ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Malaria Malaria adalah penyakit serius, kadang-kadang fatal, disebabkan oleh parasit yang umumnya menginfeksi nyamuk jenis tertentu, yang mengambil makanannya dari manusia (CDC, 2012). Ciri-ciri seseorang yang terjangkit malaria yaitu mengalami demam tinggi, menggigil (CDC, 2012), sakit kepala, kelelahan, ketidaknyamanan perut, nyeri otot dan sendi, anoreksia, dan mualmuntah (WHO, 2010). Malaria umumnya
merupakan
penyakit
di
daerah
terpencil, sulit dijangkau dan banyak ditemukan di daerah miskin atau sedang berkembang. Oleh karena itu, malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi sasaran prioritas komitmen global dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh 189 negara anggota PBB pada tahun 2000 (Departemen Kesehatan RI, 2010). 2.1.1
Epidemiologi Malaria masih menjadi pembunuh utama manusia di dunia, mengancam lebih dari sepertiga populasi dunia. Malaria berkembang dengan pesat di area tropis seperti, tempat di mana jutaan manusia tinggal. (National Institute of Allergy and Infectious Diseases, 2007). Pada tahun 2010, terdapat 99 negara dan wilayah dengan transmisi malaria yang masih berlanjut dan 7 negara yang sedang 7
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
8 dalam pencegahan fase pengenalan kembali malaria, sehingga total negara yang diduga endemik malaria sejumlah 106 negara. Diperkirakan terdapat 216 juta kasus malaria dan 655 ribu kematian akibat malaria di seluruh dunia, yang 91% di antaranya disebabkan oleh P. falciparum. Mayoritas kasus terbanyak berada di wilayah Afika (81%), disusul oleh Asia Tenggara (13%), dan Mediterania Timur (5%) (WHO, 2011). Di
Indonesia,
ditemukan
semua
jenis
human
plasmodia terutama Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Hasil
wawancara
menunjukkan
bahwa
Kasus Baru
Malaria (KBM) dalam satu tahun terakhir (2009/2010) adalah: 22,9 permil. Lima provinsi dengan Kasus Baru Malaria tertinggi adalah Papua (261,5‰), Papua Barat (253,4‰), Nusa Tenggara
Timur
Kepulauan
(117,5‰),
Bangka
Belitung
Maluku
Utara (103,2‰)
(91,9‰).
dan
Kejadian malaria
ditemukan pada semua kelompok umur dan terendah pada bayi dengan angka kasus baru malaria 11,6 permil, sedangkan kelompok umur lain hampir sama yaitu sekitar 21,4-23.9 permil. Kasus baru malaria lebih banyak pada laki-laki (24,9‰), pada pendidikan
tidak
tamat
SD
(27,5‰), petani/nelayan/buruh
(29,8‰) dan di perdesaan (29,8‰) (Depkes RI, 2010) 2.1.2
Etiologi Malaria ditransmisikan oleh nyamuk betina Anopheles. Terdapat sekitar 156 spesies Plasmodium yang menginfeksi berbagai spesies vertebrata. Pada manusia, infeksi malaria disebabkan oleh satu atau lima spesies dari protozoa pada
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
9 intraseluler parasit, yaitu Plasmodium falciparum, P.vivax, P.ovale, P.malariae, dan spesies yang hanya ada di Asia Tenggara, P.knowlesi (Nothern Territory Government, 2012). Masing-masing Plasmodium spp. berhubungan dengan siklus demam yang spesifik, yang disebabkan oleh sinkronisasi pelepasan parasit dari eritrosit tempat mereka berkembang dan bermultipikasi. Spesies yang berbeda dibedakan oleh karakter morfologis dengan pewarnaan Giemsa pada hapusan darah tipis. Mereka
juga
dibedakan
berdasarkan
periode
inkubasi,
patofisiologi, dan hubungannya dengan mortalitas dan morbiditas (Tsuji & Kain, 2009). 2.2
Plasmodium falciparum Plasmodium falciparum merupakan spesies Plasmodium yang bertanggung jawab pada sekitar 50% kasus malaria. Spesies in hidup pada daerah tropis dan subtropis. Periode inkubasi P.falciparum paling pendek dibandingkan dengan spesies lain, antara 8-11 hari dengan periode siklus eritrositik selama 36-48 jam. P.falciparum dapat dibedakan dengan spesies lain dengan pengamatan mikroskopis pada tahapan-tahapan siklus hidupnya. Plasmodium falciparum dapat menginfeksi sel darah merah (red blood cells) dan menempel pada lapisan dinding pembuluh darah kecil. Parasit asing ini menyebabkan perfusi jaringan mengalami gangguan (Miller et al., 2002). Infeksi oleh P.falciparum bertanggung jawab atas kasus mortalitas, terutama
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
10 pada anak-anak pada usia di bawah 5 tahun, wanita hamil, dan orang-orang tanpa imunitas (Brunton et al., 2006). 2.2.1
Siklus Hidup Manusia merupakan hospes antara tempat Plasmodium mengadakan skizogoni (siklus aseksual), sedangkan nyamuk Anopheles merupakan vektor dan vospes definitif tempat terjadinya siklus seksual dan reproduksi yang dilengkapi dengan sporogoni. Pada manusia, parasit ini hidup dalam sel tubuh (fixed tissue cell) dan sel darah merah (Syarif dan Zunilda, 2009).
Gambar 2.1 Siklus hidup Plasmodium falciparum (Su et al., 2007) 1. Siklus Aseksual (Tsuji & Kain, 2009) Fase aseksual meliputi fase cincin (tropozoid awal), tropozoid, dan skizon. Infeksi malaria alami terjadi dengan masuknya sporozoit nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit. Biasanya sebanyak 20-30 sporozoit dimasukkan dalam tubuh hospes. Selain itu, infeksi dapat terjadi melalui transfusi darah yang tercemar parasit.
