BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Konservasi keanekaragaman hayati merupakan sebuah proses yang memberikan implikasi secara sosial dan politik 11. Oleh karena itu, konservasi tidak bisa dibatasi pada pendekatan teknis tetapi juga dikembangkan dalam pembahasan ilmu sosial. Ben Orlove meletakkan landasan teoritik untuk kajiankaijan seperti ini dengan memberikan catatan mengenai perlunya pandangan politik ekonomi dalam kajian-kajian ekologi (Haenn and Wilk 2006: 203). Fakta empiris menunjukkan pengelolaan lingkungan dengan pendekatan teknis telah menimbulkan banyak konflik dan memicu munculnya persoalan-persoalan yang berdampak buruk terhadap manusia dan lingkungan. Di beberapa negara berkembang, kerusakan lingkungan kerap diperparah oleh kebijakan lingkungan yang ditetapkan secara sepihak. Pada beberapa kasus seperti deforestasi, kerusakan lingkungan adakalanya dipicu karena penebangan hutan oleh masyarakat pinggir hutan sebagai manifestasi rasa tidak setuju dan tidak puas dengan kebijakan pemerintah. Di sisi yang berseberangan, upaya penyelamatan lingkungan dengan menetapkan kawasan perlindungan, suaka alam dan taman nasional membawa petaka sendiri bagi masyarakat yang telah turun-temurun menggantungkan hidupnya pada lingkungan tersebut. Dilihat sebagai ancaman bagi keanekaragaman hayati, maka masyarakat lokal dijauhkan dari teritorial tradisional mereka. Salah satu konsekuensi memasukkan perspektif sosial pada studi ekologi terhadap kajian ekologi manusia adalah memperluas skala kajian dari lokal ke regional dan global. Konteks lokal diperlukan untuk mengenali sistem sosiokultur sebuah komunitas, mendalami hubungannya dengan lingkungan, mengenali upaya coping terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan biofisik serta mengenali sistem manajemen lingkungan lokal yang dimiliki komunitas tradisional. Kontek regional dan global perlu ditinjau untuk mendalami kebijakan pengelolaan lingkungan. Kebijakan manajemen sumberdaya sering kali bukan 11
Steven R. Brenchin, et al. Beyond the Square Wheel: Toward a More Comprehensive Understanding of Biodiversity Conservation as Social and Political Process (2002).
12
kebijakan yang diinisiasi dari bawah. Hubungan dengan negara maju atau lembaga internasional kerap mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah di negara berkembang. Perubahan merupakan satu faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Perubahans pada lingkungan bisa melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Begitu pula intervensi pemerintah dalam mengelola lingkungan dapat merubah pola interaksi antara masyarakat dan lingkungan. Ditingkat lokal, perubahan dapat terjadi pada lingkungan biofisik dan pada cara pemanfaatan lingkungan oleh masyarakat. Memperhatikan dinamika kehidupan masyarakat lokal diperlukan untuk keluar dari cara pandang lama dalam melihat masyarakat dan lingkungannya. Penelitian ini dilakukan pada saat pola produksi masyarakat Lamalera berubah, kebijakan konservasi keanekaragaman hayati berkembang dan masyarakat nelayan Lamalera menolak kebijakan tersebut. Masyarakat Lamalera menolak dijauhkan dari tradisi leluhur, sementara dalam lingkungan internal mereka melakukan pergeseran-pergeseran kecil yang mendasar dan berbeda dengan sistem sosiokultur warisan leluhurnya. Penelitian akan diawali dengan tinjauan literatur berupa teori dan fakta empiris mengenai interaksi antara sistem sosiokultur dan lingkungan, perubahan sosial serta perspektif sosial terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Kajian teoritis ini diperlukan untuk menyusun hipotesa pengarah (guiding hypotheses) mengenai sistem sosiokultur masyarakat nelayan Lamalera dan reaksi mereka atas pencadangan Laut Lembata dalam zona II wilayah KKPN Laut Sawu. Pola adaptasi yang dibangun oleh masyarakat Lamalera dengan laut selatan Pulau Lembata serta habitat cetacea yang setiap tahun bermigrasi melewati Laut Sawu dan sumberdaya ikan-ikan besar lainnya mendapat perhatian dalam studi ekologi manusia terutama pada ragam kajian antropologi lingkungan. Disiplin ini merupakan cabang ilmu antropologi yang menelaah hubungan antara masyarakat dan lingkungannya dari titik pandang masyarakat setempat (the native point of view) (Adiwibowo 2007). Secara terarah, penelitian ini merujuk pada salah satu pendekatan dalam ilmu antropologi ekologi yaitu teori ekologi budaya. Studi ekologi budaya pada masyarakat Lamalera akan dijadikan titik tolak untuk
13
memahami reaksi masyarakat nelayan Lamalera yang menolak Laut Lembata masuk dalam wilayah konservasi Laut Sawu.
2.1 Teori Ekologi Budaya Ekologi budaya merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan kebudayaan yang bersifat evolusioner dan menempatkan kelompok manusia pada kategori-kategori berdasarkan keefektifan teknologi yang mereka gunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Pendekatan ekologi budaya dikembangkan oleh Julian H. Steward yang dipandang sebagai antropolog pertama yang memasukkan kajian tentang hubungan budaya dengan lingkungan di dalam bidang kajian ekologi. Dalam ranah kajian ilmu sosial, ekologi budaya termasuk ke dalam rumpun studi antropologi ekologi. Kelompok ilmu antropologi merupakan rumpun ilmu sosial yang pertama memberikan perhatian kepada hubungan antara manusia dan alam. Kedekatan kajian antropologi dan ekologi terlihat dengan banyaknya penjelasan mengenai kebudayaan yang terbentuk dari interaksi manusia dengan alam. Sebagai sebuah konsep, ekologi melingkupi dua subyek yaitu manusia dan lingkungannya. Namun sebagai sebuah bidang ilmu, ekologi mengilustrasikan hubungan yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan spesies lainnya. Bennet (dikutip dalam Adiwibowo 2007) mendefinisikan antropologi ekologi sebagai studi tentang bagaimana penggunaan sumberdaya alam oleh manusia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh organisasi sosial dan nilai budaya. Dalam antropologi ekologi terdapat dua perspektif pokok yaitu perspektif fungsionalisme ekologi dan perspektif environmentalisme atau yang sering disebut dengan perspektif action oriented. Perspektif fungsionalisme ekologi melihat perubahan sistem sebagai perubahan alamiah dalam proses mencari keseimbangan. Perspektif ini mengaitkan berbagai gejala dan komponenkomponen dalam sistem ekologi. Kelemahan mendasarnya adalah karena mengabaikan aspek historis dari perubahan sistem tersebut. Pendekatan yang tergolong dalam fungsionalisme ekologi yaitu pendekatan ekologi budaya, pendekatan
ekosistem
dan
pendekatan
sistem.
Sebaliknya,
perspektif
environmentalisme atau action oriented lemah dalam menjelaskan keterkaitan
14
antar komponen-komponen sistem ekologi, namun sangat kuat dalam menjelaskan aspek historis dan tindakan-tindakan individual yang menekankan pada proses. Kombinasi dua persektif ini seringkali dilakukan untuk menutupi kelemahan masing-masing pendekatan. Dalam menggambarkan sistem sosiokultur masyarakat pemburu dan menikam ikan di Lamalera, peneliti menggunakan perspektif fungsionalisme ekologi dengan pendekatan ekologi budaya. Heider mengemukakan bahwa ekologi kebudayaan pada intinya memahami hubungan antara masyarakat, subsistensi, dan lingkungannya (Lobja 2003: 26). Penekanan dalam ekologi kebudayaan adalah aktivitas subsistensi, dimana yang diperhatikan adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik, teknologi dan organisasi sosialnya. Secara lebih spesifik dalam memahami ekologi budaya, Satria (Adiwibowo 2007) mengutip karya Netting (1993) mengatakan bahwa ekologi budaya memfokuskan diri pada “particular circumstances of geography, demography, technology, and history that result in a splendid variety of cultural values, religion, kinship systems, and political structures in local environmental strategies”. Karakteristik pokok pada pendekatan ini adalah pandangan bahwa lingkungan alamiah memiliki keteraturan secara homeostatik dengan masyarakat sekitarnya. Sebelum ekologi budaya diuji sebagai sebuah pendekatan untuk menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungan, beberapa pendekatan konseptual lain telah lebih dulu mengawali meskipun pada perkembangannya didiskreditkan oleh banyak ilmuan sosial (Rambo 1981: 1). Teori determinisme mengawali dengan cara pandang bahwa kebudayaan manusia adalah produk dari lingkungannya.
