BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendekatan Belajar 1. Pengertian Belajar Syah (2003) menyatakan bahwa belajar sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sedangkan Suryabrata (1984) menyatakan bahwa belajar itu membawa perubahan dan perubahan itu mencakup kecakapan baru dan terjadi karena usaha. Dalam belajar siswa memakai pendekatan belajar untuk mempelajari bidang studi atau materi yang sedang mereka tekuni. Pendekatan- pendekatan belajar itu antara lain adalah pendekatan belajar Biggs, pendekatan hukum Jost, dan pendekatan Ballard & Clanchy.
2. Pendekatan Belajar a. Pengertian Pendekatan Belajar Pendekatan belajar adalah metode dan strategi yang digunakan untuk melakukan kegiatan belajar. Pendekatan belajar dilakukan agar belajar lebih efisien dan efektif serta lebih mudah dan cepat menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan kapasitas tenaga dan pikiran. Siswa menggunakan pendekatan belajar yang khusus pada pembelajaran akademik. Pendekatan belajar digunakan
Universitas Sumatera Utara
untuk menggambarkan bagaimana cara siswa mempelajari tugas-tugas tertentu (Biggs dan Tang, 2007). Pengertian pendekatan belajar dalam penelitian ini adalah metode dan strategi yang digunakan untuk melakukan kegiatan belajar.
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendekatan Belajar Biggs (1987) menyatakan bahwa pendekatan belajar dipengaruhi oleh segi personal (latar belakang individu dan kondisi individu) dan segi pengajaran (tekanan waktu dan tes yang terstandarisasi). Biggs juga menyatakan bahwa pendekatan belajar mempunyai 2 komponen, yaitu bagaimana pendekatan siswa terhadap tugas (strategy) dan mengapa siswa melakukan pendekatan terhadap tugas tersebut (motive).
c. Pendekatan Belajar Biggs Biggs (dalam Syah, 2003) membagi pendekatan belajar ke dalam tiga bentuk dasar, yaitu pendekatan surface (permukaan/bersifat lahiriah), pendekatan deep (mendalam), dan pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi). Biggs (dalam Syah, 2003), menyimpulkan bahwa tipe-tipe pendekatan belajar tadi pada umumnya digunakan para siswa berdasarkan motivasinya. Biggs (1934) mendeskripsikan tiga pendekatan belajar tersebut: i. Pendekatan Belajar Surface Pendekatan surface berdasarkan pada motivasi ekstrinsik yaitu, siswa belajar hanya untuk memenuhi beberapa tujuan. Pendekatan belajar tipe ini
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan konsep belajar kuantitatif yang telah dijelaskan diatas. Strategi
yang digunakan adalah menemukan topik yang penting dan
menirukannya kembali dengan tepat dan masuk akal dan menggunakan pengulangan yang berdasarkan pada prosedur. Tugas-tugas secara khusus dihadapi dalam unit tersendiri yang dihubungkan bersama-sama dengan sewenang-wenang. Siswa tidak melihat tugas tersebut secara keseluruhan, tetapi seperti rangkaian sub-task yang tidak berhubungan, makna dan hubungannya dihindari. Biggs dan Tang (2007) menyatakan bahwa individu dengan pendekatan belajar surface lebih memilih untuk membuat daftar pokok-pokok tertentu dari pada mengargumenkannya, memiliki ingatan kata demi kata yang telah dihafalkan dan dapat diucapkan kembali dengan tepat. Penghafalan menjadi bagian pendekatan surface ketika pemahaman dibutuhkan dan penghafalan digunakan untuk memberi kesan munculnya pemahaman tersebut. Marton (dalam Biggs dan Tang, 2007) menyatakan bahwa, siswa yang menggunakan pendekatan belajar surface fokus pada „sign‟ dari belajar, seperti, kata-kata yang digunakan, fakta-fakta yang diasingkan, materi diperlakukan secara terpisah satu sama lain. Hal ini seperti membuat siswa tidak dapat melihat kayu dari pohon. Secara emosional, belajar menjadi sebuah paksaan dan menghasilkan emosi negatif seperti rasa bosan, cemas, dan sinisme. Kegembiraan atau perasaan nyaman terhadap tugas bukanlah bagian dari pendekatan belajar surface. Biggs (dalam Syah, 2003) menyatakan bahwa siswa yang menggunakan pendekatan surface belajar karena takut tidak lulus yang mengakibatkan rasa
Universitas Sumatera Utara
