21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penggunaan Lahan Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup
lahan (land cover). Perbedaannya, istilah penggunaan lahan biasanya meliputi segala jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu. Kedua istilah ini seringkali digunakan secara rancu. Istilah lain tentang penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spritual (Vink, 1975). Sedangkan menurut Suparmoko (1995) penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng, permukaan tanah, kemapuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. Penggunaan lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah-daerah permukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi. Menurut Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik
22
seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan. Suatu unit penggunaan lahan mewakili tidak lebih dari suatu mental construct yang didisain untuk memudahkan inventarisasi dan aktivitas pemetaan (Malingreau dan Rosalia, 1981). Identifikasi, pemantauan dan evaluasi penggunaan lahan perlu selalu dilakukan pada setiap periode tertentu, karena ia dapat menjadi dasar untuk penelitian yang mendalam mengenai perilaku manusia dalam memanfaatkan lahan. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi bagian yang penting dalam usaha melakukan perencanaan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan keruangan di suatu wilayah. Prinsip kebijakan terhadap lahan perkotaan bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan pengadaan lahan untuk menampung berbagai aktivitas perkotaan. Dalam hubungannya dengan optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan penggunaan lahan diartikan sebagai serangkaian kegiatan tindakan yang sitematis dan terorganisir dalam penyediaan lahan, serta tepat pada waktunya, untuk peruntukan pemanfaatan dan tujuan lainnya sesuai dengan kepentingan masyarakat (Suryantoro, 2002). Penggunaan lahan dapat dikelompokan menjadi beberapa bagian, menurut (I Made Sandy, 1990), yaitu : a.
Kelas I yaitu lahan untuk perumahan;
b.
Kelas II yaitu lahan untuk perusahaan;
c.
Kelas III yaitu lahan untuk jasa;
23
d.
Kelas IV yaitu lahan untuk industri;
e.
Kelas V yaitu lahan kosong yang diperuntukan;
f.
Kelas VI yaitu lahan kosong yang tidak diperuntukan. Menurut Jamulya dan Sunarto (1991), bahwa “penggunaan lahan
dikelompokan ke dalam 2 (dua) golongan besar, penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian”, yaitu : Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air atau komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal penggunaan lahan seperti tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang dan sebagainya. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya.
2.2
Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan
lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto et al., 2001). Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari, dimana perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan dua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
24
Para ahli berpendapat bahwa perubahan penggunaan lahan lebih disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Menurut McNeil et al., (1998) faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan yang mempengaruhi terhadap pola perubahan penggunaan lahan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 yang menjelaskan skenario perubahan penggunaan lahan. Selanjutnya
pertumbuhan
ekonomi,
pertumbuhan
pendapatan
dan
konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh, meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan. Grubler (1998) mengatakan ada tiga hal bagaimana teknologi mempengaruhi pola penggunaan lahan. Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi transportasi meningkatkan efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam meningkatkan urbanisasi daerah perkotaan. Ketiga, teknologi transportasi dapat meningkatkan aksesibilitas suatu daerah.
25
Modernisasi Populasi meningkat
Kebijakan
Industrialisasi Hutan + Hutan -
Lahan kering + Lahan kering -
Padang ilalang + Padang ilalang -
Lahan tidak dimanfaatkan + Lahan tidak dimanfaatkan -
Degradasi Lingkungan
Gambar 2.1 Skenario Perubahan Penggunaan Lahan (dimodifikasi dari Bito dan Doi, 1999)
Menurut Adjest (2000) di negara Afrika Timur, sebanyak 70% populasi penduduk menempati 10% wilayah yang mengalami perubahan penggunaan lahan selama 30 tahun. Pola penggunaan lahan ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk, kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dan transmigrasi serta faktor sosial ekonomi lainnya. Akibatnya, lahan basah yang sangat penting dalam fungsi hidrologis dan ekologis semakin berkurang yang pada akhirnya meningkatkan peningkatan erosi tanah dan kerusakan lingkungan lainnya. Konsekuensi lainnya adalah berpengaruh terhadap ketahanan pangan yang berimplikasi semakin banyaknya penduduk yang miskin.
