau sepertinya ditingkatkan secara berarti sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan proyek. Lebih lanjut Wells mengatakan, jelas terlihat bahwa paling banyak percobaan untuk meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia melalui ICDP, tidak meyakinkan dan tidak mungkin berhasil pada situasi jangka pendek. Analisa oleh Barber dkk (1995) mengenai beberapa ICDP di Indonesia, memberikan banyak rekomendasi terhadap keberlanjutan ICDP TNKS. Barber berpendapat, kebijakan mengenai daerah yang dilindungi harus diubah dalam beberapa cara untuk memfasilitasi usaha-usaha model ICDP. Pertama, kenyataan akan pemanfaatan manusia dan pemakaian lahan dan sumber daya daerah yang dilindungi harus dipahami dan kebijakan dirancang untuk meminimalkan dampak, mengamankan penghidupan setempat, dan memasukkan penduduk lokal untuk mengawasi akses kedalam taman dan eksploitasi sumberdaya. Kedua, Kebijakan baru mengenai pengaturan batas di daerah yang dilindungi dan pengawasan sangat diperlukan untuk mendukung tujuan pertama. Ketiga, Struktur dan mandat dari Instansi Pemerintah (Ditjen PHKA) harus diperkuat. Pernyataan diatas berasal dari pengalaman dan tujuan ICDP TNKS. Bahwa pelibatan masyarakat setempat secara nyata dalam pengelolaan TNKS dan ketepatan akan penguatan institusi PKA, masih tidak jelas. Jaringan Balai TNKS, berupa staf lapangan, yang bermarkas di desa adalah satu langkah terhadap klarifikasi atas prioritas-prioritas akan kebutuhan pengelolaan lokal dan penguatan kemampuan. Penegakkan hukum yang efektif, khususnya pengaruh luar yang terorganisir, harus dipertimbangkan sebagai dasar untuk mencapai tujuan ICDP secara optimal, termasuk titik berat pada fasilitasi dan pembangunan desa, seperti menciptakan pendapatan alternatif, peningkatan produktifitas pertanian, identifikasi sumberdaya desa dan perencanaan penggunaan lahan.
37 Pelajaran
yang
dipetik
dari
berbagai
ICDP
dan
proyek-proyek
pembangunan masyarakat menunjukkan betapa pentingnya hubungan kerjasama desa dan pemerintah. Penolakan terhadap hubungan akan membuang waktu, tenaga dan uang. Hubungan harus menjadi salah satu pendukung, bukan konfrontasi yang berkepanjangan, kebijakan yang membingungkan, dan kadang-kadang penegakkan hukum yang tidak sesuai. Fokus dari TNKS-ICDP adalah lebih banyak pada penduduk desa di zona penyangga. Mereka bukan merupakan komponen yang memiliki dampak terbesar perlindungan TNKS dalam jangka panjang. Pengaruh luar yang terorganisir dan ketidakseriusan penegakkan hukum untuk mengontrol pengaruh-pengaruh ini, harus menjadi perhatian ICDP. Masalahnya, fokus utama penegakkan hukum yang lebih ditujukan langsung terhadap penduduk desa, ini tidak menemukan akar masalah yang pasti, melainkan hanya gejala. Penduduk desa membutuhkan kepastian dan jaminan lahan untuk mempertahankan kehidupan mereka, sementara TNKS membutuhkan dukungan melalui kesadaran publik dan pencapaian konsensus untuk mempertahankan keanekaragaman hayatinya dan integritasnya. Salah satu pelajaran yang diambil dari pelaksanaan program pengelolaan sumberdaya alam yang didanai USAID tahun 1998. Proyek ini menegaskan pengelolaan taman nasional berkaitan dengan pengelolaan dan pemberdayaan manusia. Pengalaman menunjukkan, perlu mengetahui berapa banyak pihak atau stakeholders yang berasosiasi dengan taman nasional. Untuk mengembangkan proses perencanaan, multi stakeholder dilibatkan secara aktif dalam membuat keputusan. Stakeholder mewakili sebuah komunitas taman, terdiri dari kelompokkelompok yang berbeda kepentingan. Dalam hal ini, titik berat terbesar dari stakeholder untuk bekerjasama mengelola TNKS adalah staf lapangan BTNKS dan kelompok-kelompok desa, baik didesa-desa ICDP, maupun yang tidak. Dukungan pemerintah daerah juga akan sangat dibutuhkan sebagai tambahan stakeholder kunci bagi kelanjutan tujuan kerjasama pengelolaan TNKS. Asumsi yang berkembang selama ini meski pemikiran ini banyak yang gagal adalah bahwa konservasi melalui pembangunan ekonomi harus menjadi fokus utama dalam pengelolaan TNKS. Akan tetapi, pemberian dana hibah (HKD) kepada sejumlah desa sebagai hasil kesepakatan (KKD) untuk melindungi TNKS juga tidak menghentikan perambahan untuk kepentingan pertanian pada tingkat yang dibutuhkan.
