BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang sejalan dengan penelitian saya ada lima penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi tahun 2006 dengan judul Analisis Kebijakan Keamanan Pangan Produk Hasil Perikanan di Pantura Jawa Tengah dan DIY ini menganalisis produk hasil perikanan yang menggunakan BTP di daerah Pantura. Penelitian ini juga memberikan rekomendasi pengembangan kebijakan keamanan pangan untuk produk hasil perikanan. Penelitian kedua oleh Wijaya tahun 2009 dengan judul Penerapan Peraturan Dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Di Sekolah Dasar Di Kota Dan Kabupaten Bogor ini menganalisis keamanan pangan jajanan sekolah anak SD. Penelitian ketiga oleh Safitri tahun 2013 dengan judul penelitian Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi niat mengkonsumsi daging halal. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi niat mengkonsumsi daging halal diantaranya norma subjektif, kontrol perilaku, kesadaran religi, niat berperilaku. Penelitian keempat dari Jusmaliani tahun 2009 dengan judul Religiousity Aspect in Consumer Behavior:
Determinants Halal Meat Consumption. Penelitian ini menganalisis kontrol perilaku, ketersediaan daging halal, niat untuk memakan daging halal. Penelitian kelima dari Shang-Ho Yang et al, 2016 dengan judul Preferences for Meat Labeling in Taiwanese Traditional Markets: What do Consumers Want?. Penelitian ini menganalisis hubungan antara umur dan pendidikan dengan informasi keamanan pangan. Penelitian keenam dari Biohaz, 2014 dengan judul Scientific Opinion on the public health risks related to the maintenance of the cold chain during storage and transport of meat. Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi suhu dan penyimpanan berpengaruh pada kondisi pertumbuhan bakteri pada daging.
9
10
Penelitian ketujuh yang berjudul Consumer food safety knowledge and practices oleh Burhn and schutz tahun 1999 ini menunjukkan bahwa pengetahuan konsumen akan berpengaruh pada penanganan keamanan pangan dan pendidikan harus menekankan pada pentingnya kontrol suhu dan sanitasi. Penelitian kedelapan oleh Rahardi tahun 2012 dengan judul Repeat Consumption Behaviour in Traditional Markets: Bandung and Surrounding Regions, menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen membeli di pasar tradisional yakni kualitas layanan dan kedekatan konsumen dengan pedagang. Kedelapan penelitian ini
menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian saya baik mengenai alat analisis yang digunakan maupun variabel yang digunakan. Tabel 2. Penelitian Terdahulu No 1
Judul Penelitian Analisis Kebijakan Keamanan Pangan Produk Hasil Perikanan di Pantura Jawa Tengah dan DIY (Riyadi, 2006)
Alat Analisis Metode analisis yang digunakan yakni diskriptif dan chi square
2
Penerapan Peraturan Dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Di Sekolah Dasar Di Kota Dan Kabupaten Bogor
Metode analisis yang digunakan uji korelasi pearson dan uji t (independent)
Hasil Penelitian Terdapat bukti penggunaan bahan tambahan ilegal pada penanganan dan pengolahan produk ikan. Sedangkan untuk kerupuk dan terasi tidak terbukti bahan tambahan makanan. Pengembangan kebijakan jaminan keamanan dan mutu produk perikanan dapat dilakukan berbagai langkah diantaranya adalah : pengembangan bahan tambahan makanan alternatif, pengembangan dan penerapan standar mutu, perbaikan tata niaga bahan kimia ilegal, kampanye makan ikan, penyadaran masyarakat, pengembangan kelembagaan, pengembangan SDM, keterpaduan dan pengembangan sistem pengawasan. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan gizi dan keamanan pangan kurang. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan
11
(Wijaya, 2009)
3
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi niat mengkonsumsi daging halal ( Safitri, 2013)
Metode Analisis yang digunakan analisis regresi linier berganda
4
Religiousity Aspect in Consumer Behavior: Determinants Halal Meat Consumption (Jusmaliani, 2009)
Menggunakan metode analisis desain crosssectional dan deskriptif
5
Preferences for Meat Labeling in Taiwanese Traditional Markets: What do Consumers Want? ( Shang-Ho Yang et al, 2016)
Menggunakan metode analisis model logit
6
Scientific Opinion on the public health risks
Menggunakan metode data
dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan responden. Secara keseluruhan praktek keamanan pangan responden berkategori kurang sebesar 51.1%. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan berhubungan negatif dengan praktek keamanan PJAS Hasil penelitian menunjukkan bahwa norma subjektif dan kontrol perilaku berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesadaran religi atas produk halal dan kesadaran religi atas produk halal berpengaruh positif secara signifikan terhadap niat berperilaku mengkonsumsi daging halal. Penelitian ini menunjukkan bahwa kontrol perilaku dan ketersediaan daging halal memiliki dampak yang signifikan terhadap niat untuk makan daging halal. Hasil lanjut menunjukkan bahwa secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat penentu daging halal konsumsi antara hidup Muslim Indonesia di Jakarta dibandingkan dengan orang-orang dari di Melbourne, kecuali untuk ketersediaan daging halal. Penelitian ini menunjukkan bahwa umur dan pendidikan berpengaruh pada informasi keamanan pangan yang didapatkan. Implikasi dari studi ini menunjukkan bahwa strategi yang diperlukan untuk pasar tradisional adalah memberikan informasi terkait dapat meringankan kekhawatiran masalah keamanan makanan Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi suhu dan penyimpanan
12
related to the maintenance of the cold chain during storage and transport of meat ( Biohaz, 2014)
analisis deskriptif dan laboraturium
berpengaruh pada kondisi pertumbuhan bakteri pada daging.