malu. Oleh karena itu, gaya belajarnya asal hapal dan tidak mementingkan pemahaman yang mendalam. Sebaliknya, siswa yang menggunakan deep biasanya mempelajari materi karena memang dia tertarik dan merasa membutuhkannya (intrinsik). Hal-hal yang mendorong siswa menggunakan pendekatan belajar surface adalah tidak cukupnya waktu ataupun beban kerja yang terlalu tinggi (overload), kecemasan yang tinggi, adanya tujuan untuk mencapai standar minimum saja, prioritas lebih kepada non akademik dari pada yang akademik, persyaratan pembelajaran yang kurang dimengerti, seperti pemikiran bahwa mengingat faktafakta saja sudah cukup, pandangan yang sinis pada pendidikan dan tidak mampu memahami isi pada level yang mendalam dan pengajaran guru di kelas (Biggs & Tang, 2007). Biggs (1987) menyatakan bahwa siswa yang stres dalam menghadapi ujian akan menggunakan pendekatan belajar surface. ii. Pendekatan Belajar Deep Biggs (1934) menyatakan bahwa pendekatan deep didasarkan pada ketertarikan secara intrinsik pada tugas dan menggunakan strategi yang logis untuk memuaskan rasa keingintahuan dengan menemukan sebanyak mungkin pengetahuan dan memahaminya. Pendekatan belajar deep adalah pendekatan yang kompleks dan hasil emosional yang memuaskan. Pendekatan belajar deep timbul dari sebuah kebutuhan untuk mengerjakan tugas dengan tepat dan bermakna, sehingga siswa mencoba untuk menggunakan aktifitas kognitif yang paling tepat untuk mengatasinya. Ketika siswa memiliki rasa ingin tahu, secara otomatis mereka akan fokus pada makna-makna yang
Universitas Sumatera Utara
mendasari, ide-ide utama, tema, prinsip atau pada pengaplikasiannya. Individu secara natural mencoba untuk mempelajari bagian yang kecil sambil memahami bagian keseluruhan. Karena sebenarnya, gambaran keseluruhan tidak akan didapatkan tanpa bagian yang kecil. Ketika menggunakan pendekatan belajar deep, siswa memiliki perasaan yang positif, rasa tertarik, tantangan, dan kegembiraan. Belajar menjadi hal yang disenangi (Biggs dan Tang, 2007). Biggs (dalam Syah, 2003) menyatakan bahwa siswa yang menggunakan deep biasanya mempelajari materi karena memang dia tertarik dan merasa membutuhkannya (intrinsik). Oleh karena itu, gaya belajarnya serius dan berusaha memahami
materi
secara
mendalam
serta
memikirkannya
cara
mengaplikasikannnya. Bagi siswa ini, lulus dengan nilai baik adalah hal penting, tetapi yang lebih penting adalah memiliki pengetahuan yang cukup banyak dan bermanfaat bagi kehidupannya. iii. Pendekatan Belajar Achieving Biggs (1934) menyatakan bahwa pendekatan achieving didasarkan pada motivasi berprestasi dan pendekatan ini berbeda dengan dua lainnya yang telah dijelaskan diatas. Pendekatan achieving menggunakan strategi yang meliputi membuat catatan yang sistematis, membuat jadwal (terlalu banyak waktu untuk subjek ini, terlalu banyak untuk yang itu, mengatur tugas untuk menghindari waktu terbuang), hal ini menunjukkan “study skill”. Biggs (dalam Syah, 2003) menyatakan bahwa siswa yang menggunakan pendekatan achieving pada umumnya dilandasi oleh motif ekstrinsik yang berciri khusus yang disebut ego-enhancement yaitu ambisi pribadi yang besar dalam
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggi-tingginya. Gaya belajar siswa ini lebih serius dari pada siswa-siswi yang memakai pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan belajar achieving memiliki keterampilan belajar (study skill) dalam arti sangat cerdik dan efisien dalam mengatur waktu, ruang kerja, dan penelaahan isi silabus. Baginya, berkompetisi dengan teman-teman dalam meraih nilai tertinggi adalah penting, sehingga ia sangat disiplin, rapi dan sistematis serta berencana untuk terus maju kedepan (plan ahead). Individu dengan pendekatan belajar achieving seperti surface yaitu fokus pada produk (mendapatkan nilai A atau memenangkan hadiah). Strateginya adalah memaksimalkan kesempatan untuk memperoleh nilai yang tinggi. Individu dengan pendekatan belajar achieving berusaha untuk mempelajari dan memahami topik seperti pada strategi deep (Biggs, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi penjelasan mengenai tipe-tipe pendekatan belajar yang dikembangkan Biggs itu dapat dilihat perbandingannya di tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Prototipe Pendekatan Belajar Biggs Pendekatan Belajar
Motif dan Karakteristik
Strategi
1. Surface Approach
Ekstrinsik dengan ciri menghindari kegagalan tapi tidak belajar keras.
