BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Transportasi Perkotaan Salah satu indikator kota berkembang adalah tersedianya sistem transportasi
yang memadai dalam melayani warga kota, dikarenakan lalu lintas dan angkutan menjadi semakin vital peranannya sejalan dengan peningkatan ekonomi dan mobilitas masyarakat. Namun seiring dengan kenyamanan teknologi dan pertumbuhan penduduk sistem transportasi akan menjadi salah satu sumber masalah yang dari hari kehari semakin bermasalah. Masalah transportasi muncul disebabkan oleh tidak seimbangnya pertambahan jaringan jalan dengan kapasitas jumlah
lalu lintas, bila dibandingkan dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan jumlah kendaraan. Rata-rata jaringan jalan dikota besar Indonesia umumnya, kurang dari 4% dari total wilayah kota. Pertambahan jumlah kendaraan berkisar antara 8 – 12% per-tahun, sedangkan pertambahan panjang jalan berkisar antara 2 – 5% per-tahun. Hal ini dibuktikan bahwa panjang jalan perkapita masih tergolong rendah yaitu berkisar 0,7 meter hingga 1,2 meter/ kapita. Kota Medan sebagai kota berkembang menuju kota metropolitan perlu upaya untuk meningkatkan pelayanan, salah satu misalnya adalah pelayanan jalan. Sesuai dengan visi dan misi Kota Medan pembangunan akan terus berkembang secara
Universitas Sumatera Utara
dinamis dengan adanya pengaruh positif dan negatif untuk dapat beradaptasi terhadap pembaharuan
dan
dengan
segala
konsekwensinya
dalam
mengwujudkan
pembangunan masyarakat nasional aman, nyaman, inovatif variabel-variabel yang berpengaruh positif dan negatif tersebut sangat banyak dan kompleks. Beberapa variabel yang penting untuk diperhatikan adalah pertimbangan terhadap peranan masyarakat dalam informasi. Peran dari partisipasi masyarakat dan peran dari teknologi dapat merupakan sinergi yang sempurna (Soehodho, 2000).
Masalah
kinerja ruas jalan yang dihadapi oleh kota menengah dan kota besar tetapi juga terhadap kota kecil terutama yang memiliki volume kendaraan yang tinggi. Ditinjau dari peranan transportasi kota, maka kualitas variabel-variabel yang berhubungan dengan efisiensi adalah kecepatan, keamanan, kapasitas frekwensi, keteraturan, keterpaduan, kenyamanan, jaminan pengamanan resiko yang mungkin timbul dan biaya yang dapat diterima (Schumer Leslie-A 1974). Variabel-variabel yang berhubungan dengan kinerja ruas jalan yaitu kapasitas, derajat kejenuhan, kecepatan tempuh dan hambatan samping. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 (MKJI, 1997), jalan perkotaan merupakan segmen jalan yang mempunyai perkembangan secara permanen dan menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, apakah berupa perkembangan lahan atau bukan. Termasuk jalan di atau dekat pusat perkotaan dengan penduduk lebih dari 100.000, maupun jalan didaerah perkotaan dengan penduduk kurang dari 100.000 dengan perkembangan samping jalan yang permanen dan menerus.
Universitas Sumatera Utara
Type jalan pada jalan perkotaan adalah sebagai berikut: 1.
2 - lajur 1 -arah (2/1).
2.
2 - lajur 2 - arah tidak terbagi (tanpa median) (2/2 UD).
3.
4 - lajur 2 – arah tak terbagi (tanpa median) (4/2 UD).
4.
4 - lajur 2 – arah terbagi (4/2 D).
5.
6 - lajur 2 –arah terbagi (6/2 D).
Jalan perkotaan dan jalan luar kota adalah jalan bersinyal yang menyediakan pelayanan lalulintas sebagai fungsi utama, dan juga menyediakan akses untuk memindahkan barang sebagai fungsi pelengkap. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 13/1980 yang dimaksud dengan: 1.
Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan yang diperuntukkan bagi lalu lintas.
2.
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
3.
Jalan khusus adalah jalan selain dari pada yang termasuk jalan umum.
4.
Bangunan
pelengkap
adalah
meliputi
jembatan,
ponton,
dan
atau/pelayanan, lintas bawah, tempat parker, gorong-gorong, tembok penahan dan selokan samping yang dibangun dengan persyaratan teknik. 5.
Pelengkap jalan adalah rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan yang mempunyai fungsi sebagai sarana untuk mengatur kelancaran keamanan dan ketertiban lalu lintas.
Universitas Sumatera Utara
6. Pembinaan jalan adalah kegiatan penanganan jaringan jalan yang meliputi penentuan sasaran dan perwujudan sasaran. Selanjutnya Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor. 14/1992 dijelaskan bahwa beberapa defenisi yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1.
Jalan adalah jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas umum.
2.
Lalu lintas adalah lajur gerakan kendaraan, orang dan hewan di jalan raya.
3.
Angkutan adalah pemindahan orang dan atau barang dari satu tempat lain dengan menggunakan kendaraan.
4.
Jaringan transportasi jalan adalah serangkaian simpul dan atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga membentuk suatu kesatuan sistem jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.
5.
Terminal adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan untuk memuat dan untuk membongkar serta menurunkan orang/barang serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan umum yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan transportasi.
6.
Kendaraan adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan terdiri dari kendaraan bermotor atau kendaraan tidak bermotor.
7.
Kendaraan tidak bermotor adalah kendaraan yang digerakan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu.
8.
Kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan bayaran.
Universitas Sumatera Utara
9. Penanganan jalan adalah setiap orang dan atau badan hukum yang meng gunakan jasa angkutan baik angkutan orang maupun barang. Selanjutnya jalan menurut Undang-undang Nomor. 13/1980 juga dijelaskan fungsi jalan adalah sebagai berikut: 1. Jalan mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan serta dipergunakan untuk sebesar− besarnya untuk kemakmuran rakyat. 2. Jalan mempunyai peranan untuk pendorong pengembangan semua satuan wilayah pengembangan untuk mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin merata. 3. Jalan
merupakan
suatu
sistem
jaringan
yang
mengikat
dan
menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanan dalam suatu hubungan hirarki. 4. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah ditingkat nasional dengan semua simpul jasa distribusi yang kemudian berwujud kota. 5.
Sistem jaringan sekunder adalah sistem peranan jaringan jalan dengan distribusi masyarakat dalam kota.
6.
Sistem jaringan primer disusun mengikuti ketentuan penyatuan tata ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a.
Dalam satu satuan wilayah pengembangan menghubungkan secara menerus kota jenjang kesatu, kota jenjang kedua kota jenjang ketiga dan jenjang dibawahnya sampai ke persil.
b.
Menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota kesatu antar satuan wilayah pengembangan.
7.
Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, dan seterusnya sampai keperumahan. Jalan arteri primer adalah merupakan jalan yang berfungsi sebagai
penghubung
antara
kota
jenjang
kesatu
yang
terletak
berdampingan dan menghubungkan kejenjang kesatu dengan kota yang lainnya, selanjutnya diperjelas dengan peraturan seperti dalam uraian dibawah ini. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 26/1992 tentang jalan bahwa jalan dapat dibagi atas: 1.
Jalan arteri primer dengan kriteria jalan tersebut adalah sebagai berikut: a.
Jalan arteri primer mempunyai kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam dengan lebar jalan tidak kurang dari 8 meter.
b.
Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang paling besar dari volume lalu lintas rata-rata.
c.
Pada arteri primer untuk lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas dan kegiatan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
d.
Jumlah jalan masuk kejalan arteri primer dibatasi sehingga arus lalu lintas pada ruas tersebut tidak terganggu dari kecepatan rencana jalan.
e.
Persimpangan pada jalan arteri primer perlu pengaturan tertentu untuk dapat terpenuhinya kecepatan dan kinerja ruas jalan.
f. 2.
Jalan arteri primer tidak boleh terputus walaupun melalui kota.
Jalan Kolektor Primer dengan kriteria jalan tersebut adalah sebagai berikut: a.
Jalan kolektor primer mempunyai kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam dengan lebar jalan tidak kurang dari 7 meter.
b.
Mempunyai kapasitas
yang besar atau yang sama besar dari
volume lalu lintas rata-rata. c.
jumlah jalan masuk dibatasi dan
direncanakan sehingga
ketentuan kapasitas dan kinerja ruas jalan dapat dicapai. 3.
Jalan primer dengan kriteria jalan tersebut adalah sebagai berikut: a.
Mempunyai kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dan dengan lebar jalan tidak kurang dari 6 meter.
b. Tidak terputus walaupun memasuki jalan desa. 4.
Jalan arteri sekunder dengan kriteria jalan tersebut adalah sebagai berikut: a.
Jalan arteri sekunder
mempunyai kecepatan rencana paling
rendah 30 km/jam dengan lebar jalan tidak kurang dari 8 meter.
Universitas Sumatera Utara
b.
Mempunyai kapasitas yang besar atau yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
c.
Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.
d.
Persimpangan
dengan
pengaturan
tertentu harus dapat
memenuhi kapasitas dan kinerja ruas jalan sesuai dengan rencana. 5.
