BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekologi Jenis Tumih
2.1.1 Taksonomi Tumih mempunyai nama daerah marapat (Dayak, Ngaju, Kalimantan), perepat (Palembang), perepat darat (Belitung) dan teruntum batu (Bangka) (Heyne 1987). Menurut Boer dan Lemmens (1998), tumih memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Anisophylleales
Famili
: Anisophylleaceae
Genus
: Combretocarpus
Spesies
: Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser
2.1.2 Ciri Morfologi Pohon tumih berukuran sedang sampai besar dengan tinggi mencapai 40 m dan diameter mencapai 100 cm. Permukaan kulit batang tidak beraturan dan beralur dalam, berwarna cokelat terang sampai cokelat keabu-abuan sedangkan bagian dalam kulit batang keras, berwarna cokelat kejingga-jinggaan. Jenis ini hidup di daerah rawa, terkadang dengan bantalan dari akar nafas berwarna cokelat kemerahan berbentuk seperti benang (Boer & Lemmens 1998). Bunga dari jenis ini berbentuk malai, muncul pada bagian pangkal cabang, berwarna kuning; benang sari berjumlah dua kali lipat dari jumlah mahkota; memiliki tiga (sampai empat) kepala putik, tidak saling menempel. Buahnya merupakan buah kering, umumnya bersayap tiga, dengan masing-masing buah mengandung satu pucuk yang berbentuk kumparan. Daun tersusun alternate (berseling), mengerucut pada bagian pangkal dan membulat pada bagian ujung. Daun muda berwarna merah tua terang sampai merah gelap (Boer & Lemmens 1998). Buah berukuran 2 - 3 cm x 1,5 - 2 cm dan daun berukuran 8 - 14,5 cm x 5,5 - 9,5 cm (Argent et al. 1998).
4
4 cm
3 cm
2 mm
3 mm 3 cm
Sumber: Soepadmo et al. (1995)
Gambar 1 Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser (A. Ranting-daun yang berbuah; B. Buah potongan melintang; C. Bunga; D. Bunga tanpa kelopak, mahkota dan benang sari; E. Mahkota bunga; F. Benang sari). 2.1.3 Daerah Penyebaran dan Tempat Tumbuh Tumih tersebar di Sumatera, Kalimantan dan pulau di sekitarnya (Kepulauan Riau, Bangka, Belitung) (Boer & Lemmens 1998). Menurut Argent et al. (1998), di Kalimantan, penyebaran jenis ini tercatat dari Sarawak, Brunei, Sabah, Kalimantan Barat dan Tengah. Jenis ini ditemukan pada tanah berpasir, gambut dan rawa air tawar sampai 100 m, pada tegakan yang rapat. Menurut Boer dan Lemmens (1998), jenis ini paling melimpah pada hutan sekunder atau hutan dengan kanopi terbuka. Jenis ini tumbuh pada tanah tergenang di hutan gambut dan kerangas dengan ketinggian mencapai 100 - 300 m dpl. 2.1.4 Manfaat Tumih Jenis ini dapat digunakan untuk kayu pertukangan dan kayu bakar. Kayu dari jenis ini secara lokal banyak digunakan untuk konstruksi atau bantalan rel kereta api, tetapi membutuhkan perlakuan pengawetan. Kayu tumih juga digunakan untuk konstruksi perahu, mebel, lantai, dan panel (Boer & Lemmens 1998).
5
2.2 Teknik Perbanyakan Kultur Jaringan 2.2.1 Pengertian Kultur Jaringan Kultur jaringan merupakan teknik mengisolasi bagian-bagian tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan aseptik dengan tujuan agar bagian-bagian tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman lengkap (Gunawan 1995).