7
Consumer food safety knowledge and practices ( Burhn and schutz, 1999)
Menggunakan metode data SAS, dan statistik deskriptif
8
Repeat Consumption Behaviour in Traditional Markets: Bandung and Surrounding Regions (Rahardi, 2012)
Menggunakan metode data SEM
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan konsumen akan berpengaruh pada penanganan keamanan pangan dan pendidikan harus menekankan pada pentingnya kontrol suhu dan sanitasi Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen membeli di pasar tradisional yakni kualitas layanan dan kedekatan konsumen dengan pedagang .
Penelitian
tersebut
terdahulu
sebagai
referensi
dalam
menentukan variabel penduga dan alat analisis. Keterbaruan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek yang berbeda dan faktor-faktor yang berpengaruh yang akan diuji. Penelitian ini diharapkan akan lebih maju dari penelitian sebelumnya. B. Landasan Teori 1. Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kehidupan setiap insan baik secara fisiologis, psikologis, sosial maupun antropologis. Pangan selalu terkait dengan upaya manusia untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia sangat memperhatikan peranan strategis pangan dalam pembangunan nasionalnya. Untuk mendukung upaya ini, dikembangkan program diversifikasi untuk mendapatkan suatu pola konsumsi pangan yang beragam dengan mutu gizi yang seimbang. Diversifikasi pangan perlu
13
diadakan untuk memberikan pilihan pangan pada konsumen. Konsumen akan sangat memperhatikan faktor-faktor seperti harga, penampakan atau kesegaran, rasa atau selera, mutu gizi serta kaitan makanan dengan kesehatah atau penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, darah tinggi, kanker, diabetes, berat badan dan reumatik. (Wirakartakusumah et all, 2001) Negara berkewajiban untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup (selain terjamin mutunya) bagi setiap warga negara, karena pada dasarnya setiap warga negara berhak atas pangan bagi keberlangsungan hidupnya. Penyediaan pangan oleh negara harus diupayakan melalui produksi pangan dalam negeri, dimana produksi ini harus senantiasa meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan penduduk. Pemerintah harus melaksanakan kebijakan pangan, yaitu menjamin ketahanan pangan yang meliputi pasokan, diversifikasi,
keamanan,
kelembagaan,
dan
organisasi
pangan.
Kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan kemandirian pangan. Pembangunan yang mengabaikan keswadayaan dalam kebutuhan dasar penduduknya, akan menjadi sangat tergantung pada negara lain, dan itu berarti menjadi negara yang tidak berdaulat. ( Purwaningsih, 2008) UU Pangan No 7/1996 memuat pasal-pasal keamanan pangan jauh lebih banyak dibandingkan pasal lainnya. Ada 20 pasal tentang keamanan pangan yang dirinci cukup detail dalam UU Pangan, sementara tentang mutu, gizi hanya 6 pasal, tentang label dan iklan pangan 6 pasal, dan tentang tanggung jawab industri pangan 4 pasal. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya menaruh perhatian besar pada masalah keamanan pangan. Namun rupanya pemerintah dalam hal ini Badam POM belum menunjukkan taringnya untuk menindak tegas para pelanggar UU Pangan. Masyarakat konsumen berharap banyak bahwa keamanan dan kesehatannya terlindungi oleh pemerintah yakni dengan adanya pengawasan ketat tentang makanan yang beredar. (Khomsan, 2012)
14