Memusatkan pada rincian-rincian materi dan semata-mata mereproduksi secara persis.
2. Deep Approach
Intrinsik dengan ciri berusaha memuaskan keingintahuan terhadap isi materi.
Memaksimalkan pemahaman dengan berpikir, banyak membaca dan diskusi.
3. Achieving Approach
Ego-enhancement dengan ciri bersaing untuk meraih nilai/prestasi tertinggi.
Mengoptimalkan pengaturan waktu dan usaha belajar (study skill).
Dikutip dari: Biggs, John B., 1991, Introduction and Overview, dalam Biggs, John B. (editor), Teaching for Learning: The View from Cognitive Psychology, Howthorn: The Australia Council for Educational Research Ltd.
d. Pendekatan Belajar lainnya Beberapa pendekatan belajar lain adalah: i. Pendekatan Hukum Jost
Universitas Sumatera Utara
Menurut Reber (dalam Syah, 2003), salah satu asumsi penting yang mendasari hukum Jost (Jost’s Law) adalah siswa yang lebih sering mempraktikkan materi pelajaran akan lebih mudah memanggil kembali memori lama yang berhubungan dengan materi yang sedang ia tekuni. Selanjutnya, berdasarkan asumsi hukum Jost, belajar dengan kiat 4 x 2 adalah lebih baik dari pada 2 x 4 walaupun hasil perkalian kedua kiat tersebut adalah sama. Maksudnya, mempelajari sebuah materi khususnya yang panjang dan kompleks dengan alokasi waktu 2 jam per hari selama 4 hari akan lebih efektif dari pada mempelajari materi tersebut dengan alokasi waktu 4 jam sehari tetapi hanya selama 2 hari. Perumpamaan pendekatan belajar seperti ini dipandang cukup berhasil guna terutama untuk materi-materi yang bersifat hafalan. ii. Pendekatan Ballard & Clanchy Menurut Ballard & Clanchy (dalam Syah, 2003), pendekatan belajar siswa pada umumnya dipengaruhi oleh sikap terhadap ilmu pengetahuan (attitude to knowledge). Ada dua macam siswa dalam menyikapi ilmu pengetahuan, yaitu: 1). Sikap melestarikan apa yang sudah ada (conserving); dan 2). Sikap memperluas (extending). Siswa yang bersikap conserving pada umumnya menggunakan pendekatan belajar “reproduktif” (bersifat menghasilkan kembali fakta dan informasi). Sementara itu, siswa yang bersikap extending, biasanya menggunakan pendekatan belajar “analitis” (berdasarkan pemilahan dan interpretasi fakta dan informasi). Bahkan diantara mereka yang bersikap extending cukup banyak yang menggunakan pendekatan belajar yang lebih ideal yaitu pendekatan spekulatif
Universitas Sumatera Utara
(berdasarkan pemikiran mendalam), yang bukan saja bertujuan menyerap pengetahuan melainkan juga mengembangkannnya. Dari beberapa pendekatan belajar yang dijelaskan diatas, pendekatan belajar yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan belajar Biggs.
