BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Skizofrenia 1. Pengertian Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto, 2007). Skizofrenia berasal dari kata mula-mula digunakan oleh Eugene Bleuler, seorang psikiater berkebangsaaan Swiss. Bleuler mengemukakan manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya emosi sebagai gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007). Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010). 2. Etiologi Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang saling berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat disebut : a. Keturunan Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara kandung 7- 15%, anak dengan salah satu menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60% kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 6168%. Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif (Lumbantobing, 2007).
b. Gangguan anatomik Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu : Lobus 9 temporal, sistem limbik dan reticular activating system. Ventrikel penderita skf lebih besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau
berkurangnya neuron dilobus temporal. Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal. Pada pemeriksaan post mortem didapatkan banyak reseptor D2 diganglia basal dan sistem limbik, yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007). c. Biokimiawi Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan dopamine, kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skf (Lumbantobing, 2007). 3. Gejala Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok gejala positif dan gejala negatif. a. Gejala Negatif Pada gejala negatif terjadi penurunan, pengurangan proses mental atau proses perilaku (Behavior ).Hal ini dapat menganggu bagi pasien dan orang disekitarnya. 1) Gangguan afek dan emosi Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya : pasien menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarga dan masa depannya serta perasaan halus sudah hilang, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport), terpecah belahnya kepribadian maka hal-hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama (ambivalensi) (Lumbantobing, 2007). 2) Alogia Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada pula pasien yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia berhenti bicara, dan baru bicara lagi setelah tertunda beberapa waku (Lumbantobing, 2007). 3) Avolisi Ini merupakan keadaan dimaa pasien hampir tidak bergerak, gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri, tidak bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani (Lumbantobing, 2007).
4) Anhedonia Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari pertemanan dengan orang lain (Asociality) pasien tidak mempunyai perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang sosial tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia tidak memperdulikannya (Lumbantobing, 2007). 5) Gejala Psikomotor Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan
yang kurang luwes atau agak kaku, stupor
dimana pasien tidak menunjukkan pergerakan sam sekali dan dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun lamanya pada pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan and Sadock, 2010).
b. Gejala Positif Gejala positif dialami sensasi oleh pasien, padahal tidak ada yang merangsang atau mengkreasi sensasi tersebut. Dapat timbul pikiran yang tidak dapat dikontrol pasien. 1) Delusi(Waham ) Merupakan gejala skizofrenia dimana adanya suatu keyakinan yang salah pada pasien. Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali tetapi pasien tidak menginsyafi hal ini dan dianggap merupakan fakta yang tidak dapat dirubah oleh siapapun.Waham yang sering muncul pada pasien skizofrenia adalah waham kebesaran,waham kejaran,waham sindiran, waham dosa dan sebagainya (Kaplan and Sadock, 2010). 2) Halusinasi Memdengar suara, percakapan, bunyi asing dan aneh atau malah mendengar musik, merupakan gejala positif yang paling sering dialami penderita skizofrenia (Lumbantobing, 2007). B. Halusinasi 1. Pengertian
Halusinasi adalah persepsi sensoris yang palsu yang tidak desertai dengan stimuli eksternal yang nyata, mungkin terdapat atau tidak terdapat interprestasi waham tentang pengalaman halusinasi (Kaplan and Sadock, 2010) Menurut Stuart dan Sundeen (1998, p. 328) klien dengan halusinasi mengalami kecemasan dari kecemasan sedang sampai panik tergantung dari tahap halusinasi yang dialaminya (Januarti, 2008). 2. Etiologi a. Faktor Predisposisi Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada respon munculnya neurobiology seperti halusinasi (Stuart, 2007).