2. Kebijakan Keamanan Pangan Di Indonesia, secara formal nilai strategis dari mutu, gizi, dan keamanan pangan ini telah menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya undang- undang tentang pangan yaitu Undang- undang No. 18 Tahun 2012. Kondisi mutu, gizi dan keamanan pangan yang ada masih kurang memadai bahkan sering membahayakan, hal ini disebabkan 1) Infrastruktur yang belum mantap, 2) Tingkat pendidikan produsen, 3) Sumber dana yang terbatas, dan 4) Produksi makanan masih di dominasi oleh industri kecil dan menengah. Namun demikian, harus diakui bahwa akar masalah utamanya adalah arti strategis mutu, gizi dan keamanan pangan ini belum sepenuhnya disadari oleh pembuat dan pelaksana kebijakan. Manajemen puncak harus menetapkan, mendokumentasikan dan mengkomunikasikan kebijakan keamanan pangannya. Manajemen puncak harus memastikan bahwa kebijakan keamanan pangannya : a) Sesuai dengan peran organisasi dalam rantai pangan, b)
Memenuhi
persyaratan
peraturan
perundang-undangan
dan
persyaratan pelanggan yang telah disetujui bersama, c) Dikomunikasikan, diterapkan dan dipelihara pada seluruh tingkat organisasi, d) Ditinjauan agar tetap sesuai. Manajemen puncak harus melakukan tinjauan sistem manajemen keamanan pangan organisasi, pada rentang waktu yang terencana, untuk memastikan kesesuaian, kecukupan dan efektifitasnya secara berkesinambungan. Proses tinjauan manajemen harus mencakup penilaian tentang peluang perbaikan, dan kebutuhan akan perubahan sistem manajemen keamanan pangan, termasuk kebijakan keamanan pangan. e) Dikomunikasikan secara memadai, dan f) Didukung oleh sasaran yang terukur. Pengawasan
pangan
merupakan
faktor
penting
untuk
meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Program pengawasan
15
pangan di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimum dengan adanya berbagai hambatan diantaranya belum mantapnya kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, peraturan dan pedoman yang masih belum lengkap, jumlah dan kualitas SDM yang terbatas.Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawasan pangan dan dana pengawasan mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang mendapat pengawasan (Yusuf, 2004). Sistem keamanan pangan harus diakselerasi oleh campur tangan pemerintah dengan pendekatan : (1) Menerapkan regulasi; Undangundang atau peraturan, untuk ini telah ada (UUD RI Tahun 1945; UU RI No 7 Tahun 1996; UU RI No 29 Tahun 1999; UU RI No 69 Tahun 1999; PP RI No 68 Tahun 2002; dan PP RI No 28 Tahun 2004), namun perlu ditindaklanjuti dengan penegakan hukum dan evaluasi-evaluasi. Pengawasan pangan, pengoperasian alat, prosedur sanitasi, penggunaan bahan dan label produk diperketat dengan rasio yang memadai; dan (2) Menganjurkan penggunaan HACCP. (Bintoro, 2009) 3. Keamanan Pangan Makanan yang aman adalah makanan yang bebas dari cemaran fisik, kimia, maupun mikrobiologi yang berbahaya bagi kesehatan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Makanan dianggap rusak apbila seluruh atau sebagian dari makan itu terdiri daru kotoran atau bahan-bahan busuk. Makanan akan dianggap rusak bila makanan itu telah disiapkan, dikemas atau ditangani dalam kondisi yang tidak bersih atau mungkin sudah terkontaminasi oleh kotoran. (Andriani dan Wirjatmadi, 2012) Keamanan pangan adalah semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama produksi, prosesing, penyimpanan, distribusi dan penyiapan makanan untuk memastikan bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan baik untuk konsumsi manusia (Joint FAO/WHO Expert Commitiee of Food Safety yang diacu dalam
16
Damayanthi (2004). Menurut UU Pangan nomor 18 Tahun 2012 keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Menurut Damayanthi (2004) sesungguhnya keamanan pangan itu termasuk salah satu faktor mutu yang menentukan tingkat penerimaan/ pemuasan konsumen, tetapi karena begitu penting peranannya, faktor mutu ini secara khusus disebutkan. Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping mutu fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz (1994) dalam Wijaya (2009), makanan siap santap dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi konsumen yang sangat memperhatikan bagi kesehatan dan berat badan. Food safety (keamanan pangan) akhir-akhir ini telah menjadi isu nasional
dan
internasional.