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
11 Sporozoit ini segera hilang dari sirkulasi darah dan menetap di sel hepatosit. Pada akhir fase hepatosit, sporozoit tunggal berkembang menjadi skizon yang mengandung ribuan parasit anak yang memenuhi hepatosit selama 1-2 minggu. Hepatosit yang terinfeksi pecah dan melepaskan sejumlah merozoit ke dalam pembuluh darah. Tahap ini berlangsung selama 7 hari dan setiap sporozoit dapat menghasilkan 40.000 parasit anak. Bagian siklus ini dikenal sebagai fase praeritrosit atau eksoeritrosit, dan berlangsung selama 7 hari. Fase selanjutnya adalah fase perkembangan, yang disebut dengan fase eritrositik atau fase darah. Fase ini dimulai ketika merozoit eksoeritrosit dari hepar menginvasi sel darah merah dengan periode lebih dari 2 atau 3 hari, dan bermultiplikasi secara aseksual. Merozoit P.falciparum dapat menginfeksi eritrosit pada semua umur. Parasit dalam eritrosit memperbanyak diri membentuk tropozoit (fase cincin). Fase tropozoid merupakan fase makan dari parasit dan mengandung nukleus tunggal dengan pigmen granul, disebut hemozoin (produk pencernaan hemoglobin), yang terletak di dalam sitoplasma dari parasit. Fase ini dinamai fase cincin karena penampakannya yang seperti sincin, dengan warna biru pada nukleus dan warna merah muda pada cincin dari sitoplasma. Fase skizon dimulai ketika nukleus tropozoid membelah. Pembelahan lebih lanjut memicu pembesaran parasit. Masing-masing individu nukleus kemudian menjadi dikelilingi oleh sitoplasma parasit untuk membentuk merozoit.
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
12 Setelah dewasa, skizon pecah dan melepaskan merozoit ke pembuluh darah. Sebagian besar merozoit yang dilepaskan menginvasi kembali eritrosit baru, sehingga siklus hidup
aseksual
terulang
kembali.
Sisanya
memulai
perkembangan secara seksual. 2. Siklus Seksual (Tsuji & Kain, 2009) Sebagian merozoit tidak masuk ke eritrosit tidak masuk ke eritrosit, tetapi berdiferensiasi menjadi gamet jantan (mikrogamet) dan gamet betina (makrogamet) yang akan berpindah ke nyamuk pada saat nyamuk menggigit pasien. Dengan
demikian,
siklus
seksual
dimulai.
Gametosit
berdiferensiasi lebih lanjut menjadi gamet jantan dan gamet betina. Pembuahan terjadi dalam usus nyamuk. Zigot yang terjadi berkembang menjadi sporozoit, berpindah ke kelenjar ludah nyamuk, dan menginfeksi manusia lagi melalui gigitan nyamuk. 2.2.2
Morfologi
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2.2 Siklus hidup Plasmodium falciparum pada hapusan darah tipis. (a) fase cincin, (b) tropozoid yang berkembang, (c) skizon, (d) gametosit (CDC, 2009)
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
13 a.
Tropozoid-cincin (CDC, 2009) Bentuk
tropozoid-cincin
dari
P.falciparum
seringkali tipis dan halus, dengan ukuran rata-rata 1/5 diameter sel darah merah. Cincin mungkin memiliki satu atau dua titik kromatin. Titik ini dapat ditemukan di tepi sel darah merah. Bentuk cincin bisa menjadi kompak atau pleomorfik,
tergantung
dari
kualitas
darah
yang
digunakan. Biasanya tidak terdapat pembesaran sel darah merah yang terinfeksi. b.
Tropozoid yang berkembang (CDC, 2009) Tropozoid yang P.falciparum yang berkembang cenderung tetap dalam bentuk cincin, tetapi dapat menjadi lebih tebal dan lebih kompak. Jumlah pigmen dan kromatin juga bisa meningkat. Bentuk kompak atau amoeboid dapat dilihat dalam hapusan manakala ada penundaan dalam pemrosesan darah.
c.
Skizon (CDC, 2009) Skizon jarang terlihat dalam darah perifer yang terinfeksi P.falciparum, kecuali dalam kasus yang parah. Bila dilihat, skizon mengandung 8-24 merozoit. Sebuah skizon matang biasanya mengisi sekitar 2/3 dari sel darah merah yang terinfeksi.
d.
Gametosit (CDC, 2009) Bentuk gametosit P.falciparum adalah bulan sabit atau seperti sosis, dan umumnya berukuran sekitar 1,5 kali diameter sel darah merah. Sitoplasma dari
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
14 makrogametosit (betina) biasanya lebih gelap dan lebih biru. Sedangkan sitoplasma dari mikrogametosit (jantan) biasanya lebih pucat. Kromatin merah dan pigmen lebih terkonsentrasi pada makrogametosit dibandingkan dengan mikrogametosit. Kadang-kadang dalam hapusan darah tipis, sisa-sisa dari sel darah merah hospes dapat dilihat, hal ini sering disebut sebagai Laveran’s bib. 2.3
Potensi Bahan Alam sebagai Antimalaria dan Senyawa Aktif di Dalamnya Sejak dikenalnya malaria, banyak spesies tanaman yang telah teridentifikasi memiliki aktivitas antimalaria. Sejarah telah membuktikan bahwa tanaman merupakan sumber yang sangat penting untuk mengatasi malaria (Ngunyen-Pouplin et al., 2007). Terapi antimalaria saat ini yang berasal dari bahan alam antara lain kinin, klorokuin, meflokuin, artemisin, arteeter, artemeter, dan artesunat (Sebisubi & Tan, 2011). Beberapa suku yang memiliki aktivitas antimalaria tinggi sampai sedang digambarkan dalam grafik berikut (Bero et al., 2009).
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
15
Gambar 2.3 Jumlah senyawa dengan aktivitas in vitro tinggi (IC50 ≤ 2 µM) dan sedang (2µM ≤ IC50 ≥ 11µM) terhadap berbagai strain Plasmodium falciparum. Dari total 360 produk yang berasal dari alam, beberapa kelompok senyawa yang diketahui aktif sebagai antiplasmodial, antara lain terpen (meliputi iridoid, sesquiterpen, siterpen, terpenoid benzokuinon, steroid, quassinoid, limonoid, cucurbitasin, dan lanostan), flavonoid, alkaloid, peptide, fenilalkaloid, xanthone, naftopiron, dan masih banyak lagi (Nogueira & Lopez, 2011). 2.4
Tanaman Hasil Eksplorasi
2.4.1
Mitrephora polypyrena (Bl.) Miq. (Annonaceae) Berdasarkan buku Flora of Java (Backer & Brink, 1963), nama ilmiah dari tanaman ini adalah sebagai berikut.
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
16 Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo/Bangsa
: Ranales
Familia/Suku
: Annonaceae
Genus/Marga
: Mitrephora
Spesies/Jenis
:Mitrepora polypirena (Bl.) Miq.
