BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Responsiveness 1. Definisi Pengertian responsiveness adalah aspek-aspek non medis yang berhubungan dengan bagaimana cara seseorang diperlakukan dan bagaimana kondisi lingkungan dimana orang tersebut diperlakukan. Berdasarkan literatur yang sudah ada mengenai kepuasan pasien dan kualitas pelayanan, menjadi pedoman World Health Organization (WHO) mengidentifikasikan delapan aspek mengenai responsiveness. Semua aspek ini atau area yang lebih luas dari kualitas pelayanan non medis sangat relevan untuk semua tipe unit kesehatan termasuk pelayanan kesehatan perorangan maupun masyarakat. Jadi responsiveness suatu sistem kesehatan akan lebih mengakui harapan penduduk mengenai bagaimana mereka diperlakukan, menjadi bagian yang penting dari pelaksanaan sistem kesehatan itu sendiri (De Silva, 2002).
Responsiveness yang merupakan bagian penting dari sistem pelayanan kesehatan, diutarakan juga oleh Darby (2000). Untuk mengevaluasi pelaksanaan atau hasil kerja sistem pelayanan kesehatan, adalah dengan sebuah pertanyaan yang cukup sederhana, yaitu untuk apa sistem tersebut dilakukan. Jawaban yang pasti adalah untuk memperbaiki dan memelihara kesehatan masyarakat. Oleh karena itu kesehatan termasuk dalam tujuan pelayanan kesehatan. Meskipun demikian, jawaban yang cukup menarik perhatian adalah bagaimana sistem kesehatan dapat mempertemukan atau memenuhi semua kebutuhan dari masyarakat yang mereka layani. Hal inilah yang disebut sebagai responsiveness.
Pendapat yang hampir sama tentang responsiveness juga dikemukakan oleh De Silva (2002), yang menurutnya bermula dari sistem pelayanan kesehatan itu
6
7
sendiri. Sistem pelayanan kesehatan merupakan gabungan beberapa sub sistem dimana terjadi proses yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengan lainnya dalam satu kesatuan. Bagian dari sistem pelayanan kesehatan adalah : a. Masukan : Sesuatu yang dibutuhkan untuk masukan dan berfungsinya sebuah sistem. Dalam pelayanan kesehatan, yang termasuk didalamnya antara lain dokter, perawat, bidan, apoteker, fasilitas pelayanan kesehatan dan sebagainya. b. Proses : Kegiatan yang dilakukan sehingga menghasilkan sesuatu atau keluaran. Contohnya adalah kegiatan yang berlangsung dalam pelayanan kesehatan di puskesmas. c. Keluaran : Hasil yang dicapai setelah melakukan proses. Contohnya terlayaninya semua pasien dengan baik. d. Dampak : Akibat yang terjadi setelah beberapa waktu, seperti meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. e. Umpan balik : Hasil dari suatu proses, yang bisa menjadi masukan. f. Lingkungan : Kondisi atau keadaan yang mempengaruhi sistem, tapi berada di luar sistem itu sendiri.
Responsiveness merupakan keluaran yang dapat dicapai dalam sistem pelayanan kesehatan dimana unit pelayanan kesehatan mempunyai ketanggapan pelayanan kesehatan yang baik. Jadi responsiveness dalam konteks sebuah sistem dapat didefinisikan sebagai outcome yang dapat dicapai oleh lembaga atau yang berhubungan dengan lembaga dimana mereka dapat mengetahui dan merespon dengan tepat harapan dari individu-individu.
Responsiveness dapat dilihat dari dua sisi. Pertama menurut pelanggan eksternal, responsiveness yang baik berarti dapat menarik pelanggan. Yang kedua responsiveness berhubungan dengan perlindungan hak-hak pasien secara adekuat dan memberikan perhatian secara tepat dan cepat. Ada beberapa alasan mengapa responsiveness mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan tujuan sistem
8
pelayanan kesehatan lainnya. Tiga tujuan dari pelaksanaan atau hasil kerja sistem pelayanan kesehatan (De Silva, 2002) adalah : a. Kesehatan : memperbaiki dan memelihara kesehatan masyarakat. b. Pendanaan yang cukup dan perlindungan terhadap resiko yang berhubungan dengan pendanaan.
Ketanggapan (responsiveness), yaitu kecepatan, kemauan serta kesadaran petugas dalam memberikan tanggapan terhadap keluhan pasien, disertai dengan penyampaian informasi yang jelas. Pelayanan yang responsif sangat dipengaruhi oleh kesigapan dan ketulusan dalam menjawab pertanyaan atau permintaan pesien. Ada 4 aspek dari dimensi ini yaitu keramahan, kompetensi, kredibilitas dan kenyamanan.
Menurut Azwar dalam Pohan (2006) yang mengatakan bahwa salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan menurut pemakai jasa kesehatan terkait pada dimensi ketanggapan petugas dalam memenuhi kebutuhan pasien, komunikasi antar petugas dan pasien. Hal ini menjelaskan bahwa di dalam memberikan asuhan keperawatan, pasien sebagai pengguna jasa tetap menurut perawat tanggap memperhatikan apa yang dibutuhkannya, bertanggungjawab serta tetap terbina komunikasi yang baik antara perawat dan pasien.