Semakin
tinggi
pengetahuan
dan
kemampuan ekonomi masyarakat, semakin tinggi pula kecenderungan menuntut pangan yang lebih aman untuk dikonsumsi. Kemungkinankemungkinan bahaya pangan dapat terjadi karena beberapa sebab, antara lain : 1) Adanya residu bahan kimia yang terbawa pada bahan pangan akibat teknologi pertanian misalnya insektisida, pestisida, fungisida,antibiotik dan hormon; 2) Adanya
kesalahan dalam
penggunaan bahan kimia tambahan baik jenis maupun dosisnya; 3) Penyerapan logam yang berbahaya oleh tanaman dan hewan akibat pencemaran lingkungan dan industri; 4) Terjadinya kontaminasi mikroba dan bahan kimia terhadap bahan pangan dan produk pangan sejak pertama sampai tingkat pengolahan akibat kurangnya sanitasi; 5) Kurang cukupnya kondisi proses pengolahan menyebabkan mikroba aktif kembali pada saat penyimpanan dan pemasaran; dan 6) Ekses dari
17
penggunaan teknologi yang belum tuntas penelitiannya, misalnya senyawa- senyawa baru, teknik radiasi dan sebagainya (Tjahja, 2008). Kontaminasi silang merupakan hal yang paling disoroti dalam keamanan pangan. Kontaminasi silang terjadi diantara makanan, permukaan, atau peralatan. Oleh sebab itu, hal-hal berikut harus dilakukan untuk menghindarinya: 1). Membersihkan permukaan tempat kerja, alas pemotong, perabot dan peralatan lain secara seksama, 2). Menggunakan alas pemotong dan pisau yang berlainan untuk setiap pangan yang berbeda, 3). Mencuci tangan sebelum beraktifitas. (Sugiono, 2013) 4. Daging Sapi Segar Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan, sering pula diperluas dengan memasukkan organorgan seperti hati dan ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging (Soeparno, Lawrie dalam Ridwan, 2011) Daging adalah bagian dari hewan yang disembelih (sapi, kerbau, kambing, domba) yang dapat dimakan dan berasal dari otot rangka atau yang terdapat di lidah, diafragma, jantung dan oesophogus dengan atau tidak mengandung lemak. Daging merupakan otot hewan yang tersusun dari serat-serat yang sangat kecil yang masing masing serat berupa sel memanjang yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan lemak, ikat dan otot (Afiati, 2009). Astawan (2004) dalam Afiati (2009) menjelaskan bahwa berdasarkan keadaan fisik, daging dapat dikelompokkan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan dan didinginkan (daging dingin), (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku), (4) daging
18
masak, (5) daging asap dan (6) daging olahan. Komposisi kimia daging terdiri dari 56-72%% air, 15-22% protein, 5-34% lemak dan 3,5% substansi bukan protein terlarut, meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral dan vitamin. Protein dalam daging tinggi akan kandungan asam amino essensial lengkap dan seimbang yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan kesehatan. Selain itu daging juga mengandung energi dari lemak intraselular di dalam serabut-serabut otot serta mengandung kolesterol relatif lebih rendah dibanding pada bagian otak dan jeroan. Namun secara umum daging merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor dan zat besi serta vitamin B kompleks, tetapi rendah vitamin C. Tingginya kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi dan hidup sehat akan membawa dampak positif terhadap konsumsi makanan yang bergizi, bersih, aman dan sehat untuk kesehatan misalnya dalam hal menentukan daging sapi segar yang sehat dan layak dikonsumsi. Kualitas fisik daging sapi yang tidak sehat atau tidak layak dikonsumsi, dapat dilihat dengan membandingkan ciri-ciri daging sapi tersebut. Sifat fisik daging berkaitan erat dengan kualitas daging, sebab kualitas daging dapat diartikan sebagai ukuran sifat-sifat daging yang dikehendaki dan dinilai oleh konsumen (Amertaningtyas, 2013). Kriteria yang dipakai sebagai pedoman untuk menentukan kualitas daging yang layak konsumsi adalah : a
Keempukan daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin tua usia hewan susunan jaringan ikat semakin banyak sehingga daging yang dihasilkan semakin liat. Jika ditekan dengan jari daging yang sehat akan memiliki konsistensi kenyal.
b
Kandungan lemak (marbling) adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot (intramuscular). Lemak berfungsi sebagai pembungkus
19
otot dan mempertahankan keutuhan daging pada waktu dipanaskan. Marbling berpengaruhterhadap cita rasa. c
Warna daging bervariasi tergantung dari jenis hewan secara genetik dan usia, misalkan daging sapi potong lebih gelap daripada daging sapi perah,daging sapi muda lebih pucat daripada daging sapi dewasa. Warna daging yang baru diiris biasanya merah ungu gelap dan berubah menjadi terang bila dibiarkan terkena udara dan bersifat reversible (dapat balik). Namun bila dibiarkan terlalu lama diudara akan berubah menjadi coklat.
d
Rasa dan aroma dipengaruhi oleh jenis pakan. Daging yang berkualitas baik mempunyai rasa gurih dan aroma yang sedap.