Menurut Zulkarnain (2009), kultur jaringan merupakan suatu
upaya mengisolasi bagian-bagian tanaman (protoplas, sel, jaringan, dan organ), kemudian mengkulturkannya pada nutrisi buatan yang steril di bawah kondisi lingkungan
terkendali
sehingga
bagian-bagian
tanaman
tersebut
dapat
beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap kembali. Menurut Gamborg dan Shyluk (1981) yang diacu dalam Zulkarnain (2009), tipe-tipe kultur berdasarkan macam eksplan yang digunakan dalam sistem kultur jaringan tanaman yaitu kultur organ (pucuk, meristem, potongan daun, akar, tunas), kultur kalus, kultur sel dan kultur protoplas. 2.2.2 Prinsip Dasar Kultur Jaringan Kultur jaringan mengandung dua prinsip dasar yaitu bahan tanam yang bersifat totipotensi dan budidaya yang terkendali (Santoso dan Nursandi 2003). Totipotensi sel merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa setiap sel hidup memiliki potensi genetik untuk menghasilkan organisme yang lengkap (Hartman et al. 1990). Menurut Asnawati et al. (2002), totipotensi sel merupakan kemampuan setiap sel untuk tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang sesuai dengan membawa karakter masing-masing yang independen. Setiap sel yang diisolasi dari tanaman dan diregenerasikan pada media yang sesuai maka akan diperoleh tanaman baru yang membawa karakter dari masing-masing sel tersebut. Santoso dan Nursandi (2003) mengemukakan bahwa sel, jaringan atau organ yang digunakan akan dapat berkembang sesuai arahan dan tujuan budidaya in vitro yang dilakukan dengan adanya sifat totipotensi ini. Sifat totipotensi lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenile (muda) dan banyak dijumpai pada daerah-daerah meristem tanaman.
6
2.2.3 Manfaat Kultur Jaringan Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa aplikasi teknik kultur jaringan tanaman memiliki manfaat utama yaitu perbanyakan klon atau perbanyakan massal dari tanaman. Adapun manfaat-manfaat lain dari kultur jaringan dalam beberapa hal khusus yaitu: 1. Perbanyakan klon secara cepat yang pada prinsipnya setiap sel dapat diinduksi untuk beregenerasi menjadi individu tanaman lengkap. Dalam waktu singkat dapat dihasilkan individu tanaman dalam jumlah yang besar. 2. Kondisi aseptik kultur jaringan tanaman mampu menyediakan bahan tanaman yang bebas patogen dalam jumlah yang besar. Melalui kultur meristem, dapat diregenerasikan tanaman yang bebas virus. 3. Produksi tanaman pada teknik kultur jaringan tidak tergantung pada musim sehingga melalui teknik ini terbuka peluang untuk memperbanyak tanaman di sepanjang tahun. 4. Pelestarian plasma nutfah menggunakan ruang yang kecil dan mudahnya menciptakan kondisi yang sesuai, menjadikan kultur jaringan sebagai suatu cara praktis untuk menyimpan bahan tanaman dari genotipe terpilih baik tanaman pertanian maupun tanaman langka yang terancam punah. 5. Memperbanyak
tanaman
yang
sulit
diperbanyak
secara
vegetatif
konvensional, dapat dilakukan dengan manipulasi terhadap lingkungan kultur (perlakuan hormon, cahaya, suhu) atau dengan menggunakan bahan eksplan yang memiliki daya meristematik tinggi. 2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Teknik Kultur Jaringan 2.2.4.1 Pemilihan Bahan Tanaman (Eksplan) Jaringan sumber eksplan dapat berupa sel meristematik dan embrio yang belum mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi. Selain itu, juga dapat digunakan tunas, bunga, daun muda, akar, umbi bagian embrio dan sebagainya. Bagian tanaman yang lebih muda seringkali merupakan sumber eksplan yang lebih baik pada banyak spesies (Conger 1981). Soeryowinoto (1977) yang diacu dalam Parera (1997) mengemukakan bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk kultur jaringan diambil dari jaringan yang diperkirakan dapat tumbuh dan
7