Jalan Kolektor Sekunder dengan kriteria jalan tersebut adalah sebagai berikut:
Kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dan mempunyai lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter. 6.
Jalan sekunder dengan kriteria jalan tersebut sebagai berikut: a.
Mempunyai kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam dan dengan lebar
b.
jalan tidak kurang dari 5 meter.
Persyaratan teknis jalan sekunder sebagai dimaksud dalam tercapainya kecepatan rencana diperuntukkan untuk roda 3 atau lebih.
c.
Yang tidak diperuntukkan untuk kendaraan bermotor beroda 3 atau lebih harus mempunyai lebar jalan tidak kurang dari 3,5 meter.
Pembebasan lalu lintas jarak jauh dari gangguan lalu lintas dan ulang alik dilakukan dengan sebagai berikut: 1.
Pengaturan lalu lintas dapat dilakukan dengan antara lain:
Universitas Sumatera Utara
a.
Pengurangan/pembatasan hubungan langsung lebar jalan arteri primer.
2.
b.
Penambahan jalur lambat.
c.
Penyediaan jembatan penyeberangan.
d.
Pemisahan oleh marka atau rambu jalan.
e.
Pengurangan atau pembatasan waktu parkir.
Yang dimaksud dengan kecepatan rencana adalah kecepatan kendaraan yang dicapai bila berjalan tanpa gangguan dan aman, jalan dengan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam, adalah jalan yang didesain dengan persyaratan-persyaratan geometric yang diperhitungkan terhadap kecepatan
minimum 60 km/jam dengan
aman. 3.
Volume
lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu
penampang tertentu pada suatu ruas jalan tertentu dalam satuan waktu tertentu pula. Volume lalu lintas rata-rata adalah jumlah kendaraan rata-rata yang dihitung menurut satuan waktu tertentu. 4.
Kapasitas jalan adalah jumlah maksimum kendaraan yang dapat melewati suatu penampang tertentu pada ruas jalan tertentu dalam satuan waktu tertentu pada keadaan jalan dan lalu lintas dengan tingkat kepadatan yang ditetapkan.
5.
Kapasitas lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata adalah kepadatan lalu lintas yang tidak menimbulkan, keterlambatan,
Universitas Sumatera Utara
gangguan atau pembatasan dari kebebasan pergerakan pengemudi pada kendaraan lalu lintas dengan tingkat kepadatan yang telah ditetapkan. 2.1.1
Prasarana transportasi Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi yang mempunyai daya
rangsang terhadap pertumbuhan kawasan sekitarnya. Tidak seimbangnya penyediaan jaringan jalan terhadap jumlah pertambahan kebutuhan ruang jalan merupakan gambaran permasalahan yang besar akan timpangnya sistem sediaan (supplay) dengan sistem permintaan (demand). Transportasi selalu dikaitkan dengan tujuan misalnya perjalanan dari rumah ke tempat bekerja, ke pasar, tempat rekreasi dan dari sentral ke daerah distribusi. Kusumantoro (1994) menyatakan bahwa untuk menghindari masalah penyediaan sarana dan prasarana transportasi di Jerman di lakukan dengan meningkatkan kapasitas jalan melalui manajemen lalu lintas serta
memanfaatkan
angkutan umum masal. Angkutan masal ini berupa moda yang mampu memberikan kapasitas yang besar bagi pengguna angkutan umum. Jaringan transportasi dapat dipergunakan
untuk
mengendalikan
pertumbuhan
dan
menentukan
arah
pembangunan dan mengatur konsentrasi kegiatan dan bangunan fisik pada tempat sehingga tidak melebihi kapasitas utilitas yang ada (Branch, 1995). Beberapa tolak ukur dalam pembagian sub ruas jalan yakni, (1) factor fisik jalan terdiri dari lebar tiap-tiap jalur jalan, jumlah jalur jalan pada suatu ruas jalan,
Universitas Sumatera Utara
kebebasan jalan terhadap pengaruh gangguan tepi jalan (lateral clearance), kelandaian jalan dan lebar bahu jalan dan (2) Faktor lalu lintas meliputi komposisi kenderaan dan variasi volume lalu lintas (Riyadi, 1994). Kondisi fasilitas jalan akan menyebabkan tingkat kepadatan lalu lintas yakni jumlah kendaraan rata-rata dalam ruang, satuan kepadatan adalah kendaraan rata-rata per kilometer per jam. Seperti halnya volume lalu lintas, kepadatan lalu lintas adalah untuk mengatakan pentingnya ruas jalan tersebut dalam mengalirkan lalu lintas. Beberapa hal yang dapat dilakukan sehubungan dengan peningkatan kapasitas transportasi adalah: a.
Pembangunan jalan baru, baik kolektor maupun arteri, seperti jalan bebas hambatan, jalan lingkar (outer ring road), pembangunan jalan penghubung baru (arteri) yang menghubungkan dua zona yang sangat padat.
b.
Peningkatan kapasitas prasarana jaringan jalan seperti pelebaran dan perbaikan geometric persimpangan, pembuatan persimpangan
tidak
sebidang untuk mengurangi conpflict point, pembangunan jalan-jalan terobosan dari untuk melengkapi sistem jaringan jalan yang sudah ada (missing link) dan pembenahan sistem hirarki jalan dan pembuatan penyeberangan jalan untuk pejalan kaki (Tamin, 1993). Selanjutnya dalam Tamin (2000) menjelaskan bahwa adanya tumpang tindih pengeoperasian bus besar, bus kecil, mobil pribadi dan jenis kendaraan dan jenis kendaraan lainnya sehingga hirarki dan fungsi jalan tidak digunakan sesuai ketetapan.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan yang perlu di lakukan dalam menata rute angkutan umum dengan pertimbangan: Bus besar beroperasi pada jaringan jalan arteri, bus sedang di jalan kolektor dan bus kecil beroperasi di jalan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 tentang prasarana transportasi, yang dimaksud dengan: 1.
Jalur adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan,
2.
Lajur adalah bagian jalur yang memanjang, dengan atau tanpa marka jalan, yang memiliki lebar cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang berjalan, selain sepeda motor,
3.
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu,
4.
Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua atau tiga tanpa rumah-rumah, baik dengan atau tanpa kereta samping,
5.
Kendaraan tidak bermotor adalah kendaraan yang digerakan oleh tenaga orang atau hewan,
6. Persimpangan adalah pertemuan atau percabangan jalan, baik sebidang maupun tidak sebidang, 7. Berhenti adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan untuk sementara dan pengemudi tidak meninggalkan kendaraannya, 8. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara, 9.
Pemakai jalan adalah pengemudi kendaraan dan/atau pejalan kaki,
Universitas Sumatera Utara
10. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor atau orang yang secara langsung mengawasi calon pengemudi yang sedang belajar mengemudikan kendaraan bermotor, 11. Hak utama adalah hak untuk didahulukan sewaktu menggunakan jalan, 12. Mentri adalah mentri yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. 2.1.2
Sistem transportasi perkotaan Transportasi perkotaan secara umum berfungsi untuk menghubungkan suatu
daerah asal dengan daerah tujuan sebagai tempat kerja, sekolah dan lain-lain, selain itu sebagai dasar dalam melayani setiap kegiatan dan aktivitas perjalanan orang, barang dan jasa (Lync, 1983). Permintaan akan jasa jalan timbul akibat adanya permintaan akan berbagai kegiatan sosial, ekonomi. Untuk analisis jalan secara keseluruhan, yang harus diperhatikan adalah bahwa sistem jalan (sarana dan prasarana) tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem ekonomi dan sistem politik pada suatu kota. Sistem jalan perkotaan erat pula dengan sistem sosial yang ada dikota tersebut. Jadi sistem jalan perkotaan akan dapat mempengaruhi perkembangan suatu kota baik kegiatan jasa maupun kegiatan ekonominya (Manhein, 1979). Jaringan jalan merupakan gambaran dari fasilitas jalan yang memiliki kedudukan penting, terutama jika dihubungkan dengan penggunaan lahan akan dapat membentuk suatu pola tata guna lahan yang pada gilirannya dapat mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
rencana fisik ruang kota, serta peranannya sebagai suatu sistem transportasi yaitu untuk menampung pergerakkan manusia dan kendaraan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang jalan, jaringan jalan di dalam lingkup sistem kegiatan kota mempunyai peranan untuk mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan, dengan wilayah yang berada
dalam
pengaruh dalam pelayanannya di dalam suatu hubungan hirarki (Undang-Undang No. 13/1980, pasal 3 ayat 2). Jika dilihat dari pelayanan jasa persebaran untuk mengembangkan semua wilayah di tingkat nasional dengan semua simpul jasa persebaran yang kemudian berwujud kota, membentuk suatu sistem jaringan jalan primer, kedua peranannya sebagai pelayanan jasa persebaran untuk masyarakat di dalam kota membentuk suatu sistem jaringan jalan sekunder (Undang-undang No. 13/1980 pasal 3 ayat 1-2). Dari uraian diatas, jelas memberi petunjuk bahwa kegiatan jalan perkotaan tidaklah berdiri sendiri, melainkan terjadi karena adanya unsur pembentuknya. Perilaku penduduk dan kegiatan sosial ekonomi kota ikut andil di dalam terbentuknya kegiatan jalan perkotaan. Dalam merencanakan jalan perkotaan, penduduk merupakan pelaku utama yang melakukan gerak dan membangkitkan lalu lintas sesuai dengan kebutuhan penduduk itu masing-masing, dengan kata lain kualitas penduduk akan turut menentukan kebutuhan gerak yang pada gilirannya dapat tercermin dalam volume lalu lintas. Selain itu, volume lalu lintas dipengaruhi juga oleh jumlah penduduk yang melakukan gerak/perjalanan (warpani, 1990).