Menurut Soedjadi dalam Supranto (2006), yang menyatakan bahwa kepuasan akan tercapai bila diperoleh hasil yang optimal bagi pasien dan pelayanan kesehatan. Memperhatikan kemampuan pasien dan keluarganya, adanya perhaatian terhadap kebutuhan pasien akan memberikan rasa puas kepada pasien itu sandiri. Penelitian Widuri (2010) menyatakan bahwa sikap petugas yang ramah dan senantiasa tersenyum, penyampaian informasi yang jelas merupakan langkah awal yang baik untuk menjalin kerjasama antara tenaga kesehatan dan pasien, sehingga kepuasan pasien akan tercapai.
9
2. Perbedaan Responsiveness dan Kepuasan Pelanggan Walaupun kepuasan pasien dan kualitas pelayanan menjadi pedoman dalam menentukan aspek dalam responsiveness, sehingga banyak aspek yang saling tumpang tindih diantara ketiganya, namun terdapat perbedaan yang cukup jelas. Tiga perbedaan utama yang mendasar (De Silva, 2002), yaitu : a. Ruang lingkup kepuasan pasien lebih fokus pada interaksi secara klinik dalam pelayanan kesehatan yang spesifik sedangkan responsiveness mengevaluasi sistem pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
b. Jangkauan Kepuasan pasien mencakup seluruhnya baik aspek medis maupun non medis, sedangkan responsiveness lebih fokus pada aspek non medis dari sistem pelayanan kesehatan.
c. Alasan utama Kepuasan pasien menunjukkan gabungan yang kompleks dari kesadaran akan kebutuhan, harapan yang berbeda dari setiap individu dan pengalaman pelayanan kesehatan. Responsiveness mengevaluasi persepsi individu terhadap pelayanan kesehatan dibandingkan mensahkan harapan secara umum.
3. Latar Belakang Aspek Responsiveness Beberapa teori mengenai kepuasan pasien dan kualitas pelayanan menjadi pedoman, dalam menentukan delapan aspek responsiveness. Beberapa teori tersebut akan diutarakan dibawah ini. Pendapat mengenai aspek responsiveness dikemukakan oleh Darby (2000), yang memandang dari sudut pasien, dimana sikap respek atau sikap hormat yang ditunjukkan oleh petugas adalah hak yang yang harus didapatkan oleh pasien.
10
Menurut Supranto (2006), memberikan argumentasi dimana ada tujuh hal yang prinsip yang harus didapatkan oleh konsumen dalam pelayanan kesehatan, yaitu access (akses), choice (pilihan), information (informasi), redress (perbaikan), safety (keselamatan/keamanan), value for money (nilai uang) dan equity and ability (keadilan dan kemampuan).
Beberapa
istilah
yang
biasa
digunakan
ketika
membicarakan
tentang
responsiveness adalah kepuasan dan kualitas pelayanan kesehatan. Menurut Supranto
(2006), kepuasan pasien merupakan gabungan yang kompleks dari
kebutuhan, harapan dan pengalaman dari pelayanan. Sedangkan kualitas pelayanan kesehatan mempunyai batasan yang lebih luas. Kualitas secara struktural dapat didefinisikan sebagai hubungan beberapa dimensi termasuk pelayanan yang berkelanjutan, biaya, akomodasi dan kemudahan akses. Sedangkan dalam prosesnya, kualitas meliputi dimensi perilaku sopan, informasi, kebebasan memilih (autonomy) dan kompetensi.
Istilah kualitas pelayanan (service quality) digunakan juga oleh Wijono (2000) yang meliputi komunikasi, penyerahan data, pemberian informasi dan interaksi antara staff dan pasien. Sedangkan Pohan (2006), mempertimbangkan 3 komponen kualitas pelayanan yaitu aspek kualitas antar personal, kenyamanan pelayanan dan aspek kualitas teknik. Komponen kualitas antar personal adalah interaksi antara pasien dan penyelenggara pelayanan kesehatan atau responsif, keramah tamahan dan penuh perhatian dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan. Pohan (2006) berpendapat bahwa meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan secara nyata berhubungan dengan rendahnya tingkat kepuasan, seiring dengan tingginya harapan pelanggan terhadap kualitas pelayanan kesehatan tersebut. Ada satu jalan untuk menyelesaikan persoalan ini yaitu dengan memasukkan karakteristik-karakteristik yang menguntungkan seperti memberikan perhatian pada akses dan kenyamanan (amenity).
