BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Secara entimologis komunikasi, istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio atau communis yang berarti kesamaan makna tentang suatu hal. Sehingga komunikasi diartikan sebagai proses sosial dari orang-orang yang terlibat dalam hubungan sosial dan memiliki kesamaan makna mengenai sesuatu hal.
Sedangkan jika ditinjau dari sudut terminologis, komunikasi diartikan
sebagai suatu proses berbagi pesan melalui kegiatan penyampaian pesan dan penerimaan pesan (simbol-simbol yang bermakna) baik secara verbal (lisan dan tulisan) maupun non verbal (gerakan tubuh, wajah, dan mata), sehingga orangorang yang berperan sebagai pengirim dan penerima pesan memperoleh makna yang timbal balik atau sama terhadap pesan yang dipertukarkan (Effendy, 2002) Thomas M.Scheidel dalam Mulyana (2005), mengemukakan bahwa berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Hovland dalam Effendi (1998) memberikan pengertian bahwa komunikasi adalah proses seseorang insan (komunikator) menyampaikan pesan, biasanya berupa lambang-lambang kata-kata atau kalimat, untuk mengubah sikap atau tingkah laku insan lainnya. Proses ini akan terjadi apabila hubungan antara komunikator dan komunikan terdapat hubungan yang dekat, langsung dan kontinyu atau
berkesinambungan, tetapi tidak akan terjadi kalau komunikator dan komunikannya terdapat kesenjangan dan tidak terdapat kesinambungan Williams (1984) dalam Yuhana, dkk (2008) menguraikan adanya lima karakteristik dasar komunikasi, dimana dengan mengetahuinya akan memudahkan kita menganalisis peristiwa komunikasi, yaitu (1) Komunikasi adalah pertukaran simbol-simbol yang bermakna; Komunikasi merupakan tindakan yang dilakukan dengan mengunakan lambang-lambang yaitu bahasa verbal dan lambang non verbal, (2) Komunikasi adalah suatu proses; Yang berarti komunikasi bukan sesuatu yang statis dan sepenggal-sepenggal tetapi berjalan secara continue dan lengkap. Komunikasi merupakan suatu rangkaian proses teori dari tahapan-tahapan yang tersusun secara kronologis sehingga tahapan yang satu akan menentukan tahapan lain yang terjadi berikutnya.
Dalam
komunikasi terdapat unsur-unsur atau komponen yang membentuknya, yang merupakan suatu kesatuan, (3) Komunikasi memerlukan media, (4) Komunikasi bersifat transaksional, yaitu komunikasi menuntut tindakan memberi atau menerima, yang dilakukan secara seimbang oleh masing-masing perilaku yang terlibat dalam komunikasi. Komunikasi akan berhasil apabila kedua belah pihak yang terlibat mempunyai kesepakatan tentang hal-hal yang dikomunikasikan dan (5) komunikasi dilakukan untuk memuaskan kebutuhan insan. Setiap komunikasi yang dilakukan pasti memiliki tujuan. Oleh karena itu tujuan komunikasi menurut Effendy (2006) ada empat, yaitu : (1) mengubah sikap, (2) mengubah opini pendapat atau pandangan, (3) mengubah perilaku dan (4) mengubah masyarakat.
Selain itu,
Berlo (1960) merumuskan tujuan
komunikasi terdiri dari tiga macam, yaitu: (a) bersifat informatif, yaitu dengan menyampaikan ide, gagasan, sesuatu hal dan lain-lain dengan pendekatan pikiran; (b) persuasif, yaitu bertujuan untuk menggugah perasaan orang, dengan pendekatan emosional, dan (c) hiburan, yaitu komunikasi yang bertujuan menghibur atau menyenangkan seseorang melalui peragaan-peragaan tertentu. Gordon L Zimmerman et al dalam Mulyana (2005), mengatakan kita dapat membagi tujuan komunikasi menjadi dua kategori besar.
