BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan ekonomi bertujuan untuk menaikkan tingkat hidup dan kesejahteraan rakyat dengan terpenuhinya kebutuhan dasar. Menurut Soemarwoto (1987) kebutuhan dasar terdiri atas tiga bagian yaitu kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati, kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup yang manusiawi, dan derajat kebebasan untuk memilih. Pada prosesnya, pembangunan ekonomi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup sebagai sumber daya dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Peningkatan produksi barang dan jasa dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia dapat menyebabkan menipisnya sumber daya alam serta terjadinya pencemaran lingkungan terutama untuk negara-negara sedang berkembang yang baru memulai pembangunannya. Kedua dampak negatif ini akan mempengaruhi aktivitas perekonomian selanjutnya, di mana penipisan cadangan sumber daya alam akan mengurangi kemudahan dalam memenuhi kebutuhan manusia serta pencemaran lingkungan akan merusak kualitas produktivitas, kesehatan, dan kenyamanan hidup manusia. Maka dari itu pembangunan ekonomi haruslah bersifat pembangunan yang berwawasan lingkungan yaitu pembangunan berkelanjutan yang tidak menguras sumber daya alam dan merusak lingkungan (Suparmoko, 2015). 13
Pada hakikatnya, pembangunan yang berkelanjutan ditujukan untuk mencapai pemerataan pembangunan antargenerasi masa kini maupun masa mendatang (Jaya, 2004). Fauzi (2004) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan didasarkan pada tiga alasan, yaitu : 1) Alasan moral. Generasi masa kini secara moral harus memperhatikan ketersediaan sumber daya alam agar tetap dapat dinikmati oleh generasi masa mendatang dengan menggunakannya secara bijak dan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. 2) Alasan Ekologi. Aktivitas ekonomi harus diarahkan pada kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang diiringi dengan pelestariannya sehingga tidak mengancam fungsi ekologi, misalnya keaneragaman hayati. 3) Alasan
Ekonomi.
Kompleksitas
ekonomi
berkelanjutan
masih
menimbulkan perdebatan sehingga pengukuran keberlanjutan dari sisi ekonomi
ini
hanya
dibatasi
pada
pengukuran
kesejahteraan
antargenerasi (intergeneration welfare maximization). Untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, Ramly dalam Kurnianto (2008) menyatakan berdasarkan substansi Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Indonesia telah mengatur dan menetapkan : “Pengelolaan lingkungan hidup harus berasaskan pelestarian lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan manusia serta kesinambungan generasi.”
14
Menindaklanjuti undang-undang tersebut, Kementrian Lingkungan Hidup mengembangkan dua instrumen untuk memelihara keserasian dan keseimbangan antara pembangunan dan lingkungan. Kedua instrumen tersebut adalah AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan SEMDAL (Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan). AMDAL merupakan instrumen yang menganalisis perbandingan dampak positif dan negatif yang mungkin terjadi dari suatu proyek pembangunan. Jika dampak positifnya lebih besar daripada dampak negatifnya terhadap lingkungan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar, maka proyek pembangunan dapat diteruskan. Sebaliknya jika lebih besar dampak negatifnya, maka proyek di lokasi tersebut tidak dapat dilaksanakan. Adapun SEMDAL merupakan instrumen yang mengukur dampak yang telah terjadi akibat suatu kegiatan yang sudah berjalan dan mengestimasi tindakan yang harus dilakukan untuk menanggulangi dampak tersebut. 2. Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan memberikan pengertian seputar kepariwisataan sebagai berikut : 1) Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. 2) Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata. 3) Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. 4) Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.