B. Stres 1. Pengertian Stres Stres adalah kondisi mengatasi kejadian yang melebihi kapasitas normal seseorang dan dapat memunculkan penyakit fisik maupun mengganggu kejiwaan (Hamilton, 2007). Cooper (2005) menyatakan bahwa stres disebabkan oleh banyaknya tuntutan (stressor), seperti ketidaksesuaian antara apa yang kita butuhkan dan apa yang kita mampu, dan apa yang ditawarkan oleh lingkungan dan apa yang dituntut oleh lingkungan. Selye (dalam Everly, 2002) menyatakan bahwa stres adalah jumlah setiap perubahan yang tidak spesifik di dalam organisme yang disebabkan oleh fungsi atau kerusakan. Lebih lanjut Selye (dalam Everly, 2002) menyatakan bahwa stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik kepada beberapa tuntutan. Sedangkan menurut Everly (2002) menyatakan bahwa stres adalah reaksi ataupun respon psikologikal tanpa menghiraukan sumber reaksi tersebut. Selye (dalam Everly, 2002) membedakan stres menjadi stres yang positif (eustress) dan stres yang negatif (distress). Stres yang positif memotivasi untuk meningkatkan kualitas hidup sedangan stres yang negatif bersifat destruktif.
Universitas Sumatera Utara
Zimbardo (1985) menjelaskan reaksi psikologis terhadap stres, tergantung pada persepsi dan interpretasi individu pada dunia dan kapasitas individu dalam menghadapinya. Hal itu termasuk perilaku, emosional, dan aspek kognitif. Taylor (2009) menyatakan bahwa stres adalah suatu proses penilaian manusia terhadap suatu peristiwa (yang membahayakan, mengancam, sekaligus menantang), memperkirakan respon yang mungkin ditunjukkan. Dalam hal ini respon yang dimunculkan oleh individu terhadap situasi-situasi tersebut termasuk respon fisiologis, kognitif, emosional ataupun perubahan dalam tingkah laku. Baum (dalam Taylor, 2009) menyatakan bahwa stres adalah pengalaman emosional yang negatif yang disertai dengan biokimia yang dapat diramalkan, fisiologikal, kognitif, dan perubahan perilaku yang secara langsung diarahkan untuk mengubah kejadian yang menimbulkan stres atau memindahkan efek stres tersebut. Pengertian stres dalam penelitian ini adalah respon individu baik respon fisiologis, kognitif, emosional ataupun perubahan dalam tingkah laku terhadap keadaan atau kejadian yang mengancam dan mengganggu individu untuk menghadapinya.
2. Karakteristik Kejadian yang Menimbulkan Stres Taylor (2009) mendeskripsikan karakteristik stresor yang potensial untuk dinilai individu sebagai kejadian yang stressful, yaitu: a. Kejadian negatif
Universitas Sumatera Utara
Kejadian negatif lebih menghasilkan stres dari pada kejadian yang positif, seperti kematian pasangan maupun perceraian. b. Kejadian yang tidak dapat dikontrol Kejadian yang tidak dapat dikontrol atau yang tidak dapat diprediksi lebih menimbulkan stres dari pada kejadian yang dapat dikontrol dan diprediksi. Ketika
seseorang
merasa
bahwa
mereka
dapat
memprediksi,
memodifikasi, atau mengkhiri kejadian yang tidak menyenangkan atau merasa mempunyai akses pada orang yang dapat mempengaruhinya, kejadian tersebut akan semakin tidak stressful, dibandingkan jika mereka tidak dapat melakukan apa-apa (Thompson dalam Taylor, 2009). c. Kejadian yang ambigu Kejadian yang ambigu lebih stressful dari pada kejadian yang jelas. Ketika kejadian yang potensial menimbulkan stres ambigu, seseorang tidak mempunyai peluang untuk mengambil tindakan. d. Overload Seseorang yang overload akan lebih stres dibandingkan dengan orangorang yang memiliki tugas yang lebih sedikit.