Pertama kita
berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas - tugas yang penting bagi kebutuhan kita, untuk memberi makan dan pakaian kepada diri sendiri, memuaskan kepenasaran kita akan lingkungan dan menikmati hidup. Kedua, kita berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Dengan demikian komunikasi mempunyai dua fungsi isi, yang melibatkan pertukaran informasi yang kita perlukan untuk menyelesaikan tugas, dan fungsi hubungan yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana hubungan kita dengan orang lain. Liliweri
(2004)
menyatakan
bahwa
komunikasi
secara
otomatis
mempunyai fungsi sosial karena proses komunikasi beroperasi dalam konteks sosial yang orang orangnya berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian fungsi komunikasi sosial mengandung aspek aspek : a.
Manusia berkomunikasi untuk mempertemukan kebutuhan biologis (makan dan minum) dan psikologis (rasa aman dan kepastian). Kedua kebutuhan tersebut harus seimbang, dan melalui komunikasi antar pribadi (interaksi sosial) maka manusia berusaha mencari dan melengkapi kebutuhannya.
b.
Manusia berkomunikasi untuk memenuhi kewajiban sosial. Setiap orang terikat dalam suatu sistem sosial dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya. Misalnya nilai dan norma yang telah mengatur kewajiban kewajiban tertentu secara sosial dalam berkomunikasi sebagai suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan. c.
Manusia berkomunikasi untuk mengembangkan hubungan timbal balik. Kali pertama ketika berkenalan dengan orang lain bentuk tindakan sosial yang terjadi biasanya adalah interaksi biasa yang terjadi akibat basa-basi pergaulan. Baru kemudian meningkat dalam suatu relasi sosial, ekonomi, bisnis di antara mereka sehingga menghasilkan transaksi yang saling menguntungkan diantara keduanya. Terjadi pertukaran kepentingan tertentu dalam hubungan timbal balik itu.
d.
Manusia berkomunikasi untuk meningkatkan dan merawat mutu sendiri. Dengan komunikasi kita mampu menilai, melihat mutu komunikasi orang lain dan kemudian mengubah diri sendiri, meningkatkannya sehingga dapat berdampak pada usaha untuk merawat kesehatan jiwa.
e.
Manusia berkomunikasi untuk mengatasi konflik, pertentangan antar manusia kadang tidak dapat dielakkan, melalui komunikasi konflik dapat dihindari karena telah terjadi pertukaran pesan dan mungkin saja kesamaan makna mengenai sesuatu makna tertentu. Berdasarkan
pengertian,
tujuan
dan
fungsi komunikasi,
ternyata
komunikasi memiliki peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang. Dengan kata lain, komunikasi menentukan baik dan buruknya sikap dan perilaku seseorang. Demikian pula dalam melakukan tanggung jawab sosial perusahaan, komunikasi yang dilakukan melalui program ini juga akan membentuk sikap dan perilaku masyarakat di sekitar perusahaan.
Jika
komunikasi yang dilakukan perusahaan efektif maka tentu akan mempengaruhi rasa kepuasan terhadap program tersebut, dan jika masyarakat puas, maka dapat meningkatkan kredibilitas perusahaan sehingga memberikan perilaku yang baik tanpa ada konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar.
2.2. Efektifitas komunikasi Efektifitas berasal dari kata efektif yang berarti tercapai keberhasilan yang telah ditetapkan.
Menurut Suganda (1988) bahwa prinsip efektif itu adalah
kemampuan untuk mencapai sasaran-sasaran dan tujuan akhir melalui kerjasama orang-orang dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada seefisien mungkin. Dalam kaitannya dengan efektifitas komunikasi, selama lebih dari 2.500 tahun para dosen dan ahli teori komunikasi manusia telah membahas masalahmasalah yang berhubungan dengan keefektifan komunikasi. Setelah usaha yang berabad-abad untuk memecahkan masalah ini, hasilnya tetap belum terpecahkan. Fisher (1986), mengemukakan bahwa sepanjang sejarah, konsep komunikasi yang efektif telah berkembang, baik dalam arti untuk menggambarkan keefektifan komunikasi maupun dalam menetapkan kriteria untuk menentukan komunikasi yang efektif. Ada empat tahap perkembangan konsep komunikasi yang efektif. (1) pengukuran keefektifan komunikasi dalam arti efek yang ditimbulkan. Kriteria ini mengajukan pertanyaan, ”Berhasilkah?” Jika ia berhasil maka ia efektif. (2) pendekatan keefektifan komunikasi yang memberi penekanan pada teknik komunikasi. (3) pendekatan konsep keefektifan yang memberikan penekanan pada menyesuaikan diri dengan orang lain yang berkomunikasi sehingga dapat mengidentifikasi serta menyesuaikan pesan menjadi searah
(kongruen) dengan internalisasi orang lain.