15
5) Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. 6) Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Yoeti (1997) menyatakan bahwa alasan utama pengembangan pariwisata pada suatu daerah adalah untuk kepentingan perekonomian daerah baik secara lokal, regional maupun nasional di daerah atau negara itu sendiri. Dengan begitu, pengembangan pariwisata ini selalu akan memperhitungkan keuntungan dan manfaat bagi masyarakat luas. Keuntungan dan manfaat pengembangan pariwisata ini berupa terciptanya lapangan kerja yang cukup luas bagi masyarakat setempat, dan menghasilkan permintaan baru akan potensi daerah. Pemasukan yang diterima dari wisatawan secara otomatis akan meningkatkan penerimaan devisa negara, pendapatan nasional, dan penerimaan pajak sehingga memperkuat posisi neraca pembayaran negara. Alasan
selanjutnya,
Yoeti
(1997)
mengungkapkan
bahwa
pengembangan pariwisata lebih banyak bersifat non ekonomis, yakni salah satu motivasi wisatawan adalah untuk menikmati daya tarik wisata yang disajikan di lokasi wisata seperti wisata alam yang menyajikan keindahan alam meliputi cagar alam, kebun raya, perkebunan, dan lain sebagainya. Seiring adanya pengembangan pariwisata, terdapat dampak atau isu yang berkembang. Hadi dalam Kurnianto (2008) menyatakan bahwa pariwisata yang ada saat ini cenderung bersifat wisata masal (mass tourism) yang hanya
16
berorientasi untuk sekedar menikmati keindahan alam tanpa mempertimbangkan nilai tambah bagi masyarakat (local value added), nilai sosial budaya dan dampak lingkungan. Pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan diharapkan dapat mendorong potensi ekonomi dan upaya pelestarian lingkungan baik pelestarian alam, kekayaan hayati maupun kekayaan budaya. Namun adanya pariwisata masal yang terjadi saat ini justru menimbulkan dampak negatif terhadap sosial budaya dan kerusakan lingkungan. Maka dari itu, proses pengembangan pariwisata yang berdampak pada perubahan lingkungan alami ini perlu dipantau dan diikuti perkembangannya untuk mencegah dampak negatif yang lebih parah dan semakin mahal
penanggulangannya
sehingga
tercapai
pariwisata
berkelanjutan.
Pengembangan pariwisata berkelanjutan bertujuan untuk mengintegrasikan pertimbangan ekonomi, sosial budaya ke dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan di seluruh komponen industri wisata. Secara bersamaan ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini dan menjaga serta mendorong kesempatan wisata yang sama di masa yang akan datang. Konsep pengembangan kepariwisataan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan landasan ideal untuk pengembangan program pariwisata Kabupaten Kulonprogo terutama pengembangan obyek wisata Waduk Sermo. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Induk
Pengembangan
Kepariwisataan
(RIPP)
Daerah
tahun
2015-2025
pengembangan obyek wisata Waduk Sermo bertemakan alam tirta dengan basis pengembangan sebagai area wisata air dan olahraga.
17
3. Barang Publik Lingkungan memiliki sifat sebagai barang publik yaitu barang yang jika dikonsumsi seseorang tidak akan mengurangi konsumsi untuk lainnya serta siapapun tidak bisa mencegah dalam pemanfaatannya (Prasetyia, 2012). Sifat barang publik yang melekat pada lingkungan ini mengakibatkan terbengkalainya sumber daya lingkungan disebabkan ketiadaan atau kelangkaan pihak swasta ataupun individu yang mau memelihara maupun melestarikannya (Suparmoko, 2015). Menurut Hyman (2010), barang publik memilik dua karakteristik, yaitu : 1) Nonrivalry in consumption, artinya bahwa jumlah tertentu dari barang publik yang dikonsumsi oleh sekelompok atau individu tidak akan mengurangi jumlah atau volume yang tersedia untuk konsumsi kelompok atau individu lainnya. 2) Nonexclusion, artinya tidak akan ada penolakan terhadap suatu pihak atau individu dalam mengkonsumsi barang publik walaupun mereka tidak bersedia membayar. Dengan kata lain semua orang berhak memanfaatkan dan menikmati lingkungan meskipun tidak bersedia membayar dalam mengkonsumsi lingkungan tersebut. Menurut Nugroho (2010), kedua karakteristik barang publik di atas menyebabkan seseorang sebagai individu tidak akan mengusahakan pemeliharaan dan pelestarian lingkungan. Sedangkan menurut Prasetyia (2012), terdapat tiga masalah yang timbul dari barang publik : 1) Pemanfaatan dari barang publik yang cenderung eksploitatif atau berlebihan.