1) Biologis a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal berhubungan dengan perilaku psikotik (Stuart, 2007). b) Beberapa zat kimia diotak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebih dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia (Stuart, 2007). c) Pembesaraan ventikel dan penurunan massa kortikal menunjukan terjadi atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (Post-Mortem) (Stuart, 2007). 2) Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien misalnya anak diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara yang mengambil jarak dengannya 3) Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti : kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress sehingga tidak menutup
kemungkinan budaya ataupun adat yang dianggap terlalu berat bagi seseorang dapat menyebabkan seseorang menjadi gangguan jiwa.
b. Faktor Presipitasi Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan, tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006). Menurut (Stuart, 2007), faktor prespitasi terjadi gangguan halusinasi adalah: 1) Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara menanggapi stimulasi yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan. 2) Stres Lingkungan Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku dan umumnya lingkungan yang dapat mendukung bertambahnya gangguan jiwa adalah lingkungan perkotaan yang dimana tingkat individualismenya sangat tinggi. 3) Sumber Koping Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor berlebihnya informasi pada syaraf yang menerima dan memperoses inflamasi dithalamus frontal otak 3. Jenis Halusinasi Ada 7 jenis halusinasi yaitu : a. Pendengaran Adalah mendengar suara-suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas tentang pasien, bahkan sampai percakapan lengkap antar dua orang atau lebih tentang orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana pasien mendengar
perkataan
membahayakan. b. Penglihatan
bahwa
pasien
disuruh
sesuatu
kadang-kadang
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan seperti monster. c. Penghidu Membahui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, atau feses umumnya baubauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat strok, tumor, kejang dan dimensia. d. Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses. e. Perabaan Mengalami rasa nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati, atau orang lain. f. Canesthetic Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernakan makanan, atau pembentukan urin. g. Kinestetic Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa gerak. 4. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala pasien halusinasi adalah sebagai berikut : a.
Berbicara sendiri.
b.
Pembicaraan kacau, kadang tidak masuk akal.
c.
Tertawa sendiri tanpa sebab.
d.
Ketakutan.
e.
Ekspresi wajah tegang.
f.
Tidak mau mengurus diri
g.
Sikap curiga dan bermusuhan
h.
Menarik diri dan menghindari orang lain
5. Fase-Fase Halusinasi Halusinasi yang dialami oleh pasien berbeda intensitas dan keparahannya. Halusinasi terbagi dalam 4 fase yang berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan pasien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi, pasien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya. Fase halusinasi sebagai berikut fase-fase halusinasi (Stuart and Larai,2005) : a. Fase I Comforting Ansietas.
Karakteristik klien mengalami perasaan mendalam sperti ansietas, kesepian, rasa bersalah, takut dan mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiranpikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani (NON PSIKOTIK). Perilaku klien Perilaku Pasien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai mengerakkan bibir tanpa suara pergerakan mata yang cepat respon verbal yang lambat jika sedang asyik. Diam dan asyik sendiri. b. Fase II Condemning ansietas Karakteristik pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Pasien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain. Perilaku klien: meningkatnya tanda – tanda system saraf otonom akibat ansietas, seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah. Rentang perhatian menyempit, asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan halisinasi dan realita.