11
Istilah kualitas pelayanan, juga digunakan oleh Parasuraman (2000). Kualitas pelayanan lebih sulit untuk dievaluasi oleh pelanggan daripada kualitas suatu barang. Penilaian pelanggan mengenai kualitas pelayanan kesehatan lebih kompleks dan lebih sulit. Pelanggan tidak bisa menilai hanya dari sisi hasil dari pelayanan tersebut, tapi mereka juga memperhatikan proses pelayanan tersebut diberikan seperti bagaimana pemberi jasa bersikap responsif dan ramah selama memberikan pelayanan. Hanya pelanggan yang bisa menilai kualitas. Persepsi kualitas pelayanan berasal dari sebaik apa pemberi jasa dapat mewujudkan harapan
dari
pelanggan
dan
bagaimana
seharusnya
pemberi
jasa
melaksanakannya. Dari penelitian yang dilakukan Parasuraman (2000), definisi kualitas pelayanan adalah perbedaan antara harapan pelanggan dengan persepsi. Faktor yang diduga mempengaruhi harapan dan persepsi pelanggan, yaitu : a. Kebutuhan khusus yang berbeda-beda pada setiap orang atau pasien (personal needs). Pada dasarnya setiap orang mempunyai sifat dan kebutuhan yang berbeda karena adanya pengaruh sosiodemografi, termasuk bagaimana orang tersebut ingin dilayani dengan cara yang dapat menyenangkan.
b. Pengalaman masa lalu ketika pasien menerima jasa pelayanan (past experience). Ini sangat penting artinya. Pengalaman yang baik akan mengingatkan pasien untuk kembali menggunakan jasa pelayanan rumah sakit tersebut, terutama bila ada masalah dengan kesehatannya.
c. Pengalaman teman atau pasien lain terhadap jasa pelayanan tersebut (word of mouth communication). Pengalaman baik atau memuaskan yang dirasakan seseorang terhadap pelayanan kesehatan suatu rumah sakit dapat menjadi ajang promosi yang positif atau baik pula terhadap lingkungan sekitarnya. Tetapi bila seseorang mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan atau buruk maka tentunya pengalaman tersebut akan menjadi promosi yang jelek atau negatif bagi rumah sakit.
12
d. Pengaruh iklan pemasaran dan lain-lain terhadap persepsi pasien (external communication). Perlu perhatian khusus dalam iklan dan pemasaran, jangan terlalu berlebihan melainkan harus jelas dan mudah dimengerti. Kebutuhankebutuhan dasar pasien adalah : 1) Ingin mengambil keputusan sendiri 2) Ingin diperlakukan secara benar dan wajar sesuai haknya 3) Ingin diterima dan dilayani sebagai orang penting 4) Ingin tahu setiap proses yang dikerjakan 5) Ingin rasa aman dan terlindungi 6) Ingin diperlakukan jujur dan terpercaya
Menurut Parasuraman et al (2000), ada 10 dimensi kualitas pelayanan : a. Tangibles adalah penampilan fasilitas fisik, peralatan, pegawai dan inti dari komunikasi. b. Reliability adalah kemampuan untuk melakukan pelayanan yang sudah dijanjikan, dapat diandalkan dan akurat. c. Responsiveness adalah kerelaan untuk menolong pelanggan dan memberikan pelayanan dengan segera (prompt attention). d. Competence adalah keahlian dan pengetahuan yang harus dimiliki dan diwajibkan untuk melaksanakan pelayanan. e. Courtessy adalah kesopanan, respek, perhatian dan keramahtamahan dalam menghadapi pelanggan. f. Credibility adalah pelayanan yang dapat dipercaya, dan jujur. g. Security adalah bebas dari bahaya, resiko ataupun gangguan. h. Access adalah adanya kemudahan dalam pendekatan secara personal. i. Communication adalah memberikan informasi dengan jelas kepada pelanggan dan mendengarkan pelanggan. j. Understanding the customer adalah selalu berusaha untuk mengenali pelanggan dan apa yang menjadi kebutuhannya.
13
Menurut Parasuraman (2000), responsiveness yang dimaksudkan adalah memberikan perhatian dengan segera (prompt attention). Walaupun sebenarnya dimensi yang lain hampir sama dengan aspek dari responsiveness. Responsiveness pelayanan kesehatan dapat dinilai dari beberapa aspek, seperti yang dikemukakan, yaitu : a. Sikap keramah tamahan/respek. b. Memberikan perhatian dengan segera. Waktu ideal yang diinginkan pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mulai dari ruang pendaftaran sampai selesai adalah 15 sampai 30 menit. c. Kebebasan dalam memilih pelayanan kesehatan. d. Komunikasi yang baik. e. Kenyamanan.
Delapan aspek responsiveness yang disusun oleh De Silva (2002) tersebut adalah dignity (aspek keramahan), autonomy (aspek keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan), confidentiality (aspek kerahasiaan pasien), prompt attention (aspek lama waktu tunggu), communication (aspek komunikasi), quality of basic amenities (aspek kenyamanan), access to social support networks during care (aspek kenyamanan selama rawat inap), choice of care provider (aspek pilihan pasien terhadap pemberi pelayanan).
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah responsiveness pelayanan kesehatan rawat jalan menurut pasien, sehingga ada dua aspek yang tidak akan dibahas yaitu aspek kenyamanan selama rawat inap karena yang diteliti adalah pasien rawat jalan. Yang kedua adalah aspek kerahasiaan pasien, dimana dalam penelitian ini peneliti tidak bisa menilai apakah pasien mengetahui tentang kerahasiaan catatan medisnya.