18
2) Barang publik tidak memiliki harga karena sulitnya menentukan standar harga serta dikarenakan barang publik yang tidak diperdagangkan. 3) Tidak adanya keuntungan sehingga tidak ada ataupun langka suatu pihak atau individu bersedia untuk memelihara dan melestarikannya. Teori Pigou merupakan salah satu teori barang publik yang membahas tentang penyediaan barang publik dengan pembiayaan melalui pajak yang dipungut dari masyarakat. Pigou berpendapat bahwa penyediaan barang publik harus dilakukan sampai pada suatu tingkat di mana kepuasan marginal pemanfaatan barang publik sama dengan ketidakpuasan marginal pajak yang dipungut untuk membiayai program pemerintah dalam menyediakan barang publik (Prasetyia, 2013). Kepuasan Batas Akan Barang Pemerintah
Budget Pemerintah
Sumber : Mangkoesoebroto (1999)
Gambar 2.1. Kurva Penyediaan dan Pembiayaan Barang Publik yang Optimal Pada Gambar 2.1., kurva kepuasan akan barang publik ditunjukkan oleh kurva U dengan bentuk yang menurun. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak barang publik yang dihasilkan maka akan semakin rendah kepuasan 19
marginal barang publik yang dirasakan oleh masyarakat. Sebaliknya, kurva ketidakpuasan ditunjukkan oleh kurva P dengan bentuk yang meninggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak pajak yang dipungut maka semakin besar ketidakpuasan marginal barang publik yang dirasakan oleh masyarakat. Keadaan optimum ditunjukkan oleh titik E di mana kepuasan marginal barang publik sama dengan ketidakpuasan marginal pajak yang dirasakan oleh masyarakat. Teori Pigou memiliki kelemahan, yaitu mendasarkan analisanya pada rasa kepuasan marginal dan rasa ketidakpuasan marginal pajak yang dirasakan masyarakat. Pada hakikatnya kepuasan dan ketidakpuasan tersebut adalah sesuatu yang bersifat ordinal sehingga tidak dapat diukur secara kuantitatif. 4. Eksternalitas Eksternalitas merupakan ciri lain dari barang lingkungan. Eksternalitas diartikan sebagai suatu dampak baik manfaat maupun biaya akibat suatu kegiatan yang dirasakan oleh seseorang atau suatu pihak diluar pihak pelaksana tanpa ada pembayaran sama sekali (Suparmoko, 2015). Dalam Prasetyia (2013), eksternalitas terbagi dua macam yaitu : 1) Eksternalitas positif, yaitu manfaat yang dirasakan oleh orang lain akibat tindakan seseorang, tetapi manfaat tersebut tidak dialokasikan di dalam sistem pasar. 2) Eksternalitas negatif, yaitu biaya yang dikenakan pada orang lain di luar sistem pasar sebagai hasil dari suatu kegiatan produktif. Eksternalitas negatif jika ditambahkan dengan biaya privat maka disebut biaya sosial yaitu suatu kegiatan menimbulkan biaya yang harus dibayar
20
sendiri (internal cost) serta harus dibayar orang lain (external cost). Masalah pencemaran lingkungan serta kerusakan lingkungan merupakan biaya sosial yang selanjutnya dianggap sebagai biaya pembangunan ekonomi (Suparmoko, 2015). Prasetyia (2013) menyatakan bahwa penentuan pihak yang harus menanggung biaya sosial tanpa adanya intervensi pemerintah ditentukan berdasarkan Teori Coase yang dikemukakan oleh Ronald Coase. Teori Coase berpendapat untuk melakukan tawar-menawar antara pihak-pihak terkait eksternalitas mengenai alokasi sumber daya untuk menyelesaikan masalah eksternalitas mereka. Lanjutnya, agar solusi Coase ini efisien, maka terdapat dua asumsi yang harus dipenuhi yaitu tidak adanya biaya transaksi serta kerusakan yang terjadi dapat diukur. Eksternalitas dapat menimbulkan inefisiensi pasar, yaitu suatu kondisi pasar yang tidak dapat mengalokasikan sumber daya ekonomi secara efisien karena ketidakmampuan harga pasar dalam mencerminkan manfaat atau biaya bagi pihak lain. Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan intervensi pemerintah dengan cara sebagai berikut : 1) Regulasi, yaitu suatu tindakan dalam mengendalikan perilaku masyarakat atau individu dengan aturan. 2) Penetapan pajak, yaitu bertujuan untuk memberikan insentif bagi pemilik pabrik agar dapat mengurangi polusi sebanyak-banyaknya akibat biaya sosial yang ditimbulkannya. 3) Pemberian subsidi, yaitu dilakukan ketika manfaat sosial melebihi dari manfaat pribadi.