26
Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Penelitian yang membahas tentang perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap biofisik dan sosial ekonomi telah banyak dilakukan. Penelitian terhadap struktur ekonomi, yang dilakukan Somaji (1994) menyatakan bahwa pada tahun 1984 wilayah industri berperan sebanyak 13,05% dan meningkat menjadi 14,65% pada tahun 1990. Nilai ini dicapai akibat dari kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian selama kurun waktu 1981-1990 sebanyak 0,46%. Di daerah perkotaan perubahan penggunaan lahan cenderung berubah dalam rangka memenuhi kebutuhan sektor jasa dan komersial. Menurut Cullingswoth (1997), perubahan penggunaan yang cepat di perkotaan dipengaruhi oleh empat faktor, yakni : (1) adanya konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya; (2) aksesibilitas terhadap pusat kegiatan dan pusat kota; (3) jaringan jalan dan sarana transportasi, dan; (4) orbitasi, yakni jarak yang menghubungkan suatu wilayah dengan pusat-pusat pelayanan yang lebih tinggi.
27
2.3
Konsep Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk
penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukanmasukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai.
Klasifikasi kesesuaian lahan Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail
28
(skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N). •
Kelas
S1
:
Lahan
tidak
mempunyai
faktor
pembatas
yang
berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor
pembatas
bersifat
minor
dan
tidak
akan
berpengaruh
terhadap produktivitas lahan secara nyata. •
Kelas
S2
:
pembatas
Lahan
ini
akan
mempunyai
faktor
berpengaruh
pembatas,
terhadap
dan
faktor
produktivitasnya,
memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. •
Kelas dan
S3
:
faktor
Lahan pembatas
produktivitasnya,
mempunyai ini
akan
memerlukan
faktor sangat
tambahan
pembatas
yang
berpengaruh masukan
berat, terhadap
yang
lebih
banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan
atau
campur
tangan
(intervensi)
pemerintah
atau
pihak
swasta. •
Kelas
N
Lahan
yang
karena
sangat berat dan/atau sulit diatasi.
mempunyai
faktor
pembatas
yang
29
Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas kondisi perakaran (rc=rooting condition). Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Contoh kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan subkelas yang sama dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran terutama faktor kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1 kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan Unit 2 kedalaman efektif dangkal (<50 cm). Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang digunakan. Berbagai
sistem evaluasi
lahan
dilakukan
dengan
menggunakan
pendekatan yang berbeda seperti sistem perkalian parameter, sistem penjumlahan parameter dan sistem pencocokan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. (Sangat sesuai; Cukup sesuai; Sesuai marginal; tidak sesuai).
2.4
Sistem Informasi Geografis Dalam rangka mendeteksi perubahan yang terjadi di permukaan bumi
diperlukan suatu teknik yang dapat mengidentifikasi perubahan-perubahan atau fenomena melalui pengamatan pada berbagai waktu yang berbeda. Menurut Singh (1989) salah satu data yang paling banyak digunakan adalah data penginderaan
30
jauh dari satelit yang dapat mendeteksi perubahan karena peliputannya yang berulang-ulang dengan interval waktu yang pendek dan terus menerus. Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi untuk menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi sesuai kebutuhannya (Lo, 1996). Sedangkan definisi Sistem Informasi Geografis (SIG) menurut Chrisman (1997) adalah suatu sistem perangkat lunak maupun keras, data, orang, organisasi dan institusi yang melakukan pengumpulan, penyediaan, analisis menyimpulkan informasi yang meliputi area di bagian bumi. Jadi data tersebut dapat berupa data spasial dan tabular yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan. Analisis permodelan
dan
spasial
dikembangkan
penganalisisan
data
untuk
mengisi
spasial.
Rustiadi
kebutuhan et
al.,
akan (1999)
mendefinisikan analisis spasial sebagai suatu kemampuan umum untuk memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan mengetraksi pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis berbeda dengan peringkasan (summarization) data spasial. Rustiadi et al. (1999) mendefinisikan analisis spasial sebagai suatu kumpulan dari teknik-teknik analisis kejadian-kejadian geografis dimana hasilhasil analisis tergantung pada susunan spasial kejadian-kejadian tersebut. Bentuk dari ‘kejadian geografis’ ini dinyatakan dalam kumpulan obyek titik, garis, atau area. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi nilai-nilai atribut maupun geografi dari obyek-obyek yang dikumpulkan tersebut.