14
4. Aspek Responsiveness a. Aspek keramahan/harga diri (dignity) Definisi dari aspek ini adalah hak setiap pencari pelayanan untuk diperlakukan sebagai manusia sesuai dengan haknya masing-masing, daripada hanya sebagai pasien yang selalu mendapatkan informasi yang tidak lengkap dan ketidakmampuannya
secara
fisik
yang
menyebabkan
mereka
tidak
mendapatkan haknya untuk diperlakukan sesuai dengan aspek keramahan. Yang termasuk didalamnya adalah : 1) Setiap individu akan diperlakukan dengan sikap hormat dan penuh perhatian, diterima dengan baik di unit pelayanan kesehatan, berbicara dengan sikap menghargai, tidak berteriak ataupun marah oleh petugas pelayanan kesehatan. 2) Hak untuk bertanya dan mendapatkan informasi selama konsultasi dan pengobatannya. 3) Setiap individu akan mendapatkan perlakuan selama proses pengobatannya tanpa mengganggu hal-hal yang bersifat pribadi. 4) Perlindungan terhadap hak-hak pasien dengan penyakit menular seperti lepra, TBC ataupun HIV.
b. Aspek keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan (autonomy) Arti aspek ini adalah kebebasan mengatur diri sendiri, yang mencakup empat hak yang harus dimiliki pasien, yaitu : 1) Setiap individu mendapatkan informasi tentang penyakitnya dan pilihan yang akan dijalaninya. 2) Setiap individu diikutsertakan dalam membuat keputusan mengenai terapi yang akan dilakukan setelah berdiskusi dengan pemberi jasa. 3) Setiap individu diberi kesempatan untuk dimintai persetujuannya sebelum mendapatkan terapi. 4) Setiap individu dapat menolak terapi yang akan diberikan.
15
Sebagai individu, pasien akan lebih mampu membuat keputusan terhadap diri mereka sendiri bila mendapatkan informasi yang penting. Pemberi pelayanan kesehatan sudah seharusnya memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada pasien dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk membuat keputusan. Seperti yang diungkapkan oleh Munijaya (2004) bahwa konsumen yang baik adalah seseorang yang mampu menggabungkan informasi mengenai harga dan kualitas pelayanan kesehatan dan berdasarkan informasi tadi mereka memiliki kemampuan untuk memutuskan dan membandingkan pelayanan kesehatan yang terbaik. Namun pada kenyataanya, berdasarkan bukti empirik bahwa konsumen jasa pelayanan kesehatan lebih sering mendapatkan informasi yang kurang jelas dan lebih sering bergantung pada informasi dari dokter atau pemberi pelayanan kesehatan lainnya.
Data yang disampaikan oleh Pohan (2006), justru menjelaskan bahwa sebenarnya dari konsumen pelayanan kesehatan sendiri yang tidak terlalu peduli dengan aspek autonomi ini. Penyebabnya adalah karena konsumen lebih membutuhkan nasehat dari orang yang lebih ahli dan sangat percaya dengan keputusan yang diambil oleh orang tersebut.
c. Aspek lama waktu tunggu (prompt attention) Terdiri dari 3 karakteristik yaitu : 1) Pasien berhak mendapatkan penanganan segera dalam kondisi darurat. 2) Pasien berhak mendapatkan penanganan dalam jangka waktu yang cepat untuk kasus-kasus bukan darurat. 3) Pasien yang berobat di unit pelayanan kesehatan tidak menunggu lama untuk berkonsultasi dan mendapatkan pengobatan.
16
d. Aspek komunikasi Komunikasi adalah proses dimana terjadi interaksi yang bersifat hubungan kemanusiaan yang disertai dengan pertukaran informasi. Untuk komunikasi kesehatan sendiri memiliki beberapa definisi diantaranya : 1) Bagaimana cara menggunakan strategi komunikasi untuk menyebarluaskan informasi kesehatan sehingga individu atau kelompok masyarakat dapat membuat keputusan sendiri mengenai kesehatannya.
2) Usaha sistematis yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku sesorang terhadap kesehatan. Dimana bentuk komunikasinya berupa komunikasi antarpribadi dan komunikasi missal (Notoadmodjo, 2007). Yang berkaitan dengan berkaitan dengan penelitian ini adalah komunikasi antarpribadi. Komunikasi antar pribadi dalam pelayanan kesehatan terjadi interaksi antara petugas kesehatan dengan pasiennya. Komunikasi akan lebih efektif, bila petugas kesehatan memiliki rasa empati, respek terhadap perasaan dan sikap pasiennya dan selalu jujur memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh pasiennya.
Aspek komunikasi ini, menurut didalamnya harus mengandung hal-hal sebagai berikut : petugas mendengarkan dengan penuh perhatian semua keluhan dari pasien, petugas dapat memberikan penjelasan atau informasi dengan cara yang dapat dipahami oleh setiap pasiennya sehingga pasien mengerti semua informasi yang diberikan, pasien mempunyai waktu yang cukup untuk bertanya tentang keluhannya.
e. Aspek kenyamanan Aspek ini berhubungan dengan infrastruktur fisik unit pelayanan kesehatan dan lingkungan yang mendukungnya. Termasuk didalamnya adalah : kebersihan lingkungan sekitar, memiliki prosedur yang teratur dalam membersihkan dan
17
pemeliharaan gedung dan sekitarnya, furniture yang memadai, cukup ventilasi, fasilitas air bersih, kebersihan kamar mandi.
