BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kontrasepsi Sterilisasi Pada Wanita (Tubektomi) 1. Defenisi Tubektomi adalah setiap tindakan pada kedua saluran telur wanita yang
mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak akan mendapatkan keturunan lagi. Kontrasepsi ini hanya dipakai dalam jangka waktu panjang, walaupun kadang masih dapat dipulihkan kembali seperti semula. (Mulyani, 2013, hal.119-120). Tubektomi (sterilisasi wanita) dilakukan dengan cara eksisi atau menghambat tuba fallopi yang membawa ovum dari ovarium ke uterus. Tindakan ini mencegah ovum dibuahi oleh sperma. (Everett, 2012, hal. 252). 2. Teknik Melakukan MOW Teknik yang digunakan dalam pelayanan tubektomi antara lain : a. Minilaparotomi. Metode ini merupakan pengambilan tuba yang dilakukan melalui sayatan kecil (sekitar 3 cm) baik pada daerah bawah perut (suprapubik) maupun pada lingkar pusat bawah (sub umbilikal), baik dilakukan masa interval maupun pasca persalinan. (Mulyani, 2013) b. Laparoskopi. Prosedur laparoskopi membutuhkan tenaga Spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan yang telah dilatih secara khusus agar pelaksanaannya aman dan efektif. Dapat dilakukan 6-8 minggu pascapersalinan atau setelah abortus. (Mulyani, 2013)
Perawatan yang dilakukan post operasi yaitu : istrahat 2-3 jam, pemberian analgetik dan antibiotik bila pelu, ambulasi dini, diet biasa dan luka operasi jangan sampei basah, menghindari kerja berat selam 1 minggu, cari pertolongan medisbila demam (>38), rasa sakit pada abdomen yang menetap, perdarahan luka insisi. Menurut Mochtar (1998) pelaksanaan MOW dapat dilakukan pada saat : 1. Masa interval (selama waktu siklus menstruasi) 2. Pasca persalinan (post partum) Tubektomi pasca persalinan sebaiknya dilakukan dalam 24 jam, selambat lambatnya dalam 48 jam pasca persalinan. Tubektomi pasca persalinan lewat dari 48 jam akan dipersulit oleh edema tuba dan infeksi yang akan menyebabkan kegagalan sterilisasi. Edema tuba akan berkurang setelah hari ke-7 sampai hari ke-10 pasca persalinan. Pada hari tersebut uterus dan alat-alt genital lainya telah mengecil dan menciut, maka operasi akan lebih sulit, mudah berdarah dan infeksi. 3. Pasca keguguran Sesudah abortus dapat langsung dilakukan sterilisasi. 4. Waktu operasi membuka perut Setiap operasi yang dilakukan dengan membuka dinding perut hendaknya harus dipikirkan apakah wanita tersebut sudah mempunyai indikasi untuk dilakukan sterilisasi. Hal ini harus diterangkan kepada pasangan suami istri karena kesempatan ini dapat dipergunakan sekaligus untuk melakukan kontrasepsi mantap.
Komperensi khusus perkumpulan untuk Sterilisasi sukarela Indonesia tahun 1976 di Medan menganjurkan agar tubektomi dilakukan pada umur 25-40 tahun, dengan jumlah anak sebagai berikut : umur istri antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih, umur istri antara 30-35 tahun dengan 2 anak atau lebih, dan umur istri 35-40 tahun dengan satu anak atau lebih sedangkan umur suami sekurangkurangnya 30 tahun, kecuali apabila jumlah anaknya telah melebihi jumlah yang diinginkan oleh pasangan tersebut. 3. Cara kerja Cara kerja tubektomi atau ligasi tuba yaitu dengan mengonklusi tuba fallopi (mengikat, memotong atau memasang cincin)sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum. Tuba fallopi adalah strukutur berbentuk pipa yang menjadi jalur perjalanan telur setelah dilepaskan dari indung telur (ovarium). Setiap wanita memiliki tuba fallopi sepasang, dua ujungnya melekat di sisi uterus dan dua ujung lainnya terbuka di abdomen. Panjang masing-masing tabung ini sekitar 10 cm. 4. Indikasi Tubektomi a. Umur lebih dari 26 tahun. b. Anak lebih dari 2. c. Yakin mempunyai jumlah keluarga yang diinginkan. d. Ibu pasca persalinan. e. Ibu pasca keguguran. f. Ibu paham dan setuju dengan prosedur KB tubektomi.