Dalam
tahapan
hubungan
manusia
dengan
lingkungan,
ditunjukkan bahwa seluruh aspek budaya, perilaku bahkan ‟nasib‟ manusia dipengaruhi, ditentukan, dan tunduk pada lingkungan (Susilo 2008: 30). Premis bahwa aspek budaya dan perilaku manusia semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan telah menyederhanakan keberagaman kebudayaan sebagai hasil pengaruh dari kondisi-kondisi lingkungan seperti iklim, sumberdaya alam, topografi dan kondisi geografis. Sekalipun beranjak dari premis tersebut, variasivariasi pada kebudayaan dianggap sebagai akibat dari kebetulan saja (Geertz
15
1983: 2). Teori ini dipandang sebagai permulaan yang salah yang memperlambat perkembangan teori-teori ekologi budaya selanjutnya. Berbeda dengan determinisme yang meletakkan lingkungan sebagai penyebab langsung (direct causes), teori posibilisme berkeyakinan bahwa lingkungan memiliki sifat yang relatif. Artinya, pada saat tertentu lingkungan berperan penting dalam menjelaskan kecocokan dengan budaya tertentu, tetapi pada sisi lain lingkungan tidak cocok dengan budaya tertentu tersebut. Dengan kata lain, kondisi lingkungan yang sama tidak menjamin akan munculnya budaya yang sama (Susilo 2008: 44). Faktor-faktor spesifik pada lingkungan dilihat sebagai pembatas atau penyeleksi. Kelompok posibilisme lingkungan mengenali keterbatasan pada lingkungan sama baiknya dengan peluang yang mungkin direalisasikan dengan penemuan-penemuan mekanis, peralatan dan keahlian yang dapat meningkatkan kemampuan manusia untuk mendapatkan tujuan-tujuannya dan keluar dari keterbatasan lingkungan. Forde mengatakan diantara lingkungan fisik dan aktivitas manusia selalu ada penengah, yaitu sekumpulan tujuan spesifik dan nilai-nilai, pengetahuan dan kepercayaan yang dalam bahasa lain disebut dengan pola kebudayaan (Netting 1986: 4). Sama halnya dengan determinisme lingkungan, posibilisme mulai ditinggalkan karena gagal menjelaskan mengapa kondisi alam yang sama tidak menciptakan pola kebudayaan yang relatif sama pula. Kegagalan kedua teori diatas, membuat banyak antropolog meninggalkan kajian mengenai interaksi antara manusia dengan lingkungan dan kembali memusatkan perhatian pada studi mengenai struktur internal dan fungsi sistem sosial dan budaya. Baru pada tahun 1950an kajian mengenai hubungan manusia dengan lingkungan muncul kembali dibawah pengaruh konsep Steward dengan teori ekologi budaya. Steward sendiri pernah menjadi murid A.L.Kroeber seorang penganut posibilisme dan dididik dalam pemikiran difusionisme. Konsep ekologi budaya merupakan hasil dari penelitian lapangan yang dilakukannya. Konsep ini telah menyanggah pandangan difusionisme dengan mengatakan bahwa adaptasi terhadap lingkungan juga memiliki peran yang sama signifikannya dengan difusi dalam membentuk pola kebudayaan.
16
Adaptasi lingkungan merupakan kata kunci yang menjadi dasar landasan teori ekologi budaya. Steward mendefinisikan ekologi budaya sebagai studi mengenai proses-proses adaptasi dimana masyarakat dan beberapa unsur dalam kebudayaan manusia dipengaruhi oleh penyesuaian diri yang mendasar atas upaya manusia memanfaatkan lingkungan (Netting 1986: 6). Kultur dilihat sebagai kesatuan yang mempunyai ciri-ciri berlainan yang ditemukan diberbagai lingkungan ekologis. Kultur mendapat bentuk yang berbeda karena beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda (Sztompka 2007: 135). Konsep adaptasi sendiri telah menjadi perdebatan dalam kajian sosial karena secara inheren, konsep ini sangat fungsionalis. Cara Steward mengembangkan teori ekologi budaya merujuk pada pemahaman konsep fungsionalis adaptasi. Konsep ini bisa dipakaikan dalam melihat asal-usul sistem sosiokultur. Adaptasi lingkungan juga menjadi dasar penjelasan yang digunakan Steward untuk memberikan jawaban atas kritik yang disampaikan terhadap teori evolusi unilinear yang mengemukakan bahwa evolusi sosial berlaku secara menyeluruh. Evolusi unilinear berpendapat bahwa ada satu proses evolusi yang melalui tingkat-tingkat yang seragam dan harus dilalui semua bangsa di dunia secara mutlak. Pendekatan yang didominasi oleh pemikiran Spencer, Tylor, dan Morgan secara umum mengatakan (a) bahwa semua perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan atau masyarakat-masyarakat khusus berarti kemajuan, (b) bahwa semua masyarakat dalam derap majunya melalui tingkat-tingkat yang sama, dan karena itu (c) masyarakat di dunia sekarang yang paling sedikit kemajuannya dapat dibandingkan dengan tahap-tahap yang telah dilalui oleh masyarakat yang lebih maju. 12 Asumsi-asumsi
kaku
yang
dikembangkan
evolusi
klasik
mulai
ditinggalkan. Neoevolusionisme mengembangkan pandangan baru evolusi dari kritik yang disampaikan terhadap teori tersebut. Dalam kajian antropologi sosial kemudian muncul dua pendekatan baru evolusi yaitu evolusi universal dan evolusi multilinear. Yang terakhir merupakan gagasan teori ekologi budaya Steward. 12
W.F. Wertheim. Gelombang Pasang Emansipasi ‘Evolusi dan Revolusi’ yang Diperbaharui (1976) hal.9. Sztompka dalam Sosiologi Perubahan Sosial (2007) menyimpulkan asumsi-asumsi umum yang dikembangkan teori evolusi klasik beserta kritik-kritik yang disampaikan. Sementara pentahapan masyarakat dikembangkan oleh Morgan (Bohannan and Glazer 1988, Sztompka 2007, Steward 1955, Koentjaraningrat 2007.
17
Evolusi universal melihat peristiwa-peristiwa perubahan besar dalam sejarah kebudayaan manusia pada umumnya bersifat universal. Pendekatan ini merupakan warisan dari pemikiran evolusionisme unilinear terutama pemikiran Morgan. Evolusi universal terutama yang dikembangkan oleh Leslie White dan V. Gordon Childe
berusaha
mempertahankan
konsep
tahapan
kebudayaan
dengan
menghubungkan tahapan-tahapan tersebut dengan kebudayaan manusia secara keseluruhan (Steward 1955: 16). Semua bagian dalam kebudayaan saling berhubungan akan tetapi peran utama dimainkan oleh sistem teknologi (Sztompka 2007: 135).
2.1.1 Pendekatan Evolusi Multilinear sebagai Landasan Bagi Teori Ekologi Budaya Berbeda dengan evolusi unilinear dan universal, evolusi multilinear secara umum memandang evolusi sebagai suatu gejala yang hanya mempunyai pertalian dengan suatu kebudayaan tertentu, atau setidak-tidaknya pada suatu tipe kebudayaan tertentu (Wertheim 2007: 16). Tidak semua unsur kebudayaan mengalami perkembangan yang sama. Ada unsur-unsur kebudayaan yang berkembang sejajar di dunia, dan ada pula yang tidak. Proses-proses evolusi kebudayaan tergantung dari lingkungan-lingkungan ekologi tertentu, ada unsurunsur dalam kebudayaan-kebudayaan yang berevolusi seragam, sehingga proses evolusi ini disebut multilinear (Koentjaraningrat 1990: 116). Evolusi meliputi semua kesatuan kultur konkret. Setiap kultur atau setiap aspek kultur tertentu berkembang secara berbeda dan mengikuti mekanisme sendiri. Karena itu evolusi harus dianggap bersifat multilinear menurut dua arti. Pertama, dari sudut antarmasyarakat: evolusi di berbagai masyarakat mengikuti jalan yang berbeda karena menghadapi kondisi yang berbeda. Kedua, dari sudut masyarakat tertentu: evolusi berbagai bidang kehidupan sosial (kultur, ekonomi, politik, dan sebagainya) mengikuti jalan dan mekanisme yang berbeda. Penyebab perubahan evolusioner bermacam-macam, namun ada beberapa faktor mendasar yang lebih umum. Faktor tekno-ekonomi berperan strategis dalam setiap masyarakat (Sztompka 2007:136).