c. Fase III Controling Ansietas Karakteristik klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti. Perilaku klien kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti kesukaran berhubungan dengan orang lain. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit. Adanya tanda – tanda fisik ansietas berat, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah. d. Fase IV Conquering Panik. Karakteristik pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik Perilaku akibat panic. Potensi suicide atau homicide. Aktifitas fisik merefleksi isi halusinasi seperti: perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau
katatonia. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang komplek. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang. 6. Penatalaksanaan a. Medik 1) Terapi Somatik (Medikamentosa) ----Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk mngobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine) (Baihaqi, 2007). a) Antipsikotik Konvensional Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain (Baihaqi, 2007) : (1) Haldol (haloperidol) (2) Mellaril (thioridazine) (3) Navane (thiothixene) (4) Stelazine ( trifluoperazine) (5) Thorazine ( chlorpromazine) (6) Trilafon (perphenazine) -Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat
diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsycotic (Baihaqi, 2007). b) Newer Atypcal Antipsycotic Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain : (1) Risperdal (risperidone) (2) Seroquel (quetiapine) (3) Zyprexa (olanzopine) Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk menangani pasien-pasien dengan skizofrenia. (Baihaqi, 2007). c) Clozaril Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama. Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Para ahli merekomendaskan penggunaan Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil (Andri, 2009). Sediaan Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran : (1) Klorpromazin. Sedian tablet 25 dan 100 mg, injeksi 25 mg/ml. Dosis 150 - 600 mg/hari (2) Haloperidol. Sedian tablet 0,5 mg, 1,5 mg,5 mg Injeksi 5 mg/ml. Dosis 5 - 15 mg/hari (3) Perfenazin. Sedian tablet 2, 4, 8 mg. Dosis 12 - 24 mg/hari (4) Flufenazin. Sedian tablet 2,5 mg, 5 mg. Dosis 10 - 15 mg/hari (5) Flufenazin dekanoat. Sedian Inj 25 mg/ml. Dosis 25 mg/2-4 minggu. (6) Levomeprazin. Sedian tablet 25 mg, Injeksi 25 mg/ml. Dosis 25 - 50 mg/hari
(7) Trifluperazin. Sedian tablet 1 mg dan 5 mg . Dosis 10 - 15 mg/hari. (8) Tioridazin. Sedian tablet 50 dan 100 mg. Dosis 150 - 600 mg/hari. (9) Sulpirid. Sedian tablet 200 mg 300 ,Injeksi 50 mg/ml. Dosis 600mg/hari 1 - 4 mg/hari (10) Pimozid. Sedian tablet 1 dan 4 mg. Dosis 1 - 4 mg/hari. (11) Risperidon. Sedian tablet 1, 2, 3 mg Dosis 2 - 6 mg/hari 2) Cara penggunaan a) Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klnis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek samping sekunder. b) Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen. c) Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu sama. d) Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis obat antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang e) Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan: (1) Onset efek primer (efek klinis) sekitar 2-4 minggu (2) Onset efek sekunder (efek samping) sekitar 2-6 jam (3) Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari) (4) Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien f) Mulai dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu dosis dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu).
g) Untuk pasien dengan serangan sndroma psikosis multi episode terapi pemeliharaan dapat dibarikan palong sedikit selama 5 tahun. h) Efek obat psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir yang masih mempunyai efek klinis. i) Pada umumnya pemberian oabt psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk psikosis reaktif singkat penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam waktu 2 minggu - 2bulan. j) Obat
antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. k) Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic rebound yaitu: gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi sulfas atrofin 0,25 mg IM dan tablet trihexypenidil 3x2 mg/hari) l) Obat anti pikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1 cc setap bulan. Pemberian anti psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap kasus skizpfrenia. m) Penggunaan CPZ injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik pada waktu peubahan posisi tubuh (efek alpha adrenergik blokade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi noradrenalin (effortil IM) n) -Haloperidol sering menimbulkan sindroma parkinson. Mengatasinya dengan tablet trihexyphenidyl 3-4x2 mg/hari, SA 0,5-0,75 mg/hari (Kaplan and Sadock, 2010). 3) Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama -Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena tardive dyskinesia lebih rendah (Andri, 2009). Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan
diganti dengan obat lain, para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada Clozaril) (Andri, 2009). 4) Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh) Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 24
minggu.