(4) Pendekatan pada keefektifan
komunikasi yang terakhir adalah mengevaluasi keefektifan sistem komunikasi secara keseluruhannya dari pada hanya dari seorang individu saja. Mulyana (2005) menyatakan bahwa komunikasi efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para komunikan. Tubbs dan Moss (2001) mengatakan bahwa ada lima hal yang dijadikan ukuran dalam komunikasi efektif yaitu: (1) pemahaman, artinya penerima cermat mencermati isi pesan yang disampaikan oleh komunikator, sehingga tidak terjadi salah penafsiran pesan oleh komunikan, (2) kesenangan, artinya suasana yang menjadikan hubungan menjadi hangat, akrab dan menyenangkan, (3) pengaruh pada sikap, artinya kemampuan persuasif komunikator dalam menyampaikan pesan yang menimbulkan efek pada diri komunikan, (4) hubungan yang membaik, artinya tumbuh perasaan ingin bergabung dengan orang lain, ingin mengendalikan dan dikendalikan, serta ingin mencintai dan dicintai, serta (5) tindakan, artinya tindakan yang nyata yang dilakukan komunikan setelah terjadi pengertian, pembentukan dan perubahan sikap serta tumbuhnya hubungan baik. Selanjutnya Effendy (2002) menyatakan bahwa komunikasi untuk dapat dikatakan efektif, jika dapat menimbulkan dampak : 1) kognitif, yakni meningkatnya pengetahuan komunikan. 2) Afektif, yaitu perubahan pandangan komunikan, karena hatinya tergerak akibat komunikasi dan 3) Behavioral yaitu; perubahan perilaku atau tindakan yang terjadi pada komunikan. Komunikasi yang efektif dapat terjadi secara sederhana jika orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudnya. Secara umum komunikasi dinilai efektif jika rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh komunikator berkait
erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh komunikan. Semakin besar kaitan antara yang dimaksud oleh komunikator dapat direspon oleh komunikan, maka semakin efektif pula komunikasi yang dilaksanakan. Jika S adalah pengirim pesan (sumber) dan R adalah penerima pesan, maka komunikasi disebut mulus dan lengkap bila respons yang diinginkan S dan respons yang diberikan R identik (Goyer dalam Tubbs dan Moss, 2001).
R S
makna yang di tan gkap penerima makna yang dim aksud pengirim
1
Nilai 1, yang menunjukkan kesempurnaan. Penyampaian dan penerimaan pesan jarang diperoleh nilai 1, paling-paling hanya mendekati saja. Semakin besar kaitan antara yang dimaksud dengan respons yang diterima, semakin efektif pula komunikasi yang terjadi. Bila R/S bernilai 0, berarti tidak ada kaiatan sama sekali antara respons yang diinginkan dengan respons yang diperoleh. Menurut Effendy (2002), komponen-komponen komunikasi yang perlu diperhatikan supaya komunikasi efektif adalah mulai dari komunikator, pesan, saluran dan komunikan sebagai sasaran komunikasi. Unsur-unsur komunikasi tersebut harus dapat memenuhi kriteria sebagai beruikut : (1)
Komunikator Faktor penting pada diri komunikator bila ia melakukan komunikasi adalah daya tarik dan kredibilitas. Seorang komunikator akan mampu mengubah sikap, opini, dan perilaku komunikan melalui mekanisme daya tarik. Apabila komunikan merasa ada kesamaan dengan komunikator
maka komunikan bersedia taat pada isi pesan yang disampaikan oleh komunikator. Sedangkan kredibilitas berhubungan dengan profesi atau keahlian yang dimiliki seorang komunikator. Dengan kata lain seorang komunikator akan mendapat kepercayaan bila ia membahas suatu persoalan dengan profesi atau keahliannya. (2)
Pesan Pesan komunikasi terdiri dari isi pesan dan lambang. Isi pesan komunikasi bisa satu, tetapi lambang yang dipergunakan bisa bermacam macam, lambang yang paling banyak digunakan dalam komunikasi ialah bahasa. Dalam komunikasi, bahasa memegang peranan yang sangat penting. Tanpa penggunaan bahasa, hasil pemikiran yang bagaimanapun baiknya tidak akan dapat dikomunikasikan kepada orang lain secara tepat. Wibur schram melihat pesan sebagai tanda esensial yang harus dikenal oleh komunikan. Dalam hal ini komunikator pertama- tama harus mengerti tujuan pesan komunikasi, sehingga seorang komunikator harus mampu menyandi dan mengemas pesan dengan baik agar tidak terjadi kegagalan komunikasi.