5. Kontraindikasi Tubektomi a. Tidak ada ovulasi (atau ada masalah dari faktor ovarium). b. Baru 1-6 minggu pasca persalinan. c. Kondisi kesehatan yang berat seperti stoke, darah tinggi atau diabetes. d. Keadaan
kesehatan
yang
tidak
baik,
dimana
kehamilan
memperburuk kesehatannya. e. Perdarahan pervaginam yang belum jelas. f. Infeksi organ pelvik yang luas dan berat. 6. Manfaat Tubektomi a. Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 wanita selama setahun penggunaan awal). b. Permanen. c. Tidak mempengaruhi proses menyusui. d. Tidak bergantung pada faktor senggama e. Baik digunakan apabila kehamilan menjadi resiko kehamilan yang serius. f. Pembedahan sederhana dapat dilakukan dengan anastesi lokal. g. Tidak ada efek samping dalam jangka panjang. B.
Karakteristik Peserta Kontrasepsi Sterilisasi 1. Umur Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikan-
penyelidikan epidemiologi. Menurut tingkat kedewasaan umur dibagi atas bayi
dan anak-anak (0-14 tahun), orang muda dan dewasa (15-49 tahun dan orang tua (>50 tahun). (Notoatmodjo, 2007). Menurut Hartanto (1996, dalam Fienalia, 2012) pola dasar penggunaan kontrasepsi yang rasional pada umur diantara 20-30 tahun adalah kontrasepsi yang mempunyai reversibilititas yang tinggi karena pada umur tersebut PUS masih berkeinginan untuk mempunyai anak, sedangkan pada umur >30 tahun kontrasepsi yang dianjurkan adalah yang mempunyai efektivitas tinggi dan dapat dipakai untuk jangka panjang. Hasil penelitian Pranita (2002, dalam Fienalia, 2012) menyatakan terdapat hubungan bermakna antara umur responden dengan pemakaian kontrasepsi mantap. Responden yang kurang dari 30 tahun mempunyai peluang lebih tinggi untuk memilih non kontrasepsi mantap dibandingkan dengan responden yang berumur lebih dari 30 tahun. 2. Pendidikan Menurut Manuaba (1998, dalam Fienalia, 2012) tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Oleh karena itu orang yang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru. Demikian pula halnya dengan menentukan pola perencanaan keluarga dan pola dasar penggunaan kontrasepsi serta peningkatan kesejahteraan keluarga. Menurut Rifai (2008, dalam Fienalia, 2012) pendidikan menunjukkan hubungan yang positif dengan pemakain jenis kontrasepsi artinya semakin tinggi pendidikan cenderung memakai kontrasepsi efektif. Hal itu dikarenakan pendidikan
dapat
memperluas
pengetahuan
mengenai
alat
kontrasepsi,
mengetahui
keuntungan
yang
diperoleh
dengan
memakai
kontrasepsi,
meningkatkan kecermatan dalam memilih alat kontrasepsi yang dibutuhkan dan juga kemampuan untuk mengetahui akibat efek samping dari masing-masing alat kontrasepsi. Hasil penelitian Yusuf (2001, dalam Fienalia, 2012) menyatakan bahwa ada hubungan antara proporsi penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang oleh responden yang berpendidikan rendah dan berpendidikan tinggi. Ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kemungkinan 3 kali lebih besar untuk menggunakan kontrasepsi metode jangka panjang dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan rendah. 3. Pekerjaan Penelitian yang dilakukan oleh BKKBN dan LDFEUI (1998, dalam Feinalia, 2012) status pekerjaan mempunyai pengaruh yang yang signifikan terhadap pemakaian kontap. Jadi besar kemungkinan wanita yang bekerja akan lebih menyadari kegunaan dan manfaat KB dan lebih mengetahui berbagai metode kontrasepsi dari wanita yang tidak bekerja. Hasil penelitian Pranita (2002, dalam Feinalia, 2012) menyatakan terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan dengan pemakaian kontrasepsi mantap. Responden yang tidak bekerja mempunyai peluang 1,9 kali lebih tinggi untuk memilih non kontrasepsi mantap dibandingkan dengan responden yang bekerja. 4. Paritas Menurut wiknjosastro (1999, dalam Feinalia, 2012) jumlah anak yang dimiliki, paritas 2-3 merupakan paritas yang paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian
maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetri lebih baik sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana yang salah satunya menggunakan kontrasepsi mantap yaitu vasektomi dan tubektomi. Hasil penelitian Pranita (2002, dalam Feinalia, 2012) menyatakan terdapat hubungan bermakna antara jumlah anak masih hidup dengan pemakaian kontrasepsi mantap. Dengan interprestasi bahwa responden yang mempunyai anak kurang dari 3 orang yang masih hidup mempunyai peluang 7,5 lebih tinggi untuk memilih non kontap dibandingkan dengan responden yang mempunyai anak masih hiduplebih darisama dengan 3. Menurut Noor (2002, dalam Feinalia, 2012) menyatakan ada hubungan bermakna antara jumlah anak yang masih hidup dengan pemakaian kontrasepsi mantap. Akseptor KB yang mempunyai anak lebih dari 3 orang lebih cenderung lebih banyak menggunakan kontap dibandingkan dengan anak hidup sebanyak 2 atau kurang.