Universitas Sumatera Utara
Di dalam
melakukan
berbagai
kegiatan sosial ekonomi, penduduk
memerlukan sarana/prasarana transportasi untuk mencapai tempat tujuan yang dikehendaki. Untuk itu di tuntut adanya pelayanan jasa transportasi yang sesuai dengan kebutuhan kegiatan tersebut, dan disain sistem transportasi perkotaan haruslah dapat memberikan kemudahan untuk melakukan perjalanan. Suatu sistem transportasi perkotaan disini merupakan suatu hubungan-hubungan
(links) antar
pusat-pusat pengembangan/pelayanan wilayah (kota-kota secara berjenjang) baik keluar maupun ke dalam wilayah yang merupakan komponen dasar dari struktur fisik, sosial ekonomi dalam suatu wilayah (Mayer,1984). Adapun kemudahan dalam melakukan perjalanan dari kegiatan sosial ekonomi tersebut tergantung dari kualitas pelayanan sistem jalan yang tersedia pada suatu kota (Thomson, 1997). Kemudahan kegiatan sosial ekonomi secara fisik dapat dikenali melalui struktur penggunaan lahan. Setiap kawasan yang dicirikan oleh kegiatan sosial ekonomi relatif besar, akan terlihat oleh kegiatan sosial ekonomi relatif besar, akan terlihat dari intensitas guna lahan yang tinggi. Struktur guna lahan inilah yang akan memegang peranan penting sebagai faktor penentu keberhasilan penataan sistem transportasi dan sistem aktifitas serta pengaruhnya terhadap pola pergerakkan lalu lintas regional, dan pengaturan pemamfaatan tata guna lahan perkotaan. Pengaturan ini akan mempengaruhi pola pergerakkan penduduk dan pola pergerakkan lalu lintas. Hubungan antara sistem aktivitas, sistem transportasi dan pola pergerakkan serta sistem kelembagaan secara diagramatis dapat dilihat pada (Gambar 2.1).
Universitas Sumatera Utara
Arteri
Kolektor
Bus Besar Bus Sedang Bus Kecil
Gambar 2.1 Hirarki Fungsi Jalan 2.1.3
Sistem jaringan transportasi perkotaan Jaringan transportasi di perkotaan terjadi sebagai interaksi antara transportasi,
tata guna lahan (land use), populasi (jumlah penduduk) dan kegiatan ekonomi di suatu wilayah perkotaan (urban area). Transportasi sangat berhubungan dengan adanya pembangkitan ekonomi di suatu daerah perkotaan, guna memacu perekonomian setempat, untuk menciptakan lapangan kerja, dan menggerakkan kembali suatu daerah namun dalam kenyataan, hubungan tersebut masih tidak jelas. Konsep transportasi adalah adanya pergerakan berupa perjalanan (trip) dari asal (origin) sampai ke tujuan (distination). Asal (origin) dapat berupa rumah (home), sehingga perjalanan yang dilakukan disebut home base trip, menuju kepada tujuan berupa kegiatan yang akan dilakukan, seperti kegiatan sosial (sekolah, olah raga, keluarga, dan sebagainya) dan kegiatan usaha (bekerja, berdagang, dan sebagainya). Sistem transportasi terdiri atas Sub Sistem Prasarana, Sub Sistem Sarana, Sub Sistem
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan, danSub Sistem Pergerakan (travel, movement, trip) yang saling berinteraksi membentuk suatu system transportasi, dan dapat dilihat pada (Gambar 2.2).
A Sub sistem kegiatan
B Sub sistem sarana
C Sub sistem prasarana
D Sub sistem pergerakan
Gambar 2.2 Sistem transportasi Sub Sistem Kegiatan Kegiatan yang dilakukan oleh orang dapat dibedakan dalam dua macam kegiatan pokok, yaitu: a.
Kegiatan usaha, yang merupakan kegiatan harian (daily activity), dan dibagi dalam; kegiatan dasar (basic activity) dan kegiatan jasa (service activity).
b.
Kegiatan sosial, yang merupakan kegiatan berkala (periodic activity).
Dalam pergerakan perjalanan dari asal (origin) ke tujuan (destination) terdapat aliran barang (low of goods) dan aliran jasa (flow of service). Aliran barang umumnya
mencakup
wilayah (regional), sedangkan aliran jasa lebih banyak
berlangsung di dalam kota.
Universitas Sumatera Utara
Sub Sistem Sarana dan Prasarana Sub sistem ini berkaitan dengan pola jaringan (network system) yang terbagi dalam: a.
Pola konsentrik (menuju ke satu titik), dan Pola radial (menyebar).
b.
Pola linier (contoh: Ribbon Development).
c.
Pola grid/kotak (grid iron).
Perkembangan sub sistem ini bisa cepat, sedang, lambat, atau stagnan (tetapi, tidak berubah), tergantung pada kecepatan pertumbuhan (rate of growth) dan tingkat pengembangan (level of development) dari daerah yang bersangkutan (antara lain: kawasan tertinggal, kawasan yang cepat bertumbuh, dan sebagainya). Sub Sistem Pergerakan Terbagi dalam skala nasional, regional dan pada skala nasional diatur dalam kebijakan Sistranas (Sistem Transportasi Nasional) dengan Rencana Induk Perhubungan sebagai masterplan. Di dalam sistrans sebagai kebijakan umum, terdapat Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pada skala regional diatur dalam sistem dan strategi transportasi regional, dan rencana umum jaringan transportasi jalan. Selanjutnya skala diatur menurut Sistem dan Strategi Transportasi Perkotaan (Urban Transportasi Policy). Sasaran Sub Sistem Pergerakan: cepat (fast), murah (cheap), aman/selamat (safe), nyaman (comfort), lancar, handal (reliable), tepat guna (efektif), berdaya guna (efisien), terpadu (intergrated), menyeluruh (holistic), menerus (continue), berkelanjutan (sustainable), dan berkesenambungan, sedangkan proses dari Sub
Universitas Sumatera Utara
Sistem Pergerakan dapat dokategorikan dalam; sangat cepat, cepat, sedang, lambat, terisolasi (ini melahirkan angkutan-angkutan perintis). 2.2
Hubungan Transportasi dan Tata Guna lahan Dalam suatu sistem kota, seperti pada gambar 2.7, terdapat hubungan antara
guna lahan, demografi dan transportasi. Transportasi sendiri dapat dilihat sebagai fungsi dari beberapa sub sistem, seperti transportasi pribadi, tranportasi public dan transportasi barang (Orn, 2002). Keseluruhan elemen tersebut merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan dalam proses pembangunan kota penambahan arus lalu lintas tidak dapat dimengerti dengan baik tanpa mempelajari guna lahan dan demografi. Pada sisi lain, sistem transportasi dan pengembangan prasarana jalan dapat mempengaruhi dan memegang peranan dalam menentukan nilai jual tanah, hubungan transportasi, guna lahan dan demografi pada satuan sistem kota dapat dilihat pada (Gamabr 2.3).
Gambar 2.3 Hubungan Transportasi, Guna Lahan dan Demografi Pada Sistem Kota Sumber: Ons, 2002
Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan beraktivitas pada suatu guna lahan dilayani oleh sistem kegiatan, sedangkan kebutuhan transportasi dilayani oleh sistem jaringan (Tamin 1997). Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan menghasilkan sistem pergerakan yang merupakan umpan balik bagi sistem kegiatan dan sistem jaringan. Interaksi tersebut dikontrol oleh suatu sistem kelembagaan, yang secara lebih jelas dapat dilihat pada (Gambar 2.4).
Sistem Kegiatan
Sistem Jaringan
Sistem Transportasi
Sistem Kelembagaan
Gambar 2.4 Sistem Transportasi Makro Sumber: Tamin 1997 Sistem kegiatan pada sistem makro tersebut di atas di pengaruhi oleh guna lahan, yang dipengaruhi oleh alokasi penduduk dan alokasi aktifitas, seperti bisnis komersial, industry, sekolah dan lain-lain. Transportasi meningkatkan interaksi antar aktifitas atau guna lahan. Interaksi tersebut diukur melalui aksebilitas, yang meliputi daya tarik suatu tempat sebagai asal dan tujuan. Pola guna lahan adalah hal yang penting karena akan menentukan peluang ataupun aktifitas yang ada dalam jangkauan suatu tempat. Potensi antara dua tempat untuk berinteraksi akan bergantung pada biaya dari pergerakan antara keduanya, baik
Universitas Sumatera Utara
dalam termonologi uang ataupun
waktu. Sebagai konsekwensinya, struktur dan
kapasitas dari jaringan jalan transportasi akan mempengaruhi tingkat aksesibilitas.