38 Penduduk desa melihat proses ini sebagai sesuatu kesepakatan (KKD) untuk memperoleh hasil hibah (HKD). Tapi tindak lanjut dari kesepakatan yang sudah ditandatangani juga patut dipertanyakan, kecuali apabila beberapa perubahan diperbuat. Banyak faktor yang mempengaruhi ”pelanggaran” kesepakatan itu, termasuk yang dari luar--- biasanya tidak dapat dikontrol oleh proyek ini, seperti penebangan liar, perburuan dan pengambilan sumberdaya lain, ketidakmampuan untuk menghentikan perambah dari luar desa. Ada juga faktor dari dalam sendiri, seperti penerima HKD yang terbatas, hanya kepada beberapa warga desa serta kurangnya pengertian komitmen yang serius terhadap konservasi TNKS. Perlindungan alam, menurut Brechin dkk, adalah sebuah proses sosial dan politik yang harus difokuskan pada organisasi manusia dan tindakan bersama. Ada lima konsep utama dari proses ini: (i.) martabat manusia, (ii.) legitimasi ; (iii.) kekuasaan, (iv.) pertanggungjawaban dan (v.) adaptasi dan belajar. Jika konsepkonsep ini digunakan dalam rencana untuk pengelolaan TNKS, keberhasilan yang lebih besar untuk tujuan ganda dari konservasi keanekaragaman hayati dan keadilan sosial dapat dicapai. Suatu pendekatan baru, lebih dari sekedar konservasi dan pembangunan, mungkin melalui konservasi alam dan keadilan sosial. Kita perlu menemukan cara untuk menunjukkan bagaimana perlindungan alam bukan sekedar kepentingan lingkungan/ekologis, tapi sesuai dengan kebudayaan, didukung secara politik dan secara sosial (dan moral). Kesuksesan konservasi alam akan tergantung kepada kemampuan untuk menegosiasikan legitimasi dan kesepakatan pengelolaan dilaksanakan. Ini membutuhkan penguatan kelembagaan yang telah ada dan penyusunan organisasi. Sebuah langkah awal terhadap pengelolaan TNKS adalah meminta beberapa kelompok lokal dioganisir dan bagaiman kelompok-kelompok ini boleh atau tidak boleh menghargai pelarangan pengelolaan TNKS. Sebagai kesimpulan, peningkatan pengelolaan TNKS dengan masyarakat lokal perlu dibangun berdasarkan pengalaman bersama komponen ICDP lainnya dengan menegosiasikan kesepakatan secara ekologis dan membantu programprogram yang sesuai secara politis dan secara sosial. Program-program ini perlu diadopsi untuk kondisi desa yang spesifik, berdasarkan legitimasi penegakkan hukum melalui kesepakatan yang kuat dengan semua stakeholders. (Dr. Arthur H. Mitchell, Team Leader Komponen B ICDP TNKS).