3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Longkida (Nauclea orientalis L.) 2.1.1 Klasifikasi Longkida Berdasarkan taksonominya longkida (N. orientalis) digolongkan sebagai berikut (Turner dan Wasson 1997): Kingdom: Plantae (Tumbuhan) Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) SubKelas: Asteridae Ordo: Rubiales Famili: Rubiaceae (suku kopi-kopian) Genus: Nauclea Spesies: Nauclea orientalis L. Menurut Orwa et al. (2009) N. orientalis berasal dari nama latin yaitu naucula yang berarti sebuah kapal kecil dan orientalis julukan tertentu dari latin dan berhubungan ke timur. Habitat longkida adalah tumbuh di daerah basah, di rawa-rawa serta sepanjang tepi sungai. Longkida biasanya disebut sebagai spesies perintis. Pohon ini tumbuh secara bervariasi dari yang menengah hingga tinggi. Pohon tumbuh dengan baik, batang silindris yang tingginya mencapai 30 m serta memiliki diameter hingga 100 cm. Batang longkida tumbuh tanpa topangan. Kulit kayu berkerut, berwarna kuning oranye dengan kemerahan yang sedikit terlihat. Kayu longkida dapat dimanfaatkan sebagai bahan furniture dan kayu ukir. Daunnya berbentuk hati dan berwarna hijau mengkilat serta dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh masyarakat di sekitar daerah rawa. Buahnya yang berbentuk seperti bola golf namun pahit juga dimanfaatkan sebagai obat-obatan oleh masyarakat. Longkida memiliki stipule yang besar dan biji yang kecil dengan ukuran 1,5 x 1,0 mm.
4
2.2 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Kata mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu myces (fungi) dan rhiza (akar) (Setiadi 1989). Jadi mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara fungi dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, fungi memperoleh karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya fungi memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman dalam menyerap unsur hara terutama unsur P. Hifa fungi mikoriza dapat meningkatkan pengambilan P dengan cara memperluas daerah penyerapan dari sistem perakaran tanaman sehingga dapat dimanfaatkan untuk menambang residu P yang menumpuk dalam tanah. Pengaruh FMA terhadap pertumbuhan, serapan P dan hasil tanaman dipengaruhi oleh jenis dan varietas tanaman, jenis tanah, jenis FMA, jenis pupuk, serta faktor lingkungan (Kabirun 2002). Pada umumnya dapat dibedakan tiga bentuk mikoriza, yaitu berdasarkan terbentuk atau tidak terbentuknya selubung hifa pada mikoriza. Bila pada permukaan luar terbentuk selubung jalinan hifa fungi maka struktur tersebut disebut ektomikoriza. Apabila fungi pembentuk mikoriza berkembang hanya di dalam sel-sel korteks akar dan tidak terbentuk selubung hifa pada akar, maka struktur yang terbentuk disebut endomikoriza. Ada pula struktur yang memiliki kedua ciri tersebut, yaitu adanya fungi di dalam sel-sel korteks dan juga terbentuknya selubung hingga pada permukaan akar. Struktur demikian disebut ektendomikoriza (Hadi 1998). Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksinya pada system perakaran inang (host) mikoriza dikelompokan kedalam dua golongan besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Di dalam kelompok endomikoriza terdapat enam subtype yaitu: mikoriza arbuskula, ectendo, monotropoid, ericoid, dan orchid. (Setiadi 1999). Mikoriza memiliki beberapa peran penting sebagai berikut: 1. Sebagai pelindung khayati (bio-protection) Fungi mikoriza arbuskula (FMA) mampu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan pathogen luar tanah. FMA juga dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat seperti pada lahan-lahan pasca tambang. Dengan demikian FMA,
5