Transportasi
Aksesibilitas
Guna lahan
Gambar 2.5 Hubungan Transportasi dan Guna Lahan Sumber: Block, 1984. Lahan merupakan ruang (space) dengan kegiatan diatasnya. Guna lahan diartikan sebagai kegiatan yang dominan yang ada disuatu lahan. Contoh guna lahan; Perumahan, perdagangan, perkantoran, industry. Antar ruang dihubungkan oleh saluran (channel), yang dalam hal antar lahan dihubungkan oleh jalan raya. Hubungan antar guna lahan yang lewat saluran ini berupa lalu lintas (traffic).
Gambar 2.6 Hubungan Transportasi Antar Guna Lahan Sumber: Djunaedi, 2003. Baik guna lahan maupun transportasi, keduanya diperlukan untuk menumbuhkan lalu lintas. Bila terdapat guna lahan maupun transportasi, maka
Universitas Sumatera Utara
besaran lalu lintas yang terjadi ditentukan oleh tingkat kegiatan di lahan-lahan 1tersebut dan karakteristik fasilitas transportasinya. Penggunaan lahan mendorong pertumbuhan lalu lintas, yang selanjutnya dalam proses perencanaan transportasi mendorong dibangunnya jalan raya, yang kemudian yang mendorong perubahan guna lahan di sekitar jalan tersebut. Hubungan ini secara garis besar diilustrasikan seperti pada (Gambar 2.7).
Rencana Guna Lahan
umpan balik
Guna Lahan
Rencana Transportasi Pembangunan Transportasi
Gambar 2.7 Hubungan Antar Guna Lahan dan Perencanaan Transportasi Sumber: Djunaedi, 2003.
Sistem hubungan antara guna lahan dengan transportasi merupakan sistem tertutup (closed-loop system). Perubahan pada suatu komponen akan mempengaruhi komponen yang lain, membentuk keseimbangan. Tetapi, perubahan yang besar pada suatu komponen mungkin tidak dapat lagi diimbangi oleh komponen yang lain, hingga timbul kerusakan sistem. Contohnya, pemadatan kegiatan di lahan-lahan kota dapat diimbangi dengan peningkatan daya tampung jalan rayanya akan menimbulkan kemacetan lalu lintas (Djunaedi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.3
Jalan sebagai Sarana Tranportasi Jalan sebagai bagian dari system transportasi nasional mempunyai peranan
penting terutama dalam mendukung kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan. Jalan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan antar daerah, membentuk dan meperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Dalam mewujudkan prasarana transportasi darat yang melalui jalan, harus terbentuk wujud jalan yang menyebabkan pelaku perjalanan baik orang maupun barang, selamat sampai ketujuan, dan dalam mendukung kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, perjalanan dapat dilakukan secepat mungkin dengan biaya perjalanan yang adil sehingga dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Disamping itu, adalah hal yang ideal untuk pelaku perjalanan, selain dapat dilakukan dengan selamat, cepat dan murah juga nyaman, sehingga perjalanan tidak melelahkan. Tuntutan tersebut diatas mendasari pembangunan jaringan jalan yang sesuai dengan sifat-sifat perjalanan, yaitu yang berjarak pendek dengan banyak variasi tempat tujuan sampai dengan yang berjarak jauh dengan tempat tujuan yang lebih menyatu. Karakter tersebut yang mendasari hirarki jalan, diturunkan menjadi konsep klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya. Setiap jalan dengan fungsi tertentu harus dibangun dengan dimensi tertentu untuk mengakomodir jumlah dan beban kenderaan yang akan melaluinya dengan kecepatan tertentu. Bentuk dan dimensi optimum jalan inilah yang harus ditetapkan secara optimum untuk mewujudkan jalan yang aman
Universitas Sumatera Utara
yang menyebabkan perjalanan orang dan barang selamat sampai ketujuan. Bentuk dan dimensi ini menjadi standar minimum jalan yang menjamin terwujudnya keselamatan transportasi darat.
2.4
Klasifikasi Kelas Jalan Menurut Standar Jalan Kota Klasifikasi jalan merupakan aspek penting yang pertama kali harus diidentifi
kasikan sebelum melakukan perancangan jalan. Karena criteria disain suatu rencana jalan yang ditentukan dari standar disain ditentukan oleh klasifikasi jalan rencana. Pada prinsipnya klasifikasi jalan dalam satndar desain (baik untuk jalan dalam kota maupun jalan luar kota) didasarkan kepada klasifikasi jalan menurut undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. Perbedaan klasifikasi yang menurut standar desain dalam kota dan luar kota adalah sebagai berikut: 1.
Dalam standar pengaturan jalan perkotaan, klasifikasi jalan dibedakan menurut tipe (ditentukan oleh fungsi jalan), seperti pada Tabel 2.1.
2.
Sedangkan dalam standar desain jalan antar kota, klasifikasi jalan dibedakan menurut kelas (ditentukan oleh fungsi jalan) dan jenis medan seperti pada Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Standar Desain Jalan kota Jalan Tipe I: Pengaturan jalan masuk secara penuh Fungsi Kelas Arteri 1 Primer Kolektor 2 Arteri 2 Sumber: Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Departemen Pekerjaan Umum, Ditjen Bina Marga 1992
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Klisifikasi Jalan Menurut Standar Desain Jalan Kota Jalan Tipe II: Sebagaian atau tanpa pengaturan jalan masuk Fungsi
Volume Jam Perencanaan
Kelas
Arteri Primer
Kolektor
Sekunder
1 Kolektor
Arteri
Arteri
Kolektor
Kolektor
Jalan
Jalan
> 10.001
1
< 10.001
2
> 20.001
1
< 20.001
2
> 6001
2
< 6001
3
> 501
3
< 501
4
Sumber: Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Departemen Pekerjaan Umum, Ditjen Bina Marga 1992 Tabel 2.3 Klasifikasi Kelas Jalan Menurut Standar Desain Jalan Antar kota Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat MST (Ton) Arteri
Kolektor
I II III A
>+ 10 8
III A III B
8 8
Sumber: Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Departemen Pekerjaan Umum, Ditjen Bina Marga 1997 Tabel 2.4 Klasifikasi Medan Menurut Standar Desain Jalan Antar kota Jenis Medan
Notasi
Kemiringan Medan (%)
Datar
D
> 3%
Perbukitan
B
3% - 25%
Pergunungan
G
> 25%
Sumber: Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Departemen Pekerjaan Umum, Ditjen Bina Marga 1997
Universitas Sumatera Utara
2.5
Pola Jalan (Lay out of streets) (Northam, 1975) Pola jalan (lay out of streets) merupakan komponen yang
paling nyata manifestasinya dalam menentukannya periodisasi pembentukan suatu kota, ada 3 tipe sistem pola jalan yang dikenal, yaitu: 1. Sistem pola jalan tidak teratur (irregular system), pola jalan seperti ini terlihat ketidak teraturan sistem jalan baik ditinjau dari segi lebar maupun arah jalannya. Begitu pula perletakkan rumah satu sama lain menunjukan
keteraturan.
Hal
ini
menunjukan
tidak
tidak adanya
peraturan/undang-undang /panduan ataupun perencanaan. Pada umumnya kota-kota awal pertumbuhannya, selalu ditandai oleh sistem ini. Menurut Dickinson (1996) hampir semua kota-kota di Inggris, Perancis, Belanda, Jerman Barat, Spanyol, Kota-kota Islam di Afrika Utara dan Timur tengah pada awal pertumbuhan, ditandai oleh sistem yang tidak teratur ini dan kini bisa dilacak pada bagian-bagian pusat kotanya contohnya kota-kota dengan pola jalan tidak teratur pada (Gambar 2.8).
Gambar 2.8 Kota-kota Dengan Pola Jalan Tidak Teratur Sumber: Struktur Tata Ruang Kota
Universitas Sumatera Utara
2. Pola jalan Radial Konsentris (Radial Concertric System), dalam system ini terdiri dari beberapa sifat khusus yang diketahui yaitu: a.
Mempunyai pola jalan konsentris.
b.
Mempunyai jalan radial.
c.
Bagian pusatnya merupakan daerah kegiatan utama dan sekaligus tempat pertahanan terakhir dari suatu kekuasaan. Daerah pusat ini dapat berupa: pasar, kompleks, perbentengan, ‘kostil”, kompleks ibadah (tempat pemujaan gereja dan lain-lain).
d.
Secara keseluruhan membentuk jaringan sarang laba-laba sistem ini berkembang antara 1500 – 1800.
e.
Punya keteraturan geometris.
f.
Jalan besar menjari dari titik pusat dan membentuk “asterisk shaped pattern”. rancangan kota ini dianggap sebagai baroue style (style meari /fantastis) karena timbul mengantisifasi semakin majunya senjata-senjata dan tatik berperang sehingga perlu dibuat system perkotaan dengan system benteng yang lebih aman, bentuk seperti ini sulit dibangun karena bentuknya yang lebih rumit namun juga menghalangi/menjadi
kendala
terhadap
pertumbuhan
lateral,
mangkin meningkatnya jumlah penduduk dan fungsinya dari daerah sekitarnya, maka dalam kota timbul kepadatan penduduk yang tinggi didaerah-daerah terbuka makin berkurang dan satu-satunya jalan terlihat pada (Gambar 2.9).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9 Palma Nouva (Didirikan 1593) Sumber: Struktur Tata Ruang Kota Pada prinsipnya ada 5 alasan mengapa diciptakan system radial concentric dengan jalan-jalan lebar dan indah, yaitu: a.