Gambar 2.4 Herbarium M. polypirena Tanaman ini berupa pohon yang tingginya 10-20 m. Daun berbentuk bulat telur-memanjang (ovatus-oblongus), dengan pangkal daun membulat (rotundatus), namun umumnya meruncing (acuminatus). Helai daun berukuran 9 - 23 cm x 4 ½ - 11 cm, tangkai daun panjangnya ½ - 1 cm. Bunganya memiliki daun tajuk (petal) berbentuk bulat telur (ovatus), berwarna kuning-putih hingga kuning terang, bagian dalam dan luarnya berbulu, berukuran 3 ½ - 5 ½ cm x 2 ½ - 4 ½ cm, menyempit di bagian dalamnya hingga 1 ¼ - 2 ¼, tangkai bunga panjangnya 1-3 cm, sepal memiliki ukuran panjang dan lebar sebesar 2/4 – 1 cm. Hidup
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
17 secara periodik pada di daerah yang sangat kering, di samping dibudidayakan sebagai pohon hias (Backer & Brink, 1963). 2.4.2
Garuga floribunda Decne (Burseraceae) Berdasarkan buku Flora of Java (Backer & Brink, 1965), nama ilmiah dari tanaman ini adalah sebagai berikut. Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo/Bangsa
: Geraniales
Familia/Suku
: Burseraceae
Genus/Marga
: Garuga
Spesies/Jenis
: Garuga floribunda Decne
Gambar 2.5 Herbarium G.floribunda Berdasarkan World Agroforestry Centre dan Prosea Foundation (Sunarti, 1998), nama lokal tanaman ini adalah burus, iloko, garuga (Filipina, Papua Nugini), dan ki langit (Sunda). Tanaman ini berupa pohon, tingginya dapat mencapai 3040 m, bercabang. Batangnya berdiameter 120-225 cm. Kulit batangnya berupa serpihan (bersisik) berwarna abu-abu hingga
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
18 putih. Kayu batang bagian dalamnya memiliki serat yang jelas, berwarna kemerahan seperti nyala api. Panjang cabangnya bisa mencapai 12 m (Sunarti, 1998). Anak cabangnya memiliki tangkai berbentuk silinder, namun biasanya meruncing pada kedua ujungnya, melingkar pada titik perpotongannya, dan memiliki permukaan yang halus (tidak berbulu) (Wu et al, 2009). Daun berupa daun majemuk yang banyak berkumpul di puncak
ranting.
Jenisnya
majemuk
menyirip
ganjil
(imparipinnatus), dengan panjang hingga 25 cm. Ibu tulang daun berkedudukan tersebar,
spiral, dengan panjang poros utama
(rachis) hingga 5 cm. Anak daun berjumlah hingga 10 pasang dengan
satu
anak
daun
terminalis,
berkedudukan
saling
berhadapan, tangkai dari anak daun lateral panjangnya hingga 4 mm, sedangkan tangkai anak daun terminal panjangnya hingga 2 cm. Helai daun berukuran 11-15 x 4,5 cm, memiliki bentuk memanjang-lanset (oblongus-lanceolatus), teksturnya menyerupai kertas, tertutup lapisan lilin berwarna keabu-abuan yang mudah terhapus, permukaannya halus (tidak berbulu). Ujung helai daun meruncing (acuminatus), pangkalnya memiliki panjang sisi dan bentuk yang tidak sama (asimetris), tepinya bergerigi (serratus), tulang daun pada anak daun berjumlah 15 pasang. Terdapat stipula yang tersisip pada tangkai daun (Wu et al, 2009). Bunganya berwarna kuning, majemuk, malai (panikula), terletak pada ketiak daun (flos axillaris), biseksual, panjangnya hingga 20 cm, dengan panjang tangkai infloresensi (pedunculus) hingga 5 cm. Reseptakulum (dasar bunga) berbentuk seperti
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
19 cangkir (cupular), daun kelopak (sepal) bebas, daun tajuk bunga (petal) melipat ke dalam dan memiliki bentuk memanjang-lanset (oblongus-lanceolatus). Benang sari berjumlah 10, memiliki 10 lobus, ovarium superus (menumpang), multilokularis, dengan 2 ovula (bakal biji) di setiap lokus. Buahnya berupa buah batu (drupa), berukuran 5-9 × 5-12 mm, bulat dan berlobus, dengan jarak lintang hingga 1,5 cm,terdapat 1 biji berwarna biru per lobus. Bijinya memiliki perkecambahan epigeal (Wu et al, 2009). Habitat tanaman ini ada di hutan lebat, dengan ketinggian 200-900 m dpl. Garuga floibunda memiliki dua varietas, yaitu var. gamblei Kalkman yang ditemukan di Cina (Guangdong, Guangxi), Yunnan Selatan (Bangladesh, Bhutan, India) dan var. floribunda tidak terdapat di Cina, namun tersebar di Asia Tenggara dan Kepulauan pasifik (Wu et al., 2009). Dalam beberapa pustaka, Garuga floribunda sering keliru disebut sebagai Garuga pinnata (Sunarti, 1998). Gambar G.floribunda dapat dilihat pada gambar 2.6.
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
20
Gambar 2.6 Pohon, Batang, Daun, Buah, dan Bunga Garuga floribunda Decne (Sunarti, 1998; Wu et al., 2009) 2.4.3
Ochrosia akkeringae (T.&B.) Miq. (Apocynaceae) Berdasarkan buku Flora of Java (Backer & Brink, 1965), nama ilmiah dari tanaman ini adalah sebagai berikut. Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo/Bangsa
: Contortae
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
21 Familia/Suku
: Apocynaceae
Genus/Marga
: Ochrosia
Spesies/Jenis
: Ochrosia akkeringae (T.&B.) Miq.
Gambar 2.7 Herbarium O.akkeringae Tanaman ini berupa pohon yang dapat menghasilkan lateks. Daunnya berbentuk lanset atau lanset-bulat telur terbalik (lanseolatus-obovatus),
jarang
berbentuk
seperti
spatula
(spatulatus). Tulang daun terlihat sangat tipis. Helai daun berwarna hijau gelap di permukaan atas, hijau pucat di bawah bawah, berukuran 10-20 x 3 - 5 ½. Tangkai daun panjangnya 1-2 cm. Daun yang letaknya lebih tinggi tersusun dari 3-5 daun (jarang 4), yang lebih rendah seringkali terletak berlawanan, ranting daun berbentuk persegi empat. Tajuk bunganya gundul (tidak berbulu), baik bagian dalam maupun luarnya. Tangkai bunganya pendek, berukuran 3-4 cm (Backer & Brink, 1965). 2.4.4
Tabernaemontana pandacaqui (Poir.) (Apocynaceae) Berdasarkan Middleton, D.J. dan Bailey, L.H., tanaman ini diklasifikasikan sebagai berikut.