21
5. Valuasi Ekonomi Lingkungan Dalam
ilmu
ekonomi,
konsep
valuasi
berhubungan
dengan
kesejahteraan manusia. Jadi nilai ekonomi dari fungsi ekosistem adalah kontribusi seseorang yang diukur dari segi penilaian masing-masing individu untuk mencapai tujuan tertentu. Valuasi ekonomi atas barang dan jasa lingkungan muncul akibat meningkatnya permintaan untuk barang dan jasa lingkungan karena penurunan ketersediaan sumber daya lingkungan dan alam dari periode ke periode. Singkatnya, valuasi ekonomi berkaitan dengan metode analisis tertentu untuk memperoleh nilai kuantitatif dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan baik berdasarkan atas nilai pasar (market value) maupun nilai non-pasar (non market value). Kementrian Negara dan Lingkungan Hidup dalam Soemarno (2010), mendefinisikan valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan sebagai : ”pengenaan nilai moneter terhadap sebagian atau seluruh potensi sumberdaya alam sesuai dengan tujuan pemanfaatannya”. Valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan yang dimaksud adalah nilai ekonomi total (total net value), nilai pemulihan atas pencemaran atau kerusakan serta pencegahan atas pencemaran atau kerusakan. Menurut Suparmoko dan Suparmoko dalam Soemarno (2010), ekonom membagi nilai menjadi dua kategori utama yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai instrinsik (non use value). 1) Nilai penggunaan (use value) berupa keterlibatan fisik dengan beberapa aspek ekosistem. Nilai ekonomi atas dasar penggunaan (use value) dibedakan menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai
22
penggunaan tidak langsung (indirect use value), dan nilai atas dasar pilihan penggunaan (option use value). 2) Nilai instrinsik (non use value) berupa penggunaan yang tidak melibatkan interaksi fisik. Nilai ekonomi atas dasar bukan penggunaan (non use value) dibedakan menjadi nilai atas dasar warisan dari generasi sebelumnya (bequest value) dan nilai karena keberadaannya (existence value). Total Economic Value
Non Use Value
Use Value
Direct Use Value
Indirect Use Value
Option Value
Bequest Value
Existance Value
Sumber : Munasinghe (1993)
Diagram 2.1. Klasifikasi Nilai Ekonomi Total Selanjutnya, secara matematis Soemarno (2010) menuliskan Total Economic Value (TEV) dengan persamaan sebagai berikut : TEV
= UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV)
Dimana :
TEV = Total Economic Value atau Nilai Ekonomi Total UV = Use Value atau Nilai Penggunaan NUV = Non Use Value atau Nilai Intrinsik DUV = Direct Use Value atau Nilai Penggunaan Langsung
23
IUV = Indirect Use Value atau Nilai Penggunaan Tidak Langsung OV = Option Use Value atau Nilai Pilihan BV = Bequest Value atau Nilai Warisan EV
= Existance Value atau Nilai Keberadaan
Aplikasi dari valuasi ekonomi menunjukkan adanya hubungan antara pembangunan ekonomi dengan konservasi sumber daya alam. Dengan adanya pemahaman tentang konsep valuasi ekonomi ini diharapkan para pengambil kebijakan
dapat
menentukan
keputusan
penggunaan
atau
pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan yang efektif dan efisien. Maka dari itu, valuasi ekonomi menjadi alat yang penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Lingkungan sebagai barang publik adalah barang yang tidak dapat terukur secara fisik-kuantitatif sehingga sulit untuk menilainya dengan bentuk moneter atau uang, tetapi sangat jelas lingkungan merupakan suatu komoditas yang banyak dibutuhkan. Dengan kata lain, lingkungan merupakan barang yang tidak memiliki pasar (non market goods). Lingkungan memiliki manfaat fungsi ekologis yang sering tidak terkuantifikasi dalam perhitungan nilai lingkungan secara menyeluruh seperti keindahan alam, kejernihan air sungai, dan udara bersih. Pentingnya fungsi ekonomi dan non ekonomi dari lingkungan maka diperlukan penilaian yang komprehensif meliputi nilai pasar (market value) barang serta nilai jasa yang dihasilkan lingkungan tersebut. Fauzi (2004) menyatakan bahwa penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (Cost Benefit Analysis) konvensional seringkali tidak mampu menjawab 24
permasalahan di atas. Hal ini dikarenakan dalam analisis biaya dan manfaat (Cost Benefit Analysis) konvensional seringkali manfaat ekologis tidak dihitung. Dengan begitu, telah dikembangkan metode valuasi ekonomi barang non pasar (non market goods) yang digambarkan dalam Diagram 2.2.