18
Multilinear evolution yaitu proses-proses perkembangan yang berjalan lambat dari kebudayaan-kebudayaan yang berlainan dan yang hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, tetapi yang secara garis besar menunjukkan persamaan dalam proses-proses evolusi kebudayaan manusia dalam unsur-unsur primernya, tetapi menunjukkan perbedaan besar dalam unsur-unsur sekundernya (Koentjaraningrat 1990: 130). Tujuan utama teori evolusi ini justru untuk memberi penjelasan mengenai gejala keaneka-ragaman kebudayaan evolusi setiap kebudayaan khusus dari tipe kebudayaan dijelaskan dalam artian peningkatan penyesuaian suatu kebudayaan pada lingkungan alamnya (Wertheim 2007: 16). Perhatian utama kelompok ilmuan multilinear ditujukan pada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat khusus. Dalam pandangan yang menyeluruh, semua aspek kebudayaan secara fungsional saling tergantung. Derajat ketergantungan antara semua aspek tidak sama satu dengan lainnya. Dalam hal ini, Steward mengembangkan konsep inti budaya, yaitu serangkaian unsur-unsur yang berkaitan erat dengan aktivitas subsistensi dan pengelolaan ekonomi. Inti budaya melingkupi pola-pola politik, sosial dan keagamaan yang ditentukan secara empiris memiliki hubungan yang dekat dengan pengelolaan ekonomi. Unsur-unsur kebudayaan lain lebih beragam sifatnya karena tidak begitu erat terikat dengan inti. Unsur-unsur yang sekunder itu agak banyak ditetapkan oleh faktor-faktor kultural historis – dengan inovasi secara acak atau dengan difusi – unsur-unsur ini memberikan perbedaan wajah berbagai kebudayaan yang berinti sama. Berdasarkan analisis empiris telah dibuktikan bahwa unsur-unsur yang paling erat hubungannya dengan pemanfaatan lingkungan menurut cara-cara kebudayaan merupakan pusat perhatian ekologi kebudayaan (Steward 1955: 37). Koentjaraningrat (1997: 2) menjelaskan konsep kebudayaan dengan memecahnya menjadi unsur-unsur kebudayaan universal yang pasti bisa ditemukan disemua kebudayaan di dunia mulai dari masyarakat kecil di daerah terpencil sampai ke masyarakat perkotaan yang besar dan komplek. Unsur-unsur universal itu, yang sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, adalah: 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6)
19
sistem mata pencarian hidup, 7) sistem teknologi dan peralatan. Urutan susunan unsur kebudayaan tersebut dibuat berdasarkan tingkat kesulitannya berubah karena pengaruh kebudayaan lain, walaupun tidak berlaku mutlak. Merujuk pada uraian Koentjaraningrat mengenai konsep inti kebudayaan ini maka yang termasuk pada kategori inti kebudayaan adalah unsur-unsur kebudayaan primer seperti unsur politik, sosial dan keagamaan. Ekologi budaya memberikan perhatian utama untuk unsur-unsur tersebut yang dalam analisis empiris menunjukkan keterlibatan yang paling dekat dengan pemanfaatan lingkungan dengan cara-cara budaya yang ditentukan (Steward 1955: 37). Adaptasi memiliki peran penting untuk melihat proses perkembangan kebudayaan yang sangat beragam. Dari variasi perkembangan sistem sosiokultur yang banyak, tampak beberapa proses perkembangan yang sejajar. Kesejajaran ini terutama tampak dalam beberapa unsur kebudayaan yang universal atau unsur primer, seperti sistem mata pencaharian hidup, organisasi sosial, dan sistem religi. Unsur-unsur kebudayaan lain yang tidak primer, seperti teknologi sistem pengetahuan dan kesenian, tidak akan menampakkan evolusi sejajar dalam berbagai kebudayaan (Koentjaraningrat 1990: 125) Sebagai penggagas pendekatan ekologi budaya, Steward memfokuskan perhatiannya terhadap adaptasi kebudayaan pada kondisi lingkungan yang spesifik. Teori kultural ekologi, dikembangkannya dari penelitian yang dilakukannya pada masyarakat berburu dan meramu Shoshone, di Amerika Utara. Dalam penelitian tersebut Steward menemukan bahwa adaptasi ekologi telah memainkan peranan signifikan pada susunan kebudayaan masyarakat Shoshone. Steward juga menjelaskan kehadiran sejumlah aspek struktural dari kebudayaan Shoshone dalam terminologi sumberdaya yang ada untuk mendukung kehidupan habitat semi gurun yang sangat miskin. Rambo (1981) menyimpulkan bahwa pada etnografi terbaik Steward yang pernah dipublikasikan tersebut, tingkat kepadatan penduduk yang rendah, angka pengusiran populasi yang tinggi, organisasi keluarga kecil yang dipadu dengan pola-pola tempat tinggal yang fleksibel, kekurangan daerah pemukiman, serta kekurangan pemimpin yang kuat, semua faktor tersebut merefleksikan ketidakmampuan teknologi masyarakat
Shostone
yang sederhana untuk
20
mengambil persediaan makanan yang besar dan stabil dari sumberdaya yang sangat tipis tersebar dan sporadis dari lingkungan mereka yang kering dan gersang. Dalam pandangan Steward, tidak semua aspek dari budaya Shoshone dapat dijelaskan dalam terminologi ekologi – banyak dari ciri-ciri pembawaan mereka yang ditunjukkan sebagai hasil dari penyebaran kebudayaan yang sederhana dan secara kebetulan, tetapi hal itu hanya pada beberapa elemen, yang ia beri nama sebagai inti budaya. Rambo mengatakan, secara khusus Steward menentukan bahwa teknologi, ekonomi, populasi dan organisasi sosial sepertinya adalah bagian dari inti kebudayaan. Untuk menjelaskan unsur-unsur “inti kebudayaan”, Steward menguraikan bahwa kesalingterhubungan aspek-aspek kebudayaan pada masyarakat tidak sama tingkat dan macamnya. Untuk itu perlu mengisolasi aspek-aspek tertentu dari kebudayaan, dimana hubungan aspek kebudayaan tersebut dengan lingkungannya secara fungsional terlihat sangat eksplisit. Biasanya aspek itu bersifat peripheral, di pinggiran inti kebudayaan seperti aspek tekno-ekonomi. Hubungan pola-pola kebudayaan dengan organisme lingkungan hidup sangat kentara. Bila inti kebudayaan itu meliputi pola-pola sosial, politik dan agama yang secara empiris mempunyai hubungan erat dengan penyusun-penyusunnya, maka ekologi kebudayaan memusatkan perhatian pertama-tama pada unsur-unsur yang dari analisis empiris telah terbukti paling erat bersangkutan dengan pemanfaatan lingkungan menurut cara-cara yang dipastikan secara kebudayaan (Laksono 2000). Dalam bukunya „Evolution and Ecology‟ (1977), Steward mengatakan bahwa lingkungan itu sangat ditentukan oleh bagaimana organisasi produksi masyarakat dilaksanakan. Artinya, bahwa tindakan sosial ekonomi masyarakat terhadap sumberdaya alam sangat ditentukan oleh bagaimana pola-pola konsumsi dan kebutuhan akan barang dan jasa oleh masyarakat tersebut (Lobja 2003). Dalam hal ini Steward cenderung untuk memberikan penekanan terhadap hubungan antara teknologi dan lingkungan dalam model ekologi kebudayaannya. Penelitian ini mengacu pada pemikiran Steward yang dipandang sebagai ilmuan sosial pertama yang memulai kajian yang mengaitkan antara manusia dengan alam. Dalam buku Theory of Cultural Change (1955), Steward
21
mengembangkan perspektif ekologi budaya dengan memberikan penekanan pada teknologi. Sifat inti budaya akan ditentukan oleh teknologi dan pengelolaan sistem ekonomi produksi. Adapun metode yang dikembangkan dari teori ekologi budaya ini mencakup tiga aspek atau prosedur dasar untuk dianalisa. Pertama, menganalisa hubungan antara teknologi produksi atau teknologi eksploitasi dengan lingkungan. Teknologi eksploitasi mencakup budaya material dalam suatu masyarakat. Tidak semua budaya material sama pentingnya. Dalam masyarakat primitif, peralatan-peralatan subsistensi menjadi hal yang mendasar seperti senjata serta peralatan berburu dan memancing, alat penampung hasil tangkapan, serta peralatan transportasi yang digunakan di darat dan di laut. Sementara itu bagi masyarakat yang lebih berkembang, pertanian, teknik peternakan dan bangunan menjadi hal yang utama. Lain halnya, bagi masyarakat industri dimana modal, pengelolaan kredit dan teknik perdagangan merupakan hal mendasar. Menurut Steward, masyarakat yang sederhana lebih terkondisikan oleh lingkungan dari pada masyarakat yang lebih maju. Kondisi lingkungan tergantung pada kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan yang relatif sederhana akan lebih terkondisikan oleh lingkungan dari pada kebudayaan yang lebih maju. Secara umum iklim, topografi, tanah, hydrografi, tutupan vegetasi, dan fauna adalah krusial, tetapi beberapa kondisi lingkungan mungkin lebih penting mempengaruhi kebudayaan dari pada lainnya. Kedua, menganalisa pola perilaku manusia dalam mengekploitasi lingkungannya dengan teknologi tertentu. Beberapa pola subsisten menentukan batasan yang sangat sempit pada moda kehidupan sementara yang lain memberikan ruang yang lebih leluasa. Sementara penggunaan teknik tidak semata tergantung pada sejarah budaya (penemuan perangkat teknologi dan difusi) yang membuat metode itu memungkinkan tetapi juga ditentukan oleh lingkungan, hewan dan tumbuhannya. Pola ekploitasi ini tidak hanya tertuju pada kegiatan memproduksi makanan dan peralatan secara langsung tetapi termasuk juga didalamnya
fasilitas
yang
digunakan
oleh
masyarakat
tersebut
untuk
mendistribusikan makanan dan sumberdaya. Dua prosedur sebelumnya dilakukan dengan tujuan untuk memahami hubungan teknik-teknik produksi elemen-elemen kebudayaan lainnya. Pola
22
perilaku dalam pemanfaatan sumberdaya mempengaruhi aspek-aspek kebudayaan lain. Dari metode yang dikembangkan ini terlihat jelas bahwa Steward memberikan penekanannya terhadap aktivitas produksi yang mempengaruhi sebuah kebudayaan sebagai sebuah masalah empiris.