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
22 Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo/Bangsa
: Contortae
Familia/Suku
: Apocynaceae
Genus/Marga
: Tabernaemontana
Spesies/Jenis
: Tabernaemontana pandacaqui (Poir.)
Gambar 2.8 Herbarium T.pandacaqui Berdasarkan
National
Institute
of
Environmental
Research (2005), sinonim dan nama lokal tanaman ini adalah: Sinonim : Ervatamia pandacaqui (Poir) Pich., Nama lokal
: pandakaki, kampupot (Filipina); put farang, phut tum (Thailand); oru, karaban (Papua Nugini); banana bush, windmill bush (Inggris).
Tanaman ini berupa perdu, bercabang, yang tingginya mencapai 1-14 m. Daunnya memiliki bentuk dan ukuran yang beragam, seringkali berbentuk lanset yang luas atau berbentuk seperti obo. Tangkai daun panjangnya 0,3-2 cm, helai daun
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
23 berbentuk elips berukuran 3-25 x 1-10 cm, ujung helai daun berbentuk akuminatus, kaudatus (berekor), atau obtusus (tumpul), dengan vena lateralis 4-16 pasang. Bunganya berwarna putih, letaknya terminal atau aksiler. Infloresensi simosa, dengan tajuk bunga berwarna putih, tabung tajuk bunga panjangnya 0,8 - 2,2 cm. Buahnya berwarna merah oranye saat matang dan bijinya berjumlah 2-40 (National Institute of Environmental Research, 2005). Habitatnya pada hutan atau semak-semak dengan ketinggian rendah atau menengah. Tumbuhan ini hidup di Guangdong Selatan, Taiwan, Thailand, Yunnan Selatan, Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Jawa), Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Kepulauan Pasifik. Tanaman
ini
merupakan
spesies
dari
familia
Apocynaceae. Tanaman dari Apocynaceae seringkali beracun dan kaya alkaloid atau glikosida, terutama dalam biji dan lateks. Beberapa spesies merupakan sumber obat, insektisida, serat, dan karet (Wu & Raven, 1995).
Gambar 2.9 Tanaman dan Bunga Tabernaemontana pandacaqui (Poir.) (National Institute of Environmental Research, 2005)
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
24 2.4.5
Diospyros javanica Bakh. (Ebenaceae) Berdasarkan buku Flora of Java (Backer & Brink, 1963), nama ilmiah dari tanaman ini adalah sebagai berikut. Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo/Bangsa
: Ebenales
Familia/Suku
: Ebenaceae
Genus/Marga
: Dyospyros
Spesies/Jenis
: Dyspyros javanica Bakh.
Gambar 2.10 Herbarium D.javanica Tanaman ini berupa pohon. Daunnya berbentuk lonjong atau lonjong-lanset, tumpul atau tumpul meruncing (obtususacuminatus), helai daunnya tipis seperti kulit, permukaannya gundul (tidak berbulu), panjangnya 10-30 cm. Buahnya panjang berbentuk lonjong, dengan permukaan yang memiliki bulu-bulu halus, berwarna merah muda, diameter 2 – 2 ½ cm. Tajuk bunga berwarna oranye, bunga jantan (♂) berukuran 8-14 mm, kelopak
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
25 berjumlah 4, bunga betina (♀) memiliki kelopak 4-5, dengan 8 staminodia (Backer & Brink, 1963). 2.5
Ekstrak Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. (Depkes RI, 1995).
2.6
Ekstraksi Ekstraksi
(berdasarkan
istilah
farmasetik)
adalah
pemisahan bahan aktif dari jaringan tanaman (dan hewan) menggunakan pelarut terpilih berdasarkan prosedur standar (Handa et al., 2008; Tiwari et al., 2011). Selama ekstraksi, pelarut berdifusi ke dalam jaringan tanaman dan melarutkan senyawa di dalamnya yang memiliki polaritas yang serupa (Tiwari et al., 2011). 2.6.1
Metode Ekstraksi Berdasarkan Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, metode ekstraksi dibagi menjadi dua, yaitu ekstraksi cara dingin dan cara panas. Untuk ekstraksi cara dingin, terdapat dua metode, maserasi dan perkolasi. Kedua metode ini dijadikan dasar untuk mengembangkan cara ekstraksi selanjutnya (Depkes RI, 2000). Berikut adalah penjelasan dari masing-masing metode.
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
26 1.
Cara dingin a. Maserasi Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling banyak digunakan (List & Schmidt, 1989). Istilah maserasi berasal dari bahasa Latin macerare, yang artinya "merendam". Maserasi (atau dikenal sebagai maserasi sederhana)
didefinisikan
sebagai
proses
ekstraksi
menggunakan pelarut selama beberapa hari (minimal selama
tiga
hari)
dengan
pengocokan
atau
pengadukan pada suhu ruang (List & Schmidt, 1989; Handa et al., 2008). b. Perkolasi (exhaustive-extraction) Secara
umum,
definisi
perkolasi
adalah
pemindahan senyawa yang diinginkan dari material awal (tanaman) secara sempurna. Ekstraksi dengan metode ini membutuhkan pelarut yang selalu baru dan waktu yang lama (List & Schmidt, 1989). Metode ini umumnya menggunakan alat yang dinamakan perkolator. Bahan padat yang diekstraksi ditambahkan sejumlah pelarut
spesifik dan dibiarkan
selama 4 jam pada perkolator dalam keadaan tertutup. Kemudian tutup dari perkolator dibuka dan cairan di dalamnya
mulai
mengalir
keluar.
Pelarut
terus
ditambahkan hingga zat yang diinginkan terekstraksi seluruhnya (Handa et al., 2008).
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
27 2.
Ekstraksi cara panas a.
Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya, selama waktu tertentu. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali (Depkes RI, 2000).
b.