(3)
Saluran Saluran komunikasi adalah alat melalui nara sumber komunikasi menyampaikan pesan-pesan kepada penerima. Saluran komunikasi terdiri dari berbagai macam, tetapi untuk mecapai sasaran komunikasi yang diinginkan maka dapat dipilih salah satu atau gabungan dari beberapa saluran. Pemilihan saluran tergantung pada tujuan yang akan dicapai, pesan yang akan disampaikan, dan teknik yang akan dipergunakan.
Masing
masing
saluran
komunikasi
mempunyai
kelebihan
dan
kekurangan. (4)
Komunikan Komunikan adalah anggota suatu sistem sosial yang disebut sebagai kumpulan unit yang berada secara fungsional dan terkait dalam kerjasama untuk memecahkan serta dalam rangka mencapai tujuan bersama. Menurut Bernard dalam Effendi (2001) menyebutkan bahwa komunikan akan menerima sebuah pesan hanya jika terdapat kondisi sebagai berikut : (a) komunikan dapat benar-benar mengerti pesan komunikasi, (b) pada saat mengambil keputusan komunikan sadar, bahwa keputusannya akan sesuai dengan tujuannya dan bersangkutan dengan kepentingan pribadinya, (c) komunikan mampu menepatinya, baik secara mental maupun secara fisik.
2.3. Komunikasi Publik 2.3.1. Definisi,Tujuan dan Fungsi Komunikasi Publik
Pengertian publik adalah suatu kelompok yang memiliki minat atau kepentingan yang sama dan ikut serta dalam pembicaraan suatu isu supaya melakukan sesuatu tentang isu tersebut (Blumer dan Dewey, dalam Wilson : 1986). Blumer menyebutkan bahwa publik adalah kelompok orang yang: 1) dihadapkan pada suatu isu-isu, 2) dipisahkan oleh ide-ide mereka seperti bagaimana untuk melihat isu, 3) ikut serta membicarakan isu. John Dewey mendefinisikan pubiik adalah suatu kelompok orang yang menghadapi masalah yang sama, 2) mengakui masalah itu ada, 3) melakukan sesuatu untuk masalah tersebut. Sedangkan publik organisasi dapat diberikan pengertian adalah orangorang yang berada di dalam dan di luar organisasi yang mempunyai minat dan
kepentingan yang sama dengan minat dan kepentingan organisasi. Menurut Muhammad (2004) yang dimaksud dengan komunikasi publik adalah pertukaran pesan dengan sejumlah orang yang berada dalam organisasi atau yang di luar organisasi, secara tatap muka atau melalui media. Tetapi dalam bagian ini yang akan dibicarakan hanyalah kontak tatap muka di antara organisasi dengan lingkungan eksternal organisasi. Tujuan umum dari komunikasi publik terutama sekali adalah untuk memberikan informasi kepada sejumlah besar orang mengenai organisasi misalnya mengenai aktivitas-aktivitas atau program-program organisasi baik di dalam lingkungan organisasi mapun di luar lingkungan organisasi. Selain dari itu komunikasi publik juga bertujuan untuk menjalin hubungan baik antara organisasi dengan masyarakat luar organisasi, menciptakan kredibilitas perusahaan di mata masyarakat luar organisasi, komunikasi publik juga dapat digunakan untuk memberikan hiburan kepada sejumlah orang.