3. Respon Terhadap Stres Baum, dkk (dalam Sarafino, 2006) mengatakan bahwa stres berdampak pada aspek biologis dan psikososial seseorang. Stres harus dilihat sebagi fungsi dari individu yang menafsirkan situasi. Reaksi antara satu individu dengan individu yang lainnya belum tentu sama terhadap stres yang sama, tergantung
Universitas Sumatera Utara
pada derajat keparahan stres yang dialami, karakteristik individu, dan lingkungan (Zimbardo, 1985). Zimbardo (1985) menjelaskan reaksi psikologis terhadap stres tergantung pada persepsi dan interpretasi kita pada dunia dan kapasitas kita dalam menghadapinya. Hal itu termasuk perilaku, emosional, dan aspek kognitif. Taylor (2009) menyatakan bahwa stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. a. Respon Fisiologikal/Biologis Terhadap Stres Setiap orang yang dihadapkan pada kondisi atau situasi yang mengancam atau berbahaya, maka akan ada reaksi fisiologis dari tubuhnya. Reaksi fisiologis/biologis yang muncul akibat stres adalah detak jantung dan nafas meningkat, perut terasa mual, otot-otot menjadi tegang, khususnya lengan dan kaki. Sistem syaraf dan sistem endokrin memungkinkan reaksi tersebut terjadi yang disebut fight or flight syndrome (Sarafino, 2006). b. Respon Kognitif Terhadap Stres Stres yang besar menyebabkan pengurangan efisiensi kognitif yang besar dan mengganggu pemikiran yang fleksibel. Atensi adalah sumber yang terbatas, fokus pada aspek situasi yang mengancam dan pada kecemasan mengurangi sejumlah atensi yang tersedia untuk coping tugas yang efektif. Memori juga dipengaruhi, short term memory terbatas pada sejumlah atensi yang diberikan pada hal baru dan retrieval pada memori masa lalu yang relevan. Stres dapat
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi penilaian,
problem solving,
dan pengambilan keputusan
(Zimbardo, 1985). Sarafino (2006) berpendapat bahwa stres dapat merusak fungsi kognitif yaitu dengan mengacaukan perhatian individu. Sementara itu, Cohen, dkk (dalam Taylor, 2009) mengatakan bahwa respon kognitif terhadap stres termasuk adanya keyakinan bahwa sebuah kejadian dapat mengancam atau merusak, adanya respon tidak mampu dan gangguan dalam berkonsentrasi, gangguan pada tugas kognitif. Lebih lanjut, Taylor (2009) menambahkan respon kognitif terhadap stres meliputi pikiran yang mengganggu, tidak wajar, dan berulang. c. Respon Emosional Terhadap Stres Zimbardo (1985) berpendapat bahwa reaksi emosional sebagai respon terhadap stres meliputi kegembiraan, dimana stresor dianggap menggairahkan dan tantangan yang dapat dihadapi, sampai kepada emosi negatif seperti kejengkelan, marah, cemas, putus asa, dan depresi. Kebanyakan stres pada umumnya menghasilkan emosi negatif dan ketidaknyamanan langsung maupun tidak langsung. Glynn, dkk (dalam Taylor, 2009) mengatakan bahwa reaksi emosional terhadap stres meliputi rasa takut, cemas, rasa malu, marah, depresi, dan kadang sikap tenang atau menyangkal. d. Respon Perilaku Terhadap Stres Zimbardo (1985) berpendapat bahwa perubahan perilaku yang disebabkan oleh stres berbeda-beda tergantung pada derajat keparahan (level) stres yang dialami. Zimbardo berpendapat bahwa terdapat tiga level stres, yaitu: mild stress, moderately severe stress, dan severe stress.