2.1.2 Penerapan dan Pengembangan Teori Ekologi Budaya serta Beberapa Kritik Hanya ada satu cara untuk menjelaskan apa yang disebut dengan ekologi budaya yaitu dengan memperlihatkan apa yang telah dilakukan (Netting 1986: 8). Sejak dirumuskan oleh Steward, teori ekologi budaya telah banyak diterapkan untuk mengenali interaksi antara manusia dan lingkungan serta berkembang melalui kondisi empiris penelitian lapangan yang terus dilakukan. Teori ini tidak lagi berkembang di kalangan antropolog tapi juga dalam studi geografi manusia dan studi ekologi manusia secara umum. Di Indonesia, penelitian yang mengaplikasikan konsep ekologi budaya Steward pernah dilakukan oleh Clifford Geertz. Pada penelitiannya dikatakan bahwa cara analisis ekologi budaya lebih memusatkan perhatian terhadap sifatsifat perembesan dari suatu sistem atas sistem lain (struktur sistem, keseimbangan sistem, perubahan sistem) dari pada terhadap hubungan pokok demi pokok antara pasangan-pasangan berbagai variable kebudayaan dengan alam. Menurut Geertz pertanyaan pokok yang hendak dijawab dengan menggunakan analisis ekologi budaya berbunyi: “Apakah kondisi habitat itu (sedikit banyak atau sepenuhnya) menimbulkan kebudayaan ataukah kondisi itu hanya membatasinya saja” (Geerlz 1983: 10). Dengan menggunakan pendekatan ekologi budaya, Geertz menjelaskan perbedaan-perbedaan antara Indonesia dalam (Jawa) dan Indonesia luar (pulaupulau di luar Jawa). Geertz menyimpulkan bahwa perbedaan kepadatan penduduk, cara penggunaan tanah dan produktifitas pertanian merefleksikan perbedaan penyesuaian pola pertanian yang dilakukan di dua daerah tersebut. Perbedaan pola agrikultur
terjadi
karena
ada
perbedaan-perbedaan
yang
berarti
pada
lingkungannya. Pertanian Jawa didominasi oleh sawah beririgasi sementara berladang banyak dilakukan di luar Jawa. Menurut Geertz dua sistem pertanian
23
yang diterapkan di kondisi ekosistem yang berbeda inilah yang bisa memberikan penjelasan mengenai distribusi penduduk yang tidak merata di Indonesia, serta keruwetan sosial dan kebudayaan yang tidak terhindarkan sebagai akibat distribusi yang demikian itu. Konsep Steward mengenai ekologi kebudayaan telah terbukti menjadi strategi yang sangat efektif bagi penelitian ekologi manusia, karena menawarkan pengertian baru tentang bagaimana masyarakat tradisional beradaptasi secara efektif dengan lingkungan mereka. Kelemahan konsep Steward adalah kesulitan teori ini untuk digunakan pada masyarakat modern yang komplek dalam jumlah populasi yang besar dan mengalami perubahan yang cepat. Kelemahan lain adalah teori ini mengabaikan kenyataan yang teramat penting dalam sejarah umat manusia, yaitu pertumbuhan berkelanjutan pengetahuan manusia dan perbaikan yang berkelanjutan pula teknik manusia, maupun bentuk-bentuk organisasi untuk mengendalikan kehidupan ekonomi kita (Wertheim 1976: 17). Geertz
juga
memberikan
catatan
bahwa
proses
ekologis
yang
mempengaruhi pertumbuhan kebudayaan dan masyarakat Indonesia di masa lampau, dan keadaannya dewasa ini adalah sesuatu yang harus ditentukan pada akhir penelitian, bukan pada awal penelitian. Oleh karena perkembangan politik, pelapisan masyarakat, perdagangan, dan intelektual kelihatannya merupakan proses penata atau penertib yang penting dalam sejarah Indonesia, maka ternyata perkembangan ekologis itu tidak seberapa penting. Menurut Anthony Smith lebih besarnya keragaman kebudayaan antaramasyarakat dibanding dengan keragaman kondisi lingkungan alam menunjukkan bahwa kelebihan keberagaman kebudayaan itu tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada mekanisme adaptasi tetapi harus mengacu pada mekanisme perkembangan otonom di dalam budaya yang bersangkutan. Selain itu, kekuatan yang ditentukan oleh faktor ekologi atau tekno-ekonomi tergantung pada fase evolusi: di fase awal ia sangat kuat sedangkan di fase yang berikutnya faktor politik atau ideologi jauh lebih menentukan. Bentuk pemerintahan, agama dan seni mungkin mendapat peran makin otonom. Makin berkembang masyarakat membuat faktor lingkungan makin membatasi variasi dan perubahan kultural ketimbang mendorong unit-unitnya ke arah perubahan (Sztompka 2007: 137).
24
Kelemahan ini juga terlihat dengan dikembangkannya pendekatan lain oleh Marvin Harris dengan asumsi bahwa teknologi yang diciptakan dalam adaptasi terhadap lingkungan merupakan penggerak utama evolusi kebudayaan. Harris berpendapat bahwa semua aspek kebudayaan ditentukan oleh hubungan antara teknologi dengan lingkungan. Pemikiran Harris ini dikenal dengan Cultural Materialisme yang dikembangkan dengan mengusut akar pemikiran ilmuan sosial di abad 19 yaitu Karl Marx dan pemikiran Steward sendiri. Prinsip yang mengarahkan pengembangan teori dan strategi cultural materialism yang dikembang Harris berangkat dari pandangan Marx bahwa moda produksi dalam kehidupan material menentukan karakter umum pada proses sosial, politik dan spiritual di kehidupan. Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, melainkan eksistensi sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Harris tidak mencoba untuk menjelaskan bagaimana kultur itu disusun sebagaimana digagas oleh Steward. Harris lebih tertarik untuk menggali dan menemukan jawaban untuk pertanyaan seperti “why don’t Indians eat cows?” (Bohannan dan Glazer 1988: 378). Dia lebih cenderung untuk menguraikan perkembangan sebuah budaya khusus yang ada dalam sebuah masyarakat dengan menggunakan pendekatan etik dan aplikasi kultural materialisme.
2.2 Pendekatan Materialisme Pada Perubahan Sosial Ekologi budaya memberikan perhatian pada adaptasi ekologi untuk memahami sistem sosiokultur. Teori ini melihat proses evolusi itu pada hakikatnya berarti suatu penyesuaian yang terus semakin disempurnakan pada lingkungan fisik. Steward memandang setiap wilayah kebudayaan geografis sebagai suatu kesatuan tersendiri dan mencoba menjelaskan perubahan kultural dengan menunjukkan bahwa perubahan itu adalah hasil dari penyesuaian secara bertahap suatu kebudayaan pada lingkungan alamiahnya. Setiap kebudayaan menurut pendapat ini mencari suatu keseimbangan yang serasi dengan alam yang mengelilinginya (Wertheim 1976: 42). Sifat fungsionalis teori ini dilihat sebagai titik kelemahan yang mengundang banyak kritik. Tetapi diakui telah memberikan sumbangan metodologis untuk memahami sistem sosiokultur suatu masyarakat pada permulaannya atau pada fase awal evolusi. Hal ini masih bisa dilacak dengan
25
mudah pada masyarakat tradisional. Perkembangan sistem sosiokultur tidak bisa dilihat semata pada perkembangan ekologis, karena banyak faktor lain perlu dipertimbangkan. Begitu pula halnya dalam perkembangan kebudayaan di Lamalera selanjutnya. Teori fungsionalis merupakan warisan pemikiran Durkheim. Mereka berasumsi bahwa kehidupan manusia dalam sistem sosiokultur, sama halnya semua sistem lain, memiliki bagian atau sub-sistem yang berfungsi untuk membuat keseluruhan sistem berfungsi. Fungsionalis mengenali institusi-institusi sosial sebagai struktur-struktur relevan yang membawa proses-proses fungsional. Lebih lanjut ditekankan bahwa sejalan dengan cara fungsionalisme dipahami pada tahun 1950an, sebuah hubungan yang berkelanjutan antara manusia dengan lingkungan biofisiknya bukan merupakan bagian dari proses fungsional ini. Alam hanya dilihat sebagai „sesuatu diluar‟ sebagai sebuah sumber untuk fungsi ekonomi (Harper 2004: 69). Penganut pendekatan fungsionalisme lainnya, Dunlap dan Catton berusaha memperbaiki pandangan ini dengan mengelaborasi tiga fungsi lingkungan bagi kehidupan manusia. Lingkungan biofisik berfungsi sebagai gudang persediaan untuk kebutuhan nafkah material manusia. Lingkungan berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah dan polusi manusia. Sekaligus, lingkungan berfungsi sebagai ruang tinggal untuk semua aktivitas, dan semua penggunaan yang berlebihan dari fungsi-fungsi ini menghasilkan kesesakan, kemacetan dan kerusakan habitat bagi spesies lainnya. Penggunaan salah satu fungsi secara berlebihan akan mengganggu fungsi lainnya, dan secara luas akan menjadi disfungsi bagi kehidupan manusia. Moran (Haenn and Wilk 2006: 203) memiliki cara pandang yang sedikit berbeda dalam melihat fungsionalis Steward. Bagi Moran, Steward memandang institusi-institusi sosial memiliki kesatuan fungsi yang memberikan solusi untuk masalah subsistensi. Penggunaan pendekatan fungsionalisme oleh Steward dipusatkan pada pemakaian sebuah variabel dalam kaitannya dengan sekumpulan variabel yang terbatas., tidak dalam hubungan dengan keseluruhan sistem sosial, sehingga tidak terjatuh pada kelemahan arus fungsionalisme Inggris. Fungsionalis Inggris menekankan peran kelembagaan sosial untuk memelihara keseimbangan
26
kultural. Sementara Steward mengarahkan ekologi budaya pada bagaimana sebuah sistem tunggal berubah dan bagaimana hubungan kausalitas dalam sistem tersebut mampu membawa perubahan. Pendapat ini dipertegas oleh Geertz (1968: 7) dengan memaparkan perbedaan pokok antara ekologi budaya dengan pendekatan lainnya ialah bukan pada seluruh kehidupan manusia secara luas dan besar, melainkan dalam kecocokan menerapkan konsep dan asas ekologi itu pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia. Geertz juga menegaskan perbedaan cara pandang ekologi budaya dengan antropologi holisme, karena pendapat Steward berbeda dengan anggapan bahwa segala aspek kebudayaan itu saling berhubungan secara fungsional. Bagi Steward tingkat dan macam hubungan aspek kebudayaan beranekaragam. Dia berusaha mengisolasi aspek-aspek tertentu dari kebudayaan yang sedang dianalisisnya. Ikatan fungsional dengan alam sekitarnya dari aspek-aspek ini tampak sangat eksplisit. Selain itu kesalingtergantungan antara pola-pola kebudayaan dan hubungan organisme lingkungan hidup tampak jelas dan sangat penting. Aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas ini dinamai dengan inti kebudayaan. Analisis ekologis Steward hanya berlaku pada inti kebudayaan saja. Dalam pendekatan ekologi budaya, perubahan evolusioner besar hanya akan dapat dilihat bila terjadi perubahan inti tekno-ekonomi dan tipe kultur baru akan muncul. Setelah ribuan tahun, kultur dalam lingkungan yang berbeda-beda mengalami perubahan besar dan perubahan itu pada dasarnya merupakan penemuan cara adaptasi baru yang dikehendaki oleh teknologi dan tatanan produksi yang berubah (Sztompka 2007: 136). Merujuk pada uraian Stompka tersebut, dapat disimpulkan bahwa pergeseran teknologi pemanfaatan lingkungan akan menimbulkan perubahan pada unsur-unsur kebudayaan primer. Sebagaimana dijelaskan juga oleh Steward bahwa ketika inovasi teknologi meningkatkan kemampuan manusia untuk mengendalikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta sejarah pola perilaku diperkenalkan, signifikansi lingkungan dan kebudayaan telah diubah dan proses adaptif tidak hanya menjadi lebih komplek tetapi juga memperoleh kualitas baru. Begitu pula ketika budaya menyediakan teknik yang lebih efisien untuk kelangsungan hidup, fakta-fakta