31
2.5
Perencanaan Wilayah Perencanaan pada dasarnya merupakan kegiatan yang berkaitan dengan
upaya pemanfaatan sumber daya dan faktor-faktor produksi yang terbatas untuk dapat mencapai hasil yang optimal sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal perencanaan wilayah menjadi penting karena beberapa hal (Tarigan, 2005) : •
Banyak potensi wilayah selain terbatas juga tidak mungkin lagi diperbanyak atau diperbaharui.
•
Kemampuan teknologi dan cepatnya perubahan dalam kehidupan manusia yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali.
•
Kesalahan perencanaan yang telah dilaksanakan di lapangan seringkali sulit untuk diubah atau diperbaiki kembali.
•
Lahan dibutuhkan oleh setiap manusia untuk mendukung kehidupannya. Sementara kemampuan setiap orang dalam mendapatkan lahan tidak sama sehingga perlu ada pengaturan penggunaan lahan.
•
Tatanan wilayah dan aktivitas manusia saling mempengaruhi.
•
Potensi wilayah yang diberikan alam perlu dimanfaatkan secara bijak untuk kemakmuran dalam jangka panjang dan berkesinambungan sehingga diperlukan perencanaan yang menyeluruh dan cermat.
Menurut Friedmann & Weaver (1979:129) perencanaan wilayah merupakan suatu upaya dalam membuat suatu formula bagi pusat-pusat pertumbuhan dengan mengabaikan dimensi-dimensi lain dari kebijakan wilayah. wilayah atau teritorial kebijakan-kebijakan khusus menjadi latar belakang diskusi
32
akademik. Sebagai kesimpulan dalam perencanaan wilayah perhatian tidak hanya diberikan sebatas pada sumber daya alam, implementasi politik dan organisasi administrasi bagi pembangunan pedesaan. Definisi perencanaan wilayah yang lebih komprehensif dan mungkin dengan orientasi yang berbeda diberikan oleh Profesor Kosta Mihailovic dalam faridad (1981:87), yang menyebutkan “pembangunan wilayah diartikan sebagai perubahan sosial ekonomi dalam berbagai tipe wilayah, hubungan interregional yang dinamis dan faktor-faktor relevan yang memiliki keterkaitan dengan tujuan dan hasil dari pembangunan.” Definisi ini menurut Faridad memiliki kelemahan kurang detail penjelasan secara ilmiah dan terlalu luas serta tidak menyentuh faktor-faktor yang relevan dalam pembangunan. Faridad (1981:94) sendiri mendefinisikan perencanaan wilayah sebagai suatu aplikasi dari model pertumbuhan bagi perencanaan pembangunan dengan rujukan yang sangat jelas dalam dimensi ruang bagi proses pembangunan. Sebagai alternatif, hal ini dapat ditunjukkan sebagai persiapan action plan pemerintah dengan mempertimbangkan aktivitas ekonomi dan pembangunan wilayah.
2.6
Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah pada dasarnya merupakan peningkatan nilai
manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata membaik, disamping menunjukkan lebih banyak sarana dan prasarana, barang dan jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya (Sirojuzilam, 2005).
33
Menurut Budiharso (2005) pengembangan wilayah setidak-tidaknya perlu ditopang oleh enam pilar/aspek; yaitu, aspek biogefisik, aspek ekonomi, aspek sosial dan budaya, aspek kelembagaan, aspek lokasi dan aspek lingkungan. Keenam pilar tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram seperti Gambar 2.2 berikut ini.