selain berguna untuk bio-protection, juga berfungsi penting sebagai bioremediator bagi tanah yang tercemar logam berat. Selain itu tipe fungi ini juga mampu meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan. 2. Perbaikan nutrisi dan peningkatan pertumbuhan tanaman Fungi ini memiliki kemampuan untuk berasosiasi hamper 90% jenis tanaman dan telah terbukti mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. FMA yang menginfeksi system perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman mampu meningkatkan kapasitas penyerapan unsure hara utama dapat diserah oleh tanaman bermikoriza serta unsure-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo. 3. Sinergis dengan mikroorganisme lain FMA pada tanaman leguminose diperlukan karena pembentukan bintil akar dan efektifitas penambahan nitrogen oleh bakteri rizhobium yang terdapat didalamnya dapat ditingkatkan. FMA juga dapat bersinergis dengan mikroba potensial lainnya, seperti bakteri penambat N bebas dan bakteri pelarut fosfat. Serta sinergis dengan jasad-jasad renik selulotik seperti Trichoderma sp. Berdasarkan kemampuan tersebut, maka FMA dapat berfungsi untuk meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman. 4. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan FMA berperan penting dalam mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar tanaman ke akar tanaman yang lain yang berdekatan melalui struktur yang disebut “brige hypha”. Sehingga aplikasi FMA tidak terbatas pada pola tanamna monokultur, tetapi dapat diintegrasikan dalam unit manajemen pola tanaman campuran. 5. Terlibat dalam siklus bio-geo-kimia FMA di alam dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alami pada habitat yang mendapat gangguan ekstrim. Keberadaan FMA juga mutlak diperlukan karena berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang unsure hara (nutrient cycle) sehingga dianggap sebagai alat yang
6
paling baik untuk mempertahankan stabilitas ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati. Istilah mikoriza sering digunakan untuk menjelaskan hubungan saling ketergantungan antara tanaman inang yang menerima hara mineral dan fungi yang memperoleh senyawa karbon dari hasil fotosintesis tanaman inang. Asosiasi antara fungi dari Glomales (zygomycetes) dengan tanaman inang disebut dengan arbuskula atau fungi mikoriza arbuskula, yang paling banyak terjadi pada spesies tanaman penting dan sangat berperan dapat meningkatkan status hara tanaman mikotropik pada tanah dengan konsentrasi hara yang terbatas, khususnya fosfat (Lambais dan Mehdi 1995). Penggunaan FMA tidak membutuhkan biaya yang besar menurut Husna (1998) karena : a) teknologi produksinya murah, b) semua bahan tersedia di dalam negeri, c) dapat diproduksi dengan mudah dilapangan, d) pemberian cukup sekali seumur hidup tanaman dan memiliki kemampuan memberikan manfaat pada rotasi tanaman berikutnya, e) tidak menimbulkan polusi dan f) tidak merusak struktur tanah. Fungsi akar dalam memanfaatkan air dan unsur hara dapat ditingkatkan salah satunya dengan memberikan mikroorganisme seperti mikoriza. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sejenis jamur yang bersimbiosis dengan akar tanaman yang mampu meningkatkan serapan unsur hara dan meningkatkan efisiensi penggunaan air tanah sehingga mempunyai laju pertumbuhan vegetatif yang lebih cepat dan resisten terhadap serangan patogen (Santoso 1994). Setiadi (1991) menyebutkan bahwa peningkatan pertumbuhan oleh mikoriza karena mikoriza dapat meningkatkan serapan N, P dan, K. Kehadiran mikoriza pada tanah dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, meningkatkan nilai tegangan osmotik selsel tanaman pada tanah yang kadar airnya cukup rendah, sehingga tanaman dapat melangsungkan kehidupannya (Santoso 1994). Faktor lingkungan adalah sangat berpengaruh terhadap perkembangan FMA. Biasanya lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman juga cocok untuk perkembangan spora fungi. Fungi mikoriza arbuskula dapat hidup dari lingkungan berdrainase baik hingga lahan-lahan yang tergenang seperti lahan sawah. Bahkan pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang
7
tercemar limbah berbahaya FMA masih mampu untuk berkembang (Soelaiman dan Hirata 1995). Manfaat FMA menurut Nuhamara (1993) antara lain meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah, berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim, meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auxsin, dan menjamin terselenggaranya proses biogemis namun demikian respon tanaman tidak hanya ditentukan oleh karakteristik tanaman dan FMA tetapi juga oleh kondisi tanah dimana tanaman itu berada. Efektifitas FMA ditentukan oleh faktor abiotik seperti pH, kadar air, konsentrasi hara, suhu, pengolahan tanah dan pemberian pupuk serta pestisida. Faktor biotik seperti interaksi FMA dengan akar, tanaman inangnya, tipe perakaran tanaman inangnya, dan kompetisi antar fungi itu sendiri. 2.2.1 Aplikasi Penggunaan FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) Telah banyak dibuktikan bahwa FMA mampu memperbaiki penyerapan unsur hara dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Menurut hasil penelitian Maryadi (2002) dalam Husna (2007) melaporkan bahwa tanaman jati berasosiasi baik dengan FMA. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberepa genus di rizosper (baca = perakaran tanaman) jati. Genus yang ditemukan adalah Glomus, Scelerocistys dan Gigaspora. Eksplorasi FMA telah dilakukan pada tanaman jati di 3 (tiga) daerah yakni Kota Kendari, Kabupaten Muna dan Buton pada tahun 2003 dan 2004. Hasil penelitian Husna (2207) juga menunjukan bahwa FMA dapat ditemukan pada rhizosper tanaman jati. Secara umum ditemukan 4 (empat) genus yaitu Glomus, Acaulospora, Gigaspora dan Scutellospora. Menurut hasil penelitian Anggin (2010), pemberian mikoriza jenis Glomus sp. secara signifikan meningkatkan pertumbuhan semai jelutung. Mikoriza memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan semai jelutung dan dapat digunakan untuk rekomendasi dalam aplikasi pupuk hayati. 2.3 Pupuk NPK Kesuburan tanah diindikasikan dengan ketersediaannya kandungan hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang lengkap. Unsur hara dan senyawa-
8
senyawa yang terkandung dalam tanah semakin lama semakin berkurang karena sejalan dengan proses alam maupun campur tangan manusia, oleh sebab itulah perlu dilakukan pemupukan. Dari sekian banyak jenis unsur dalam tanah, hanya 16 unsur atau senyawa yang dibutuhkan oleh tanaman untuk menghasilkan pertumbuhan yang normal. Dari 16 unsur tersebut 3 unsur berasal dari udara yaitu C (karbon), H (hydrogen) dan O2 (oksigen) sementara ke-13 unsur lainnya berasal dari dalam tanah yaitu N (nitrogen), P (phosphor), K (kalium), Ca (kalsium), Mg (magnesium), S (sulfur), Cl (klor), Fe (Besi), Mn (mangan), Cu (tembaga), Zn (seng), Bo (boron), dan Mo (Moblibdenum). Pupuk NPK merupakan pupuk majemuk yang mengandung tiga unsur yaitu N, P, dan K (Lingga 1998). Pupuk NPK disebut sebagai pupuk majemuk lengkap atau Complete Fertilizer. Pada permulaan dikenalnya (sebelum Perang Dunia ke II), pupuk ini berkadar rendah, jumlah kadar ketiga unsur itu hanya sekitar 20%. Perbaikanperbaikan dalam arti kegunaannya telah dilakukan oleh pabrik pembuatnya sehingga pupuk majemuk lengkap yang diperdagangkan kini mempunyai jumlah kadar ketiga unsurnya lebih tinggi, sekitar 30% sampai 60% (Sutedjo 2008). Menurut Novizan (2002) unsur hara makro diperlukan tanaman dalam jumlah yang lebih besar. Unsur hara makro terdiri dari Nitrogen (N), Phospor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan Sulfur (S). 