BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Hutan Hujan Tropis Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan
mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan 1998). Menurut Arief (1994) dalam Indriyanto (2006) hutan hujan tropis adalah klimaks hutan-hutan di dataran rendah yang mempunyai tiga stratum tajuk, yaitu stratum A, B, dan C atau bahkan memiliki lebih dari tiga stratum tajuk. Menurut Ewusie (1980), ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan berlimpah, sekitar 2000–4000 mm per tahun. Temperatur rata-rata berkisar atas 25–26oC dengan kelembaban udara rata-rata sekitar 80%. Hutan hujan tropis merupakan hutan yang terdapat di wilayah dengan tipe iklim A atau B atau dapat dikatakan selalu basah. Jenis tanah yang ada di hutan ini adalah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang baik dan terletak cukup jauh dari pantai. Soerianegara dan Indrawan (2005) menjelaskan bahwa menurut ketinggian letaknya, hutan hujan tropis dibedakan menjadi atas tiga zona yaitu hutan hujan bawah: 2–1000 m dpl, hutan hujan tengah: 1000–3000 m dpl, hutan hujan atas: 3000–4000 m dpl. Hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson) dan dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah. Pada daerah tersebut biasanya memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol, dengan drainase yang baik dan terletak jauh dari pantai (Santoso 1996 dalam Indriyanto 2006). Untuk hutan hujan bawah, jenis kayu yang penting antara lain suku Dipterocarpaceae
seperti
Shorea,
Hopea,
Dipterocarpus,
Vatica,
dan
Dryobalanops. Marga-marga lain adalah Agathis, Altingia, Dialium, Dyera, Gossanepinus, Koompassia, Octomeles. Jenis kayu yang terdapat di hutan hujan tengah pada umumnya terdiri dari suku-suku
Lauraceae,
Fagaceae,
Castanea,
Nothofagus,
Cunoniaceae,
Magnoliaceae, Hammamelidaceae, dan Ericaceae. Sedangkan jenis kayu yang
4
umum terdapat di hutan hujan atas adalah Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Loptospermum, Cleria, dan Quercus (Soerianegara dan Indrawan 2005). Menurut Mulyana et al. (2005), hutan hujan tropis didefinisikan sebagai hutan yang selalu hijau, tidak pernah menggugurkan daun, tinggi 30 m (tetapi biasanya jauh lebih tinggi), bersifat higrofil, serta banyak terdapat liana berbatang tebal dan epifit berkayu maupun bersifat herba. Karakteristik umum sekaligus keunggulan yang dimiliki hutan hujan tropis adalah (1) keanekaragaman jenis yang tinggi, (2) lingkungan yang konstan atau sedikitnya perubahan musim, dan (3) siklus hara tertutup. 2.2
Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Troup (1966) dalam Departemen Kehutanan (1992) mengatakan bahwa
sistem silvikultur adalah proses penanaman, pemeliharaan, penebangan, penggantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan produksi kayu, atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Sesuai dengan asas kelestarian hasil yang mendasari pengelolaan hutan, maka pemilihan sistem silvikultur memerlukan pertimbangan yang seksama, mencakup keadaan atau tipe hutan, sifat fisik, struktur, komposisi, tanah, topografi, pengetahuan profesional rimbawan, dan kemampuan pembiayaan. Sistem TPTII adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, yaitu 25 m antar jalur dan 2,5 m dalam jalur tanaman. Dengan memperhatikan cukup tidaknya anakan alam yang tersedia dalam tegakan tinggal, sebanyak 200 semai meranti per hektar harus ditanam untuk menjamin kelestarian produksi pada rotasi berikutnya. Dalam program ini target jumlah pohon ada akhir jangka (30 tahun) adalah 400 pohon per hektar. Ruang diantara jalur bertujuan untuk memperkaya keanekaragaman hayati. Kelebihan sistim TPTII dibandingkan dengan TPI atau TPTI adalah bahwa dengan TPTII kelestarian produksi akan dapat terjamin karena mekanisme kontrol dapat dilakukan secara optimal. Mekanisme pembangunan hutan tanaman yang prospektif, sehat, dan lestari jelas dapat dilakukan lewat TPTII yang terus menerus akan disempurnakan melalui regime silvikultur intensif. Oleh sebab itu, beberapa kriteria yang harus diperhatikan di antaranya