Aspek Biogeofisik
Aspek Kelembagaan
Aspek Sosial
Aspek Lokasi
Pengembangan Wilayah
Aspek Lingkungan
Aspek Ekonomi
Gambar 2.2 Enam Pilar Pengembangan Wilayah Sumber : Budiharso, 2005
Melalui diagram yang tergambar di atas, dapat dilakukan analisis dari berbagai aspek berkaitan dengan pengembangan wilayah; yaitu aspek biogeofisik, meliputi kandungan sumber daya hayati, sumber daya nirhayati, sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut. Aspek ekonomi meliputi kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam dan di sekitar wilayah. Aspek sosial meliputi budaya, politik dan pertahanan dan keamanan (Hankam) yang merupakan pembinaan kualitas sumber daya manusia. Aspek kelembagaan meliputi peraturan perundang-undangan yang berlaku baik dari pemerintah pusat maupun daerah, serta lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang ada di wilayah terssebut. Aspek
34
lokasi menunjukkan keterkaitan antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya yang berhubungan dengan sarana produksi, pengelolaan maupun pemasaran. Aspek lingkungan meliputi kajian mengenai bagaimana proses produksi mengambil input yang berasal dari sumber daya alam, apakah merusak atau tidak.
2.7
Banjir Banjir adalah luapan air sungai ke daerah alirannya akibat ketidak
mampuan sungai menampung air hujan karena adanya pendangkalan sungai ataupun pendangkalan saluran drainase. Curah hujan merupakan faktor utama, disamping faktor tanah dan tanaman atau faktor manusia. Banjir akan terjadi pada wilayah tersebut jika pada daerah tersebut turun hujan dalam jumlah, intensitas, dan waktu yang cukup lama. Menurut Isnugroho, (dalam Rouw, 2004) sedikitnya ada lima faktor penting penyebab banjir antara lain : (1) Curah hujan (2) Karakteristik daerah aliran sungai (DAS) (3) Kemampuan alur sungai mengalirkan air banjir (4) Perubahan tata guna lahan dan (5) Pengelolaan sungai meliputi tata wilayah, pembangunan sarana dan prasarananya hingga tata pengaturannya. Sedangkan menurut Undang-undang No. 24 tahun 2007, bencana didefinisikan sebagai peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana dapat disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
35
Kategori atau jenis banjir terbagi berdasarkan lokasi sumber aliran permukaannya dan berdasarkan mekanisme terjadinya banjir : 1.
Berdasarkan lokasi sumber aliran permukaannya, terdiri dari : a. Banjir kiriman (banjir bandang), yaitu banjir yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan didaerah hulu sungai. b. Banjir local yaitu banjir yang terjadi karena volume hujan setempat yang melebihi kapasitas pembuangan disutu wilayah.
2.
Berdasarkan mekanisme terjadinya banjir, yaitu : a. Regular flood yaitu banjir yang diakibatkan oleh hujan. b. Irregular flood yaitu banjir yang diakibatkan oleh selain hujan, seperti tsunami, gelombang pasang dan hancurnya bendungan.
2.8
Penelitian Terdahulu Suhardi Purwantoro dan Saiful Hadi (1997) dengan judul penelitian
“Studi Perubahan Penggunaan Lahan di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta Tahun 1987-1996 Berdasarkan Foto Udara”, menyimpulkan bahwa hasil interpretasi penggunaan lahan dari foto udara tahun 1987 dan 1996 menunjukkan penggunaan di daerah penelitian semakin bervariatif dan kompleks walaupun bila dilihat dari jumlah unit penggunaan lahan mengalami penurunan, terutama blok penggunaan lahan untuk permukiman. Penurunan jumlah blok lingkungan permukiman itu bukan karena hilangnya blok tersebut atau digunakan untuk penggunaan lahan lain tetapi hal itu justeru terjadi karena adanya perluasan blokblok lingkungan permukiman tersebut sehingga menyatu antara beberapa blok tersebut. Fenomena lainnya yang cukup menarik adalah perubahan penggunaan
36