Pemberian
penerapannya.Terkadang
obat
dengan
pasien
dapat
injeksi
lebih
kambuh
simpel
dalam
walaupun
sudah
mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain, misalnya a) antipsikotik
konvensonal
dapat
diganti
dengan
newer
atipycal
antipsycotic atau newer atipycal b) antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal (Kaplan and Sadock, 2010). 5) Pengobatan Selama fase Penyembuhan -Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah episode petama skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin beratnya penyakit (Kaplan and Sadock, 2010).
b. Keperawatan
1) Terapi Psikososial Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama ini menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi. Kepada penderita diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan, banyak bergaul (Kaplan and Sadock, 2010). a) Terapi Perilaku Teknik
perilaku
menggunakan
hadiah
ekonomi
dan
latihan
keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, latihan praktis dan komunikasi interpersonal. Jenis-jenis psikoterapi perilaku adalah latihan ketrampilan perilaku melibatkan penggunaan kaset video orang lain dan pasien, permainan simulasi (role playing) dalam terapi dan pekerjaan rumah tentang ketrampilan yang dilakukan (Kaplan and Sadock, 2010). b) Terapi berorintasi-keluarga Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya (Kaplan and Sadock, 2010). c) Terapi kelompok Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan
isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia (Kaplan and Sadock, 2010). d) Psikoterapi individual Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan
di
dalam
pengobpasien
non-psikotik.
Menegakkan
hubungan seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi (Kaplan and Sadock, 2010). 7. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya halusinasi. Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya halusinasi adalah sebagai berikut: a. Faktor Predisposisi Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobilogi seperti pada halusinasi antara lain: (Stuart, 2007). 1) Faktor Genetis Telah diketahui bahwa secara genetik skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu. Namun demikian kromosom yng keberapa yang menjadi faktor penentu yang gangguan yang sekarang ini masih dalam tahap penelitian. 2) Faktor Neurobiologi Ditemukan bahwa korteks pre frontal dan kortek limbic pada klien skizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada pasien skizofrenia terjadi penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal. Neurotransmiter yang tidak normal, khususnya dopamine, serotonin, dan glutamate. 3) Studi Neurotransmiter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidak seimbangan neurotransmiter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotonin. 4) Teori Virus Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi faktor predisposisi skizofrenia. 5) Psikologis Beberapa kondisi psikologis yang menjadi factor predisposisi skizofrenia antara lain: anak yang diperlakukan oleh Ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara anak yang mengambil jarak dengan anaknya.
b. Faktor Presipitasi Faktor-faktor pencetus respon neurobiologist meliputi: 1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima
dan
memproses informasi ditalamus dan frontal otak. 2) Mekanisme penghantaran listrik disaraf terganggu. 3) Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap dan perilaku. c. Mekanisme Koping Menisme koping yang sering digunakan pasien dengan halusinasi meliputi 1) Regresi, menjadi malas beraktifitas sehari-hari. 2) Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau suatu benda. 3) Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus interna. 4) Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh pasien. d. Perilaku Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh pasien yang mengalaminya, seperti mimpi saat tidur. Pasien mungkin tidak punya cara untuk menentukan persepsi tersebut nyata. Sama halnya seperti orang yang mendengarkan siaran ramalan cuaca dan tidak meragukan lagi orang yang berbicara tentang cuaca tersebut.
Pasien yang mengalami halusinasi sering merasa kecewa karena mendapatkan respon yang negatif ketika mereka menceritakan kepada orang lain. Karena akhirnya banyak pasien yang enggan untuk menceritakan kepada orang lain tentang halusinasi yang dialaminya. Pengalaman halusinasi menjadi masalah untuk dibicarakan dengan orang lain. Kemampuan bercakap-cakap tentang halusinasi yang dialami oleh klien sangat penting untuk memastikan dan menvalidasi pengalaman halusinasi tersebut. Perawat harus memiliki ketulusan dan perhatian penuh untuk dapat menfasilitasi percakapan halusinasi. Perilaku pasien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda-tanda dan perilaku halusinasi maka pengakajian selanjutnya harus dilakukan tidak sekedar mengetahui jenis halusinasinya saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi: 1) Isi halusinasi yang dialami oleh pasien. Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apa bila halusinasi yang dialami halusianasi dengar. Ataupun apa bentuk bayangan yang dilihat pasien, bila jenis halusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium bila halusinasinya penghidu, rasa apa yang dikecap bila halusinasinya pengecapan, atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila halusinasi perabaan. 2) Waktu dan frekuensi halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menyakan kepada pasien kapan pengalaman halusiansi muncul. Bila mungkin pasien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi halusinasi tersebut. Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana pasien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi. 3) Situasi pencetus halusinasi. Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami oleh pasien sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat di kaji dengan menanyakan kepada pasien peristiwa atau kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu perawat juga bisa mengobservasi apa yang dialami pasien menjelang halusinasi untuk menvalidasi pernyataan pasien 4) Respon pasien. Untuk menentuka sejauh mana halusinasi mempengaruhi pasien dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan pasien saat mengalami halusinasi. Apakah pasien masih bisa mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi.