e
Kelembaban daging secara normal dapat dilihat dari permukaan. Bila permukaan daging relatif kering, daging tersebut dapat menahan pertumbuhan dari mikroorganisme dari luar, sehingga mempengaruhi daya simpan (Afiati, 2009). Daging sapi segar yang disimpan pada suhu dingin konvensional
(4°C) refrigerator selama 7 hari menunjukkan hasil tidak mengalami kerusakan, sebaliknya daging yang disimpan diruangan kamar pada suhu rata-rata 27°, hari ke-3 sudah menunjukkan kerusakan yaitu mulai timbul bau dengan perubahan warna menjadi pucat (Prasetya dan Kendriyanto, 2010) Daging sapi segar sering mengalami kontaminasi salah satunya di RPH kota Pekanbaru disebabkan beberapa hal antara lain: (1) tidak tersedianya tempat cuci tangan yang dilengkapi fasilitasnya serta air pembuanganya yang dapat mengalir ke saluran pembuangan, (2) tidak adanya fasilitas ruang bersih dan ruang kotor yang terpisah secara jelas sehingga kontaminasi silang sangat mungkin terjadi, (3) kondisi ruang utama RPH dan peralatan yang digunakan tidak berada dalam kondisi bersih dan tidak didisinfektan setelah digunakan, (4) sebagian besar para pekerja tidak menerapkan sanitasi dan higiene, hal ini terbukti dengan tidak adanya pakaian khusus dan tertutup, tidak menggunakan
20
sepatu bot, sarung tangan, masker dan penutup kepala, (5) kualitas air yang digunakan untuk mencuci peralatan, cuci tangan, mencuci karkas/daging tidak memenuhi persyaratan sebagai air bersih, (6) peralatan penunjang yang digunakan tidak bersih, (7) rendahnya pengawasan dan kesadaran karyawan akan pentingnya penerapan sanitasi di RPH serta (8) tidak tersedianya fasilitas pengangkut karkas/daging sapi segar yang memadai (Kuntoro et all, 2012). 5. Pasar Tradisional Pasar merupakan kegiatan penjual dan pembeli yang melayani transaksi jual-beli. Pasar dibagi menjadi dua yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual dan pembeli secara langsung, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan, ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian, barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar (Esther dan Didik, 2003 dalam Jurnal Makarti, 2012). Faktor desain dan tampilan pasar, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern. pasar tradisional sejatinya memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern.
Lokasi
yang
strategis,
area
penjualan
yang
luas,
keanekaragaman barang yang lengkap, sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara pembeli dan penjual merupakan
21
beberapa keunggulan yang dimiliki pasar tradisional (Widodo dan Wardhani, 2012). Kondisi pasar tradisional pada umumnya memprihatinkan. Masalah infrastruktur yang hingga kini masih menjadi masalah serius di pasar tradisional. Kebersihan dan tempat pembuangan sampah yang kurang terpelihara, kurangnya lahan parkir, dan buruknya sirkulasi udara merupakan beberapa kondisi yang terlihat di pasar tradisional. Belum lagi ditambah semakin menjamurnya PKL yang otomatis merugikan pedagang yang berjualan di dalam lingkungan pasar yang harus membayar penuh sewa dan retribusi. PKL menjual barang dagangan yang hampir sama dengan seluruh produk yang dijual di dalam pasar. Hanya daging segar saja yang tidak dijual oleh PKL. (Poesoro, 2007). Pasar
tradisional
merupakan
pasar
yang
dikelola
dengan
manajemen yang lebih tradisional dan simpel daripada pasar modern. Pasar tradisional cenderung menjual barang barang lokal dan kurang ditemui barang impor. Karena barang yang dijual dalam pasar tradisional cenderung sama dengan pasar modern, maka barang yang dijual pun mempunyai kualitas yang relatif sama dengan barang-barang di pasar modern. Secara kuantitas, pasar tradisional umumnya mempunyai persediaan barang yang jumlahnya sedikit sesuai dengan modal yang dimiliki pemilik atau permintaan dari konsumen. Dari segi harga, pasar tradisional tidak memiliki label harga yang pasti karena harga disesuaikan dengan besarnya keuntungan yang diinginkan oleh setiap pemilik usaha sendiri-sendiri. Selain itu, harga pasar selalu berubah-ubah, sehingga bila menggunakan label harga lebih repot karena harus mengganti-ganti label harga sesuai dengan perubahan harga yang ada dipasar (Dewi dan Winarni, 2013). Pasar tradisional memiliki potensi sebagai ikon daerah. Akan tetapi, dengan semakin berkembangnya pasar modern, pasar tradisional menjadi semakin terpinggirkan keberadaannya. Hal ini diperparah oleh
22
kondisi pasar tradisional yang tidak tertata dengan baik, misalnya banyak terdapat pasar tumpah yang menjalar di sekeliling pasar, dan banyaknya tumpukan sampah yang berserakan (Andriani dan Ali dalam Djau, 2009). 6. Analisis Chi-square Analisis Chi Square yang seringkali bernotasi χ2 digunakan untuk melakukan
pengujian
hipotesis
terhadap
proporsi
relatif
dari