f. Aspek pilihan pasien terhadap pemberi pelayanan (choice of care provider) Pasien seharusnya dapat memilih jenis pelayanan kesehatan dengan mudah. Pasien seharusnya dapat memilih petugas kesehatan seperti yang mereka inginkan. Pasien seharusnya mendapatkan pendapat lain tentang pelayanan kesehatan yang akan dijalaninya. Pasien seharusnya dapat pelayanan umum dan spesialis dengan cepat. Bagi negara dimana sumber daya manusianya sangat terbatas, menyediakan pilihan pada penyedia pelayanan masih sangat sulit. Dimana aspek pilihan ini masih merupakan hal yang mewah terutama di negara berkembang. Seorang pasien seringkali datang berobat di unit pelayanan kesehatan yang sama dengan keluhan yang sama. Aspek pilihan ini termasuk pada kondisi seperti ini, dimana pasien lebih berharap dapat memilih dokter seperti kunjungan sebelumnya bila mereka merasa puas dengan pelayanan kesehatan yang didapatkannya atau sebaliknya mereka ingin dokter yang berbeda untuk menangani mereka karena merasa tidak puas. Pilihan terhadap pemberi pelayanan kesehatan juga merupakan aspek yang penting. Seringkali unit pelayanan kesehatan sangat tergantung pada rekomendasi yang disampaikan oleh perkataan konsumennya yang dapat menyebar dengan cepat. Untuk itu unit pelayanan kesehatan harus lebih menyadari kebutuhan mereka seperti adanya pilihan pada pemberi pelayanan kesehatan.
B. Kepuasan 1. Definisi Kepuasan adalah suatu tingkat perasaan pasien dan keluarga yang timbul sebagai akibat dari kinerja pelayanan kesehatan yang diperoleh setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya (Pohan, 2006). Nursalam (2003), menyebutkan kepuasan adalah perasaan senang seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenangan terhadap aktifitas dan suatu produk dengan
18
harapannya, sedangkan ketidakpuasan pasien dan keluarga timbul karena terjadinya kesenjangan antara harapan dengan kinerja layanan kesehatan yang dirasakannya sewaktu menggunakan layanan kesehatan.
Pasien dan keluarga yang mengalami kepuasan terhadap layanan kesehatan yang diselenggarakan cenderung mematuhi nasihat, setia atau taat terhadap rencana pengobatan yang telah disepakati. Sebaliknya, pasien dan keluarga yang tidak merasakan kepuasan atau kekecewaan sewaktu menggunakan layanan kesehatan cenderung tidak mematuhi rencana pengobatan, tidak mematuhi nasihat, berganti dokter atau pindah kefasilitas layanan kesehatan lainnya (Pohan, 2006). Menurut Kotler yang dikutip dari Widuri (2010) kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Kepuasan pasien penerima jasa pelayanan kesehatan dapat didekati melalui 4 aspek kualitas yang meliputi: a. Kenyamanan Meliputi lokasi, kebersihan, kenyamanan ruang dan peralatan.
b. Hubungan pasien dan petugas Meliputi keramahan, informatif, komunikatif, responsif, suportif, cekatan dan spontan.
c. Kompetensi teknis petugas Meliputi pengetahuan dokter dan perawat, teknologi, keterampilan, keberanian bertindak, pengalaman, keberhasilan pengobatan.
d. Biaya Mahalnya
pelayanan
yang
sebanding
dengan
hasil
keterjangkauan biaya, ada tidaknya keinginan dan lain-lain.
pelayanannya,
19
Penilaian kepuasan penting, karena : a. Bagian dari kualitas pelayanan. b. Berhubungan dengan pemasaraan pelayanan. c. Berhubungan dengan prioritas peningkatan pelayanan dengan dana yang terbatas, serta peningkatan pelayanan harus selektif dan sesuai dengan kebutuhan pasien dan keluarga.
2. Pentingnya Penilaian Kepuasan Menurut Widuri (2010), penilaian kepuasan pasien penting diketahui karena : a. Kepuasan pasien merupakan bagian dari mutu pelayanan, karena upaya pelayanan
haruslah
dapat
memberikan
kepuasan,
tidak
semata-mata
kesembuhan belaka. b. Berhubungan dengan pemasaran rumah sakit c. Pasien yang puas akan memberi tahu pada teman, keluarga dan tetangganya. d. Pasien yang puas akan datang lagi kontrol, atau membutuhkan pelayanan yang lain. e. Iklan dari mulut ke mulut akan menarik pasien baru. f. Berhubungan dengan prioritas peningkatan pelayanan dalam dana yang terbatas, peningkatan pelayanan harus efektif dan sesuai dengan kebutuhan pasien. g. Analisis kuantitatif h. Dengan bukti hasil survei berarti tanggapan tersebut dapat diperhitungkan dengan angka kuantitatif tidak perkiraan atau perasaan belaka, dengan angka kuantitatif memberikan kesempatan pada berbagai pihak untuk diskusi.