berkembang menjadi tanaman. Syarat yang harus dipenuhi dalam memilih bahan yang digunakan untuk kultur jaringan diantaranya jaringan yang sedang aktif pertumbuhannya seperti tunas, daun, mata tunas, tangkai tunas dan ujung akar. Bahan yang diambil semuda mungkin dan dijaga sterilitasnya. Hal ini dikarenakan keberhasilan kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh gagal atau tidaknya menjaga sterilitasnya. Gunawan (1987) menyatakan bahwa tingkat kontaminasi permukaan setiap bahan tanaman berbeda-beda tergantung dari jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan, morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak), lingkungan tumbuhnya (green house atau lapang), musim waktu mengambil (musim hujan atau kemarau), umur tanaman (seedling atau tanaman dewasa), dan kondisi tanamannya (sehat atau tidak). Menurut Semangun (1989), pengambilan bahan tanaman yang dilakukan pada musim hujan memiliki tingkat kontaminasi yang lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan pada musim hujan terjadi peningkatan kelembaban tanah dan kelebihan air yang cenderung mendukung pertumbuhan jamur maupun bakteri secara cepat pada lingkungan tumbuh tempat pengambilan tanaman. 2.2.4.2 Sterilisasi Eksplan Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) merupakan langkah awal yang cukup penting dan dapat menentukan keberhasilan penanaman secara in vitro. Eksplan yang akan ditanam pada media tumbuh harus bebas dari mikroorganisme. Sterilisasi eksplan biasanya dilakukan dengan cara merendam eksplan dalam larutan kimia sistemik pada konsentrasi dan waktu perendaman tertentu, baik menggunakan satu macam maupun bermacam-macam sterilan (Hobir et al. 1992). Prinsip dasar sterilisasi yaitu mensterilkan eksplan dari berbagai mikroorganisme, tetapi eksplannya tidak ikut mati. Setiap tanaman memerlukan perlakuan khusus sehingga sebelum mengkulturkan tanaman baru perlu dilakukan percobaan sterilisasi (Sandra 2003). Hendaryono dan Wijayani (1994) menyatakan bahwa sterilisasi eksplan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara mekanik dan secara kimia. Sterilisasi secara mekanik digunakan untuk eksplan keras atau berdaging, sedangkan sterilisasi secara kimia digunakan untuk eksplan yang lunak (jaringan
8
muda) seperti daun, tangkai daun, anther dan sebagainya. Bahan-bahan yang digunakan untuk sterilisasi permukaan eksplan diantaranya: 1. Natrium hipoklorit dengan nama dagang Clorox. Konsentrasi untuk sterilisasi tergantung dari kelunakan eksplan, dapat 5% hingga 20% dengan waktu antara 5 sampai 10 menit. 2. Mercuri klorit dengan nama dagang sublimat 0,05%. Penggunaan bahan kimia ini harus hati-hati karena bersifat racun. Cara perlakuan sterilisasi sama dengan Natrium hipoklorit, hanya waktu sterilisasinya lebih pendek karena bersifat keras. Bila sterilisasi terlalu lama dapat menyebabkan kerusakan pada eksplan (berwarna cokelat). 3. Alkohol 70% yang dapat menekan pertumbuhan jamur. Gunawan (1987) mengemukakan bahwa bahan tanaman dari lapangan mengandung debu, kotoran-kotoran dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya. Kontaminan hidup dapat berupa cendawan, bakteri, serangga dan telurnya serta spora. Dalam beberapa hari, kontaminan akan memenuhi seluruh botol kultur. Eksplan yang tertutup kontaminan akhirnya mati, sebagai akibat langsung dari serangan cendawan/bakteri atau secara tidak langsung akibat persenyawaan racun yang diproduksi cendawan/bakteri. Beberapa jenis bahan yang digunakan dalam sterilisasi permukaan adalah kalsium hipoklorit, natrium hipoklorit, hidrogen peroksida, gas klorin, perak nitrat, merkuri klorit, betadine, fungisida, antibiotik dan alkohol. Kisaran konsentrasi dan lama waktu perendaman bahan sterilan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kisaran konsentrasi dan lama waktu perendaman bahan sterilan Bahan Kalsium hipoklorit Natrium hipoklorit Hidrogen peroksida Perak nitrat Merkuri klorid Gas klorin Betadine Fungisida Antibiotik Alkohol Sumber : Gunawan (1987)
Konsentrasi 1 – 10% 1 – 2% 3 – 10% 1% 0,1 – 0,2% 10% 2 g/l 50 mg/l 70%
Lama Perendaman 5 – 30 menit 7 – 15 menit 5 – 15 menit 5 – 30 menit 10 – 20 menit 1 – 4 jam 5 – 10 menit 20 -30 menit ½ - 1 jam ½ - 1 menit
9
Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa beberapa sumber kontaminan mikroorganisme pada sistem kultur jaringan yaitu secara internal (kontaminan terbawa di dalam jaringan), secara eksternal (kontaminan berada di permukaan eksplan) akibat prosedur sterilisasi yang kurang sempurna, kondisi eksplan, lingkungan kerja dan pelaksanaan penanaman yang kurang hati-hati dan kurang teliti, medium sebagai akibat proses strilisasi yang tidak sempurna serta dari serangga atau hewan kecil yang berhasil masuk ke dalam botol kultur setelah diletakkan di dalam ruang kultur ataupun ruang stok. Sumber kontaminan yang paling sulit diatasi adalah yang berasal dari eksplan. Oleh karena itu, dalam memilih suatu metode sterilisasi harus selektif. 2.2.4.3 Faktor Lingkungan Hal-hal yang mutlak harus terkendali dalam kultur jaringan yaitu lingkungan yang mempengaruhinya (kelembapan, temperatur, cahaya), serta kondisi yang steril (Santoso dan Nursandi 2003). Menurut Zulkarnain (2009), kelembapan relatif di dalam ruang kultur sekitar 70%, namun kebutuhan kelembapan didalam wadah kultur mendekati 90%. Kisaran temperatur optimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tidak selalu sama untuk setiap spesies tanaman. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimum yaitu berkisar 20°C hingga 30°C. Untuk pengaturan pencahayaan yang harus diperhatikan yaitu periodisasi pencahayaan dan intensitas pencahayaan. 2.2.4.4 Media Kultur Media kultur dasar yang sering digunakan adalah media Murashige and Skoog yang memiliki keistimewaan yaitu memiliki kandungan nitrat, kalium dan amonium yang tinggi. Selain itu, media MS mengandung jumlah hara organik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur (Gunawan 1987). Hendaryono dan Wijayani (1994) mengemukakan bahwa kondisi media tempat tumbuh yang harus terkendali yaitu kondisi keasaman atau pH. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan memiliki toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal pH yaitu antara 5,0 dan 6,0. Media kultur jaringan mengandung bahan-bahan essensial yaitu garam-garam anorganik,
10
sumber karbon dan energi, vitamin dan zat pengatur tumbuh tanaman dan komponen-komponen pengoptimal pertumbuhan yaitu N-organik, asam organik, substrat komplek, arang aktif, dan lain-lain. Dalam kultur jaringan, beberapa garam organik yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak (unsur makro) diantaranya N, K, P, S (anion), Ca, dan Mg (kation), sedangkan garam organik yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit (unsur mikro) yaitu Fe, Mn, Zn, B, Cu dan Mo. Sumber karbon yang dianggap standar adalah sukrosa dan glukosa. Sumber karbon yaitu fruktosa juga dapat digunakan namun memiliki tingkat efektifitas yang kurang dibandingkan sukrosa dan glukosa. Vitamin dibutuhkan dalam jumlah kecil dan memiliki fungsi katalitik pada sistem enzim. Vitamin yang dianggap essensial yaitu tiamin (vitamin B 1). Pemberian tiamin mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan tidak ditambahkan tiamin. Beberapa vitamin lain yang ditambahkan yaitu asam p-aminobenzoat, asam askorbat (vitamin C), biotin, kolin klorida, vitamin B12, asam folat, kalsium pantotenat, dan riboflavin (vitamin B2) (Gamborg & Shyluk 1981 dalam Santoso & Nursandi 2003). Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (<1mM) dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moore 1979 dalam Purba 2009). Menurut Zulkarnain (2009), auksin merupakan sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang pemanjangan sel-sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai IAA (indole-3-acetic acid). Auksin yang sering ditambahkan
dalam
medium
adalah
indole-3-acetic
acid
(IAA),
α-
naphthalenacetic acid (α-NAA), dan 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), peran auksin dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman menunjukkan indikasi auksin dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, dan melunakkan dinding sel dengan diikuti menurunnya tekanan dinding sel sehingga air dapat masuk ke dalam sel yang disertai kenaikan volume sel. Dengan adanya kenaikan sintesa protein maka dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan.