Valuasi Non Market
Tidak Langsung (Revealed WTP)
Travel Cost Method (TCM)
Hedonic Price
Langsung (Survei Expressed WTP)
Random Utility Model
Contingent Valuation Method (CVM)
Sumber : Fauzi (2004)
Diagram 2.2. Metode Valuasi Ekonomi Non-Pasar 1) Valuasi Tidak Langsung Metode valuasi tidak langsung adalah metode valuasi yang mengandalkan harga implisit dengan kesediaan membayar (willingness to pay) yang terungkap melalui model yang dikembangkan. Terdapat tiga macam teknik yang termasuk dalam kelompok ini, yaitu Travel Cost Method (TCM), Hedonic Price, dan metode yang relatif baru yaitu Random Utility Model. (a) Travel Cost Method (TCM), yaitu suatu metode yang menganalisis permintaan terhadap rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation) dengan prinsip mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat rekreasi tersebut.
25
(b) Hedonic Price, yaitu suatu metode untuk mengestimasi nilai implisit karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk serta mengkaji hubungan antara karakteristik tersebut dengan permintaan barang dan jasa. 2) Valuasi Langsung Metode Valuasi Langsung yaitu suatu metode valuasi yang didasarkan pada survei secara langsung dengan memperoleh informasi kesediaan membayar (willingness to pay) secara langsung dari responden. Salah satu metode valuasi ekonomi yang sangat populer pada saat ini adalah Metode Kontingensi/Contingent Valuation Method (CVM) karena kemampuannya dalam mengukur nilai penggunaan (use value) dan nilai non pengguna (non-use value) dengan baik. Menurut Yakin dalam Prasetyo dan Saptutyningsih (2013), Contingent Valuation Method (CVM) adalah suatu metode teknik survei untuk menanyakan kepada penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Tujuan dari Contingent Valuation Method (CVM)
adalah
untuk
mengetahui
kesediaan
untuk
membayar/Willingness to Pay (WTP) dari masyarakat serta mengetahui kesediaan untuk menerima/Willingness to Accept (WTA) kerusakan suatu lingkungan. Adapun Willingness to Pay (WTP) dapat diartikan sebagai berapa besar orang mau membayar untuk memperbaiki lingkungan yang rusak (kesediaan konsumen untuk membayar),
26
sedangkan willingness to accept adalah berapa besar orang mau dibayar untuk mencegah kerusakan lingkungan (kesediaan produsen menerima kompensasi)
dengan
adanya
kemunduran
kualitas
lingkungan
(Soemarno, 2010). Willingness to Pay (WTP) dan Willingness to Accept (WTA) dapat merefleksikan preferensi individu dengan baik sehingga berfungsi sebagai parameter dalam valuasi ekonomi. Menurut Prasetyo dan Saptutyningsih (2013) keunggulankeunggulan dari penggunaan Contingent Valuation Method (CVM) adalah sebagai berikut: 1) Sifatnya yang fleksibel dan dapat diterapkan pada beragam kekayaan lingkungan, tidak hanya terbatas pada benda atau kekayaan alam yang terukur secara nyata di pasar saja. 2) Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal yang penting, yaitu sering kali menjadi hanya satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat, dapat diaplikasikan berbagai konteks kebijakan lingkungan. 3) Dapat digunakan dalam berbagai macam studi barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat. 4) Contingent Valuation Method (CVM) memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna (non use value). Seseorang yang menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang lingkungan bahkan jika digunakan secara langsung.