lahan dari lahan pertanian (sawah) menjadi permukiman dan penggunaan lainnya. Perkembangan permukiman ini bila tidak dikendalikan, dalam jangka 25 tahun ke depan lahan pertanian perkotaan ini akan habis. Untuk masa mendatang, sebaiknya lahan pertanian yang tersisa dijadikan sebagai lahan perkotaan terhadap suplai dari daerah hinterland atau pedesaan di sekitarnya dapat dikurangi dan sekaligus sebagai penyeimbang ekologis lingkungan permukiman. Lydia Surijani tatura (2010) dengan judul penelitian “Kajian Perubahan Tata Guna Lahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Gorontalo” menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2001-2011. Terbentuknya Provinsi Gorontalo pada tahun 2000 cukup mempengaruhi pemanfaatan lahan di Kota Gorontalo sebagai Ibukota Provinsi, yaitu perubahan penggunaan lahan dalam hal luas juga dalam hal fungsi. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan di Kota Gorontalo yaitu adanya pembangunan yang menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Gorontalo, sehingga diharapkan bagi Pemda, Investor dan Masyarakat sebagai pelaku pembangunan mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan. Abd. Rahman As-Syakur (2011) dengan judul penelitian “Perubahan Penggunaan Lahan di Provinsi Bali”, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa penggunaan lahan permukiman dan sawah irigasi merupakan tipe penggunaan lahan terluas yang mengalami perubahan, sedangkan tipe penggunaan lahan penggaraman tidak mengalami perubahan. Gambaran spasial memperlihatkan bahwa wilayah selatan dan tengah Provinsi Bali merupakan wilayah yang paling banyak mengalami perubahan. Untuk wilayah administrasi di Provinsi Bali yang
37
mengalami perubahan lahan terluas adalah di Kabupaten Badung, dimana perubahan lahan terjadi dari lahan non permukiman menjadi lahan permukiman. Namun selain di Kota Depansar, Kabupaten Badung juga mengalami perubahan berupa terjadinya penambahan luas hutan mangrove. Robet Jaksen Sembiring (2013) dengan judul penelitian “Analisis Alih Fungsi Lahan terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang” menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil analisis tumpang tindih antara peta penggunaan lahan tahun 2000 dengan peta penggunaan lahan tahun 2010 di Kecamatan Sunggal terdapat perubahan lahan yang cukup signifikan pada wilayah penelitian, dimana terjadi kecenderungan perubahan penggunaan lahan pertanian sawah menjadi penggunaan lahan non pertanian.
2.9
Kerangka Penelitian Kerangka pemikiran merupakan alur
penelitian yang dipakai oleh
seorang peneliti. Pada kerangka pemikiran ini berisi gambaran mengenai langkahlangkah penelitian akan dilakukan. Pada penelitian Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat, variabel-variabel yang akan dijadikan alat untuk bahan analisis antara lain adalah penggunaan lahan eksisting yang telah lalu dan penggunaan lahan eksisting yang baru, serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Langkat. Berdasarkan variabel-varibel tersebut akan dilihat apakah terjadi perubahan penggunaan lahan dan bagaimana kaitan antara hasil analisis penggunaan lahan dan rencana pola ruang yang ada apakah sudah memiliki kesesuaian.
38
Selanjutnya hasil kesesuaian penggunaan lahan di Kecamatan Stabat akan dikaitkan dengan daerah yang merupakan rawan bencana banjir, dan kemudian dibuat suatu arahan penggunaan lahan untuk pengembangan wilayah yang lebih baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3.
PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING (LAMA)
PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING (BARU)
ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
DAERAH RAWAN BENCANA BANJIR
POLA PENGGUNAAN RUANG (RTRW)
KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH
ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN STABAT DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
39
2.10
Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara dari sebuah penelitian yang
akan dilakukan oleh si peneliti. Untuk menemukan jawaban sementara maka dilakukan penelaahan terhadap data primer dan sekunder yang ada. Dari data-data tersebut, maka dapat dikemukakan jawaban sementara yang menjadi hipotesis dari penelitian ini, yaitu : 1.
Berdasarkan statistik, dalam kurun waktu 7 tahun terakhir luas lahan pertanian di Kecamatan Stabat terus mengalami penurunan. Penurunan luas lahan ini diduga telah dialih fungsikan menjadi lahan non pertanian.
2.
Kecamatan Stabat merupakan Pusat Kegiatan Lokal (PKL), yang memiliki fungsi
utama
sebagai
pusat
pemerintahan
kabupaten,
permukiman,
perdagangan regional, pengolahan hasil pertanian pangan dan pelayanan masyarakat. 3.
Persepsi
masyarakat
dengan
adanya
perubahan
penggunaan
lahan
memberikan dampak terhadap terjadinya bencana banjir di Kecamatan Stabat.