karakteristik yang dikelompokkan. Data yang sesuai digunakan pada analisis Chi Square adalah data dalam bentuk frekuensi, tidak dalam bentuk angka rasio atau skala. Dimana data frekuensi tersebut hasil dari pengklasifikasian data. Misalnya, klasifikasi seks (laki-laki dan perempuan), klasifikasi sikap terhadap sesuatu (baik, cukup, jelek), klasifikasi pekerjaan, klasifikasi desa dan kota, klasifikasi jenis produk dll (Alhusin, 2003). Adapun rumus Chi-Square adalah sebagai berikut (Singarimbun, 1989) : 𝐾𝑎 𝑋 𝐵𝑥
ftax =
𝑇
ftax = Frekuensi teoritis pada kotak dengan kolom a pada baris x Ka = Jumlah pada kolom a BX = Jumlah pada baris x T = Jumlah sampel total χ2=
𝐾 (𝑓0−𝑓𝑡) 𝑖=1 𝑓𝑡
2
fo = frekuensi hasil pengamatan ft =frekuensi yang diharapkan Uji Chi-square atau qai-kuadrat digunakan untuk melihat apakah suatu pengamatan cocok atau sesuai dengan suatu sebaran tertentu (Simbolon, 2013).
Prosedur uji chi-square menabulasi satu atau
variabel ke dalam kategori-kategori dan menghitung angka statistik chi-
23
square. Untuk satu variabel dikenal sebagai uji keselarasan atau goodness of fit test yang berfungsi untuk membandingkan frekuensi yang diamati (fo) dengan frekuensi yang diharapkan (ft). Jika terdiri dari 2 variabel dikenal sebagai uji independensi yang berfungsi untuk hubungan dua variabel. Seperti sifatnya, prosedur uji chi-square dilkelompokan kedalam statistik uji non-parametrik. Semua variabel yang akan dianalisa harus bersifat numerik kategorikal atau nominal dan dapat juga berskala ordinal. Prosedur ini didasarkan pada asumsi bahwa uji nonparametrik tidak membutuhkan asumsi bentuk distribusi yang mendasarinya. Data diasumsikan berasal dari sampel acak. Frekuensi yang diharapkan (fh) untuk masing-masing kategori harus setidaknya : Tidak boleh lebih dari dua puluh (20%) dari kategori mempunyai frekuensi yang diharapkan kurang dari 5 (Sugiyono, 2007). Uji Chi-square digunakan untuk melakukan uji signifikansi perbedaan variabel-variabel yang independen. Untuk uji ini, perlu dicermati hal-hal sebagai berikut: 1) Jumlah sel yang memiliki “frekuensi yang diharapkan” kurang dari 5 (Fh <5) minimal 20%. 2) Tidak satu sel-pun yang memiliki “frekuensi yang diharapkan” yang kurang dari 1 (Fh <1) 3) Bila jumlah n minimal 20 ( Alhusin, 2003) C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Kualitas produk daging sapi segar di pasar tradisional cenderung terabaikan. Mengingat, kondisi pasar tradisional juga tak luput dari kelemahan yang dimilikinya. Mulai dari desain lokasi, penataan, oprasional sehari-hari, seperti kebersihan yang meliputi sanitasi dan tata kelola tempat. Hal tersebut berimplikasi pada rendahnya mutu daging sapi segar dan rendahnya jaminan keamanan. Dengan kondisi tersebut, maka muncul permasalahan yakni keamanan pangan. Kondisi ini akan
24
mengakibatkan kesehatan yang tidak terjamin dan berkurangnya minat konsumen untuk mengkonsumsi daging sapi segar sejalan dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran konsumen akan kesehatan. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah mengenai tempat penjualan atau distribusi daging sapi segar di pasar tradisional akan berimplikasi pada implementasi kebijakan keamanan pangan daging sapi segar. Peraturan ini dapat mempengaruhi kondisi pasar dan pedagang dalam menjual daging sapi segar. Peraturan tersebut dapat berupa perundangundangan, peraturan pemerintah, surat keputusan menteri serta perangkat lainnya. Permasalahan dengan tidak adanya jaminan kesehatan dan mutu produk yang dihasilkan disebabkan karena adanya praktek penjualan daging sapi segar di pasar tradisional yang tidak sesuai dengan standar yang ada yakni ASUH. Praktek penjualan daging sapi segar di pasar tradisional sangat minim keamanan pangannya dilihat dari kondisi lingkungan pasar tradisional yang seperti pengaturan tata letak, kebersihan, sanitasi, peralatan yang digunakan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan keamanan pangan daging sapi segar di pasar tradisional yang ditinjau dari higienis penjualan, penanganan dan penyimpanan daging, sarana dan fasilitas yang dimiliki pedagang, pengendalian hama dan sanitasi tempat dan peralatan. Untuk mengetahui Implementasi kebijakan keamanan pangan dilakukan analisis mengenai hubungan antar variabel seperti karateristik pasar, karakteristik pedagang, pengetahuan gizi dan keamanan pangan. Dengan diketahuinya implementasi kebijakan keamanan pangan daging sapi segar di pasar tradisional maka, mempermudah pembeli dalam memilih daging sapi segar yang aman untuk dikonsumsi. Karakteristik kondisi pasar meliputi lokasi, bangunan, sanitasi, dan perilaku hidup bersih dan sehat yang terdapat di pasar tradisional. Karakteristik pedagang yang meliputi umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pendapatan.