Mulai digunakan kendaraan
beroda sehingga jalan tidak teratur dan
sempit tidak cocok lagi. b. Sudahkah
mobilisasi meliter dari pusat kesetiap wilayah dipinggir
kota dan sekitarnya. c.
Memenuhi perspektif artistic.
d. Memperlancar
kegiatan perdagangan (transportasi dan komunikasi
lancar). e.
Memudahkan dan memperlancar karnaval.
3. Pola Jalan bersiku atau Sistem Grid /Kisi (The rechtangular or grid
Universitas Sumatera Utara
System), Sistem perencanaan jalan dengan pola kisi pertama kali dikenal di kota Mahenjo Daro (± 2500 SM), kemudian kota Dur-Sarginu (Assyria) ± 800 SM, di Yunani ± 600 SM. Kemudian pada 500-600 M perancangan system kisi ini meluas ke Negara-negara barat. Bentuk ini kemudian di kenal dengan “bastides cities” (kota-kota benteng). Bagianbagian kotanya dibagi-bagi sedemikian rupa menajadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang parallel longitudinal dan tranversal membentuk sudut siku-siku. Jalan utamanya membentang dari pintu gerbang
utama kota sampai alun-alun utama (pasar utama) pada
bagian pusat kota. Banyak kota telah mengadopsi system grid ini dalam perancangan kotanya. Kota-kota di Amerika serikat, misalnya banyak menerapkan system ini. Sistem ini merupakan bagian yang sangat cocok untuk pembagian lahannya dan untuk daerah luar kota yang masih banyak tersedia lahan kosong pengembang kotanya akan nampak teratur dengan mengikuti pola yang sudah terbentuk. Keuntungan lain pada regtangular system antara lain: a.
Shortest dimension on the street side.
b.
Growing more lost sheet frontage.
c.
Easier to assamble individual lost into large unit (seperti blok) dapat dilihat pada (Gambar 2.10).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.10 Kota-kota Benteng Dengan Pola Jalan Bersiku Empat Persegi Panjang dengan System Grid Sumber: Struktur Tata Ruang Kota 2.6
Pengertian Jalan Lingkar (Ring Road) Jalan Lingkar adalah jalan yang melingkari pusat kota, yang berfungsi untuk
mengalihkan sebagai arus lalulintas terusan dari pusat kota. Biasanya merupakan bagian jaringan jalan dengan pola radial membentuk ring radial. Semakin besar kota semakin banyak ring digunakan, seperti di Jakarta ada ring dalam ada Jakarta Outer Ring Road (JORR). Dan istilah umum pandangan terhadap jalan lingkar (Ring road)
Universitas Sumatera Utara
merupak istilah masyarakat pada umumnya yang melihat jaringan jalan tersebut melingkar atau mengelilingi kota. Sesuai dengan Undang-undang nomor 13 Tahun 1980, tentang jalan yaitu pasal 1 dan penjelasan yang menyebutkan bahwa jalan adalah suatu prasarana per hubungan darat dalam bentuk apapun dengan pengecualian jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kebel, yang diperuntukkan bagi lalu lintas kenderaan orang dan hewan. Jalan
meliputi
segala
bagian
jalan
termasuk
bangunan
pelengkap
dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1985 menjelaskan tentang jalan yaitu: 1. Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur perkembangan wilayah tingkat nasional yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi. 2. Jalan arteri primer menghubungakan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kedua. Jalan lingkar Kota Medan itu sendiri termasuk di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang jalan raya dan peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1985 tentang jalan berikut Undang-undang nomor 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan Angkutan Jalan dan serta Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tantang Angkutan Jalan, PP Nomor 43 Tahun 1993 tentang prasarana dan lalu lintas jalan. Adapun jalan lingkar (Ring Road) merupakan istilah masyarakat pada umumnya yang melihat jaringan jalan tersebut melingkar atau mengelilingi kota.
Universitas Sumatera Utara
Adapun jaringan jalan yang baik dan lancar akan memudahkan pergerakkan, baik pergerakkan manusia maupun pergerakkan barang. Menurut Tamin (1997) bahwa pada dasarnya prasarana jaringan jalan mempunyai 2 peran utama yaitu: 1. Sebagai alat bantu untuk mengarahkan pembangunan di daerah perkotaan. 2. Sebagai prasarana bagi pergerakkan manusia maupun barang yang timbul akibat adanya kegiatan didaerah perkotaan tersebut. 2.7
Kinerja Ruas Jalan Beberapa kinerja ruas jalan yang dibutuhkan sebagai berikut: 1. Nilai volume lalu lintas, menunjukan kondisi ruas jalan yang melayani volume lalu lintas yang ada, nilai volume untuk kapasitas jalan dalam daerah per kotaan, pengaruh akan
didapat
berdasarkan hasil survei
geometric untuk mendapatkan besarnya kapasitas yang ada saat ini. Berdasarkan peramalan arus lalu lintas tersebut akan didapat nilai volume kapasitas yang selanjutnya dapat memberikan jenis rekomendasi dalam penggunaan jenis ruas jalan. 2. Kecepatan perjalanan rata-rata dapat menunjukan waktu tempuh dari satu titik asal ketitik tujuan dalam wilayah akan berpengaruh menjadi tolak ukur dalam penilaian perjalanan yang ada. 3. Indikator Tingkat Pelayanan (ITP) pada suatu jalan akan menunjukan suatu kondisi secara keseluruhan ruas jalan tersebut tingkat pelayanan yang demikian berdasarkan nilai seperti kecepatan perjalanan, dan faktor
Universitas Sumatera Utara
lain yang berdasarkan nilai kualitatif seperti kebebasan pengemudi dalam memiliki kecepatan derajat hambatan lalu lintas secara kenyamanan. 2.8
Batasan Ruas Jalan Manual Kapasiatas Jalan Indonesia (MKJI-1997) mendefenisikan suatu ruas
jalan sebagai berikut: 1. Diantara dan tidak dipengaruhi oleh simpang bersinyal atau samping tak bersinyal utama. 2. Mempunyai karakteristik yang hampir sama sepanjang jalan. Sebagai contoh potongan melintang jalan yang masih dipengaruhi antrian akibat samping atau arus iringan kendaraan yang tinggi yang keluar dari simpang bersinyal tidak dapat dipilih untuk analisis kapasitas suatu ruas. Selain itu bila terdapat perubahan karakteristik yang mendasar dalam hal geometric, hambatan samping, komposisi kendaraan dan lain-lain, maka harus dianggap sebagai ruas yang berbeda (dengan demikian maka diantara dua samping dapat didefenisikan lebih dari dua ruas). 2.9
Tingkat Pelayanan Jalan Analisis tingkat pelayanan dalam menunjang pengembangan jalan kota
dengan membuat kajian kondisi saat ini (eksisting) dan menganalisis permasalahan yang menyebabkan penurunan tingkat pelayanan, usulan program dan perioritas kelembagaan yang didasarkan pada arah pengembangan kota tersebut. Analisis yang baik dan tepat dan berfungsi secara efektif, harus didukung oleh data yang efektif
Universitas Sumatera Utara
pula sehingga dapat dikaji secara cermat dan untuk dapat menetapkan usulan penanganan yang tepat dan terpadu. Analisis pengembangan perkotaan terikat keterpaduan aspek lain: (1) sistem jaringan jalan, (2) pengaturan tata guna bangunan, (3) analisis sarana dan prasarana dan (4) harga satuan yang berlaku. Analisis tingkat pelayanan jalan merupakan salah satu aspek yang dapat membantu kajian pengembangan transportasi kota, dimana dari tingkat pelayanan dari suatu pelayanan jalan maka dapatlah diketahui gambaran kondisi pelayanan jalan tersebut dalam melayani lalu lintasnya, sehingga dapat dibuat usulan penanganan yang lebih cepat dan lebih terpadu. Tingkat pelayanan (Level of Service) merupakan ukuran suatu kualitas pada jalan, yang telah merangkum banyak Fakto-faktor antara lain, kenyamanan dan geometrik jalan dan umumnya
digunakan sebagai ukuran dari
pengaruh untuk membatasi volume lalu lintas dengan kapasitas (V/C). Tingkat pelayanan bervariasi dari tingkat yang tinggi (A) dan menurun sampai tingkat yang terendah (F), Tingkat keadaan yang tertinggi merupakan keadaan lalu lintas dimana pengemudi mempunyai kebebasan untuk mengendalikan kendaraan tanpa adanya pengaruh gangguan dalam batas tingkat keselamatan tertentu, sedangkan tingkat pelayanan terendah merupakan keadaan lalu lintas yang berlawanan dengan tingkat pelayanan tertinggi, dimana pengemudi tidak dapat mengembangkan
kebebasannya
untuk
mengendalikan
kendaraannya
karena
terganggu oleh kendaraan lain dalam arus lalu lintas yang sama. Indonesia Hightway Capacity Manual (IHCM) membagi tingkat pelayanan menjadi enam tingkat pelayanan yaitu dari tingkat pelayanan tertinggi disebut tingkat
Universitas Sumatera Utara
pelayanan A dan berangsur-angsur turun dengan nama yang sesuai dengan alfabetik sampai dengan F yang merupakan tingkat pelayanan terendah. Penjelasan mengenai tingkat pelayanan jalan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Tingkat pelayanan A (V/C < 0,6). Tingkat pelayanan ini memberikan suatu gambaran kondisi volume lalu lintas yang terendah dan kecepatan kendaraan dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pengemudi.