C. Family Gathering 1. Pengertian Family Gathering Family Gathering adalah rangkaian upaya membantu keluarga, agar sebagai sistem meningkatkan pengetahuan dan lebih mampu melakukan penyesuaian diri. Dimana dengan kegiatan tersebut keluarga pasien mendapatkan informasi-informasi dan pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk membantu proses kesembuhan pasien yang merupakan keluarga mereka (Imah, 2006). Kegiatan family gathering berupa permainan (games) yang melatih mengenai sejauh mana pengetahuan yang telah dimiliki oleh keluarga pasien mengenai perawatan kesehatan jiwa. Bentuk komunikasi dari kegiatan ini adalah bersifat diskusi, yang di dalamnya juga terdapat proses sharing, tanya jawab, dan lain sebagainya (Imah, 2006). Sebelum melaksanakan kegiatan family gathering, beranjak dari teori psikologi, teori psikiatri, dan teori keperawatan jiwa. Dimana di dalam teori yang dikemukakan oleh Erikson (1968) disebutkan bahwa dalam proses kesembuhan pasien gangguan jiwa, peranan keluarga adalah yang sangat penting dan utama selain perawatan dan pengobatan medis (Keliat, 2008). 2. Tujuan Family Gathering Family Gathering bertujuan sarana untuk bersilaturahmi antara para keluarga pasien, para keluarga dengan pihak rumah sakit, dan juga sebagai ajang untuk berbagi pengalaman dan cerita satu sama lain (Imah, 2006). 3. Waktu Kegiatan Family Gathering Kegiatan family gathering biasanya diadakan pada setiap awal bulan, dengan kuantitas diadakan sekali dalam sebulan (Imah, 2006).
4. Bentuk Pesan yang disampaikan Family Gathering Bentuk pesan yang disampaikan adalah berbentuk komunikatif, informative, edukatif, dan persuasive. Pesan yang bersifat komunikatif maksudnya adalah menyampaikan melalui pemberian materi kepada para keluarga peserta family gathering mengenai hal-hal yang perlu untuk mereka ketahui, sehubungan dengan membantu proses kesembuhan keluarga mereka yang terkena gangguan jiwa. Kemudian komunikasi yang bersifat informative adalah memberitahukan atau menginformasikan secara lebih mendetail hal-hal atau materi-materi yang dapat menunjang peran keluarga dalam membantu proses kesembuhan pasien gangguan jiwa. Sebagai contoh,
komunikasi bersifat informative adalah ketika pemateri (dokter atau perawat atau psikolog) menyampaikan cara menanggulangi pasien ngamuk. Menjadi bersifat informative karena pemateri menyampaikannya secara jelas dan mendetail sehingga peserta menjadi paham dan mengerti betul bagaimana cara menanggulangi apabila keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa tersebut tiba-tiba bertindak agresif atau kasar. Sedangkan komunikasi yang bersifat edukatif adalah materi yang disampaikan kepada peserta family gathering merupakan materi yang dapat memberi manfaat kepada mereka dan keluarga mereka yang menderita gangguan jiwa. Biasanya berisikan informasi-informasi dan pengetahuan yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya, sehingga menjadi bermanfaat. Sebagai contoh, pengetahuan yang sebelumnya tidak mereka ketahui bahwa keluarga memegang peranan yang sangat penting untuk membantu mempercepat proses kesembuhan pasien gangguan jiwa (Keliat, 2008). 