Universitas Sumatera Utara
Mild stress meningkatkan perilaku biologis, seperti makan, agresif, dan perilaku seksual. Mild stress membuat individu semakin waspada, pemusatan energi dan prestasi mungkin meningkat. Mild stress dapat menghasilkan perilaku yang positif, seperti menjadi pemberi informasi yang baik, waspada terhadap ancaman, mencari perlindungan dan pertolongan kepada orang lain, dan belajar perilaku dan coping skill yang lebih baik. Itu semua adalah reaksi perilaku positif yang mungkin muncul pada mild stress dalam merespon jenis stresor tertentu. Jika stress yang tidak dapat diselesaikan berlanjut, maka akan berakumulasi menjadi lebih parah, menyebabkan reaksi perilaku yang maladaptif seperti meningkatkan sifat lekas marah, menurunkan produktifitas, dan ketidaksabaran yang kronis. Moderately severe stress mengganggu perilaku, khususnya perilaku kompleks yang membutuhkan kordinasi kemampuan. Moderately severe stress juga dapat menghasilkan pengulangan, tindakan stereotipe, dan menyesuaikan dengan keperluan lingkungan. Severe stress menghambat dan menekan perilaku dan dapat menyebabkan immobilitas total. Hal ini adalah reaksi defensif yang menunjukkan sebuah percobaan yang dilakukan organisme untuk mengurangi atau mengeliminasi dampak stres yang mengganggu. Sarafino (2006) mengatakan bahwa stres meningkatkan perilaku agresi, mudah marah, sikap bermusuhan, dan juga mempengaruhi perilaku menolong seseorang.
Universitas Sumatera Utara
4. Pengukuran Stres Pengukuran stres bukanlah hal yang baru lagi, sudah banyak skala atau kuisioner yang dibuat untuk melihat apakah seseorang mengalami stres atau tidak. Beberapa skala mungkin melihat seseorang stres atau tidak dengan mengukur respon kognitif, emosi atau perilaku (Ice dan James, 2007). Berikut ini akan adalah skala untuk mengukur stres yang pernah dipublikasikan: a. Appraisal Appraisal adalah persepsi keseimbangan antara tuntutan dengan sumber yang ada. Dengan pendekatan ini, individu akan diminta untuk menilai seberapa stressful suatu kejadian atau apakah mereka mampu untuk mengatasi kejadian tersebut dalam skala Likert. Chang (dalam Ice dan James, 2007) yang dalam penelitiannya ingin mengetahui bagaimanakah appraisal mahasiswa psikologi, menanyakan pertanyaan berikut ini: “seberapa pentingkah kejadian ini bagi kamu”, “seberapa besar kontrol yang kamu miliki terhadap hasil yang akan keluar”, “seberapa efektif persiapan yang mampu kamu lakukan untuk kejadian tersebut”, “berapa besar stres yang ditimbulkan kejadian tersebut”. Selain contoh pertanyaan diatas, ada beberapa skala yang disusun untuk mengukur appraisal seseorang terhadap stres seperti, Stress Appraisal Measure (SAM) oleh Lazarus/Folkman, the Perceived Stress Scale (PSS) oleh Cohen dan the Perceived Stress Questionnaire (PSQ).
Universitas Sumatera Utara
b. Affective Respone Skala untuk mengukur stres yang pernah dipublikasikan dikembangkan dengan menguji respon afektif terhadap stres. Beberapa menggunakan aitem tunggal seperti kecemasan, rasa marah, sediah atau bahagia. Contoh skala yang biasa digunakan adalah Positive-Affect and Negative-Affect Schedule (PANAS) (Watson et al.,1988) dan the Profile of Mood States (POMS) (McNair et al., 1971).
c. Behavioral Response Mengukur respon perilaku terhadap stres lebih merujuk kepada coping. Coping adalah proses mengatur tuntutan (eksternal atau internal) yang dinilai memberatkan atau melebihi kemampuan individu. Coping ini tidak harus selalu positif atau efektif, contohnya: merokok. Contoh skala untuk mengukur respon perilaku terhadap stres adalah the Ways of Coping Questionnaire (WCQ) (Folkman dan Lazarus, 1980) dan the COPE Scale.
5. Sumber Stres Pada Remaja Menurut Needlman (2004) menyatakan bahwa ada beberapa sumber stres yang dialami remaja: a. Biological stress (stres biologis) Perubahan fisik pada remaja terjadi sangat cepat dari umur 12-14 tahun pada remaja perempuan dan antara 13 dan 15 tahun pada remaja laki-laki. Tubuh remaja berubah sangat cepat, remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya.