2.
Tingkat pelayanan B (0.6 < V/C < 0,7). Tingkat pelayanan ini memberikan arus yang stabil, kecepatan perjalanan mulai di pengaruhi oleh keadaan lalu lintas, dalam batas pengemudi masih bisa mendapat kebebasan dalam memilih kecepatan.
3. Tingkat pelayanan C (0,7< V/C < 0,8). Tingkat pelayanan ini memberikan gambaran lalu lintas masih dalam keadaan stabil, tetapi pergerakkan dan kecepatan lebih di pengaruhi oleh volume yang tinggi, sehingga kecepatan sudah terbatas dalam batas-batas kecepatan yang cukup memuaskan. 4. Tingkat pelayanan D ( 0,8
Universitas Sumatera Utara
kecepatan perjalanan saja, sering terjadi macet (berhenti) untuk beberapa saat, volume lalu lintas dapat hampir sama dengan kapasitas jalan. 6. Tingkat pelayanan F ( V/C > 1 ). Tingkat pelayanan ini dapat memberikan gambaran arus tertahan, kecepatan rendah, sering terjadi kemacetan pada waktu cukup lama dalam keadaan ekstrim kecepatan dapat turun menjadi 0 (macet total). Tabel 2.5 Tingkat Pelayanan Jalan (Level of Service) No. 1.
Tingkat Pelayanan Jalan (L.O.S) A
Keadaan Arus Lalu Lintas Arus bebas bergerak
V/C < 0,6
2.
B
Arus stabil tidak bebas
0,6 – 0,7
3.
C
Arus stabil kecepatan terbatas
0,7 – 0,8
4.
D
Arus mulai tidak stabil
0,8 – 0,9
5.
E
Arus tidak stabil
0,9 – 1,0
6.
F
Macet
<1
Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997 2.10
Persyaratan Teknis Geometrik Jalan Bagian-bagian jalan terdiri dari: a. Jalur lalu-lintas adalah bagian daerah manfaat jalan yang direncanakan khusus untuk lintasan kendaraan bermotor (beroda empat atau lebih) dan biasanya diperkeras. b. Lajur lalu-lintas adalah bagian dari luar lalu lintas yang memanjang dibatasi oleh marka lajur jalan yang memiliki cukup untuk kendaraan bermotor sesuai rencana (kendaraan rencana).
Universitas Sumatera Utara
c. Bahu jalan adalah bagian dari jalan yang terletak pada tepi kiri atau kanan jalan dan berfungsi sebagai: jalur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, ruang bebas samping, penyangga kestabilan badan jalan, jalur sepeda (bahu diperkeras). d. Trotoar (bahu jalan) adalah bagian jalan atau bahu jalan yang terletak di tepi kiri/kanan jalan, berfungsi sebagai jalur pejalan kaki. e. Saluran drainase adalah bagian dari jalan yang terletak di kiri/kanan jalan berfungsi sebagai pengeringan jalur jalan. f. Sempadan bangunan adalah bagian ruang sepanjang jalan setengah dari bagian jalan yang dikuasai oleh pembina jalan diperuntukkan bagi daerah manfaat jalan (DAMAJA). g. Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA) adalah merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar tinggi dan kedalaman ruang batas tertentu. Ruang tersebut dipertuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya. h. Daerah Milik Jalan (DAMIJA) adalah merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh Pembina Jalan. DAMIJA ini diperuntukkan bagi daerah manfaat jalan (DAMAJA) dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur lalu-lintas dikemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengamanan jalan.
Universitas Sumatera Utara
i. Daerah pengawasan jalan (DAWASJA) adalah merupakan ruang sepanjang jalan di luar daerah milik jalan (DAMIJA) yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu, dan di peruntukkan bagi pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan, seperti bagian dari jalan pada (Gambar 2.11).
Gambar 2.11 Bagian–bagian jalan Sumber: Badan Standarisasi Nasional (BSN) Keterangan: a.
Jalur lalu lintas
b. lajur lalu lintas c.
Bahu jalan
d. Jalur pejalan kaki e.
Saluran drainase
f . Sempadan bangunan g. Daerah manfaat jalan (damaja)
Universitas Sumatera Utara
h. Daerah milik jalan (damija) i . Daerah pengawasan jalan (dawasja) j.
Jalur hijau.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KM 34 Tahun 2006, pasal 44 ayat (1), (2), (3) dan (4) tentang Ruang Pengawasan Jalan sebagai berikut: 1. Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang penggunaannya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan. 2. Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperuntukkan
bagi pandangan bebas
pengemudi dan pengamanan
konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan. 3. Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang sepanjang jalan diluar ruang milik jalan yang dibatasi oleh lebar oleh lebar dan tinggi tertentu. 4. Dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang pengawasan jalan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dari tepi badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut: a.
Jalan arteri primer 15 (limabelas) meter,
b.
jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter,
c.
jalan lokal primer 7 (tujuh) meter,
d.
jalan lingkungan primer 5 (lima) meter,
Universitas Sumatera Utara
2.11
e.
jalan arteri sekunder 15 (limabelas) meter,
f.
jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter,
g.
jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter,
h.
jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan
i.
jembatan 100 (seratus) meter kearah hilir dan hulu.
Analisis Kapasitas Jalan Kota
2.11.1 Arus dan komposisi lalu-lintas Nilai volume arus lalulintas (Q) mencerminkan komposisi lalulintas, dengan menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (smp). Semua nilai arus lalulintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk jenis kenderaan berikut: 1. Kenderaan ringan (Light Vehicle/LV); termasuk mobil penumpang, mini bus, pick up, truk kecil dan jeep. 2. Kenderaan berat (Heavy Vehicle/HV); termasuk truck dan bus. 3. Sepeda motor (Motor cycle/MC). Situasi lalu lintas untuk tahun yang dianalisa ditentukan menurut Arus jam Rencana, atau lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) dengan Faktor yang sesuai untuk konversi dari LHRT menjadi arus per jam (umum untuk perancangan). Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk masing-masing jenis kenderaan tergantung pada tipe jalan dan arus lalulintas total, yang dinyatakan dalam kenderaan/jam, seperti ditunjukkan pada tabel 2.6 dan 2.7.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk jalan perkotaan tak-terbagi Tipe jalan: Arus lalu lintas emp Jalan tak terbagi
total dua arah (Kend./jam)
Lebar jalur lalu lintas Wc(m) >6
1,3
0,5
0,4
≥ 1800
1,2
0,35
0,25
0
1,3
0,40
≥ 3700
1,2
0,25
0
Empat lajur tak terbagi (4/2 UD)
HV
≤6 Dua-lajur tak terbagi (2/2 UD)
MC
Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997 Tabel 2.7 Ekivalensi mobil penumpang (emp) Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan satu arah. Tipe jalan: Arus lalu -lntas emp Jalan satu arah dan jalan terbagi Dua-lajur satu arah (2/1)
per jalur
HV
MC
0
1,3
0,40
≥ 1050
1,2
0,25
0
1,3
0,40
≥ 1100
1,2
0,25
(kend./jam)
Dan Empat-lajur terbagi (4/2 D) Tiga-lajur satu arah (3/1) Dan Enam-lajur terbagi (6/2 D) Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997 2.11.2 Kapasitas
Kapasitas didefenisikan sebagai arus maksimum yang melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu, dan dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp). Untuk jalan dua lajur dua arah, kapasitas
Universitas Sumatera Utara
ditentukan untuk dua arah (kombinasi dua arah), sedangkan untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per-lajur. Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah: C =
Co x FCw x FCsP x FCsF x FCcs ……….……..……………..… (2.1)
Dimana: C
= kapasitas (smp/jam).
Co
= kapasitas dasar (smp/jam), tergantung pada tipe jalan, jumlah lajur dan pemisahan arus, seperti terlihat pada (tabel 2.8).