Soxhlet (hot continous extraction) Soxhlet adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru dan umumnya dilakukan dengan alat khusus berupa pendingin balik sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan (Depkes RI, 2000). Keuntungan dari metode ini bila dibandingkan dengan
metode-metode
yang
telah
disebutkan
sebelumnya, yaitu sejumlah besar zat dapat diekstraksi dengan jumlah pelarut yang jauh lebih sedikit, yang memberikan dampak ekonomi berupa penghematan waktu, energi, dan biaya finansial (Handa et al., 2008). c.
Digesti Digesti
adalah
maserasi
kinetik
(dengan
pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruang. Umumnya dilakukan pada temperatur 40-50oC (List & Schmidt, 1989). d.
Infus Infus adalah ekstraksi dengan cara maserasi selama periode waktu yang singkat (15-20 menit) dengan
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
28 menggunakan air panas atau mendidih (96-98oC) (Handa et al., 2008). e.
Dekoksi Metode dekoksi merupakan metode ekstraksi yang digunakan untuk senyawa yang larut air dan stabil pada suhu tinggi. Dekoksi dilakukan dengan merebus bahan tanaman (crude drug) selama 15 menit (Tiwari et al., 2011). Selain metode di atas, ada beberapa metode ekstraksi
lainnya, antara lain: 1.
Ekstraksi dengan destilasi uap Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa yang mudah menguap (minyak-atsiri) dari bahan awal (segar atau simplisia) dengan uap air secara kontinu dan diakhiri dengan kondensasi fase uap (Departemen Kesehatan RI, 2000).
2.
Supercritical Fluid Extraction (SFE) Supercritical fluid extraction (SFE) merupakan metode alternatif untuk
preparasi sampel dengan tujuan umum
mengurangi
penggunaan
pelarut
organik
dan
meningkatkan hasil sampel. Umumnya digunakan pelarut berupa gas karbondioksida. Dengan pengaturan tekanan dan suhu, diperoleh spesifikasi kondisi tertentu yang sesuai untuk melarutkan golongan senyawa kandungan tertentu. Terdapat banyak kelebihan dalam penggunaan CO2 sebagai pelarut pengekstraksi. Karbon dioksida tidak mahal, aman, dan banyak jumlahnya. Penghilangan cairan pelarut
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
29 dengan mudah dilakukan karena karbondioksida mudah menguap (Handa et al., 2008). 3.
Counter Current Extraction (CCE) Dalam counter-current extraction (CCE), bahan mentah (tanaman) dikecilkan ukurannya menggunakan toothed disc disintegrators untuk menghasilkan fine slurry. Dalam proses ini, materi yang diekstrak bergerak searah dalam ekstraktor silindris di mana di dalamnya terjadi kontak dengan pelarut pengekstraksi. Semakin jauh material awal bergerak, ekstrak yang dihasilkan juga akan semakin konsentrat (Handa et al., 2008).
4.
Aqueous Alcoholic Extraction dengan fermentasi Beberapa preparat pengobatan Ayurveda (seperti asava dan arista) mengadaptasi teknik fermentasi untuk mengekstraksi bahan aktif. Prosedur ekstraksi meliputi perendaman bahan mentah (tanaman) baik berupa serbuk maupun hasil dekoksi (kasaya), selama periode waktu tertentu, sehingga terjadi proses fermentasi in situ (Handa et al., 2008).
5.
Fitonik Fitonik
merupakan
metode
ekstraksi
yang
menggunakan pelarut berupa hidrofluorocarbon-134a (HFC134a). Umumnya metode ini digunakan untuk mengekstraksi minyak aromatis. Ekstraksi dilakuakan dalam wadah tertutup dan tersegel rapat sehingga terjadi proses daur ulang pelarut
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
30 dan pelarut diperoleh dalam jumlah tetap seperti sebelum terjadi proses ekstraksi (Handa et al., 2008). 6.
Ekstraksi dengan ultrasonik Ultrasonik didefinisikan sebagai getaran dengan frekuensi di atas 20000 Hz. Getaran ultrasonik (> 20.000 Hz) memberikan efek pada proses ekstraksi dengan prinsip meningkatkan
permeabilitas
dinding
sel,
menimbulkan
kavitasi (pembentukan gelembung secara spontan yang dihasilkan dari tekanan dinamik), untuk meningkatkan tekanan mekanis pada sel. Dengan mekanisme ini, waktu ekstraksi dapat diperpendek. Ekstraksi dengan getaran ultrasonik selama 5-15 menit setara dengan beberapa jam maserasi atau perkolasi (List & Schmidt, 1989). Perubahan konstituen (senyawa) dapat terjadi pada metode ini, yang diduga akibat dari pembentukan hidrogen peroksida (List & Schmidt, 1989). digunakan
lebih
dari
20
kHz
Jika energi ultrasonik dikhawatirkan
akan
menghasilkan radikal bebas yang menyebabkan perubahan molekul obat (Handa et al., 2008). 2.6.2
Pelarut Pengekstraksi Pelarut pada umumnya berupa senyawa organik yang mampu melarutkan senyawa berupa gas, cairan, dan padatan tanpa adanya perubahan kimiawi dari senyawa tersebut. Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah maksimum dari zat yang
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
31 diinginkan (Singh, 2008). Selain kelarutan, beberapa pertimbangan dalam memilih pelarut antara lain selektivitas, perolehan kembali (recovery), viskositas, titik didih, toksisitas, korosifitas, stabilitas termal, stabilitas kimia, ketersediaan, harga, dan pengaruhnya pada lingkungan (Bart & Pils, 2011) Berdasarkan
European
Union
and
Govermental
Regulation, pelarut yang boleh digunakan adalah air (dengan campuran asam atau basa), propana, butana, etilasetat, etanol, CO 2, N2O, dan aseton (Bart & Pils, 2011). Campuran senyawa organik seperti eter dan etanol, atau campuran pelarut organik seperti alkohol dengan air, digunakan untuk menghasilkan efek tertentu (List & Schmidt, 1989). Obat tradisional umumnya disiapkan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut air. Air lebih utama digunakan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa polar (seperti tannin). Air memiliki titik didih paling tinggi di antara pelarut lain sehingga
lebih
sulit
dihilangkan
melalui
penguapan
dibandingkan dengan pelarut organik (Bart & Pils, 2011). Air juga cenderung mengekstraksi bahan dasar tanaman yang
setelah diekstraksi kemudian memisah meninggalkan
endapan yang tidak diinginkan. Pada akhirnya bila tidak dilakukan pengawetan,
preparat
yang
berair
ini
menjadi
sarana
pertumbuhan yang baik bagi jamur, ragi dan bakteri. Apabila air secara tunggal digunakan sebagai pelarut pengekstraksi, alkohol sering ditambahkan pada ekstrak atau preparat akhir sebagai pengawet antimikroba (List & Schmidt, 1989).