27
5) Kapasitas Contingent Valuation Method (CVM) dapat menduga nilai non pengguna (non use value). 6) Responden dapat dipisahkan ke dalam kelompok pengguna dan non pengguna sesuai dengan informasi yang didapatkan dari kegiatan wawancara, sehingga memungkinkan perhitungan nilai tawaran pengguna dan pengguna secara terpisah 6. Kesediaan Membayar (Willingness To Pay) Menurut Syakya (2005), willingness to pay adalah suatu metode penilaian yang bertujuan untuk mengetahui pada level berapa seseorang mampu membayar untuk memperbaiki lingkungan jika ingin lingkungannya menjadi baik. Penilaian personal dari responden ini didasarkan pada hipotesis pasar untuk meningkatkan atau menurunkan jumlah dari beberapa barang. Responden akan memberikan informasi jika terdapat pasar yang menyediakan barang tersebut, berapakah batas maksimum kesediaannya membayar (willingness to pay) untuk perbaikan kualitas lingkungan dan batas minimum kesediaannya menerima (willingness to accept) untuk penurunan kualitas lingkungan. Untuk mengungkap nilai willingness to pay seseorang dalam memperbaiki kualitas lingkungan, Field dan Field dalam Nugroho (2010) menyatakan terdapat tiga cara yang bisa digunakan, yaitu: 1) Melihat
besarnya
pengeluaran
seseorang
untuk
mengurangi
kerugiannya akibat kualitas lingkungan yang buruk. 2) Melihat nilai pasar dari barang atau jasa yang berada di dua pasar dengan kualitas lingkungan berbeda.
28
3) Melakukan survei dengan menanyakan langsung kesediaan membayar seseorang untuk menikmati kualitas lingkungan yang lebih baik. B. Hasil Penelitian Terdahulu Selama ini sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan dalam mengukur nilai atau manfaat ekonomi atas barang dan jasa lingkungan ke dalam bentuk moneter atau uang. Terdapat berbagai metode yang digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut seperti Metode Kontingensi/Contingent Valuation Method (CVM), Metode Biaya Perjalanan/Travel Cost Method (TCM), dan Metode Biaya Hedonik/Hedonic Price Method. Meskipun demikian, penelitian serupa masih perlu dilakukan mengingat tempat dan waktu serta penggunaan variabel-variabel independen yang digunakan berbeda sehingga akan memberikan hasil yang berbeda pula. Jala dan Nandagiri (2015) melakukan penelitian dengan judul “Evaluation of Economic Value of Pilikula Lake using Travel Cost and Contingent Valuation Methods”. Variabel independen yang digunakan untuk Contingent Valuation Method (CVM) adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan responden, serta perilaku kontinjensi meliputi persepsi layanan yang tersedia, pengetahuan kualitas air danau, willingness to pay untuk perbaikan kualitas air danau dan fasilitas serta harapan pemanfaatan dan tingkat kunjungan danau di masa depan. Sedangkan variabel independen untuk Travel Cost Method (TCM) adalah mengenai informasi perjalanan meliputi asal keberangkatan, jumlah kunjungan selama satu tahun terakhir dan biaya (biaya akomodasi, transportasi, dan tiket masuk). Adapun hasil penelitiannya adalah
29
tingkat pendidikan, jenis kelamin dan status perumahan responden mempengaruhi nilai willingness to pay fasilitas tambahan. Sedangkan variabel pribadi dan demografi seperti usia, pendapatan, jenis kelamin, pendidikan dan status perumahan mempengaruhi rata-rata willingness to pay pengunjung untuk manfaat rekreasi menurut metode Travel Cost Method (TCM). Penelitian lainnya yang dilakukan Waktola (2014) dengan judul “Economic Valuation of The Recreational Use Value of Babogayya Lake (Bishoftu Town): By Travel Cost Method”. Variabel independen yang digunakan adalah total biaya perjalanan, pendapatan, umur, jarak, tingkat pendidikan, status perkawinan, jenis transportasi, jenis kunjungan (individu atau kelompok), durasi waktu rekreasi, preferensi musim, preferensi hari. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa total biaya perjalanan dan pendapatan responden berpengaruh negatif dan signifikan menentukan jumlah kunjungan. Selain itu dari penelitiannya diperoleh jumlah manfaat tahunan objek wisata Danau Babogaya adalah sebesar $90.811.935,5959 dengan jumlah surplus konsumen tahunannya adalah sebesar $39.231.916,3559. Adapun Kurnianto (2008) melakukan penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Ekowisata (Ecotourism) Di Kawasan Waduk Cacaban Kabupaten Tegal”. Metode penelitian yang digunakannya adalah metode deskriptif kualitatif. Variabel penelitian yang diamati adalah pola pemanfaatan lahan, potensi kawasan dan kebijakan serta peran institusi dalam pengembangan ekowisata (ecotourism). Adapun hasil penelitiannya menyatakan bahwa pola pemanfaatan lahan di kawasan waduk Cacaban belum mendukung upaya konservasi tanah dan