27
penting biologis manusia seperti jenis kelamin, usia, dan hubungan kekerabatan terus mempengaruhi sifat masyarakat tetapi berpola dalam berbagai cara oleh adaptasi ekologis budaya (Steward 1968). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Steward mengemukakan tiga prosedur fundamental untuk mengaplikasikan ekologi budaya dalam berbagai kondisi budaya dan lingkungan. Ketiga prosedur tersebut cenderung menunjukkan bahwa Steward memiliki pemahaman yang dekat dengan dialektika marxian. Dengan cara pandang materialime, Steward meyakini bahwa tipe-tipe masyarakat tertentu sangat mungkin terbentuk di bawah kondisi teknologi dan lingkungan tertentu. Perhatian Steward tertuju pada proses teknologis dimana manusia mengeksploitasi lingkungan mereka, dan analisanya difokuskan pada bagaimana strategi subsistensi yang berbeda-beda menghasilkan struktur sosial yang berbeda juga (Aguilar 2000: 6). Lingkungan fisik mempunyai efek interaksi langsung hanya pada inti kebudayaan, dan berpengaruh tidak langsung dengan elemen lain dalam sistem kehidupan manusia (Harper 2004: 52). Harper mempertegas bahwa relasi tersebut merupakan dua arah yang interaktif dengan umpan balik atau cybernetic. Lingkungan biofisisk
Inti budaya, Infrastruktur material
Organisasi sosial Struktur sosial
Kultur simbolik, pandangan hidup, ideologi
Gambar 1. Teori Ekologi Manusia: Hubungan antara Lingkungan Biofisik dan Elemen Sistem Sosiokultur (Harper 2004: 52) Beberapa literatur mengatakan bahwa Steward terpengaruh dengan pemikiran Marx13, tetapi peneliti cenderung mengikuti cacatan lain yang mengatakan bahwa fokus Steward terhadap teknologi (dimaksud sebagai infrastruktur material) merupakan pengaruh dari pemikiran evolusi materialis (evolusi teknologi) Hendry L. 13
Morgan14. Steward mengkritisi evolusi linear
Mila D. Aguilar, 2000 dalam Paper Seminar Cultural Ecology and Neo-Evolutionary Thought. Lihat Political Ecology A Critical Introduction. Paul Robbins 2004:32. Pemikiran Morgan dalam bukunya Ancient Society juga diiktisar oleh Engels dalam tulisannya mengenai evolusi masyarakat manusia. Lihat Koentjaraningrat 2007: 46, Bohannan dan Glazer 1988: 31. Ada kemungkinan keduanya, baik Engels dan Marx serta Steward mendapatkan pengaruh dari pendekatan evolusi teknologi L.H. Morgan. 14
28
Morgan terutama uraiannya mengenai teori evolusi masyarakat dan kebudayaan yang melewati delapan tahapan tingkat evolusi. Tetapi cara pandang materialis terhadap evolusi Morgan telah mempengaruhinya. Kajian empiris yang meletakkan teknologi dalam melihat adaptasi masyarakat dan lingkungan merupakan pandangan yang berkembang dalam pendekatan materialisme. Pendekatan ini berusaha menjelaskan ciri-ciri dasar kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan kondisi praktis-material dari eksistensi manusia. Kondisikondisi ini meliputi sifat lingkungan fisik, tingkat teknologi dan sistem organisasi ekonomi. Bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah adaptasi terhadap lingkungan fisik, dan ini harus dilakukan dengan menciptakan teknologi dan sistem ekonomi. Sekali teknologi dan sistem ekonomi diciptakan, maka ia akan menentukan sifat pola-pola sosial lain yang dilahirkan masyarakat manusia. Jenis teknologi dan sistem ekonomi yang berbeda akan melahirkan jenis pola-pola sosial yang berbeda pula (Sanderson 2000: 7). Pengembangan pendekatan materialis muncul dalam karya Marx dan Engels mengenai konsepsi materialis tentang sejarah. Marx dan Engels membagi masyarakat manusia ke dalam dua komponen pokok yaitu infrastruktur (kekuatankekuatan produksi dan hubungan-hubungan produksi) dan suprastruktur (politik, hukum, kehidupan keluarga, agama serta gagasan). Baik infrastruktur dan suprastruktur, keduanya saling berkaitan. Arus utama hubungan kausalitasnya bergerak dari infrastruktur ke suprastruktur. Marx dan Engels percaya bahwa pola-pola pikiran dan tindakan manusia yang terdapat dalam suprastruktur masyarakat pada umumnya terbentuk dari ciri-ciri infrastruktur masyarakat tersebut. Mereka juga memandang bahwa perubahan sosial dalam suprastruktur terjadi karena adanya perubahan yang telah terjadi di dalam infrastruktur masyarakat. Inilah esensi materialisme mereka (Sanderson 2000: 8) Ada afinitas yang sama antara teori ekologi budaya dengan pendekatan materialisme Marx ini. Dalam sudut pandang Steward, efek hubungan langsung antara lingkungan biofisik dengan inti kebudayaan (mengacu pada infrastruktur material) dan secara tidak langsung mempengaruhi struktur sosial hingga ke pandangan hidup dengan pola hubungan timbal balik atau cybernetic (Gambar 1).
29
Materialis memandang variabel-variabel infrastruktur lebih utama karena ia membantu cara-cara dasar di mana manusia memecahkan problem kehidupannya yang paling dasar. Sanderson (2000: 60) mengatakan bahwa infrastruktur material berisi bahan-bahan baku dan bentuk-bentuk sosial dasar yang berkaitan dengan usaha manusia mempertahankan hidup dan berdaptasi dengan lingkungannya. Infrastruktur dibagi menjadi 4 sub unit dasar: 1. Teknologi yang terdiri dari informasi, peralatan dan teknik yang dengannya manusia beradaptasi dengan lingkungan fisiknya. 2. Sistem ekonomi yang teratur dimana barang dan jasa dihasilkan, didistibusikan dan dipertukarkan diantara para individu dan masyarakat. 3. Ekologi meliputi seluruh lingkungan fisik yang terhadapnya manusia harus beradaptasi. 4. Faktor demografis yang meliputi sifat dan dinamika penduduk manusia. Dalam perhatiannya terhadap teknologi produksi pada pusat ‟inti kebudayaan‟ Steward cukup dekat mengartikulasikan pendekatan materialis dalam kebudayaan, yang merupakan sebuah gagasan fundamental moda produksi Marxian. Afinitas kedua teori ini terletak pada pendekatan materialis yang digunakan untuk melihat perkembangan masyarakat15. Perbedaan pendekatan Steward dan Marxian terdapat pada cara Steward memfokuskan keterhubungan antara teknologi, lingkungan dan masyarakat, sebagaimana secara spesifik menjadi uraian pada tiga prosedur dasar metodologi ekologi budaya yang dikembangkannya. Steward tidak melihat sebagaimana karateristik Marxis melihat konflik sebagai penggerak evolusi.
2.2.1. Perubahan Sosial hingga Dikotomi pada Sistem Sosiokultur Sebuah catatan dari tulisan Barnes, Sea Hunters of Indonesia (1996) yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah mengenai dikotomi pada sistem sosial di Lamalera. Barnes mengatakan bahwa dari sudut pandang kategorikategori antropologis, Lamalera bisa digambarkan memiliki sebentuk sistem ekonomi campuran yang terbagi atas ekonomi subsisten dan ekonomi pasar, 15
Dengan mengelaborasi dua akar teori Steward dan Marxian serta pemikiran White, telah menyebabkan munculnya sudut pandang cultural materialism. Lihat Marvin Harris. Culture, People, Nature. An Introduction to General Anthropology (1993).
30
walaupun batasan antara kedua sistem tersebut dapat ditembus. Bisa juga dikatakan mengalami dualisme ekonomi internal terhadap perekonomiannya sendiri. Kategori apapun yang diterapkan ke Lamalera, satu sisi kehidupan di desa ini sangat signifikan menunjukkan jati diri masyarakat sehingga seringkali disayangkan bila digantikan oleh pola-pola pekerjaan yang sesuai dengan perekonomian nasional atau internasional. Tekanan-tekanan serupa ini mungkin juga akan ditemukan pada semua sisi kehidupan masyarakat Lamalera, termasuk dalam kehidupan agama, keluarga, ekonomi dan politik (Barnes 1996: 5). Kondisi dikotomi yang digambarkan oleh Barnes mengenai kehidupan masyarakat Lefo Lamalera juga merupakan gambaran desa-desa di Indonesia secara umum. Jauh pada masa kolonial, J. H. Boeke seorang ahli antropologi ekonomi telah mengemukakan konsep dualisme dalam sistem sosial di masyarakat16. Boeke (Sajogjo 1982: 1) mengatakan, apabila dalam waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat yang bersangkutan, disitu kita berhadapan dengan masyarakat ganda (dual) atau jamak (plural society). Penekanan konsep dualisme Boeke diletakkan pada aspek ekonomi, untuk menggambarkan kondisi perekonomian di Indonesia dengan dua sistem ekonomi yang berjalan sekaligus yaitu sistem ekonomi kapitalisme dan sistem ekonomi tradisional. Dualisme akan muncul pada masa-masa peralihan seperti pada masa pra-kapitalisme atau kapitalisme awal (early capitalism). Dalam masyarakat ganda, biasanya salah satu sistem sosial (yang termaju) merupakan sistem sosial yang diimpor dari luar dan hidup dalam lingkungan yang baru tanpa berhasil menyingkirkan atau menyerap sistem sosial lain yang telah lama hidup disitu. Menurut Boeke sifat sosial ganda adalah pertarungan antara sistem sosial impor dari luar lawan sistem sosial asli yang bergaya tersendiri. Sistem sosial impor biasanya merupakan sistem kapitalisme tinggi. Teori ekonomi ganda yang dimaksudkan Boeke adalah adalah tiga teori ekonomi yang menjadi satu, terdiri dari 1) teori ekonomi masyarakat pra-kapitalis, biasanya disebut ilmu ekonomi 16
Pandangan ini banyak mendapat kritik terutama dalam pandangannya yang terlalu menekanan perbedaan antara tata sosial kapitalis dan pra-kapitalis, antara motif ekonomi modern barat dan pribumi.