3. Indikator Untuk Mengukur Kepuasan Menurut Parasuraman yang dikutip oleh Widuri (2010), terdapat 10 indikator untuk mengukur kepuasan pelanggan. Dalam perkembangan selanjutnya kesepuluh dimensi tersebut dirangkum menjadi lima dimensi yang biasa dikenal dengan istilah kualitas layanan “RATER” (Responsiveness, Assurance, Tangible,
20
Empathy, dan Reliability). Lebih jelasnya dapat diuraikan mengenai bentukbentuk aplikasinya sebagai berikut :
a. Daya tanggap (responsiveness) Daya tanggap adalah elemen yang berkaitan dengan kesediaan karyawan dalam membantu dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien, petugas dapat memberikan informasi yang jelas, petugas memberikan pelayanan dengan segera dan tepat waktu, petugas memberi pelayanan yang baik.
Menurut Margaretha yang dikutip oleh Nursalam (2003), mendefenisikan daya tanggap adalah suatu bentuk pelayanan dalam memberikan penjelasan, agar orang yang diberi pelayanan tanggap dan menanggapi pelayanan yang diterima, sehingga diperlukan adanya unsur daya tanggap sebagai berikut : 1) Memberikan penjelasan secara bijaksana sesuai dengan bentuk-bentuk pelayanan yang dihadapinya. Sehingga individu yang mendapat pelayanan mampu mengerti dan menyetujui segala bentuk pelayanan yang diterima. 2) Memberikan penjelasan yang mendetail yaitu penjelasan yang bersifat jelas, transparan, singkat dan dapat dipertanggungjawabkan. 3) Memberikan pembinaan atas bentuk pelayanan yang dianggap kurang atau belum sesuai dengan prosedur pelayanan yang ditunjukkan. 4) Mengarahkan setiap bentuk pelayanan dari individu yang dilayani untuk menyiapkan, melaksanakan dan mengikuti ketentuan yang harus dipenuhi. 5) Membujuk orang yang dilayani apabila menghadapi suatu permasalahan yang dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.
b. Jaminan (assurance) Hal ini terutama mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya dari petugas. Selain itu, bebas dari bahaya saat pelayanan merupakan jaminan juga. Menurut Margaretha yang dikutip oleh Nursalam
21
(2003), mengemukakan bahwa suatu organisasi kerja sangat memerlukan adanya kepercayaan yang diyakini sesuai dengan kenyataan bahwa organisasi tersebut dapat memberikan kualitas pelayanan yang dapat dijamin sesuai dengan : 1) Mampu memberikan kepuasan dalam pelayanan yaitu memberikan pelayanan yang cepat, tepat, mudah, lancar, dan berkualitas. 2) Mampu menunjukkan komitmen kerja yang tinggi sesuai dengan bentukbentuk integritas kerja, etos kerja dan budaya kerja yang sesuai dengan visi, misi suatu organisasi dalam memberikan pelayanan. 3) Mampu memberikan kepastian atas pelayanan sesuai dengan prilaku yang ditunjukkan, agar orang yakin sesuai dengan prilaku yang dilihatnya.
c. Bukti fisik (tangible) Bukti fisik adalah segala sesuatu yang tampak seperti fasilitas, peralatan, kenyamanan ruangan, dan penampilan petugas. Tinjauan Gibson yang dikutip oleh Nursalam (2003), yang melihat dinamika dunia kerja sekarang ini yang mengedepankan pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat. Kualitas layanan fisik (tangible) dapat tercermin dari aplikasi lingkungan kerja berupa : 1) Kemampuan menunjukkan prestasi kerja pelayanan dalam menggunakan alat dan perlengkapan kerja secara efisien dan efektif. 2) Kemampuan menunjukkan penguasaan teknologi dalam berbagai akses data sesuai dinamika dan perkembangan dunia kerja yang dihadapinya. 3) Kemampuan menunjukkan integritas diri sesuai dengan penampilan yang menunjukkan kecakapan, kewibawaan dan dedikasi kerja.
d. Empati (empathy) Meliputi perhatian pribadi dalam memahami kebutuhan para pasien. Menurut Nursalam (2003), empati dalam suatu pelayanan adalah adanya suatu perhatian, keseriusan, simpatik, pengertian dan keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pelayanan untuk mengembangkan dan melakukan
22
aktivitas pelayanan sesuai tingkat pengertian dan pemahaman dari masingmasing pihak. Menurut Margaretha yang dikutip oleh Nursalam (2003), bahwa suatu bentuk kualitas layanan dari empati orang-orang pemberi pelayanan terhadap yang mendapatkan pelayanan harus diwujudkan dalam lima hal, yaitu: 1) Mampu memberikan perhatian terhadap bentuk pelayanan yang diberikan, sehingga yang dilayani merasa menjadi orang yang penting. 2) Mampu memberikan keseriusan atas aktivitas kerja pelayanan yang diberikan, sehingga yang dilayani mempunyai kesan bahwa pemberi pelayanan menyikapi pelayanan yang diinginkan. 3) Mampu menunjukkan rasa simpatik atas pelayanan yang diberikan, sehingga yang dilayani merasa memiliki wibawa atas pelayanan yang dilakukan. 4) Mampu menunjukkan pengertian yang mendalam atas berbagai hal yang diungkapkan, sehingga yang dilayani menjadi lega dalam menghadapi bentuk-bentuk pelayanan yang dirasakan. 5) Mampu menunjukkan keterlibatannya dalam memberikan pelayanan yang dilakukan, sehingga yang dilayani menjadi tertolong menghadapi berbagai bentuk kesulitan pelayanan.
e. Keandalan (reliability) Keandalan adalah kemampuan untuk mewujudkan pelayanan yang dapat diandalkan. Artinya dalam memberikan pelayanan setiap pegawai diharapkan memiliki kemampuan dalam pengetahuan, keahlian, kemandirian, penguasaan, dan profesionalisme kerja yang tinggi sehingga aktivitas kerja yang dikerjakan menghasilkan bentuk pelayanan yang memuaskan, tanpa ada keluhan dan kesan yang berlebihan atas pelayanan yang diterima oleh masyarakat (Nursalam, 2003).