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
32 Campuran hidroalkohol mungkin merupakan pelarut pengekstraksi yang serba guna dan paling luas pemakaiannya. Kerja hidroalkohol membentuk campuran pelarut yang paling sesuai untuk mengekstraksi bahan aktif dari obat khusus. Pelarut
hidroalkohol
pada
umumnya
memberikan
perlindungan yang terpadu terhadap kon taminasi mikroba dan
membantu
mencegah
pemisahan
bahan
yang
diekstraksi, bila didiamkan (List & Schmidt, 1989). Alkohol yang digunakan untuk pelarut pengekstraksi biasanya berupa alkohol dengan berat molekul yang rendah seperti (List & Schmidt, 1989): a)
Metanol Berat molekul: 32,042; titik didih: 64,51oC ;
tidak
membentuk campuran azzeotrope dengan air b)
Etanol (kurang toksik) Berat molekul 46,086; titik didih 78,325oC; membentuk campuran azzeotrope dengan air, komposisi etanol 95,6%
c)
n-propanol Berat molekul 60,094; titik didih 82,40oC; membentuk campuran azzeotrope dengan air, komposisi n-propanol 70,9%
d)
Isopropanol (kurang toksik) Berat molekul 60,094; titik didih 82,40oC; membentuk campuran azzeotrope dengan air; komposisi isopropanol 87,4%.
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
33 2.7
Penapisan
Fitokimia
dengan
TLC
(Thin
Layer
Chromatography) Fitokimia secara umum merupakan istilah dari kimia tanaman. Penelitian di bidang fitokimia sangat penting untuk sejumlah penelitian, seperti fisiologi tanaman, biokimia tanaman, bioteknologi tanaman, dan farmakognosi (Waksmundzka-Hajnos et al., 2008). Penerapan paling penting dalam penelitian fitokimia adalah untuk keperluan farmakognosi. Farmakognosi merupakan bagian dari sains farmasetik dan fokus pada produk alam (terutama tanaman) dan komponennya, yang dapat menunjukkan aktivitas biologis, sehingga dapat digunakan untuk terapi. Uji fitokimia dilakukan untuk semua ekstrak sebagai metode standar (Triwari et al., 2011) Di antara berbagai metode kimia untuk penelitian tanaman, analisis kromatografi memegang peranan penting, dan metode ini telah diperkenalkan oleh beberapa famakope. Karena berbagai keuntungan dari metode kromatografi (seperti spesifisitas dan kemungkinan penggunaannya untuk analisis kuantitatif dan kualitatif). Metode ini menjanjikan bagian integral dari analisis tanaman obat. Metode kromatografi yang sering diterapkan untuk analisis fitokimia antara lain kromatografi kertas satu dan dua dimensi, Thin Layer Chromatography (TLC, disebut juga kromatografi planar), High-performance Liquid Chromatography (HPLC), dan counter current chromatography (CCC). Metode ini dapat juga digunakan untuk isolasi komponen tunggal dari
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
34 campuran komponen pada skala preparative dan mikropreparatif (Waksmundzka-Hajnos et al., 2008). TLC
adalah
teknik
kromatografi
yang
luas
penggunaannya untuk analisis kualitatif senyawa organik, isolasi komponen tunggal dari campuran multikomponen, analisis kuantitatif, dan isolasi skala preparatif. Banyak pelat pre-coated TLC dan high performance TLC (HPTLC) tersedia secara komersial, antara lain lapisan adsorben anorganik (silica atau silica gel dan alumina); lapisan organik (poliamida, selulosa), silica gel matriks yang dimodifikasi dengan ikatan polar kovalen (diol, sianopropil, dan aminopropil), dan fase diam organik non polar. Sorben (fase diam) dari TLC memiliki karakteristik permukaan yang berbeda-beda, sehingga memiliki karakteristik fisikokimia yang berbeda pula (Waksmundzka-Hajnos et al., 2008). Fase gerak yang digunakan sangat beragam yang bertujuan untuk menghasilkan selektivitas untuk pemisahan zat-zat tertentu, termasuk zat anorganik dan organik, adsorpsi, partisi, perpindahan ion, kiral, impregnasi mekanis, fase ikatan kimia polar dan non polar, buffer, campuran dan gradient layer (Sherma, 2008). Sampel dapat ditotolkan secara manual menggunakan alat-alat
sederhana
atau
otomatis
mengunakan
metode
instrumental. Sebelum sampel ditotolkan pada pelat, titik tempat penotolan, dan titik akhir proses eluasi harus ditandai. Biasanya digunakan pensil, namun penggunaanya harus hati-hati karena
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
35 pensil juga dapat merusak pelat (Waksmundzka-Hajnos et al., 2008). Preparasi sampel yang adekuat dan hati-hati akan menghasilkan pemisahan kromatografi yang baik. Tanpa perhatian yang baik, hasil analisis akan berupa spot yang lebar dan tak berbentuk. Spot atau totolan pada pelat kromatografi juga bisa saja terlalu pekat atau berbeda ukurannya. Penggunaan pipet, kapiler, dan alat lain dapat merusak lapisan sorben. Suhu dan kelembapan juga
harus
diperhatikan,
sebab
kedua
faktor
ini
dapat
mempengaruhi sampel. Kelembapan berlebih dapat diadsorpsi pada pelat kromatografi (Wall, 2005). Uji Aktivitas Antimalaria secara in vitro
2.8
Selama lima dekade, resistensi obat terhadap Plasmodium falciparum telah menjadi isu yang paling diperhatikan dalam terapi malaria. Pada saat yang sama, uji in vitro telah menjadi alat yang penting
untuk
menilai
sensitivitas
obat
antimalaria
dan
merencanakan guideline terapi (Noedl et al., 2003). Menurut Basco (2007), metode uji aktivitas antimalaria secara in vitro untuk menghitung pertumbuhan parasit yang berhubungan dengan konsentrasi obat dibagi menjadi tiga, antara lain uji secara visual (mikroskopis), metode radioisotop, dan metode non-radioaktif. 2.8.1
Uji secara Visual (Mikroskopis) Metode ini pertama kali ditemukan oleh W.Trager, dan dikenal dengan nama tes 48-jam. Trager membuat kultur
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
36 P.falciparum dalam Petri dish 35 mm dan memaparnya dengan media bebas obat sebagai kontrol dan media yang mengandung berbagai konsentrasi obat selama 48 jam dalam candle jar. Metode Trager sudah mengalami berkali-kali modifikasi. Saat
ini,
yang
paling
banyak
dipakai
adalah
metode
microtechnique and WHO test atau sering disebut dengan WHO microtest. Metode ini dikembangkan pertama kali oleh Rieckmann et al. pada tahun 1978. Uji dilakukan pada pelat 96-sumuran yang disiapkan dengan membagi 50 µl RPMI 1640, HEPES, NaHCO3, dan larutan gentamisin ke dalam 2-12 sumuran (sumuran 2 dan 3 bebas obat, sumuran 4-12 ditambahkan obat dengan konsentrasi yang makin meningkat).