25
Penelitian juga akan dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel implementasi kebijakan keamanan pangan dengan pengetahuan mengenai kebijakan dan keamanan pangan. Dengan pengetahuan kebijakan, maka pedagang lebih mengetahui bagaimana implementasi yang sebaiknya
dilakukan
dalam
keamanan
daging sapi
segar.
Pengetahuan mengenai keamanan pangan juga akan berpengaruh pada pedagang dalam implementasi kebijakan. Dengan implementasi kebijakan keamanan pangan yang telah memenuhi standar yang ditetapkan, maka mempermudah konsumen dalam memilih daging sapi segar yang aman. Dengan mengetahui implementasi kebijakan keamanan pangan maka,dapat dibuat rekomendasi dalam perumusan dan pengembangan kebijakan keamanan pangan untuk kedepannya. Rekomendasi ini diharapkan dapat memberikan impact yang baik pada keamanan pangan daging sapi segar. Selain itu, konsumen juga akan mendapatkan kualitas daging sapi segar yang aman untuk dikonsumsi.
26
Kerangka berpikir pendekatan masalah, sebagai berikut : Kebijakan Pemerintah Mengenai Keamanan Pangan di Pasar Tradisional
Implementasi Keamanan Pangan Daging Sapi Segar di Pasar Tradisional Oleh Pedagang
Karakteristik Pedagang Kondisi Pasar
Pengelola Pasar
Pedagang
Rumusan Pengembangan Kebijakan dan Keamanan Pangan Daging Sapi Segar
Pengetahuan kebijakan dan Pengetahuan Keamanan Pangan
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir D. Hipotesis Hipotesis yang diungkapkan sebagai berikut: Diduga ada hubungan
yang nyata antara kondisi pasar,
karakteristik pedagang dan pengetahuan kebijakan dan keamanan pangan oleh pedagang dengan Implementasi Keamanan Pangan. E. Pembatasan Masalah Mengingat luas dan kompleksitas permasalahan maka didalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah. Pembatasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
27
1. Kebijakan Keamanan Pangan Hal ini berkaitan dengan perundang-undangan, peraturan, keputusan menteri. Kebijakan ini berasal dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Kementrian Pertanian dan Kementerian Kesehatan. Hal ini terkait dengan kebijakan keamanan daging sapi segar yang sesuai syarat ASUH. 2. Kondisi Pasar Kondisi pasar dibatasi dengan empat aspek yakni lokasi, bangunan, sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat. 3. Karakteristik Pedagang Karakteristik responden dibatasi dengan enam aspek yakni lama pendidikan, umur, jenis kelamin, agama, lama bekerja dan pendapatan. 4. Pengetahuan kebijakan dan Keamanan pangan Pengetahuan
kebijakan
dibatasi
dengan
kebijakan
keamanan pangan daging sapi segar yang diterapkan Pemerintah Kota Surakarta dan Pengetahuan Keamanan Pangan dibatasi dengan keamanan pangan daging sapi segar yang diterapkan Pemerintah Kota Surakarta . F. Asumsi Tidak ada perbedaan kebijakan keamanan pangan pada tiap kelas dan golongan di pasar tradisional Kota Surakarta G. Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran Variabel Secara rinci, konsep yang digunakan dalam penelitian ini secara operasional didefinisikan sebagai berikut : 1.
Kebijakan : Serangkaian aturan dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak
2.
Keamanan Pangan : Kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran fisik, biologis, kimia
28
dan kontaminasi kehalalan yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia 3.
Kebijakan Keamanan Pangan : Suatu aturan yang dijadikan pedoman dalam mencegah pangan terhindar dari kemungkinan cemaran fisik, biologis, kimiawi, dan kontaminasi kehalalan
4.