5
jenis target yang diprioritaskan, jumlah dan kualitas bibit yang harus ditanam per hektar, ukuran lubang tanam, jarak antar jalur tanam dan jarak tanaman dalam jalur, lebar jalur tanaman yang dibersihkan, frekuensi dan lamanya pemeliharaan. Keunggulan dari sistem TPTII antara lain kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar lebih efisien, murah, dan mudah; pada awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis terpilih dan pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan, sehingga produktivitas bisa meningkat minimal 5 kali, kualitas produk lebih baik; target produksi bisa flexibel tergantung pada investasi pada tanaman (kayu. produk metabolisme sekunder); Keanekaragaman hayati dan kondisi lingkungan lebih baik; kemampuan perusahaan semakin meningkat. 2.3
Pertumbuhan dan Riap Tanaman Menurut Sitompul dan Guritno (1995) pertumbuhan adalah proses dalam
kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil tanaman. Davis dan Jhonson (1987) juga mendefinisikan pertumbuhan sebagai pertambahan dari jumlah dan dimensi pohon, baik diameter maupun tinggi yang terdapat pada suatu tegakan. Pertumbuhan ke atas (tinggi) merupakan pertumbuhan primer (initial growth), sedangkan pertumbuhan ke samping (diameter) disebut pertumbuhan sekunder (secondary growth). Nyakpa et al. (1988) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah faktor genetis dan faktor lingkungan. Salah satu peranan penting dari faktor genetis adalah kemampuan suatu tanaman untuk berproduksi tinggi. Potensi hasil yang tinggi serta sifat-sifat lainnya seperti ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit berhubungan sangat erat dengan susunan genetik tanaman. Faktor lingkungan yang diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan antara lain adalah suhu, ketersediaan air, energi surya, mutu atmosfer, struktur dan komposisi udara tanah, reaksi tanah, serta organisme tanah. Diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter pertumbuhan. Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh faktorfaktor yang mempengaruhi fotosintesis. Pertumbuhan diameter berlangsung
6
apabila keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, penggantian daun, pertumbuhan akar dan tinggi telah terpenuhi (Davis & Jhonson 1987). Pertumbuhan tinggi pohon dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan pembentukan dedaunan yang sangat sensitif terhadap kualitas tempat tumbuh. Setidaknya terdapat 3 (tiga) faktor lingkungan dan 1 (satu) faktor genetik yang sangat nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, yaitu kandungan nutrien mineral tanah, kelembaban tanah, cahaya matahari, serta keseimbangan sifat genetik antara pertumbuhan tinggi dan diameter suatu pohon (Davis & Jhonson 1987). Laju pertumbuhan pohon tropis biasanya diukur dengan perubahan dimensi berdasarkan lingkar batang atau diameter. Pohon tropis dapat lebih mudah diukur dan akurat dengan pengukuran pertumbuhan rata-rata yang dimulai dari pengukuran awal (Gardner et al. 1991) 2.4
Kondisi Ekologis Shorea parvifolia Dyer Suku Dipterocarpaceae meliputi tiga anak-suku dengan 16 marga dan lebih
dari 500 jenis yang hingga kini telah dikenal. Marga yang termasuk anak-suku Dipterocarpaceae adalah Shorea, Parashorea, Dipterocarpus (asal nama suku Dipterocarpaceae), Anisoptera, Vatica, Pentacme, Balanocarpus, Dryobalanops, Hopea, Upuna, Cotylelobium (Sutisna 2001). Pohon S. parvifolia Miq. dapat mencapai tinggi 60 meter dengan tinggi bebas cabang mencapai 35 meter dan diameter sampai 175 cm (Sutarno & Riswan 1997). Batangnya mempunyai kulit luar yang berwarna abu-abu atau coklat, sedikit
beralur
tidak
dalam,
mengelupas
agak besar-besar
dan tebal.