Sumuran
1 mengandung antikoagulan
EDTA
(ethylene diamine tetraacetic acid). Kultur diinkubasi dalam candle jar selama 24-30 jam pada suhu 37-38oC. Setelah supernatant dibuang, dua hapusan darah tipis dengan pewarnaan Romanowski atau Giemsa disiapkan dari tiap-tiap sumuran. Jumlah skizon dihitung terhadap 200 parasit aseksual dengan bantuan mikroskop (Basco, 2007). Metode ini sangat mudah dilakukan. Keuntungan lainnya antara lain membutuhkan sedikit alat-alat teknis, dapat digunakan pada sampel dengan densitas parasit yang rendah, dan inkubasinya hanya membutuhkan waktu 24 jam. Namun, metode ini membutuhkan tenaga yang terlatih dan dalam menghitung parasitemia, jumlah yang dihitung dapat bervariasi tergantung dari tenaga yang menghitung.
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
37 Parasit yang tumbuh dari fase ring ke fase tropozoid akhir, namun belum mencapai fase skizon pada waktu 24 jam, dapat
diinterpretasikan
sama
dengan
parasit
yang belum
mengalami perkembangan sama sekali. Selain itu, untuk obatobatan seperti kombinasi sulfadoksin dan pirimetamin mungkin sulit diukur aktivitasnya jika waktu inkubasi hanya 24 jam, sebab kombinasi obat ini memaksimalnya aksinya selama masa akhir perkembangan parasit (Noedl, 2003). 2.8.2
Uji dengan Metode Radioisotop Beberapa prekursor radiolabel telah digunakan untuk menilai maturasi parasit, meliputi prekulsor asam nukleat (purin, pirimidin), protein (asam amino), dan fosfolipid (kelompok dengan kepala polar). Dalam kultur yang mengandung parasit malaria, eritrosit manusia yang tidak terinfeksi dan platelet tidak mensintesis DNA, RNA, protein atau membran, leukosit manusia tidak menggandakan diri dan cenderung mengalami disintegrasi selama lebih dari beberapa hari kemudian. Satu-satunya yang aktif membelah diri adalah parasit itu sendiri. Plasmodium spp. menggunakan purin eksogen dan tidak mensintesis purin de novo. Beberapa prekursor DNA antara lain [3H]adenosine,
[3H]xanthine,
dan
[3H]hypoxanthine.
[3H]hypoxanthine merupakan basa purin utama yang digunakan P.falciparum dan dipilih sebagai radioisotop uji sensitivitas obat in vitro (Basco, 2007). Uji ini menggunakan derajat automatisasi tinggi, sehingga diperkirakan dapat dikerjakan lebih cepat dibandingkan uji
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
38 berdasarkan penilaian morfologis dari pertumbuhan parasit. Pembacaan otomatis dari tes dapat mengurangi variasi hasil yang disebabkan oleh personil. Selain itu, uji ini dikerjakan dengan waktu inkubasi lebih panjang, sehingga dapat menguji berbagai jenis obat antimalaria. Namun, teknik ini juga memiliki kekurangan, yaitu penggunaan bahan isotop yang menyebabkan radiasi. Sejak tahun 1970, penggunaan bahan-bahan radioaktif sangat dibatasi, kecuali tidak ada cara lain. Uji isotop juga menghabiskan biaya yang tinggi untuk alat-alat seperti liquid scintillation counter dan mesin pemanen (harvesting machine). Selain itu, uji ini membutuhkan persen parasitemia yang tinggi (Noedl et al., 2003). 2.8.3
Uji dengan Metode Non-radioaktif Uji non-radioaktif terdiri dari flow cytometry atau florescence-activeted sorter assay (FASC), uji flourometri, metode berbasis ELISA, dan metode kolorimetri berbasis non-ELISA. a.
Flow cytometri (Basco, 2007) Metode ini dapat digunakan untuk mengukur berbagai sifat suspensi
sel dalam media yang sesuai saat
mereka mengalir di kolom satu demi satu. Sampel biasanya dicampur dan dilabel dengan antibody monoklonal yang dikonjugasi
dengan
permukaan
sel,
fluorokrom
DNA-
sebagai
marker
pada
dye
untuk
atau RNA-binding
menghitung sel (menghitung retikulosit), menghitung DNA dan analisis siklus sel, dan pewarnaan khusus lain untuk
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39 mempelajari komponen-komponen tertentu (Ca2+ bebas intrasel) atau aktivitas metabolik. Flow cytometri merupakan metode yang cepat, akuat, memiliki sensitivitas tinggi, DNA-spesifik, obyektif, otomatis, dan non-radioaktif. Sayangnya, metode ini berbiaya tinggi dan membutuhkan teknisi berpengalaman untuk pemeliharaan dan operasi, serta metode ini tidak didesain untuk iklim tropis. b.
Uji flourometri (Basco, 2007) Uji ini merupakan lanjutan dari FACS. Ada metode berbasis fluorescence ini, obat diuji pada pelat kultur 24 atau 96-sumurantanpa reagen tambahan. Pada akhir masa inkubasi, eritrosit dilisasi dengan penambahan air suling atau saponin. Setelah sentrifugasi, packed pellet dilarutkan dalam guanidium atau larutan sodium dodecyl sulphate (SDS) dan diwarnai dengan DNA-fluorochrome. Prosedur ini membutuhkan tahapan ekstra ekstraksi DNA pada kloroform untuk menghilangkan hemozoin. Contoh dari uji fluorometri adalah pewarnaan ®
SYBR
Green I menggunakan PCR (polymerase chain
reaction). Metode ini diduga paling sensitif dan variasi hasil lebih kecil dibandingkan dengan metode non-radioaktif yang lain. Namun, dibutuhkan personil yang berpengalaman. Selain itu, beberapa pewarna bersifat toksik. c.