11
Sitokinin merupakan senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tanaman, serta dapat mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, sitokinin juga terlibat di dalam kontrol perkecambahan pucuk, mempengaruhi absisi daun, transport auksin, memungkinkan bekerjanya giberelin dengan menghilangkan penghambat tumbuh dan menunda penuaan. Sitokinin yang paling banyak digunakan yaitu kinetin, benziladenin (BAP) dan zeatin (Kyte 1983 dalam Hendaryono & Wijayani 1994). Peran sitokinin yang lain yang dikemukakan oleh Santoso dan Nursandi (2003) yaitu pemecahan dormansi, mendorong proses
morfogenesis,
pembungaan,
pertunasan,
pembentukan
kloroplas dan pembukaan stomata. Huetteman dan Preece (1993) menyatakan bahwa BAP (6-benzyl amino purine) dan TDZ (Thiadiazuron) merupakan dua jenis sitokinin dengan tipe urea yang berbeda. Sitokinin tipe urea seperti TDZ memiliki aktivitas lebih kuat dibanding tipe adenin atau purin seperti BAP. TDZ merupakan sitokinin yang juga bersifat merangsang multiplikasi pucuk dalam konsentrasi rendah dan dapat menghasilkan tunas kerdil dengan kualitas rendah pada konsentrasi yang tinggi. Menurut Devilana (2005), dalam kultur jaringan Nenas, TDZ dengan konsentrasi 1x10-1 ppm menghasilkan jumlah tunas aksilar dan tunas adventif tertinggi pada lima minggu setelah tanam. Sukmadjaja et al. (2007) yang diacu dalam Isnaeni (2008) menyatakan bahwa penggunaan TDZ dan BAP sebagai salah satu zat pengatur tumbuh pada komoditas pisang dengan pemberian 0,1 ppm TDZ tanpa penambahan BAP serta pemberian BAP pada konsentrasi rendah (0,5 ppm) yang dikombinasikan dengan TDZ 1,5 ppm merupakan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang memberikan hasil penambahan jumlah tunas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya. 2.2.5 Kultur Pucuk Armini et al. (1991) menyatakan bahwa eksplan yang diambil dari tanaman herbasius, baik dari pucuk apikal maupun pucuk lateral mengandung jaringan meristematik. Tanaman berkayu seringkali mengeluarkan senyawa fenolik bila jaringannya diisolasi dibandingkan tanaman herbasius. Kesulitan dalam mengkulturkan pucuk dari tanaman berkayu adalah sulitnya mendapatkan
12
eksplan steril. Menurut Gunawan (1987), pucuk yang berisi meristem dan jaringan-jaringan yang lebih mudah diisolasi. Dalam kultur pucuk, ukuran 0,3 1,0 cm digunakan sebagai bahan awal. Pada umumnya, pertumbuhan pucuk memerlukan zat pengatur tumbuh dalam media. Tahapan pertumbuhan dan tipe pertumbuhan menentukan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diperlukan. Kisaran konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur pucuk Zat Pengatur Tumbuh Auksin NAA IBA IAA Sitokinin BAP Kinetin ZiP Giberelin GA3
Media I (mg/l)
Media II (mg/l)
Media III (mg/l)
0.05 – 1.0 0.01 – 1.0 0.05 – 1.0
0.05 – 0.2 0.05 – 2.0 0.05 – 1.5
0.1 – 5.0 0.3 – 2.0 0.3 – 5.0
0.2 – 3.0 0.3 – 2.0 0.75 – 3.0
0.1 – 5.0 0.3 – 2.0 2
-
0.01 – 0.1
0.2
-
Sumber : George dan Sherrington (1984) dalam Gunawan (1987)