5. Jenis komunikasi Family Gathering Komunikasi dua arah yang dijelaskan oleh Enok Komariah dalam hal ini apabila dikaitkan dengan keilmuan Ilmu Komunikasi, disebut sebagai komunikasi simetris dua arah (two way symmetrical communication), adalah suatu bentuk komunikasi dua arah yang memiliki porsi sama besar antara komunikator dan komunikan (Cutlip & Center, 1990). Komunikasi dua arah ini adalah antara para pembicara atau pemberi materi dengan para keluarga pasien. Pembicara menyampaikan materi atau bahasannya (misalnya mengenai bagaimana cara mencegah kekambuhan pada pasien), kemudian peserta diberi kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi. Dalam kegiatan family gathering, keluarga juga dapat saling bercerita, berbagi pengalaman, bahkan tidak sedikit yang berkeluh kesah mengeluarkan isi hatinya menghadapi anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa (Keliat, 2008). Komunikasi satu arah (one way communication) mereka (peserta family gathering) tidak hanya datang untuk hadir, kemudian duduk sepanjang hari untuk mendengarkan penjelasan dari para pembicara. Namun dengan komunikasi dua arah tersebut, mereka dapat bertanya dan mendapatkan penjelasan yang lebih dalam mengenai kondisi anggota keluarga mereka yang sedang menderita gangguan jiwa. Mereka bukan hanya menjadi mengetahui suatu informasi, tapi juga memahami dan mengerti lebih dalam mengenai perawatan gangguan jiwa, mengenai bagaimana harus bersikap dan menghadapi anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa,
bagaimana mengatasi kekambuhan pada pasien yang bersikap agresif, dan lain sebagainya (Keliat, 2008). 6. Materi pada program Family Gathering yang disampaikan tentang dukungan keluarga dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita gangguan skizofrenia di rumah antara lain (Setyowati, 2008) : a. Menciptakan lingkungan yang sehat jiwa bagi penderita. b. Mencintai dan menghargai penderita. c. Memberikan pujian kepada penderita untuk segera perbuatannya yang baik dari pada menghukumnya pada waktu berbuat kesalahan. d. Menunjukan empati serta memberikan bantuan kepada penderita. e. Menghargai dan mempercayai pada penderita. f. Mau mengajak berekreasi bersama penderita dengan anggota keluarga lainnya. g. Kegiatan Mengikuti penderita untuk kegiatan kebersamaan dengan sesama anggota keluarga.