FCw = faktor penyesuaian kapasitas untuk lebar jalur lau lintas seperti terlihat pada (tabel 2.9). FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah, hanya untuk jalan tak terbagi, seperti terlihat pada (tabel 2.10). FCsF = factor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping dan bahu jalan/kerb, seperti terlihat pada (tabel 2.11). FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota, seperti terlihat pada (tabel 2.12). Tabel 2.8 Kapasitas Dasar Jalan Kota. (Co) Tipe jalan
Kapasitas dasar
Catatan
(smp/jam)
Empat-lajur terbagi atau jalan satu arah
1650
Per lajur
Empat-lajur tak-terbagi
1500
Per lajur
Dua-lajur tak-terbagi
2900
Total dua arah
Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (FCw) Tipe jalan Empat-lajur terbagi atau
Lebar jalur lalu-lintas efektif (Wc) (m) Per lajur
jalan satu arah
FCw
3,00
0,92
3,25
0,96
3,50
1,00
3,75
1,04
4,00
1,08
Per lajur
Empat-lajur tak - terbagi
Dua-lajur tak - terbagi
3,00
0,91
3,25
0,95
3,50
1,00
3,75
1,05
4,00
1,09
Per lajur 5 6 7 8 9 10 11
0,56 0,87 1,00 1,14 1,25 1,29 1,34
Sumber: Ditjen Bina Marga 1997
Tabel 2.10 Faktor penyesuaian pemisah arah (FCsP) Pemisahan arah SP % - % Dua-lajur 2/2 FCsp
50 - 50
55 - 45
60 - 40
65- 35
70 - 30
1,00
0,97
0,94
0,91
0,88
1,00
0,985
0,97
0,955
0,94
Empat -lajur 4/2
Sumber: Ditjen Bina marga 1997
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.11 Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping (FCsF)
Tipe jalan
Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar Kelas bahu hambatan FCsf samping Lebar bahu efektif Ws ≤ 0,5
1,0
1,5
≥ 2,0
VL 0,96 L 0,94 M 0,92 H 0,88 VH 0,84 4/2 UD VL 0,96 L 0,94 M 0,92 H 0,87 VH 0,80 2/2 UD VL 0,94 Atau jalan L 0,92 satu arah M 0,89 H 0,82 VH 0,73 Sumber: Ditjen Bina Marga 1997
0,98 0,97 0,95 0,92 0,88 0,99 0,97 0,95 0,91 0,86 0,96 0,94 0,92 0,86 0,79
1,01 1,00 0,98 0,95 0,92 1,01 1,00 0,98 0,94 0,90 0,99 0,97 0,95 0,90 0,85
1,03 1,02 1,00 0,98 0,96 1,03 1,02 1,00 0,98 0,95 1,01 1,00 0,98 0,95 0,91
4/2 D
Tabel 2.12 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCcs) Ukuran kota (juta penduduk)
Faktor penyesuaian untuk ukuran kota
< 0,1
0,90
0,1 - 0,5
0,93
0,5 - 1,0
0,95
1,0 - 3,0
1,00
>3
1,03
Sumber: Ditjen Bina Marga 1997
Universitas Sumatera Utara
Jika kondisi sesungguhnya sama dengan kondisi dasar (ideal) yang ditentukan sebelumnya, maka semua faktor penyesuaian menjadi 1,0 dan kapasitas menjadi sama dengan kapasitas dasar. 2.11.3 Kecepatan arus bebas Kecepatan arus bebas (FV) didefenisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus bebas (free flow speed), yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kenderaan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kenderaan lain di jalan. Persamaan untuk penentuan arus bebas memiliki bentuk umum: FV =
(FVo + FVw) x FFVsF x FFVcs …………………….…..……… (2.2)
Dimana: FV =
kecepatan arus bebas kenderaan ringan pada kondisi lapangan (km/jam).
FVo = kecepatan arus bebas dasar kenderaan ringan pada jalan yang diamati seperti pada (tabel 2.13). FVw = penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan, seperti pada (tabel 2.14). FFVsF= faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu atau jarak kerb penghalang.seperti pada (tabel 2.15). FFVcs= faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota, seperti pada (tabel 2.16). Tabel 2.13 Kecepatan Arus Bebas Dasar (FVo) Kecepatan arus bebas dasar (Fvo) (Km/jam) Tipe jalan
Kendaraan ringan
Kendaraan berat
Sepeda motor
Semua kendaraan
(LV)
(HC)
(MC)
Rata-rata
Universitas Sumatera Utara
(6/2 D) – (3/1)
61
Tabel 2.13 (lanjutan) 52
(4/2 D) – (2/1)
57
50
47
55
(4/2 UD)
53
46
43
51
(2/2 UD)
44
40
40
42
48
57
Sumber: Ditjen Bina marga 1997
Tabel 2.14 Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Lebar Jalur Lalu-lintas (FVw) Tipe jalan
Lebar jalur lalu-lintas efektif (Wc)
Empat-lajur terbagi atau jalan satu arah
Empat-lajur tak - terbagi
Dua-lajur tak - terbagi
FVw
(m) Per lajur 3,00
-4
3,25
-2
3,50
0
3,75
2
4,00
4
Per lajur 3,00
-4
3,25
-2
3,50
0
3,75
2
4,00
4
Per lajur 5 6 7 8 9 10 11
-95 -3 0 3 4 6 7
Sumber: Ditjen Bina marga 1997
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.15 Faktor Penyesuaian Kecepatan untuk Hambatan Samping dan lebar Bahu (FFVsf) Kelas Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan hambatan samping Lebar bahu Tipe jalan (SFC) Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m) ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 Empat lajur terbagi Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04 4/2 D Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03 Sedang 0,94 0,97 1,00 1,02 Tinggi 0,89 0,93 0,96 0,99 Sangat tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96 Empat lajur tak terbagi Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04 4/2 UD Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03 Sedang 0,93 0,96 0,99 1,02 Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98 Sangat tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95 Dua lajur tak terbagi Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,01 2/2 UD atau Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00 jalan satu arah Sedang 0,91 0,93 0,96 0,99 Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95 Sangat tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91 Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997
Tabel 2.16 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus BebasUntuk Ukuran Kota (FFVcs) Ukuran kota (juta penduduk)
Faktor penyesuaian untuk ukuran kota
< 0,1
0,90
0,1 - 0,5
0,93
0,5 - 1,0
0,95
1,0 - 3,0
1,00
>3
1,03
Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997
Universitas Sumatera Utara
2.11.4 Derajat Kejenuhan Derajat kejenuhan (Degree of Saturation/DS) didefenisikan sebagai rasio volume (Q) terhadap kapasitas (C) dan digunakan sebagai faktor kunci utama dalam penentuan perilaku lalu lintas pada suatu kinerja ruas jalan. Nilai derajat kejenuhan menunjukkan apakah ruas jalan akan mempunyai masalah kapasitas atau tidak. DS = Q/C …………………………………………………..…..……… (2.3) Dimana: Q
= arus lalulintas (smp/jam).
C = kapasitas (smp/jam). Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan volume dan kapsitas yang dinyatakan dalam smp/jam.
2.11.5 Kecepatan Kecepatan kenderaan didefenisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kenderaan ringan (LV) sepanjang segmen jalan. Kecepatan kenderaan merupakan ukuran utama kinerja segmen jalan karena mudah dimengerti dan diukur, serta merupakan masukan yang penting bagi biaya pemakai jalan dalam analisa ekonomi. Kecepatan rata-rata ruang didapat dari perbandingan jarak tempuh dan waktu tempuh terhadap jarak, seperti pada persamaan berikut; V = L/TT ………………………………..…………………………….. (2.4) Dimana:
Universitas Sumatera Utara
V = kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam). L =
panjang segmen jalan (km).
TT = waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam). Data kecepatan sesungguhnya dengan menggunakan grafik hubungan antara derajat kejenuhan (DS) dan kecepatan arus bebas (FV) dapat ditunjukkan untuk jalan yang menggunakan banyak lajur satu-arah seperti pada (Gambar 2.12).
Gambar 2.12 Kecepatan sebagai fungsi dari DS untuk jalan banyak lajur dan satu-arah Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997 2.11.6 Hambatan Samping Hambatan samping didefenisikan sebagai dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktivitas samping segmen jalan, banyaknya kegiatan samping jalan sering
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan konflik dengan arus lalu lintas, diantaranya menyebabkan kemacetan bahkan sampai terjadinya kecelakaan lalu lintas. Hambatan samping juga terbukti sangat berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan, seperti: 1. pejalan kaki yang berjalan atau menyeberang sepanjang segmen jalan, 2. angkutan umum dan kenderaan lain yang berhenti dan parkir, 3. kenderaan motor yang keluar masuk dari/ke lahan samping/sisi jalan, 4. arus kenderaan yang bergerak lambat. Yang ditujukan dengan faktor jumlah berbobot kejadian, yaitu frekwensi kejadian sebenarnya dikalikan dengan faktor berbobot kenderaan. Faktor berbobot tersebut seperti pejalan kaki (bobot=0,5), kenderaan berhenti (bobot=1,00, kenderaan masuk/keluar sisi jalan (bobot=0,7), dan kenderaan lambat (bobot=0,4). Frekwensi tiap kejadian hambatan samping dicacah dalam rentang 200 meter kekiri dan kanan potongan melintang yang diamati kapasitasnya lalu dikalikan dengan bobot masing-masing. Frekwensi kejadian terbobot menentukan kelas hambatan samping, dapat dilihat pada (table 2.17).