Daging Sapi Segar : Daging sapi yang belum mengalami pengolahan yang dapat dijadikan bahan baku pengolahan pangan
5.
Keamanan Pangan daging sapi segar : Kondisi yang diperlukan untuk mengawasi daging sapi segar yang sesuai standart Aman, Sehat, Utuh dan Halal
6.
Pasar Tradisional : Pasar yang dalam pelaksanaannya bersifat tradisional dan ditandai dengan pembeli serta penjual yang bertemu secara langsung. Proses jual-beli biasanya melalui proses tawar menawar harga, dan harga yang diberikan untuk suatu barang bukan merupakan harga tetap, dalam arti lain masih dapat ditawar
7.
Rumusan Kebijakan Keamanan Pangan : Proses untuk merumuskan kebijakan
keamanan
pangan
yang
disesuaikan
dengan
hasil
implementasi kebijakan keamanan pangan daging sapi segar di pasar tradisional 8.
Pengembangan Kebijakan Keamanan Pangan: Memperluas dan memperdalam konsep kebijakan keamanan pangan daging sapi segar di pasar tradisional
9.
Kondisi Pasar : Fitur atau corak fasilitas yang dimiliki oleh pasar tradisional dalam hal lokasi, bangunan dan sanitasi. Penilaian ini dilakukan dengan melakukan cek list pada sarana yang tersedia di pasar tradisional. Kategori hasil penilaian diklasifikasikan dg melihat jumlah jawaban YA sebagai berikut: Jawaban YA : ≥ 80 % : Baik, Jawaban YA : 65 % - 79 % : Cukup, Jawaban YA : ≤ 64 % : Kurang
10. Lokasi : Kondisi pasar tradisional ditinjau dari batas pasar dan keamanan pasar
29
11. Bangunan : Keadaan infrastruktur pasar tradisional ditinjau dari penataan ruang dagang, tempat penjualan bahan makanan, konstruksi, ventilasi, pencahayaan, pintu 12. Sanitasi : Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya, misalnya menyediakan
air
bersih
untuk
keperluan
mencuci
tangan,
menyediakan tempat sampah agar tidak dibuang sembarangan 13. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat :
Perilaku pedagang dalam
melakukan aktifitas penjualan daging sapi segar untuk menghindari pencemaran 14. Karakteristik Pedagang : Ciri khas dari pedagang sebagai pembeda dengan pedagang lain meliputi umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, lama bekerja dan pendapatan. 15. Agama : Kepercayaan yang dianut pedagang yang dikategorikan Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha atau Kepercayaan lainnya 16. Pendidikan : Lama Pendidikan formal yang ditempuh oleh para pedagang 17. Lama bekerja : Total tahun mulai usaha dimulai hingga sekarang 18. Pendapatan : Total pendapatan perbulan yang diperoleh dari pendapatan bersih penjualan daging sapi segar 19. Pengetahuan Kebijakan dan Keamanan Pangan : Informasi yang disimpan dalam bentuk ingatan yang menjadi penentu bagi penjaja dalam berperilaku, yang diukur dengan sejumlah pertanyaan sistematis.
Pertanyaan
menggunakan
kuesioner.
berbentuk Tingkat
esai
berisi
pengetahuan
20
pertanyaan
kebijakan
dan
keamanan pangan dikategorikan menjadi baik (>80%), sedang (6080%), dan kurang (< 60%) 20. Implementasi Kebijakan Keamanan Pangan : Praktek berlangsungnya kebijakan keamanan pangan daging sapi segar di pasar tradisional yang meliputi higiene penjualan, penanganan dan penyimpanan daging sapi segar, sarana dan fasilitas, pengendalian hama dan sanitasi
30
tempat. Penilaian praktek keamanan dengan dua tingkatan skala Ya dan Tidak, untuk jawaban Ya diberi skor (1) dan jawaban Tidak diberi skor (0). Kategori praktek keamanan pangan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kurang bila skor < 60 %, kategori sedang bila skor 60-80 %, baik bila skor > 80 % 21. Higiene Penjualan : Upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan yang meliputi mencuci tangan dengan air bersih dan tersedia tempat sampah 22. Sarana dan Fasilitas Penjualan : Fasilitas yang dimiliki oleh pedagang yang digunakan untuk praktek keamanan pedagang sapi segar di pasar tradisional yang meliputi adanya kran air, peralatan yang digunakan dan alat penyimpanan daging sapi segar 23. Pengendalian Hama : Upaya kesehatan untuk memelihara kebersihan daging sapi segar dari gangguan hama 24. Sanitasi Tempat : Suatu usaha untuk mengawasi dan mencegah kerugian akibat dari tempat terutama yang erat hubungannya dengan timbulnya/menularnya suatu penyakit, sehingga kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut dapat dicegah.