30
kelestarian waduk Cacaban sehingga potensi pengembangan ekowisata di kawasan waduk Cacaban secara spesifik harus dibedakan sesuai dengan daerah peruntukan. Dan dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan ekowisata di kawasan waduk Cacaban secara intesif harus melibatkan Pemerintah Kabupaten Tegal, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, Perum Perhutani dan masyarakat dalam bentuk Badan Pengelola Ekowisata Waduk Cacaban. Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2010) berjudul “Valuasi Ekonomi Wisata Pantai Glagah Dengan Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost) Di Desa Glagah Kecamatan Temon Kabupaten Kulonprogo”. Metode penelitian yang digunakannya adalah Travel Cost Method (TCM), Ordinary Least Square (OLS), dan Trend. Adapun variabel independen yang digunakan dalam penelitiannya adalah biaya perjalanan, pendapatan, pendidikan, jarak dan usia. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa biaya perjalanan, pendapatan, pendidikan, jarak, usia berpengaruh signifikan terhadap willingness to pay wisata Pantai Glagah dengan adanya pembangunan pelabuhan internasional. Selain itu diperoleh bahwa surplus konsumen Pantai Glagah yaitu sebesar Rp 123.111.763,2 dengan total willingness to pay sebesar Rp.459,275/ pengunjung dengan trend jumlah kunjungan yang cenderung mengalami kenaikan, yaitu dengan rata-rata kunjungan sebanyak 16.055 orang/tahun. Amanda (2009) telah melakukan penelitian dengan judul “Analisis Willingness To Pay Pengunjung Obyek Wisata Danau Situgede Dalam Upaya Pelestarian Lingkungan”. Metode penelitian yang digunakannya adalah contingent Valuation Method (CVM) dengan variabel independen yang digunakannya yaitu
31
jenis kelamin, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, domisili, persepsi terhadap kualitas dan pelayanan serta atribut-atribut wisata danau situgede, pengetahuan tentang manfaat situ atau danau, frekuensi kunjungan, biaya perjalanan, dan besarnya dana yang bersedia pengunjung bayarkan. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi willingness to pay pengunjung Danau Situgede adalah faktor tingkat usia, tingkat pendidikan, dan pemahaman serta pengetahuan responden mengenai manfaat dan kerusakan danau. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai willingness to pay adalah faktor tingkat pendapatan, pemahaman serta pengetahuan responden mengenai manfaat dan kerusakan danau, serta faktor biaya kunjungan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Kumesan (2015) dengan judul “Valuasi Ekonomi Wisata Alam Danau Linow Tomohon Berdasarkan Biaya Perjalanan Wisatawan Lokal”. Metode yang digunakan adalah Travel Cost Method (TCM) dengan variabel independen yang digunakannya adalah jumlah kunjungan wisatawan, dan biaya perjalanan wisatawan lokal. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa biaya perjalanan berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan wisatawan. Adapun nilai ekonomi willingness to pay yang diperoleh yaitu sebesar Rp. 167.917,21/individu, sedangkan biaya yang dikeluarkan secara nyata yaitu sebesar Rp 134.649,13/individu, serta surplus konsumen yaitu sebesar Rp 33.268,08/ individu. Adapun Prasetyo dan Saptutyningsih (2013) telah melakukan penelitian berjudul “Bagaimana Kesediaan Untuk Membayar Peningkatan
32
Kualitas Lingkungan Desa Wisata?” dengan studi kasus desa-desa wisata di Kabupaten Sleman pascaerupsi Gunung Merapi meliputi desa wisata Srowolan, desa wisata Brayut, desa wisata Kelor, desa wisata Kembangarum dan desa wisata Pentingsari. Metode penilaian yang digunakannya adalah Contingent Valuation Method (CVM). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa usia, pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga berpengaruh terhadap willingness to pay dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di Kabupaten Sleman pascaerupsi Merapi. C. Kerangka Penelitian Sumber daya alam merupakan salah satu modal penting dalam pelaksanaan pembangunan. Berbagai negara di dunia berupaya mengelola sumber daya yang ada dengan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan meningkatkan kesejahteraannya. Aktivitas pembangunan dapat dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan hidup sehingga dalam pemanfaatan dan pengelolaannya harus berwawasan lingkungan agar terwujud pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan
yaitu pembangunan
yang tidak menguras sumber daya alam dan merusak lingkungan sehingga tercapai pemerataan pembangunan antargenerasi masa kini maupun masa mendatang (Suparmoko, 2015; Jaya, 2004). Sektor pariwisata merupakan salah satu kontributor utama sumber pendapatan negara bagi perekonomian sebagai modal pembangunan. Peranan penting sektor pariwisata dalam pembangunan perekonomian tercermin dalam kontribusinya pada pendapatan asli daerah serta sebagai penyedia lapangan kerja
33
bagi masyarakat lokal. Terlebih lagi, objek wisata yang memiliki fungsi ganda harus diberikan perhatian khusus oleh pemerintah. Maka dari itu, pemerintah daerah kabupaten Kulonprogo akan terus berbenah diri berupaya meningkatkan citra objek wisata Waduk Sermo untuk mendongkrak kunjungan wisatawannya (Antara Jogja.com, Diakses tanggal 28 Oktober 2016 pkl 15.01 WIB). Objek Wisata Waduk Sermo yang terletak di Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo ini memiliki keindahan alam dan lingkungan yang alami. Waduk ini terhampar dikelilingi perbukitan yang masih tampak hijau serta udara yang segar memberikan ketenangan bagi para wisatawan. Pengembangan objek wisata Waduk Sermo sebagai wisata air dan olahraga oleh pemerintah memberikan peluang yang baik bagi masyarakat setempat. Namun pemanfaatan keindahan sumber daya alam oleh pemerintah untuk pengembangan pariwisata menimbulkan dampak. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya dampak positif yang mendorong kesejahteraan masyarakat setempat dengan terbukanya lapangan kerja, akan tetapi juga dampak negatif terhadap lingkungan Waduk Sermo sendiri. Terlebih lagi Waduk Sermo memiliki fungsi ganda yaitu berfungsi sebagai air irigasi dan air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) daerah Kulonprogo serta sebagai objek wisata. Maka adanya objek wisata air dan olahraga Waduk Sermo ini bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan waduk. Potensi keindahan alam objek wisata Waduk Sermo telah menarik wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara sebagai destinasi wisata. Adanya aktivitas wisata tentu akan menimbulkan permasalahan lingkungan seperti penurunan kualitas air danau dan rusaknya pemandangan
34
dengan sampah yang diakibatkan oleh wisatawan. Adanya peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke objek wisata Waduk Sermo berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi sehingga wisatawan diharuskan membayar atas kerusakan yang ditimbulkannya. Hal ini dapat dilakukan para wisatawan dengan membayar retribusi lebih untuk biaya perawatan dan pelestarian lingkungan objek wisata. Dengan demikian kelestarian lingkungan Waduk Sermo dapat terjaga dan wisatawan tetap dapat menikmati jasa lingkungannya. Kualitas objek wisata Waduk Sermo meliputi kualitas lingkungan dan fasilitas wisata selayaknya diperbaiki dan dilengkapi agar keberadaannya dapat menarik wisatawan lebih banyak lagi sehingga dapat memberikan kontribusi lebih banyak lagi bagi pendapatan daerah. Oleh karena itu harus ada upaya pengkajian kesediaan membayar wisatawan untuk memperbaiki kualitas objek wisata Waduk Sermo. Secara sistematik, kerangka penelitian dari penelitian ini dapat dilihat pada Diagram 2.3. Jenis Kelamin + Usia + Status Pernikahan
+ +
Pendidikan Pendapatan
+
Willingness To Pay Untuk Perbaikan Kualitas Objek Wisata Waduk Sermo
+
Frekuensi Kunjungan Diagram 2.3. Kerangka Penelitian 35
D. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis kelamin wisatawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay untuk perbaikan kualitas objek wisata Waduk Sermo. 2. Usia wisatawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay untuk perbaikan kualitas objek wisata Waduk Sermo. 3. Status pernikahan wisatawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay untuk perbaikan kualitas objek wisata Waduk Sermo. 4. Pendidikan wisatawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay untuk perbaikan kualitas objek wisata Waduk Sermo. 5. Pendapatan wisatawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay untuk perbaikan kualitas objek wisata Waduk Sermo. 6. Frekuensi kunjungan wisatawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay untuk perbaikan kualitas objek wisata Waduk Sermo.
36