2.3.1 Nitrogen (N) Nitrogen merupakan unsur hara penentu produksi atau sebagai faktor pembatas produksi Sanchez (1979) dalam Maretina (2010). Ketersediaan unsur N di alam atau atmosfir cukup banyak namun kendalanya karena sifatnya mobile (dinamis) sehingga tanaman sangat sukar memanfaatkannya. Sumbangan N tanaman disamping dari dari pupuk buatan umumnya berasal dari proses aktivitas jasad mikro yang ada di dalam tanah dalam perombakan bahan organik. Bahan organik mengandung protein, karbohidrat dan lemak. Protein adalah bahan organik yang mengandung N oleh mikroba dihancurkan untuk mendapatkan energi dan unsur hara. Proses pelapukan bahan organik oleh mikroba dapat terjadi melalui proteolis, ammonifikasi, nitrifikasi (Delwiche 1970 dalam Musfal 2008). Menurut Lewakabessy et al. (2003) nitrogen diserap tanaman dalam bentuk ion nitrat dan ion amonium. Nitrogen tidak tersedia dalam bentuk mineral
9
alami seperti unsur hara lainnya. Nitrogen yang ada di dalam tanah dapat hilang karena terjadinya peguapan, pencucian oleh air, atau terbawa bersama tanaman pada saat panen. Ammonium di dalam tanah relatif stabil dibandingkan nitrat namun ammonium lebih gampang terfiksasi oleh mineral liat seperti Illit, Fermikulit dan Montmorillonit. Pada keadaan basah ammonium yang terfiksasi dengan mudah dilepaskan kembali karena proses mengambangnya tanah. Kebutuhan tanaman umumnya lebih banyak dalam bentuk nitrat dan sedikit sekali tanaman yang mengambil N dalam bentuk ammonium. Bentuk ammonium umumnya akan diambil tanaman pada kondisi pH tanah berkisar netral. Sedangkan nitrat pada pH tanah di bawah netral. Kebanyakan tanah-tanah pada iklim tropis umumnya adalah mempunyai pH dibawah netral. Dengan demikian tanaman pada iklim tropis lebih banyak mengambil N dalam bentuk nitrat. Pemberian pupuk N dalam bentuk ammonium seperti pupuk Ammonium Sulfat (ZA) tidaklah menjadi suatu kendala karena ammonium di dalam tanah melalui proses nitrifikasi akan dirubah menjadi bentuk nitrat (Mengel dan Kirby 1979 dalam Musfal 2008) Tanaman
yang
kekurangan
unsur
N
gejalanya
mengakibatkan
pertumbuhan lambat/kerdil, daun hijau kekuningan, daun sempit, pendek dan tegak, daun-daun tua cepat menguning dan mati (Dwidjoseputro 1984). Menurut Hardjowigeno (2003) kelebihan nitrogen dapat menyebabkan batang-batang menjadi lemah dan mudah roboh, dan dapat mengurangi daya tahan tanaman terhadap penyakit. Hal yang perlu dipertimbangkan ketika menggunakan pupuk nitrogen adalah nitrogen dalam bentuk nitrat sangat cepat tersedia bagi tanaman. Oleh karena itu, gunakan pada saat sumber nitrogen sangat dibutuhkan, khususnya pada tanah yang kanduangan bahan organiknya sedikit (Novizan 2002). 2.3.2 Phosfor (P) Phosfor di dalam tanah dapat digolongkan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk P-organik, anorganik, dan yang ada dalam larutan tanah. P anorganik didalam tanah jumlahnya rata-rata lebih banyak dibandingkan P organik. P anorganik di dalam tanah dapat pula dibagi dalam bentuk keterikatannya yaitu dalam bentuk Ca-P, Fe-P dan Al-P (Buckman dan Brady 1964 dalam Mustaf 2008). Selanjutnya menurut Buckman dan Brady (1964) dalam Musfal (2008),
10
ketersediaan P anorganik di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh perubahan pH tanah, artinya semakin naik pH sampai pada batas netral maka ketersediaan P akan meningkat pula. Keadaan sebaliknya terjadi bila mana terjadinya penurunan pH tanah maka ketersediaan P akan menurun pula. Terjadinya penurunan P disebabkan karena pada pH rendah konsentrasi Al dan Fe akan meningkat dan terfiksasinya P oleh kedua unsur tersebut akan semakin meningkat pula. Terjadinya penurunan ketersediaan P pada pH tanah diatas netral atau alkalis hal ini disebabkan terfiksasinya P oleh Ca membentuk endapan. Dari golongan Ca ini yang terpenting adalah mineral flour apatit, golongan ini adalah yang sukar larut. Mineral flour apatit terdapat di dalam tanah yang sudah mengalami proses pelapukan lanjut pada horizon bawah. Phosfor sebagian besar berasal dari pelapukan batu-batuan mineral