31
promitif, 2) teori ekonomi masyarakat kapitalis atau sosialis, biasanya disebut teori ekonomi umum atau ringkasnya teori ekonomi sosial dan, 3) teori ekonomi dari hubungan antara dua sistem sosial yang berbeda dalam satu lingkungan masyarakat (Sajogjo 1982: 3). Boeke mencoba menggambarkan sifat ganda dalam beberapa ungkapan seperti timur-barat (eastern-western), kota-desa (town-village), asli-asing (nativeforeign) ataupun dengan ungkapan ekonomi tanah jajahan (colonial economy) dan ekonomi daerah berilim panas (tropical economy). Tetapi ungkapan yang dipandang meyakinkan untuk menyampaikan gagasannya adalah kata kapitalis dan bukan kapitalis atau pra-kapitalis. Boeke mempertegas penggunaan kapitalis dalam arti materialis. Kapitalisme adalah pandangan hidup. Menurut Boeke ekonomi pra-kapitalis dicirikan dengan ikatan komunal (communalism); ikatan sosial organik yang asli; Gemeinschaft; pembagian masyarakat atas kelas-kelas tradisional; kebutuhan, paling tidak kebutuhan rakyat banyak, yang terbatas dan sederhana; jual beli tidak ada atau sedikit sekali; yang diproduksi adalah barang pemuas kebutuhan bukan barang dagang; produksi dilakukan dalam dan untuk keperluan rumah tangga; kalau ada produksi untuk pasar, tidak ada pembedaan tajam antara kegiatan usaha dan rumah tangga; tidak ada orang yang pekerjaannya khusus berdagang; keluarga atau keluarga besar dalam produksi dan konsumsi adalah satuan dasar; orang mungkin bekerja bersama-sama, tetapi pembagian kerja sedikit; organisasi ekonomi hampir tidak ada; dan akhirnya, dorongan ekonomi dan bukan-ekonomi campur aduk, ekonomi menduduki tempat lebih rendah, tunduk pada ketentuan agama, tata susila dan tradisi (Sajogjo 1982:12). Sementara kapitalisme terwujud dalam rasionalitas; berkecenderungan memiliki kepentingan pribadi; tingkat kebutuhan yang terus bertambah tanpa batas; jual beli; kegiatan industri dengan modal sebagai landasan dan laba sebagai tujuan; perbedaan tajam antara kegiatan usaha dan rumah tangga; semua hasil produksi untuk diperdagangkan; pembagian kerja; organisasi dan perencanaan; kontrak dan dalam bentuk perusahaan. Kapitalisme tumbuh berangsur-angsur dari kapitalisme awal hingga kapitalisme akhir. Perkembangan keduanya sangat bergantung pada kapitalisme barat yang berkembang penuh. Pada puncak
32
perkembangannya kapitalisme tinggi memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: penggunaan mesin di bidang industri dan angkutan sangat maju; perusahaan tersusun rapi dan terpusat; produksi besar-besaran (Sajogjo 1982:11). Meskipun memberikan penekanan terhadap aspek ekonomi, akan tetapi Boeke menyadari bahwa pertarungan antara dua tahap sosial itu sebenarnya adalah gejala kejiwaan, yang tercermin juga dalam segi-segi kehidupan lain yaitu dalam bidang perundang-undangan dan pemerintahan, hukum dan peradilan, organisasi sosial, dan juga dalam pandangan manusia mengenai kebutuhannya, penilaian terhadap peristiwa-peristiwa, dalam kerja, agama dan tata susila (Sajogjo 1982: 13). Pada penelitian ini, dikotomi masyarakat serta dualisme sistem ekonomi menjadi perhatian terutama dalam melihat proses adaptasi terhadap lingkungan. Sistem sosiokultur asli di Lefo Lamalera lahir atas adaptasi terhadap lingkungan biofisik Laut Sawu melalui proses migrasi dan sosialisasi yang panjang dengan masyarakat gunung di daratan Lembata. Sementara itu sistem baru muncul melalui introduksi teknologi. Masih dalam kerangka adaptasi terhadap kondisi ekologis, cara-cara yang lebih efektif dalam mengeksploitasi sumberdaya dilakukan dengan menggunakan teknologi baru sehingga akhirnya mempengaruhi elemen-elemen sosiokultur lain serta melahirkan sistem pengelolaan ekonomi yang berbeda dari bentuk awal yang dibangun di sejarah masyarakat Lamalera.
2.3. Teori Diskursus Diskursus diartikan sebagai cara untuk mengkomunikasikan gagasangagasan. Michel Foucault, pemikir Perancis, menggunakan terminologi ini sebagai dasar teorinya mengenai kekuasaan dan struktur sosial. Bagi Foucoult kekuasaan dan pengetahuan tidak hanya terkait erat, tetapi juga tidak terpisahkan. Bukan hanya tentang kekuasaan pengetahuan tetapi juga mengenai kekuasaan yang mengontrol pengetahuan (Slattery 2003: 208). Dalam pandangannya, siapapun yang memiliki kekuasaan mempunyai kapasitas untuk medefinisikan dan mengontrol pengetahuan dalam wilayah kekuasaannya. Foucault mengembangkan ide bahwa pengetahuan berperan penting menciptakan kebebasan. Bahkan pengetahuan dianggap sebagai basis yang
33
berfungsi sebagai alat baru untuk kontrol sosial (Jary and Jary 1991: 236). Menurut Adger (2001) diskursus merupakan pemaknaan terhadap sebuah fenomena oleh kelompok-kelompok baik besar maupun kecil di tingkat lokal sampai global. Para aktor terlibat dalam derajat yang berbeda-beda dalam memproduksi atau mereproduksi dan memformulasi diskursus melalui tulisan maupun pernyataan lisan. Sebuah diskursus bisa menghegemoni ketika dominasi pemikirannya diterjemahkan dalam kebijakan institusional.
2.3.1. Diskursus Konservasi Lingkungan Dalam menganalisa isu-isu lingkungan, Adger membagi menjadi dua diskursus yaitu diskursus manajemen lingkungan global (Global Environmental Management–GEM) yang merupakan representasi dari pandangan atau paradigma teknosentris dengan cetak biru yang didasarkan kepada intervensi kebijakan eksternal yang dianggap dapat menyelesaikan dilema lingkungan global dan diskursus populis yang menggambarkan aktor-aktor lokal sebagai korban dari intervensi eksternal yang mengakibatkan degradasi lingkungan dan eksploitasi. Diskursus manajemen lingkungan global mendominasi banyak kebijakan lingkungan. Solusi yang ditawarkan oleh diskursus ini dalam mengatasi krisis lingkungan adalah solusi-solusi yang bersifat global, top-down, intervensionis dan teknosentris. Karena solusi yang diberikan berada di tingkat global, oleh karena itu tindakan-tindakan yang bersifat internasional dipandang perlu. Tindakan ini harus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga multi-lateral dan kerangka regulasi. Meskipun pelaksanaan diskursus manajemen global terletak pada peran negara, namun secara esensial solusi yang dijalankan berorientasi pada pasar. Berbeda dengan sebelumnya, diskursus populis lebih memberikan perhatian terhadap pengaruh negatif dalam skala lokal atas campur tangan aktor-aktor luar seperti konservasi dan penggunaan sumberdaya alam. Relasi ekonomi internasional termasuk pembangunan internasional dipandang sebagai gambaran intervensi negatif dan disebut sebagai neo-kolonialisme dan bukan sebagai peluang mengembangkan perdagangan, meningkatkan pendapatan ataupun konservasi. Pengetahuan lokal dan tradisional dilihat sebagai wadah praktek yang
34
berkelanjutan dan masyarakat lokal akan menjadi lebih baik tanpa campur tangan dari luar (Adger 2001: 703). Salah satu alasan keanekaragaman hayati menjadi isu lingkungan adalah karena terjadi kelangkaan pada beberapa jenis spesies binatang dan tumbuhan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dibandingkan kelangkaan yang terjadi secara alamiah. Dalam argumentasi ini, pengrusakan lingkungan oleh manusia dipicu cara pandang antroposentrisme yaitu sebuah etika yang melihat manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan antroposentris menjadi alasan dibuat sebuah kebijakan yang membatasi manusia dengan lingkungannya. Pandangan yang melihat manusia dan kepentingannya sebagai nilai tertinggi merupakan ancaman kerusakan lingkungan dan kepunahan pada beberapa keanekaragaman hayati yang ada. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menghindari ancaman kepunahan adalah dengan melakukan konservasi pada habitat spesies yang terancam punah tersebut. Konservasi merupakan sebuah filosofi tentang pengelolaan lingkungan dengan tujuan menghindari pengrusakan serta kepunahan keanekaragaman hayati (Jordan 1995). Wittmer dan Bitmer (2005) membagi pemikiran yang mewacana dalam konservasi sumberdaya alam atas tiga aliran yaitu, konservasionisme, eko-populis dan developmentalisme. Pemikiran pertama berargumentasi bahwa diperlukan kawasan yang dilindungi secara hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia untuk mewujudkan keseimbangan ekologi termasuk fungsi hidrologi dari sumberdaya hutan. Pada dasarnya, aliran pemikiran
ini menganggap bahwa
penduduk setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi sumberdaya alam. Aliran ini berkeyakinan bahwa ilmu-ilmu alam tidak lagi perlu diperdebatkan. Pemikiran kedua berpendapat bahwa masyarakat adat dan lokal adalah penanggung risiko terbesar yang perlu dilindungi. Mereka juga mempunyai kemampuan untuk melakukan konservasi sumberdaya alam lebih baik daripada pemerintah. Aliran ini menolak kehadiran swasta dan para pelaku konservasi yang menafikan masyarakat adat dan lokal. Pandangan mereka didasarkan pada ketidaksetujuan terhadap pandangan ortodok mengenai ilmu-ilmu sosial dan ilmu alam, tetapi lebih mendukung penghargaan terhadap pengetahuan lokal.