Tabel 2.17 Faktor berbobot untuk hambatan samping Tipe kejadian hambatan samping
Simbol
Faktor bobot
Pejalan kaki
PED
0,5
Kenderaan berhenti
PSV
1,0
Kenderaan masuk dan keluar
EEV
0,7
Kenderaan lambat
SMV
0,4
Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.18 Kelas hambatan samping untuk jalan perkotaan Kode
Jumlah berbobot kejadian per 200 m per jam (dua sisi)
VL
< 100
Rendah
L
100 - 299
Daerah pemukiman: bebrapa kenderaan umum
Sedang
M
300 - 499
Daerah industry: beberapa toko disisi jalan
Tinggi
H
500 - 899
Daerah komersial: aktifitas sisi jalan
VH
> 900
Kelas Hambatan Samping (SFC) Sangat rendah
Sangat tinggi
Kondisi Khusus
Daerah pemukiman: dengan jalan samping
Daerah komersial: aktifitas disisi jalan
Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997 2.12
Hubungan Dasar Antar variable
2.12.1 Hubungan kecepatan – arus – kepadatan Kecepatan, arus lalulintas dan kepadatan merupakan variabel-variabel utama dalam analisis lalulintas yang saling berhubunga. Ketiga variable ini akan terus bervariasi karena jarak antara kendaraan yang acak, seperti terlihat pada (Gambar 2.13).
Gambar 2.13 Hubungan antara kecepatan, Arus dan Kepadatan Sumber: Manenering, el al 2000
Universitas Sumatera Utara
Makin banyak kenderaan yang ada di jalan, maka berarti bahwa kecepatan rata-rata kenderaan akan berkurang. Hubungan kecepatan dan arus lalulintas dapat dikelompokan pada beberapa kelompok seperti terlihat pada (Gambar 2.14).
Gambar 2.14 Hubungan Antara Kecepatan dan Arus lalulintas Sumber: DBSLIAK. 1999
Keempat pembagian dari kurva hubungan antara kecepatan dan arus lalulintas diatas dapat didefenisikan sebagai berikut: 1. Arus bebas, terjadi pada arus lalulintas rendah, dimana kenderaan dapat dengan bebas memilih kecepatan. 2. Arus stabil, terjadi pada saat arus lalulintas meningkat dan kecepatan ber kurang karena pengemudi tidak lagi bebas memilih kecepatan mengingat kenderaan sudah saling menghalangi (juga dikenal sebagai arus normal). 3. Arus tidak stabil, terjadi pada saat arus mencapai kapasitas. Pertambahan
Universitas Sumatera Utara
sedikit arus lalulintas dapat mengurangi kecepatan yang besar. 4. Arus
dipaksakan, terjadi
pada saat lebih banyak kenderaan yang
mencoba memakai jalan. Arus dan kecepatan menjadi rendah dan tidak dapat diperkirakan. Sesuatu ukuran yang digunakan untuk mengetahui karakteristik suatu ruas jalan dalam melayani arus lalulintas yang melewatinya LoS (Level of Service/Tingkat Pelayanan Jalan). Selain itu, tingkat pelayanan jalan dapat diartikan suatu ukuran untuk menyatakan kualitas pelayanan yang disediakan oleh suatu jalan dalam kondisi tertentu. Unsur utama yang menentukan tingkat pelayanan adalah derajat kejenuhan (Q/C) dan kecepatan. Secara umum hubungan antara derajat kejenuhan (Q/C) dan karakteristik jalan dapat dilihat pada tabel 2.19. Tabel 2.19 Hubungan antara kecepatan dan karakteristik jalan. Q/C 0,60 ≤ 0,60 < Q/C ≤ 0,70
Karakteristik Arus bebas, volume rendah dan kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang dikehendaki Arus stabil, kecepatan sedikit terbatas oleh lalulintas, pengemudi masih dapat kebebasan dalam memilih kecepatannya.
0,70 < Q/C ≤ 0,80 Arus stabil, kecepatan dapat dikontrol oleh lalulintas 0,80 < Q/C ≤ 0,90 Arus mulai tidak stabil, kecepatan rendah 0,90 < Q/C ≤ 1,00 0,1
Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan tidak berbeda, volume mendekati kapasitas Arus yang terhambat, kecepatan rendah, volume diatas kapasitas, sering terjadi kemacetan pada waktu yang cukup lama.
Sumber: Morlok, 1990
Universitas Sumatera Utara
Dari batasan-batasan nilai Q/C diatas dapat ditentukan jenis penanganan masalah pada ruas jalan. Jenis penanganan di ruas jalan dapat dikelompokan menjadi (Tamin, 1998): 1. Manajemen lalulintas Prinsip penanganan ini adalah pemamfaatan fasilitas ruas jalan yang ada, dalam bentuk: a.
Pemamfaatan lebar jalan secara efektif.
b.
Kelengkapan marka dan rambu jalan yang memadai serta seragam sehingga ruas jalan tersebut dapat dimamfaatkan secara optimal, baik dari segi kapasitas maupun keamanan lalulintas, yang meliputi system
satu
arah,
pengendalian
parkir,
pengaturan
U-turn,
pengendalian kaki lima serta pengaturan belok. Jenis penanganan ini dilakukan bila nilai Q/C berada antara 0,6 hingga 0,8. 2. Peningkatan ruas jalan Penanganan ini mencakup perubahan fisik ruas jalan, yang berupa pelebaran atau penambahan lajur jalan hingga kapasitas ruas jalan tersebut dapat ditingkatkan secara berarti. Besarnya pelebaran atau penembahan lajur ditentukan dari nilai
Q/C
yang
terjadi,
sehingga
besarnya nilai Q/C yang diharapkan, yaitu < 0,8, dapat dicapai. Jenis penanganan ini dilakukan apabila nilai Q/C sudah lebih dari 0,8.
3.
Pembangunan jalan baru. Penanganan ini merupakan alternatif terakhir dari pilihan penanganan 1
Universitas Sumatera Utara
dan 2. Penanganan ini dilakukan apabila pelebaran jalan atau penambahan lajur sudah tidak memungkinkan lagi, terutama karena keterbatasan lahan dan kondisi lalulintas dengan nilai Q/C jauh lebih besar dari 0,8. Prinsip analisis kapasitas segmen jalan adalah kecepatan akan berkurang jika arus bertambah. Pengurangan kecepatan akibat penambahan arus adalah kecil pada arus rendah, tetapi lebih besar pada arus yang tinggi. Mendekati kapasitas pertambahan arus yang sedikit akan menghasilkan pengurangan kecepatan yang besar. Hal ini terlihat pada (Gambar, 2.15). Kecepatan arus bebas
Kapasitas
Arus (smp/jam) Gambar 2.15 Bentuk Umum Hubungan Kecepatan dan Arus Lalulintas Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997 Untuk setiap tipe jalan, kurva standar untuk tipe jalan tersebut telah ditentukan berdasarkan data empiris. Model yang tepat dengan data kecepatan – arus empiris dapat diperoleh dengan model Rejim tunggal sebagai berikut: V =
FV [1 – (D/Dj)(l – 1)](l – m) …………………………..….….……. (2.5)
Do/Dj = [(l – m)/(l – m)]1/(l – 1) ………………………….…………... (2.6)
Universitas Sumatera Utara
Dimana: FV = Kecepatan arus bebas (km/jam) D
= Kerapatan (smp/jam); dihitung sebagai Q/C
Dj
= Kerapatan pada saat jalan mengalami kemacetan total (smp/jam)
Do =
Kerapatan pada kapasitas (smp/jam)
1m = Konstanta Data kecepatan – arus untuk jalan perkotaan di Indonesia, untuk jalan empat lajur terbagi dengan model rejim Tunggal, ditunjukan pada (Gambar 2.16 dan 2.17).
Arus (smp/jam/lajur)
Gambar 2.16 Hubungan kecepatan-arus untuk jalan empat lajur terbagi Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997
Gambar 2.17
Arus (smp/jam) Hubungan kecepatan-arus untuk jalan dua laju tak terbagi Sumber: Dirtjen Bina Marga, 1997
Universitas Sumatera Utara
2.13
Prosedur Perhitungan Bagan alir prosedur perhitungan untuk jalan perkotaan ditunjukkan pada
(Gambar 2.18). LANGKAH A : DATA MASUK A-1 A-2 A-3 A-4
: : : :
Data Umum Kondisi Geometrik Kondisi Lalulintas Hambatan Samping
B-1 B-2 B-3 B-4 B-5
: : : : :
LANGKAH : KECEPATAN ARUS BEBAS Kecepatan arus bebas dasar Penyesuaian untuk lebar jalur lalulintas Faktor penyesuaian untuk kondisi hambatan samping Faktor penyesuaian untuk ukuran kota Kecepatan arus bebas untuk kondisi lapangan
C-1 C-2 C-3 C-4 C-5 C-6
: : : : : :
LANGKAH C : KAPASITAS Kapasitas dasar Faktor penyesuaian untuk lebar jalur lalulintas Faktor penyesuaian untuk pemisahan arah Faktor penyesuaian untuk hambatan samping Faktor penyesuaian untuk ukuran kota Kapasitas untuk kondisi lapangan
PERUBAHAN
LANGKAH D : PERILAKU LALULINTAS D-1 : Derajat kejenuhan D-2 : Kecepatan dan waktu tempuh D-3 : Penilaian perilaku lalulintas Perlu penyesuaian anggapan mengenai perencanaan dsb TIDAK Akhir analisis Gambar 2.18 Bagan Alir Analisa Jalan Perkotaan Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997.
Universitas Sumatera Utara