Uji kolorimetri berbasis non-ELISA (Basco, 2007) LDH (L-Lactate NAD+-oxidoreductase, EC1.1.1.27) memainkan peranan penting dalam metabolisme karbohidrat
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
40 pada parasit malaria manusia. Menurut jalur EmbdenMeyehoff, LDH memetabolisme piruvat menjadi asam laktat, regenerasi NAD, yang penting untuk pembentukan ATP. Enzim ini terdapat pada semua organism prokariota maupun eukariota, termasuk P.falciparum dan manusia. Namun, gen LDH P.falciparum memiliki perbedaan pada komposisi asam amino dibandingkan dengan organisme lain dan dapat dipisahkan secara elektroforesis dari lima isoenzim LDH pada eritrosit manusia. d.
Uji berbasis ELISA Uji berbasis ELISA memiliki beberapa tipe, yang dibedakan berdasarkan antigen yang diukur. Reagen dan alatalat yang digunakan pada uji ini relatif murah, non-radioaktif, dan banyak tersedia di laboratorium. ELISA sebagai dasar uji in vitro sensitivitas obat antimalaria dapat dikerjakan dengan pelat kultur mikrotiter 96-sumuran (atau 24-sumuran) dengan cara yang sama dengan metode radioisotope. Hanya saja, metode ini tidak menggunakan radioaktif. Pada akhir masa inkubasi, alikuot dari isi masing-masing sumuran dipindah ke pelat kultur yang lain untuk dicuci dan dibaca oleh ELISA reader. Metode berbasis ELISA pertama kali ditemukan oleh Doi & Shimono. Parasit pada fase cincin dikultur dalam media RPMI 1640 dan 10% serum manusia (fraksi volume eritrosit 4,5%; parasitemia awal 1-1,5%) dan diinkubasi selama 3 jam. Setelah periode inkubasi, eritrosit dipecah dan dicuci, dan
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
41 prosedur standar ELISA dilakukan. Data kasar diekspresikan sebagai
OD
density),
(optical
ditentukan
dengan
spektrofotometer. Makler mengembangkan system deteksi malaria berbasis LDH. LDH merupakan enzim yang dihasilkan pada tahap akhir jalur glikolisis Embden-Meyerhof dari parasit malaria. Enzim ini digunakan sebagai indikator keberadaan parasit malaria (Basco, 2007). Metode LDH dikembangkan menjadi double-site enzyme-linked lactate dehydrogenase (DELI). Pada DELI, digunakan antibodi monoklonal (mAbs) yang spesifik untuk LDH, dan membuat uji ini semakin sensitif. Namun, ketersediaan mAbs sangat terbatas untuk validasi lebih lanjut dan uji DELI. Ini menjadi salah satu kelemahan uji dengan metode ini (Noedl et al., 2003). Metode yang paling baru adalah metode yang mengukur jumlah protein kaya histidin-alanin (histidinealanine rich protein). Histidine-alanine rich protein II (HRP II) diproduksi oleh
Plasmodium falciparum. HRP
II
merupakan protein kaya histidin dan alanin yang larut air dengan berat molekul 72 kDa, terletak di beberapa kompartemen sel, termasuk di dalam sitoplasma Plasmodium falciparum (Noedl, 2002).
HRP II disekresi secara aktif
selama tahap ring akhir, tropozoid, skizon, dan gametosit imatur.
Pada
strain
synchronized
laboratory-adapted
(parasitemia awal, 0.05 – 0.1 %; 1.5 % fraksi volume
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
42 eritrosit), konsentrasi HRP II tetap relatif rendah selama 48 jam pertama tetapi mencapai konsentrasi tinggi setelah 60-72 jam (Basco, 2007). Hambatan pertumbuhan parasit in vitro dengan keberadaan obat menahan metabolism parasit dan produksi HRP II. Sehingga, HRP II merupakan indikator multiplikasi parasit secara in vitro. Konsentrasi HRP II mencerminkan efek kumulatif dari metabolism parasit dan tidak muncul akibat peningkatan secara parallel dengan tahap perkembangan selama siklus skizogonik pertama (Basco, 2007). Uji HRP II didasarkan pada pengukuran konsentrasi HRP II pada sampel kultur. Kit komersial tersedia di Cellabs Pty. Ltd. yang hanya membutuhkan waktu 2,15 jam saat dioperasikan. Jika pertumbuhan parasit dihambat oleh obat antimalaria, hambatan dicerminkan oleh peningkatan kadar HRP II. Oleh karena itu dapat dengan mudah dikuantifikasi dengan deteksi yang diperantarai antibodi. Uji sensitifitas dilakukan pada pelat 96-sumuran mikrotiter, seperti yang dijelaskan oleh Desjardins et al. (1979), dengan beberapa modifikasi, termasuk parasitemia awal dengan kadar yang lebih rendah 0,05% dan waktu inkubasi yang lebih panjang (72 jam). Pada akhir dari inkubasi, eritrosit dilisasi dengan dua siklus freezing–thawing (beku-cair). Lisat (hasil lisis) (100 μl per sumuran) dipindahkan ke pelat 96-sumuran mikrotiter pre-coated yang lain dengan antibodi monoklonal spesifik HRP II dan
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43 diinkubasi selama 1 jam. Setelah pembilasan 4 kali berturutturut, ditambahkan konjugat, dan pelat diinkubasi selama 1 jam. Pelat dibilas sebanyak 4 kali, dan ditambahkan kromogen kemudian diinkunasi selama 15 menit. Reaksi dihentikan, dan diukur absorbansi dengan ELISA plate reader (Basco, 2007). Keuntungan dari metode ini antara lain mudah diterapkan, mengurangi kebutuhan alat-alat teknis, dan personil tidak mempengaruhi hasil uji. Uji ini membutuhkan waktu yang singkat, walaupun dikerjakan pada sampel yang banyak (Noedl et al., 2003).
Skripsi
PENAPISAN FITOKIMIA DAN AKTIVITAS
ARANNYA P.D