35
Developmentalisme mempunyai anggapan bahwa kerusakan sumberdaya alam ditimbulkan oleh kemiskinan. Mereka memandang bahwa kaum eko-populis terlalu
romantis
dan
memperalat
masyarakat
lokal,
sedangkan
kaum
konservasionis dianggapnya tidak memperhatikan persoalan kemiskinan (lihat Tabel 1)
Tabel 1. Kerangka Pemikiran Pengelolaan Kawasan Konservasi TOPIK
Konservationis
Kerangka Pemikiran Eko-populis
Developmentalis Didasarkan pada keunikan kawasan sehingga perlu dipisahkan dari kegiatan eksploitasi sumberdaya alam
Keberadaan Kawasan Konservasi
Didasarkan pada fungsi flora, fauna, landscape bagi keberlangsungan fungsi ekologi
Didasarkan pada kepentingan langsung masyarakat baik untuk kehidupan sehari-hari maupun jangka panjang
Penetapan Kawasan Konservasi
Suatu keharusan karena ilmu pengetahuan yang menjelaskan pentingnya fungsi ekologi tidak perlu diperdebatkan lagi
Suatu yang penting dan perlu dikaitkan dengan sistem penguasaan dan pemilikan sumberdaya secara adil
Sejalan dengan fungsi kawasan dan sesuai dengan hukum yang berlaku
Rumusan Masalah
Sumberdaya alam rusak karena gangguan pihak lain
Sumberdaya alam rusak karena tidak ada keadilan dalam pemanfaatannya
Sumberdaya alam rusak karena kemiskinan
Orientasi Kebijakan
Bersifat instruksional, pengawasan dan penegakan hukum
Penataan penguasaan dan pemilikan sumberdaya alam
Investasi untuk menampung pengangguran
Sumber : Wittner dan Bitner 2005.
Pelaksanaan konservasi di Indonesia masih didominasi oleh pemikiran pertama, meskipun perdebatan antara tiga pemikiran tersebut belum ada titik temunya. Isu keanekaragaman hayati dipertajam oleh LSM Lingkungan, yang berkembang di negara maju pada tahun 1960 – 1970an. Keprihatinan awal organisasi-organisasi ini tertuju pada isu-isu yang berkaitan dengan satwa langka
36
(seperti perburuan paus dan pembunuhan anjing laut) dan polusi industri yang menyusul menjadi perhatian para pendukungnya di negara dunia pertama (Bryant and Bailey 1997: 137). Untuk menjaga keanekaragaman hayati, konservasi seringkali dilakukan secara berlebih-lebihan. Penetapan kawasan konservasi lebih banyak dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek biologis namun mengesampingkan aspek sosial budaya, politik dan ekonomi. Sementara itu, dalam kenyataannya konservasi bukan menyangkut persoalan teknis semata, akan tetapi memiliki nuansa sosial politik yang komplek antara para pihak yang terlibat. Kegiatan konservasi dijalankan oleh organisasi-organisasi konservasi yang komitmennya terikat kepada lembaga donor serta pemerintahan nasional. Ikatan komitmen ini membuat organisasi konservasi bergerak dengan pola dan jalan yang diinginkan oleh lembaga yang mendukung kegiatan mereka. Oleh karena itu, pembuatan keputusan dalam kegiatan konservasi lebih banyak bersifat global, karena ada kepentingan-kepentingan dari penyandang dana yang harus difasilitasi. Dengan sistem yang seperti ini, maka banyak upaya konservasi terutama yang berlangsung di negara berkembang mengalami kegagalan. Kegiatan konservasi mengabaikan kehidupan sosial yang menyatu pada lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa konservasi tidak bisa mengabaikan proses-proses sosial untuk mencapai tujuan menjaga keanekaragaman hayati, sehingga baik informasi biologis, sosial budaya maupun politik menjadi penting dalam pengambilan keputusan terhadap penetapan kawasan konservasi. Pentingnya cara pandang global dan lokal mengenai konservasi untuk menghindari permasalahan yang kerap kali muncul, diejawantahkan oleh Janis Alcorn (Brosius 2005) dengan mengelompokkan dua jenis konservasi, yaitu konservasi besar (big conservation) dan konservasi kecil (little conservation). Konservasi besar merupakan program-program konservasi dijalankan oleh lembaga-lembaga konservasi besar dari negara-negara Utara. Konservasi besar bersifat global, merupakan organisasi dan institusi besar yang dijalankan dari kota. Konservasi merupakan fokus dari lembaga-lembaga yang termasuk dalam konservasi besar. Mereka didominasi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan untuk memelihara lingkungan, didanai secara besar-besaran dan
37
sering kali tidak tertarik dengan keadilan sosial dalam pengelolaan sumberdaya. Sedangkan konservasi kecil merupakan aktivitas konservasi yang dijalankan oleh masyarakat pribumi, di utara dan selatan, lebih dekat dengan kebudayaan, perilaku, konvensi sosial akan akses sumberdaya serta lebih paham akan fungsi alam dan komunitas. Konservasi kecil juga mencakup tataran pilihan hidup individu yang bersatu dengan lingkungan, pengetahuan ekologi lokal dan kemahiran mereka dalam memanfaatkan serta menjaga kestabilan ketersediaan sumberdaya. Merujuk pada klasifikasi yang dibuat oleh Alcorn, penetapan kawasan konservasi Laut Solor, Lembata dan Alor, termasuk pada konservasi besar yang digerakkan oleh organisasi internasional. Sementara itu masyarakat nelayan Lamalera memiliki aturan-aturan serta cara pengelolaan sumberdaya sendiri sehingga tergolong pada konservasi kecil. Dengan mengelompokkan dua konservasi ini, Alcorn juga berusaha menjelaskan bahwa tidak sinergisnya kedua kelompok ini akan menimbulkan potensi konflik serta mengancam eksistensi konservasi kecil. Dalam tradisi Barat, ada dua jenis konservasi yang berbeda secara fundamental yaitu konservasi dengan pemamfaatan yang bijak (wise use conservation) dan pengawetan (preservation). Perbedaan mendasar ini ditengahi oleh konservasi modern yang berbeda dengan wise use conservation serta tidak melihat alam sebagai komuditas dan berbeda dengan preservation karena tidak menjauhkan alam dari campur tangan manusia (Berkes 2008: 233). Konservasi tradisional sendiri adalah konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap alam dan cara mereka dalam memanfaatkannya. Dan konservasi ini memiliki bentuk yang berbeda pada setiap masyarakat.
2.3.1. Konservasi Sebagai Konstruksi Sosial/ Konservasi Tradisional Konservasi tradisional atau konservasi oleh masyarakat asli (indigenous conservation) merupakan sebutan lain untuk konsep konservasi kecil yang diutarakan Alcorn. Menggunakan konsep konservasi tradisional berarti melihat masyarakat asli sebagai konservasionis yang memiliki pengetahuan ekologi lokal dalam memanfaatkan secara bijaksana sumberdaya alamnya. Pengetahuan
38
ekologis tradisional (Traditional Ecological Knowledge–TEK)17 didefinisikan sebagai sekumpulan pengetahuan, praktek, dan kepercayaan, yang berkembang dengan proses adaptasi dan diturunkan dari generasi ke generasi dengan transmisi kebudayaan, tentang hubungan antar makhluk hidup (termasuk manusia) satu dengan lainnya dan dengan lingkungannya. Pengetahuan ekologi tradisional adalah cara untuk mengetahui, ia bersifat dinamis, dibangun di atas pengalaman dan adaptif terhadap perubahan (Berkes 2008: 7). TEK dideskripsikan sebagai pengetahuan–praktek–kepercayaan yang kompleks. Dalam analisis, beberapa ilmuan menyusun TEK atas beberapa level yang saling berhubungan (Gambar 2).
World view Social institutions Land and resource management systems Local knowledge of land, animals
Gambar 2. Level analisa pada Pengetahuan Ekologi Tradisional dan Sistem Manajemennya, Berkes 2008. Pertama, terdapat pengetahuan lokal dan empiris mengenai binatang, tumbuhan, tanah dan lansekap. Pengetahuan di tingkat ini mencakupi informasi mengenai identifikasi spesies dan taksonomi, sejarah hidup, distribusi dan pola 17
Pengetahuan ekologi tradisional berbeda dengan pengetahuan indijenus yang lebih luas cakupannya. Pengetahuan indijenus merupakan pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu. Pengetahuan indijenus merupakan susunan pengetahuan yang terbentuk secara historis (emik) dalam proses adaptasi jangka panjang dari sekelompok manusia pada lingkungan biofisik tertentu. Ellen (1998) secara detail mencirikan pengetahuan indijenus ini sebagai berikut: ia bersiat lokal, ditransmisikan secara oral, merupakan hasil dari pergumulan praktis yang diperkuat oleh pengalaman dan rangkaian percobaan dan kegagalan, bersifat empiris ketimbang teoritis, repititif, cair dan bisa dinegosiasikan, dimiliki bersama namun terdistribusikan secara asimetris, sebagian besarnya bersifat fungsional, dan tertanam dalam suatu matrik budaya yang lebih luas (dalam Shohibuddin 2003: 9).