7. Upaya perawatan pasien gangguan jiwa yang dilakukan selama dirumah. Berikut ini adalah masalah keperawatan yang dihadapi oleh penderita yang mengalami gangguan jiwa dan bagaimana upaya perawatan kelurga selama dirumah : a. Penderita dengan masalah perawatan perilaku Kekerasan Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga pada penderita dengan Perilaku Kekerasaan adalah sebagai berikut (Videbeck, 2008): 1) Anjurkan penderita untuk mengungkapkan perasaan marah atau jengkelnya. 2) Bantu klien mengidentifikasi penyebab marah. 3) Bantu klien untuk memilih cara yang tepat dan bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih. 4) Anjurkan klien untuk tarik nafas dalam jika sedang marah. 5) Bantu penderita untuk minum obat sesuai dengan yang diprogramkan dokter b. Penderita dengan masalah perawatan Halusinasi Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga pada penderita dengan Halusinasi adalah sebagai berikut (Baihaqi, 2007) : 1) Jangan biarkan penderita sendiri
2) Anjurkan untuk terlibat dalam kegiatan dirumah (buat jadwal kegiatan penderita). 3) Bantu klien untuk berlatih cara menghentikan halusinasi. 4) Jika penderita terlihat bicara sendiri atau tertawa sendiri segera sapa dan diajak bicara. 5) Beri pujian yang positif pada penderita jika mampu melakukan apa yang dianjurkan. c. Penderita dengan masalah perawatan Harga Diri Rendah Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga pada penderita dengan Harga Diri Rendah adalah sebagai berikut (Azizah, 2011) : 1) Meningkatkan Harga diri penderita a) Menjalin hubungan saling percaya b) Memberi kegiatan sesuai kemampuan penderita 2) Menggali kekuatan penderita a) Dorong penderita mengungkapkan perasaannya. b) Bantu melihat kemampuan penderita c) Bantu mengenal harapan. 3) Mengevaluasi diri. 4) Mengambil keputusan d. Penderita dengan masalah perawatan Menarik Diri Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga pada penderita dengan menarik diri adalah sebagai berikut (Azizah, 2011) : 1) Memenuhi kebutuhan sehari-hari. 2) Melibatkan dalam kegiatan di keluarga dan masyarakat 3) Membantu komunikasi teratur. e. Penderita dengan masalah perawatan Defisit Perawatan Diri Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga pada penderita dengan Defisit Perawatan Diri adalah sebagai berikut (Videbeck, 2008) : 1) Meningkatkan kesadaran dan percaya diri penderita. 2) Membimbing dan mendorong penderita merawat diri. 8. Evaluasi atau Qutput setelah dilakukan Family Gathering Setelah dilakukan kegiatan family gathering keluarga penderita mampu: a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya yang dimaksud tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang terendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan,
menguraikan.
Misalnya
dapat
menyebutkan
cara
untuk
mengontrol halusinasi. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara luas.setelah diberikan penjelasaan tentang halusinasi penderita mampu mengenal gejala halusinasi. c. Aplikasi (aplication) Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada sistuasi atau kondisi nyata. Penderita mampu mengotrol halusinasi denga cara menghardik d. Analisis (analysis) Adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek kedalam suatu komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Penderita mampu membuat jadwal kegiatan untuk mengurangin timbulnya halusinasi.
D. Kerangka Teori Terapi Somatik
Terapi Psikososial
(Medikamentosa)
a) Terapi Perilaku
a)
Antipsikotik
b) Terapi berorintasi-
Konvensional
keluarga
b) Newer Atypcal Antipsycotic
Faktor Presdisposisi (Stuart, 2007)
c)
Clozaril
c) Terapi kelompok d) Psikoterapi individual (Kaplan and Sadock, 2010).
(Andri, 2009)
Faktor Presipitasi (Stuart, 2007) Halusinasi (Kaplan and Sadock, 2010)
Sembuh
Mekanisme koping (Stuart, 2007) Family Gathering (Imah,2006)
Perilaku (Stuart, 2007)
Skema 2.1: Kerangka Teori Sumber : Modifikasi Teori Blum dan Grenn, (Kaplan and Sadock, 2010), (Imah, 2006), (Stuart, 2007), (Januarti, 2008).
E. Kerangka Konsep Variabel Bebas
Variabel Terikat Pengetahuan keluarga tentang cara merawat halusinasi dengan klien skizofrenia
Family Gathering
Skema 2.2 Kerangka Konsep
Area yang Family Gathering sebagai variabel bebas dan pengetahuan keluarga tentang cara merawat halusinasi dengan klien skizofrenia sebagai variabel terikat.
F. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel Bebas
: Family Gathering
2. Variabel Terikat
: Pengetahuan keluarga tentang cara merawat
halusinasi
dengan klien skizofrenia dengan halusinasi G. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Ada perbedaaan pengetahuan keluarga sebelum dan sesudah dilakukan Family Gathering di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Amino Gondohutamo Semarang”.