alami, sisanya berasal dari pelapukan bahan organik. Walaupun kandungan phospor dalam tanah melimpah, tanaman masih mungkin kekurangan phosfor karena sebagian besar phosfor terikat secara kimia oleh unsur lain sehingga menjadi senyawa yang sukar larut dalam air (Novizan 2002). Penggunaan pupuk yang mengandung phosfor dapat berperan penting terhadap tanaman di daerah tropis karena sedikitnya ketersediaan phosfor dalam tanah. Efisien yang rendah dari pemanfaatan phosfor menyebabkan pemberian pupuk secara bertahap menjadi lebih disarankan (Maretina 2010). Beberapa peranan P yang penting ialah dalam proses fotosintesa, perubahan-perubahan karbohidrat dan senyawa-senyawa yang berhubungan dengannya, glikolisis, meabolisme asam amino, metabolisme lemak, metabolisme sulfur, oksidasi biologis dan sejumlah reaksi dalam proses hidup phosfor betulbetul merupakan unsur yang sangat penting dalam proses transfer energi, suatu proses vital dalam hidup dan pertumbuhan (Leiwakabessy 2003). Unsur phosfor bagi tanaman berguna untuk merangsang pertumbuhan akar khususnya akar benih dan tanaman muda, sebagai bahan mentah untuk pembentukan sejumlah protein tertentu, membantu proses asimilasi dan pernapasan sekaligus mempercepat pembungaan, pemasakan biji dan buah (Lingga 2008). Tanaman yang kekurangan unsur P gejalanya antara lain pembentukan buah/dan biji berkurang, kerdil, daun
11
berwarna keunguan atau kemerahan (kurang sehat), dan perkembangan akar lambat, terlihat jelas pada tanaman yang masih muda (Hardjowigeno 2003). 2.3.4 Kalium (K) Kalium adalah unsur hara terpenting ketiga setelah N dan P. Ketersediaannya di tanah ditentukan oleh jenis dan jumlah mineral primer serta tingkat pelapukannya. Pada umumnya ketersediaan K di tanah dapat digolongkan dalam bentuk lambat tersedia, cepat tersedia dan tidak tersedia (Buckman dan Brady 1964 dalam Musfal 2008). Kalium mempunyai peranan yang penting dalam proses-proses fisiologis menurut Hakim et al. (1986) seperti: (1) metabolisme karbohidrat, pembentukan, pemecahan dan translokasi pati, (2) metabolisme nitrogen dan sintesa protein, (3) mengawasi dan mengatur aktivitas beragam unsur mineral, (4) netralisasi asamasam organik yang penting bagi proses fisiologis, (5) mengaktifkan berbagai enzim, (6) mempercepat pertumbuhan jaringan meristematik, dan (7) mengatur pergerakan stomata dan hal-hal yang berhubungan dengan air. Kalium disini tidak terlibat sebagai komponen penyusun tetapi hanya sebagai bentuk anorganik saja. Tanaman menyerap kalium lebih banyak dari pada unsur hara lainnya kecuali nitrogen. Kalium di dalam jaringan tanaman tetap berbentuk ion K+. Tidak ditemukan dalam bentuk senyawa organik. Kalium bersifat mudah bergerak sehingga siap dipindahkan dari satu organ ke organ lain yang membutuhkan. Secara umum peran kalium berhubungan dengan proses metabolisme seperti fotosintesis dan respirasi. Peran kalium antara lain translokasi (pemindahan) gula pada pembentukan pati dan protein, membantu proses membuka dan menutup stomata (mulut daun), efisiensi penggunaan air (ketahanan terhadap kekeringan), memperluas pertumbuahan akar, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama penyakit, memperkuat tubuh tanaman (Novizan 2002). Menurut Leiwakabessy (2003) pengaruh kekurangan kalium secara keseluruhan baik terhadap pertumbuhan maupun terhadap kualitasnya merupakan akibat pengaruhnya terhadap proses-proses fisiologis. Proses fotosintesis dapat berkurang bila kandungan kaliumnya rendah dan pada saat respirasi bertambah besar. Hal ini akan menekan persediaan karbohidrat yang tentu akan mengurangi pertumbuhan tanaman. Peranan kalium dan hubungannya dengan kandungan air
12