39
perilaku. Berdasarkan observasi empiris, semua informasi ini memiliki nilai-nilai survival yang jelas dan dapat diterima lintas budaya. Level analisis kedua yaitu terdapat sistem manajemen sumberdaya, yang menggunakan pengetahuan lingkungan lokal dan juga mencakup seperangkat praktek, peralatan, dan teknik yang sesuai. Praktek-praktek ekologis ini memerlukan sebuah pemahaman mengenai proses-proses ekologis, seperti hubungan fungsional antara spesies kunci dan pemahaman mengenai suksesi hutan. Ketiga, sebuah manajemen sistem tradisional yang disesuaikan dengan institusi-institusi sosial, seperangkat peraturan dalam pemamfaatan, norma-norma dan kode-kode dalam hubungan sosial. Pada msekelompok masyarakat pemburu, nelayan, petani yang saling berhubungan, untuk mengekfektifkan fungsi-fungsi ini didukung dengan sebuah organisasi sosial untuk koordinasi, kerjasama dan membuat peraturan. Institusi sosial mencakup institusi-institusi pengetahuan yang membingkai proses-proses sosial. Level terakhir yaitu pengenalisa pandangan hidup (worldview) yang mempertajam persepsi lingkungan dan memberikan arti terhadap observasi lingkungan. Level analisis ini mencakupi agama, etika-etika dan sistem kepercayaan secara umum. TEK berbeda dengan pengetahuan ekologis barat karena memiliki latar belakang filosofis dan antropologis, serta berkembang dalam konteks etika dan moral yang tidak membedakan antara alam dengan kebudayaan. TEK merupakan bagian dari kearifan tradisional masyarakat asli. Keraf (2006: 289) mencirikan kearifan tradisional dengan: 1. adalah milik komunitas yang muncul dalam shared collective, and communal wisdom, 2. juga berarti pengetahuan tradisional, lebih bersifat praksis, atau “pengetahuan bagaimana”: bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis, bagaimana berhubungan secara baik dengan semua isi alam, bagaimana memperlakukan setiap bagian alam dengan baik untuk mempertahankan kehidupan masing-masing spesies maupun untuk mempertahankan seluruh kehidupan di alam. 3. bersifat holistik karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta.
40
4. memahami bahwa semua aktivitas adalah aktivitas moral. 5. bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang partikular dan konkret. Kendati tidak memiliki rumusan universal sebagaimana ilmu pengetahuan modern, dia menjadi universal bagi dirinya sendiri. Pada pelaksanaan konservasi tradisional yang didukung dengan TEK dan mengandung nilai-nilai kearifan lokal, melindungi keanekaragaman hayati berarti menghindari kerusakan dalam skala besar dan mengkonservasi beberapa jenis keanekaragaman hayati. Konservasi keanekaragaman hayati, hanya dilakukan pada beberapa jenis, tidak secara keseluruhan, karena pemamfaatan tetap dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi. Oleh karena itu, setiap masyarakat biasanya memiliki aturan-aturan dalam pemamfaatan sumberdaya.
2.3.2. Konservasi Keanekaragaman Hayati/ Konservasi Modern Berdasarkan Kamus Inggris Oxford, konservasi adalah 1. tindakan konservasi, pelestarian dari pengaruh-pengaruh destruktif, kerusakan atau limbah; pelestarian dalam keberadaan, kesehatan dan lain-lain, 2. biaya resmi dan perawatan sungai, saluran air, hutan, serta pemeliharaan (Radcliffe 2002: xv). Pengelolaan konservasi yang ditujukan untuk konservasi biologi biasanya dianut oleh para ilmuwan biologi yang lazim disebut sebagai pendekatan konservasionis (conservationist)18. Keanekaragaman hayati merupakan konsep yang yang berakar di bidang konservasi biologi. Adiwibowo (2005: 32) memaparkan tiga peristiwa yang mendorong munculnya wacana konservasi pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Pertama, Forum Nasional Keanekaragaman Hayati yang diadakan pada tahun 1986 di bawah naungan National Academy of Science, Amerika Serikat. Forum ini menghasilkan Keanekaragaman Hayati yang menjadi buku paling berpengaruh pada saat itu. Kedua, penciptaan jejaring keanekaragaman hayati yang bertujuan untuk menstabilkan jaringan untuk pergerakan objek, sumberdaya, pengetahuan, dan materi yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati. Jejaring ini berperan penting dalam mempercepat kepedulian global dan membangkitkan kepentingan 18
Dikenal juga dengan aliran eco-imperialism, mencoba memaksakan ide konservasi yang berorientasi pada aspek bio-ekologi.
41
aktor-aktor
global,
nasional dan lokal
sehubungan dengan kehilangan
keanekaragaman hayati. Hal ini selanjutnya diartikulasikan dalam narasi besar krisis biologis dan diluncurkan secara global. Ketiga, sebagai tanggapan terhadap meningkatnya keprihatinan terhadap konservasi dan sebagai kelanjutan dari ide-ide yang telah dimulai sebelumnya, IUCN, UNEP and WWF, pada tahun 1991, sangat mendukung pembangunan berkelanjutan melalui Caring for the Earth: a Strategy for Sustainable Living, dan selanjutnya menjadi perhatian dari banyak pihak yang berkepentingan serta memunculkan projek-projek bilateral dan multilateral. Semua kegiatan tersebut telah
memproduksi
pengetahuan
keanekaragaman
hayati,
wacana
dan
mendefinisikan jenis-jenis kekuasaan – yang saling terhubung satu sama lainnya melalui strategi dan program-program yang nyata – dan kemudian membuka jalan ke “transnation state” meeting: pada 1992; the Rio Summit that resulted in the Convention on Biological Diversity. Keanekaragaman hayati disini didefinisikan sebagai keragaman makhluk hidup dari semua sumber baik darat, laut, maupun ekosistem air dan kompleks ekologi dimana mereka menjadi bagian; keragaman ini mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem (Stott & Sullivan 2000: 180). Zerner
berpendapat
bahwa
konservasi
keanekaragaman
hayati
sebagaimana yang dikonstruksi oleh ilmu-ilmu alam sering dibenarkan sebagai tindakan penembusan; upaya untuk melindungi zona-zona non manusia yang dilukiskan sebagai zona yang utuh, murni dan tidak tersentuh (Stott & Sullivan 2000: 180). Kebijakan konservasi keanekaragaman hayati didorong oleh politik internasional. Lembaga-lembaga yang dominan seperti Bank Dunia dan LSM lingkungan di negara maju serta negara G-7, menawarkan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan untuk menjawab ancamanancaman terhadap keanekaragaman hayati, serta menyarankan mekanisme untuk manajemen keanekaragaman hayati (Escobar 1998: 53). Pada kenyataannya, konservasi merupakan sebuah proses sosial dan politik yang tidak hanya melibatkan kepentingan lingkungan dan ekonomi global tapi juga
bersinggungan
dengan
kepentingan-kepentingan
lokal.
Kemauan
konservasionis untuk mengembangkan konservasi keanekaragaman hayati harus
42
memilih di antara pilihan-pilihan yang nyata, bukan pada tataran pilihan ideal akademis semata (Alcorn 1993: 424). Sehingga upaya-konservasi tidak memarginalkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu. 2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian ini berangkat dari suatu pemikiran bahwa setiap komunitas memiliki sistem sosiokultur yang merupakan hasil dari proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang terbangun dalam rentang waktu yang panjang. Basis dari sebuah sistem sosiokultur terletak pada aspek material teknologi eksploitasi yang dikembangkan berdasarkan karakter-karakter khusus di lingkungan mereka. Perubahan atas teknologi eksploitasi akan mempengaruhi dan ikut merubah komponen sistem sosiokultur lainnya yaitu pengelolaan ekonomi, kelembagaan serta sistem sosial
lainnya.
Dalam konteks pemanfaatan
sumberdarya alam, salah satu perubahan digerakkan oleh kepentingankepentingan
dalam
pengelolaan
lingkungan
seperti
gagasan
konservasi
keanekaragaman hayati.
Perubahan Infrastruktur Material
Diskursus Konservasi
Sistem Sosiokultur
Konservasi Tradisional
Lingkungan
Introduksi Teknologi
Inti kebudayaan
-
Teknologi
Pengetahuan lokal Manajemen sumberdaya Institusi sosial Pandangan hidup (World view)
Pengelolaan Ekonomi
Pengelolaan Ekonomi
Kelembagaan (Pranata sosial, sistem nilai, norma, organisasi, kelompok sosial, dll)
Kelembagaan (Pranata sosial, sistem nilai, norma organisasi, kelompok sosial, dll)
Asosiasi Sosial kekerabatan
Sistem Religi
Asosiasi Sosial Kekerabatan
Konservasi Moderen -
Pengetahuan Kekuasaan Aktor Kepentingan Praktek - praktek
Sistem Religi
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Perubahan Sosial pada Masyarakat Nelayan Lamalera
43
2.5. Hipotesa Pengarah Berdasarkan uraian-uraian teoritis di atas, dirumuskan hipotesa pengarah mengenai perubahan sosial pada masyarakat nelayan Lamalera, yang menjadi penuntun peneliti dalam bekerja: 1. Sistem sosiokultur komunitas Lamalera terbangun dari inti budaya berburu ikan besar seperti paus, pari manta, lumba-lumba dan hiu. 2. Program-program pembangunan kelautan yang diperkenalkan pemerintah dan program konservasi yang dibawa oleh LSM konservasi internasional berpengaruh terhadap sistem sosiokultur komunitas Lamalera termasuk timbulnya polarisasi, hilangnya jaminan sosial dan terjadi ketidaksetaraan (inequality).