Menurut Sunyoto yang dikutip oleh Nursalam (2003), bahwa kehandalan dari pegawai yang berprestasi, dapat dilihat dari :
23
1) Kehandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat pengetahuan terhadap uraian kerjanya. 2) Kehandalan dalam memberikan pelayanan yang terampil sesuai dengan tingkat keterampilan kerja dalam menjalankan aktivitas pelayanan yang efektif dan efisien. 3) Kehandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan pengalaman kerja yang dimilikinya. Sehingga penguasaan tentang uraian kerja dapat dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan berkualitas sesuai dengan pengalamannya. 4) Kehandalan
dalam
mengaplikasikan
penguasaan
teknologi
untuk
memperoleh pelayanan yang akurat dan memuaskan sesuai hasil output penggunaan teknologi yang ditunjukkan.
4. Metode Mengukur Kepuasan Untuk mengetahui tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan atau penerima pelayanan maka perlu dilakukan pengukuran. Pengukuran tingkat kepuasan dimulai dari penentuan pelanggan, kemudian dimonitor dari tingkat kualitas yang diinginkan dan akhirnya merumuskan strategi. Lebih lanjut juga dikemukakan bahwa harapan pelanggan dapat terbentuk dari pengalaman masa lalu, komentar dari kerabat serta janji dan informasi dari penyedia jasa dan pesaing (Supranto, 2006).
Kotler yang dikutip oleh Widuri (2010), mengidentifikasi 4 metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu : a. Sistem keluhan dan saran Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer oriented) perlu menyediakan kesempatan dan akses yang mudah dan nyaman bagi para pelanggannya guna menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran yang ditempatkan di lokasi-lokasi strategis (yang mudah dijangkau atau sering dilewati), kartu
24
komentar (yang bisa diisi langsing atau dikirim via pos kepada perusahaan), saluran telepon khusus bebas pulsa, website dan lain-lain. Tidak semua pelanggan yang tidak puas menyampaikan keluhannya.
b. Ghost shopping (mystery shopping) Salah satu cara memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers untuk berperan atau berpura-pura sebagai pelanggan potensial produk perusahan dan pesaing. Mereka diminta berinteraksi dengan staf penyedia jasa dan menggunakan produk/jasa perusahaan. Berdasarkan pengalamannya tersebut, mereka kemudian diminta melaporkan temuan-temuannya berkenaan dengan kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing. Biasanya para ghost shopper diminta mengamati secara seksama dan menilai cara perusahaan dan pesaingnya melayani permintaan spesifik pelanggan, menjawab petanyaan pelanggan dan menangani setiap keluhan.
c. Lost customer analysis Sedapat mungkin perusahaan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan/penyempurnaan selanjutnya. Hanya saja kesulitan penerapan metode ini adalah pada mengidentifikasi
dan
mengkontak
mantan
pelanggan
yang
bersedia
memberikan masukan dan evaluasi terhadap kinerja perusahaan.
d. Survei kepuasan pelanggan Sebagian besar riset kepuasan pelanggan menggunaka metode survei, baik survei melalui pos, telepon, e-mail, websites dan wawancara langsung. Melalui survei perusahaan akan memperoleh tanggapan dan balikan secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan kesan positif bahwa perusahaan menaruh
25
perhatian terhadap para pelanggannya. Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat dilakukn dengan berbagai cara, diantaranya : 1) Dyrectly reported satisfaction, pengukuran dilakukan dengan menggunakan item-item spesifik yang menanyakan langsung tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan. 2) Derived satisfaction, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama yaitu : (1) tingkat harapan atau ekspektasi pelanggan terhadap kinerja produk atau perusahaan pada atribut-atribut relevan dan (2) persepsi pelanggan terhadap kinerja aktual produk atau perusahaan bersangkutan. 3) Problem analysis, dalam tehnik ini, responden diminta mengungkapkan masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan produk atau jasa perusahaan dan saran-saran perbaikan. Kemudian perusahaan akan melakukan analisis tehadap semua masalah dan saran perbaikan. 4) Importance-performance analysis, dalam tehnik ini, responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan berbagai atribut relevan dan tingkat kinerja perusahaan pada masing-masing atribut tersebut. Perbaikan kinerja ini bisa berdampak besar pada kepuasan pelanggan total.
5. Strategi Kepuasan Pasien Menurut Mudie dan Cottam yang dikutip oleh Wijono (2000), menyatakan bahwa upaya mewujudkan kepuasan pasien sepenuhnya bukanlah hal yang mudah. Kepuasan pasien sepenuhnya tidak mungkin tercapai, sekalipun hanya untuk sementara waktu. Namun upaya perbaikan atau penyempurnaan kepuasan dapat dilakukan dengan berbagai strategi.