dalam tanaman adalah penting dalam mempertahankan turgor tanaman itu yang sangat diperlukan agar proses-proses fotosintesa dan proses-proses metabolisme lainnya dapat berkurang dengan baik. 2.4 Hubungan Genangan dan Tanaman Menurut Purnobasuki (2011), kandungan air pada tanaman bervariasi antara 70%–90% tergantung umur, jaringan tertentu dan lingkungannya. Air berfungsi sebagai pelarut dan medium reaksi biokimia, medium transpor senyawa, memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan sel dan pembesaran sel), sebagai bahan baku fotosintesis, dan menjaga agar suhu tanaman tetap konstan. Air mampu membatasi pertumbuhan tanaman, jika jumlahnya terlalu banyak (menimbulkan genangan) sering menimbulkan cekaman aerasi. Sebaliknya jika jumlah air terlalu sedikit, sering menimbulkan cekaman kekeringan. Diperlukan upaya pengaturan lengas tanah supaya optimum melalui pembuatan saluran drainase (mencegah terjadinya genangan) maupun saluran irigasi (mencegah cekaman kekeringan). Genangan air terjadi apabila kandungan lengas melebihi kapasitas lapang. Adapun dampak yang ditimbulkan oleh genangan menurut Purnobasuki (2011) yaitu menurunkan pertukaran gas antara tanah dan udara yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan O2 bagi akar, menghambat pasokan O2 bagi akar dan mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori tanah maupun menghambat laju difusi). Pada kondisi genangan, sebagian besar tanaman pertumbuhan akarnya terhambat bila 10% volume pori yang berisi udara dan laju difusi O2 kurang dari 0,2 ug/cm2/menit. Keadaan lingkungan kekurangan O2 disebut hipoksia, dan keadaan lingkungan tanpa O2 disebut anoksia (mengalami cekaman aerasi). Kondisi anoksia tercapai pada jangka waktu 6–8 jam setelah genangan, karena O2 terdesak oleh air dan sisa O2 dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Pada kondisi tergenang, kandungan O2 yang tersisa di tanah lebih cepat habis bila ada tanaman. Genangan air mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Struktur tanah rusak, daya rekat agregat lemah, penurunan potensial redoks, peningkatan pH tanah masam, penurunan pH tanah basa, perubahan daya hantar dan kekuatan ion, serta perubahan keseimbangan hara. Tanaman yang tergenang menunjukkan gejala klorosis khas kahat N. Kekahatan N terjadi karena penurunan ketersediaan
13
N maupun penurunan penyerapannya. Pada kondisi tergenang ketersediaan N dalam bentuk nitrat sangat rendah karena proses denitrifikasi, nitrat diubah menjadi N2, NO, N2O, atau NO2 yang menguap ke udara. Pada proses denitrifikasi, nitrat digunakan oleh bakteri aerob sebagai penerima elektron dalam proses respirasi. Genangan berdampak negatif terhadap ketersediaan N, tetapi ada pula keuntungan dari timbulnya genangan yaitu peningkatan ketersediaan P, K, Ca, Si, Fe, S, Mo, Ni, Zn, Pb, Co. Genangan berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi, permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan juga menyebabkan kematian akar di kedalaman tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan akar adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan. Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis. Pada tanaman legum, genangan tidak hanya menghambat pertumbuhan akar maupun tajuk juga menghambat perkembangan dan fungsi bintil akar. Fungsi bintil akar terganggu karena terhambatnya aktifitas enzim nitrogenase dan pigmen leghaemoglobin, kemampuan fiksasi N2 akan menurun (Purnobasuki 2011). 2.5 Adaptasi Tanaman Rawa Hutan rawa adalah hutan yang tumbuh pada tanah alluvial yang selalu tergenang air tawar dengan ciri-ciri adanya tempat tumbuh beraerasi air dan udara yang buruk. Ciri hutan rawa yang lebih khas adalah tumbuhnya banyak pohon berakar lutut yang tunasnya terendam air. Pohon-pohon ini tajuknya berlapis-lapis dan mampu mencapai tinggi 50–60 m, seperti Adina sp, Alstonia sp, Gonystylus bancanus (ramin), yang banyak di eksploitasi sebagai bahan baku pembuatan perabotan rumah tangga, Vatica rassak (rasak), Gluta renghas (rengas), Shorea balangeran (balangeran) dan Dyera costulaca (jelutung), Dyera lowii, Pentaspadon motleti, Campnosperma macrophylla (Arief 2001). Hutan rawa di Indonesia banyak tersebar di Sumatera Barat (Way Kambas), Jawa Barat (Rawa Danu), dan Kalimantan (Sampit dan Kutai) yang umumnya berada di belakang hutan payau dengan batas yang tidak tegas dan sering tergenang air tawar karena daerahnya rendah (Arief 2001). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, rawa diartikan sebagai tanah yang rendah (umumnya di daerah pantai) dan digenangi air, biasanya banyak terdapat
14
tumbuhan air. Penggenangan air di rawa dapat bersifat musiman ataupun permanen. Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Jenisjenis floranya antara lain: durian burung (Durio carinatus), ramin (Gonystylus sp.), terentang (Camnosperma sp.), kayu putih (Melaleuca sp.), sagu (Metroxylon sp.), rotan, pandan, palem-paleman dan berbagai jenis lainnya. Faunanya antara lain : harimau (Panthera tigris), Orang utan (Pongo pygmaeus), rusa (Cervus unicolor), buaya (Crocodylus porosus), babi hutan (Sus scrofa), badak, gajah, musang air dan berbagai jenis ikan. Luas rawa di Indonesia diperkirakan lebih dari 23 juta hektar. Peran dan manfaat hutan rawa : sumber cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering; mencegah terjadinya banjir; mencegah intrusi air laut ke dalam air tanah dan sungai; sumber energi; sumber makanan nabati maupun hewani (Arief 2001). Berdasarkan penyebab genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga, yaitu rawa pasang surut, rawa lebak (rawa non pasang surut) dan rawak lebak peralihan. 1. Rawa pasang surut Rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang genangannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Tingginya air pasang dibedakan menjadi dua, yaitu pasang besar dan pasang kecil. Pasang kecil, terjadi secara harian (1–2 kali sehari). 2. Rawa lebak Rawa lebak adalah lahan rawa yang genangannya terjadi karena luapan air sungai dan atau air hujan di daerah cekungan pedalaman. Genangannya umumnya terjadi pada musim hujan dan menyusut pada musim kemarau. 3. Rawa lebak peralihan Lahan rawa lebak yang pasang surutnya air laut masih terasa di saluran primer atau di sungai. Pada lahan seperti ini, endapan laut dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80–120 cm di bawah permukaan tanah. Menurut Saraswati (2011), hal mendasar yang mempengaruhi aktivitas adaptasi bagi tumbuhan adalah ketersediaan air. Ketika jumlah air sedikit maka
15
tumbuhan akan merespon dengan menutup stomata yang menyebabkan layunya bagian-bagian tumbuhan itu sendiri. Bagi tanaman yang tumbuh di daerah rawa beradaptasi dengan memiliki daun yang besar karena kondisi rawa yang lembab dan kandungan airnya tinggi. Selain itu memiliki ruang udara yang besar dalam struktur internal untuk menyimpan udara. Hal ini dikarenakan tanah pada umumnya mengalami water logging (genangan air) sehingga cenderung anaerob dan kekurangan oksigen. Pada tanaman yang seluruhnya berada terendam air atau hydrophytes akan menggantung lemas ketika dalam lingkungan yang tidak ada air. Pada dasarnya air di sekeliling tumbuhan akan memperkuat jaringan di batang dan petiol daun sehingga tidak membutuhkan penguatan mekanis. Hal ini merugikan dalam hal fleksibilitas jika terjadi perubahan permukaan air atau gerakan air. Semua sel termodifikasi untuk menyerap air, nutrisi dan gas terlarut langsung dari air sekitarnya. Sehingga akar hanya berfungsi untuk melekat pada sedimen, selain itu xylem juga kurang berfungsi. Bagian rongga tumbuhan berisi udara yang berfungsi memperpanjang daun dan batang (Saraswati 2011). Menurut Mulyani (2006), tumbuhan rawa biasanya memiliki akar napas yang disebut pneumatofor, sebagai adaptasi dengan kehidupan rawa yang kurang oksigen.