Universitas Sumatera Utara
Tubuh remaja berubah sangat cepat, remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Jerawat juga dapat membuat remaja stres, terutama bagi meraka yang mempunyai pikiran sempit tentang kecantikan ideal. Saat yang sama, remaja menjadi sibuk di sekolah, bekerja dan bersosialisasi sehingga dapat membuat remaja kekurangan tidur. Hasil penelitian mengatakan bahwa kekurangan tidur dapat menyebabkan stres.
b. Family stress (stres keluarga) Salah satu sumber stres pada remaja adalah hubungannya dengan orangtua karena remaja merasa bahwa mereka ingin mandiri dan bebas. Namun, di lain pihak mereka juga ingin diperhatikan.
c. School stress (stres sekolah) Tekanan dalam masalah akademik cenderung tinggi pada dua tahun terakhir di sekolah, keinginan untuk mendapat nilai tinggi atau keberhasilan dalam bidang olahraga dimana remaja selalu berusaha untuk tidak gagal. Hal ini semua dapat menyebabkan stres, termasuk juga ujian akhir nasional yang dijadikan acuan bagi kelulusan siswa dalam menempuh pendidikan.
d. Peer (stres teman sebaya) Stres pada kelompok teman sebaya cenderung tinggi pada pertengahan tahun sekolah. Remaja yang tidak diterima oleh teman-temannya biasanya akan menderita, tertutup, dan mempunyai harga diri yang rendah. Pada beberapa
Universitas Sumatera Utara
remaja, agar dapat diterima oleh teman-temannya, mereka melakukan hal-hal negatif seperti merokok, minum alkohol, dan menggunakan obat terlarang. Beberapa remaja merasa bahwa alkohol, rokok, dan obat-obatan terlarang dapat mengurangi stres. Namun, bagaimanapun juga secara psikologis itu semua tidak dapat mengurangi stres, tetapi justru meningkatkan stres.
e. Social stress (stres sosial) Remaja tidak mendapat tempat pergaulan orang dewasa karena mereka tidak diberikan kebebasan mengungkapkan pendapat mereka, tidak boleh membeli rokok secara legal dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang bayarannya tinggi. Pada saat yang sama mereka tahu bahwa mereka semua nantinya akan mewarisi masalah besar dalam kehidupan sosial, seperti perang, polusi, dan masalah ekonomi yang tidak stabil. Hal ini dapat membuat remaja menjadi stres.
C. Siswa SMA Pada umumnya di Indonesia, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki usia berkisar 15/16- 18/19. Pada usia tersebut, individu berada pada tahapan masa remaja. Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Sedangkan menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 1221 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa
Universitas Sumatera Utara
dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2004) masa remaja merupakan masa transisi dimana pada masa ini remaja mengalami tahap kehidupan yang penuh gejolak, perubahan, dan penyesuaian dalam rangka mencari identitas diri. Dalam tahap perkembangannya, jiwa remaja mengalami kondisi emosi yang tidak stabil dan cenderung sensitif terhadap semua hal yang berkaitan dengan pribadinya. Oleh karena itu, remaja relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan emosi serta juga harus menghadapi tekanan psikologis dan sosial yang saling bertentangan sehingga rentan terhadap stres. Pengertian siswa SMA yang dipakai dalam penelitian ini adalah memiliki usia berkisar 15/16- 18/19.