Widuri (2010), menyebutkan bahwa ada beberapa strategi yang dapat dipadukan untuk meraih dan meningkatkan kepuasan pasien, diantaranya : a. Strategi relationship marketing Dalam strategi ini perusahaan (rumah sakit) menjalin suatu kemitraan dengan pasien secara terus menerus yang pada akhirnya akan menimbulkan kesetiaan
26
pasien sehingga terjadi bisnis ulang. Agar relationship marketing dapat diimplementasikan perlu dibentuk database pasien, yaitu daftar nama pasien untuk terus membina hubungan yang baik dalam jangka panjang. Dengan tersedianya informasi mengenai nama pasien, frekuensi kunjungan, puskesmas diharapkan dapat memuaskan pelanggannya yang pada gilirannya dapat menumbuhkan loyalitas pasien. Pasien yang loyal belum tentu puas, tetapi sebaliknya pasien yang puas cenderung untuk menjadi pasien yang loyal.
b. Strategi unconditional guarantees Strategi ini memberikan garansi atau jaminan istimewa secara mutlak yang dirancang untuk meringankan resiko atau kerugian di pihak pelanggan. Garansi tersebut menjanjikan kualitas prima dan kepuasan pasien yang optimal sehingga dapat menciptakan loyalitas pasien yang tinggi.
c. Strategi superior customer service Ini adalah strategi menawarkan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh pesaing. Untuk mewujudkannya diperlukan dana yang besar, kemampuan sumber daya manusia dan usaha yang gigih diperlukan agar perusahaan dapat menciptakan standart pelayanan yang lebih tinggi pada jasa yang ditawarkan.
d. Strategi penanganan keluhan yang efektif Penanganan keluhan yang baik berpeluang mengubah seorang pelanggan yang tidak puas menjadi pelanggan yang puas. Ini adalah strategi menangani keluhan pelanggan dengan cepat dan tepat, dimana perusahaan harus menunjukkan perhatian, keprihatinan dan penyesalannya atas kekecewaan pelanggan agar pelanggan tersebut dapat kembali menggunakan produk/jasa perusahaan tersebut. Proses penanganan keluhan pelanggan yang efektif dimulai dari identifikasi dan penentuan sumber masalah menyebabkan pelanggan tidak puas dan mengeluh.
27
e. Strategi peningkatan kinerja pelayanan Ruman sakit menerapkan strategi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan secara berkesinambungan, memberikan pendidikan dan pelatihan kepada pihak manajemen dan karyawan, memasukkan unsur kemampuan memuaskan pelanggan ke dalam sistem penilaian prestasi kerja karyawan (Wijono, 2000).
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Widuri (2010) menyatakan bahwa kepuasan pasien dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain yang bersangkutan dengan : a. Pendekatan dan prilaku petugas, perasaan pasien, terutama saat pertama kali datang b. Mutu informasi yang diterima, seperti apa yang dikerjakan, apa yang dapat diharap c. Prosedur perjanjian d. Waktu tunggu e. Fasilitas umum yang tersedia f. Fasilitas perhotelan untuk pasien, seperti mutu makanan, privasi, dan pengaturan kunjungan g. Outcome terapi dan perawatan yang diterima
Lupiyoadi yang dikutip oleh Wijono (2000), menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat kepuasan, terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan, yaitu : a. Kualitas pelayanan Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan.
b. Emosional Pasien akan merasa bangga dan mendapat keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadapnya bila keamanannya dijamin oleh asuransi yang mempunyai
28
tingkat kepuasan lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial yang membuat pasien menjadi puas terhadap asuransi.
c. Harga Harga merupakan aspek penting. Produk yang mempunyai kualitas sama tetapi menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggannya.
d. Biaya Pelanggan dalam hal ini pasien tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa, cenderung puas terhadap produk/jasa itu.
e. Waktu tunggu Lamanya waktu tunggu pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya akan berpengaruh terhadap kepuasan pasien. Petugas yang terlalu lama/kurang cepat dalam memberikan pelayanan baik pelayanan karcis maupun pelayanan medis dan obat-obatan akan membuat pasien kurang puas terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Pohan (2006) menyatakan ada beberapa aspek yang mempengaruhi kepuasan pasien yaitu kesembuhan, kebersihan, informasi yang lengkap tentang penyakit, memberi jawaban yang dimengerti, memberi kesempatan untuk bertanya, ketersediaan obat, privasi atau keleluasaan pribadi dalam kamar periksa, waktu tunggu, kesinambungan layanan oleh petugas yang sama, tersedianya toilet, biaya layanan kesehatan dan tersedianya tempat duduk di ruang tunggu.
29
C. Kerangka Konsep Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka konsep peneliti ini adalah sebagai berikut: Skema 2.1 Kerangka Konsep Peneliti
Variabel Independen Responsiveness
Variabel Dependen Kepuasan Pasien
D. Hipotesis Ha : Ada Pengaruh Responsiveness Terhadap Kepuasan Pasien Post Operasi di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Laras Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun Tahun 2014.