Penampangnya berwarna coklat muda sampai merah, bagian dalamnya kuning muda, kayu gubal berwarna kuning muda sampai kemerah-merahan, kayu teras berwarna coklat muda sampai merah (Heyne 1987). Menurut Wijaya (2006) ratarata riap diameter tanaman S. parvifolia sampai umur 7 tahun adalah 1,76 cm.
2.5
Kelerengan Lereng dapat didefnisikan sebagai sudut yang dibentuk oleh permukaan
dengan horisontal, dan menunjukkan habungan dari permukaan tempat tumbuh terhadap horisontal (Soetrisno 1998). Efek penting dari lereng adalah terhadap
7
pengaliran air di atas permukaan tanah dan drainase, dan melalui faktor-faktor kandungan air tanah. Efek penting lainnya adalah melalui pengeringan terhadap temperatur dan air dari permukaan tanah. Lereng merubah intensitas pengeringan dengan cara merubah sudut jatuh sinar matahari. Menurut Soetrisno (1998), kedalaman tanah dan kandungan air berubah secara langsung dengan besarnya lereng. Besar kecilnya lereng dan pengaruhnya terhadap keadaan tanah adalah sebagai berikut. Lereng-lereng kecil, kedalaman tanahnya sedang, suplai air biasanya banyak. Produksi dapat tinggi asalkan iklim baik. Lereng-lereng sedang, kedalaman tanah sedang, suplai air sedang. Tegakantegakan rapat dan produksi tinggi kalau iklim baik. Lereng-lereng curam, tanah biasanya dangkal, pohon-pohon tertentu tumbuh disini, terutama yang dangkal perakarannya. Lereng-lereng amat curam, tanahnya tipis dengan batu-batuan tersebar dipermukaan. Biasanya ditumbuhi pohon-pohon dan kecil. Selanjutnya menurut Soetrisno (1998), arah lereng juga berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon, karena arah lereng menentukan banyaknya sinar matahari yang diterima. Lereng yang mengarah ke kutub jauh lebih lembab dan lebih sejuk daripada yang mengarah ke khatulistiwa/equator. Lereng yang menghadap ke timur kena pengaruh matahari pagi, dan lebih terlindung dari pengaruh angin barat daya dan angin barat selama bagian siang hari yang terpanas. Lereng yang menghadap ke Timur bagus untuk pertumbuhan pohon dan seringkali ditandai dengan oleh tegakan-tegakan yang rapat dan yang baik pertumbuhannya. Begitu juga dengan lereng-lereng yang menghadap ke utara terlindung dari efek matahari selama siang hari dan juga terlindung dari efek angindan biasanya pertumbuhan pohon juga baik di sini. Lereng-lereng yang menghadap ke selatan keadaannya panas dan relatif kering seperti halnya dengan lereng-lereng yang menghadap ke barat. Keadaan kering di sini menyebabkan api lebih cepat merusak, sehingga pertumbuhan pohon umumnya terganggu.
2.6
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Sifat morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan
dipelajari di lapang. Sebagian dari sifat-sifat morfologi tanah merupakan sifat fisik tanah tersebut (Hardjowigeno 2003). Tekstur tanah adalah komposisi partikel
8
penyusun tanah (separat) yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir (berdiameter 2,00–0,020 mm), debu (berdiameter 0,20– 0,0020 mm), dan liat (< 2µm) (Hanafiah 2005). Struktur tanah adalah gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi, dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil ini mempunyai bentuk, ukuran, dan kemantapan yang berbeda-beda (Hardjowigeno 2003). Bulk density (kerapatan limdak) merupakan perbandingan berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bulk density juga merupakan petunjuk kepadatan tanah. Maka pada suatu tanah makin tinggi bulk density, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman (Hardjowigeno 2003). Reaksi tanah (pH tanah) menunujukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Semakin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Selain H +, ditemukan pula ion OH yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+ (Hardjowigeno 2003). Nilai pH tanah ini dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut (Hanafiah 2005). Jumlah total kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid bermuatan negative ini disebut Kapasitas Tukar Kation (KTK) (Hanafiah 2005). Sedangkan menurut Hardjowigeno (2003), Kapasitas Tukar Kation (KTK) adalah banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per satuan (biasanya per 100 g).