D. Perbedaan Pendekatan Belajar pada Siswa yang Stres dan yang Tidak Stres dalam Menghadapi UN Pemerhati pendidikan Sutrisno (2009) mengatakan bahwa para siswa umumnya terbebani dengan Ujian Nasional (UN) karena UN merupakan tujuan dan sasaran akhir kelulusan siswa dalam pendidikan. Siswa juga terbebani karena peningkatan angka Standar Kompetensi Kelulusan UN (SKLUN) terjadi secara terus menerus. Dari tahun 2003 hingga tahun 2010, terus terjadi peningkatan SKLUN. Upaya meningkatkan mutu pendidikan dengan menaikkan angka SKLUN menimbulkan permasalahan tersendiri, yakni selalu saja ada siswa yang gagal lulus UN setiap tahunnya.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan UN juga dirasakan sebagai beban yang semakin bertambah berat. Orang tua murid yang menghendaki anak-anaknya sukses dalam UN, mengupayakan tambahan pendalaman mata pelajaran melalui bimbingan belajar atau privat mata pelajaran yang diujiankan, meskipun mungkin sekolah telah melakukan hal serupa bagi peserta didiknya. Seolah tidak mau ketinggalan, sekolah juga melakukan penekanan habis-habisan untuk memacu produktivitas peserta didiknya, untuk bisa lulus 100 % (Tukimin, 2010). Tingginya harapan atau paksaan orang tua agar anaknya bisa lulus UN 2010 ini serta lingkungan tempat anak bersekolah merupakan pemicu anak stres (Gultom, 2010). Penelitian Raharjo (2007) menemukan bahwa stresor yang dominan yang dialami siswa adalah aspek lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Sementara itu, penelitian Muharrifah (2009) menemukan bahwa siswa SMA yang akan menghadapi UN mengalami tingkat stres sedang. Dari hasil komunikasi personal yang dilakukan ditemukan bahwa, bagi Jo (16), UN menimbulkan stres, tetapi bagi Ad dan P tidak demikian. Ad dan P tidak merasa stres dalam menghadapi UN. UN tidak menjadi stresor bagi Ad dan P. Suatu kejadian mungkin menjadi stresor bagi seseorang tetapi tidak pada orang lainnya tergantung pada proses penilaian manusia terhadap suatu peristiwa (yang membahayakan, mengancam, sekaligus menantang) (Taylor, 2009). Cooper (2005) menyatakan bahwa banyaknya tuntutan (stressor), seperti ketidaksesuaian antara apa yang individu butuhkan dan apa yang individu mampu, dan apa yang ditawarkan oleh lingkungan dan apa yang dituntut oleh lingkungan dapat menyebabkan stres.
Universitas Sumatera Utara
Stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik kepada beberapa tuntutan (Everly, 2002). Stres adalah suatu kondisi mengatasi kejadian yang melebihi kapasitas normal seseorang dan dapat memunculkan penyakit fisik maupun mengganggu kejiwaan (Hamilton, 2007). Kondisi individu ini mempengaruhi pendekatan belajar yang dipilih oleh individu tersebut. Individu memakai pendekatan surface, deep, atau achieving dalam belajar tergantung pada keadaan atau kebutuhan individu tersebut. Pendekatan belajar adalah metode dan strategi yang digunakan untuk melakukan kegiatan belajar. Pendekatan belajar dilakukan agar belajar lebih efisien dan efektif serta lebih mudah dan cepat menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan kapasitas tenaga dan pikiran (Biggs, 1987). Biggs (dalam Syah, 2003) membagi pendekatan belajar ke dalam tiga bentuk dasar, yaitu pendekatan surface (permukaan/bersifat lahiriah), pendekatan deep (mendalam), dan pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi). Siswa yang stres dalam menghadapi ujian akan menggunakan pendekatan belajar surface (Biggs, 1987), mereka memandang ujian sebagai tugas yang harus diselesaikan, belajar karena takut tidak lulus yang mengakibatkan rasa malu. Jika siswa yang stres dalam menghadapi ujian memakai pendekatan belajar surface. Siswa yang tidak stres dalam menghadapi UN akan menggunakan pendekatan belajar deep, yaitu siswa memiliki perasaan yang positif, rasa tertarik, tantangan, dan kegembiraan dalam belajar dan belajar menjadi hal yang disenangi (Biggs dan Tang, 2007) atau pendekatan belajar achieving berusaha untuk mempelajari dan memahami topik seperti pada strategi deep (Biggs, 1987).
Universitas Sumatera Utara
E. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan pendekatan belajar pada siswa SMA yang stres dengan siswa yang tidak stres dalam menghadapi UN.
Universitas Sumatera Utara