Komunikasi publik berfungsi menumbuhkan semangat kebersamaan (solidaritas), mempengaruhi orang lain, memberi informasi, mendidik dan menghibur dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Pengertian-pengertian tersebut paling tidak mempunyai makna sebagai berikut: 1. Setiap aktivitas satu orang atau lebih, baik sebagai pengirim maupun penerima pesan yang mempunyai tujuan, harapan, dan efek tertentu terhadap pesan yang disampaikan. 2. Komunikasi dapat berlangsung secara antar personal karena adanya kerjasama dan mempunyai tujuan dan harapan tertentu dalam konteks kelompok kecil
maupun kelompok besar yang terorganisir dalam bentuk formal maupun karena kepentingan sesaat. 3. Suatu kelompok orang yang karena memiliki kepentingan yang sama, serta ikut serta terlibat didalamnya. 4. Membangun image organisasi. 5. Upaya mendapatkan persepsi yang sama untuk tercapainya tujuan-tujuan organisasi. 6. Efek dari gangguan komunikasi dalam organisasi ini bisa memberikan dampak terhadap pandangan lingkungan di luar organisasi. 7. Pandangan obyektif (Pace & Faules, 2006) bahwa lingkungan merupakan kekuatan pendorong di belakang perilaku organisasi, sehingga organisasi harus mengurus lingkungan eksternal dan menggunakan strategi adaptifnya yang terbaik untuk tumbuh dan terus hidup.
2.3.2. Model Komunikasi Publik Organisasi
Grunig (1992) dalam Ruslan (2006), mengemukakan bahwa ada empat model komunikasi publik yang digunakan dalam organisasi atau perusahaan, yaitu: 1) Model publisitas, 2) Model informasi publik, 3) Model asimetri dua arah, 4) Model Simetris dua arah. 1. Model Publiksitas / Model Press Agentry
Model ini, komunikator melakukan propaganda atau kampanye melalui proses komunikasi satu arah (one way process). Kegiatan melalui proses komunikasi searah untuk tujuan publisitas yang menguntungkan dan khususnya dalam menghadapi media massa. Dalam model ini, komunikator terkadang
mengabaikan kebenaran informasi sebagai upaya memanipulasi (menutup-nutupi) unsur-unsur negatif dari organisasinya.
Persuasive (Sources)
Receiver (Public)
Organization
Propagandistic (One way communication)
Gambar 1. Model Komunikasi Publiksitas Sumber : Ruslan 2006
Dalam komunikasi publik organisasi, inisiatif selalu berada di pihak pengirim (source of sender). Model ini kerap kali digunakan oleh organisasiorganisasi dalam proses komunikasi periklanan atau bentuk aktivitas komunikasi promosi bersifat persuasiv lainnya. Seperti menyampaikan pesan pada khalayak (publik) baik dalam bentuk berita-berita yang menghiasi koran maupun majalah, melalui radio, dan televisi. Aplikasi dari model ini biasanya oleh CEO pada organisasi bisnis menggunakan juru bicaranya atau bagian humas untuk menyampaikan
pesan kepada publik. Hal ini oleh Hahn dan Mangun (1999)
dimaksudkan untuk mencegah orang lain menunjuk seseorang seolah-olah memiliki semua fakta, padahal kenyataannya sejumlah fakta masih diragukan, sebab kebenaran tidaklah esensial. Hal-hal yang mendasarinya adalah ketika berhadapan dengan publik, impuls pertama adalah merasa sangat penting sehingga yang dibicarakan melebihi yang diketahui. Impuls kedua adalah merasa takut salah mengucapkan sesuatu atau takut tidak sanggup mengatakan apa-apa sama sekali.
2. Model Informasi Publik
Model informasi publik berdasarkan pada pentingnya kebenaran suatu informasi. Model ini memandang publik sebagai sesuatu yang rasional yang jika diberi informasi yang cukup maka akan mendatangkan keputusan yang benar pada suatu isu tertentu. Oleh karena itu komunikasi publik bertugas menyediakan informasi yang lengkap dan akurat, serta berdasarkan fakta yang ada. Model ini juga menggambarkan bahwa kehumasan bertindak seolah-olah sebagai “Journalist in residence”, artinya bertindak sebagai wartawan dalam menyebarkan informasi kepada publik dan
mengendalikan berita atau
informasinya kepada media massa. Bentuk ini lebih baik dan mengandung lebih banyak kebenaran karena penyebarannya dilakukan melalui news letter, brosur dan surat langsung. Unsur kebenaran dan objektivitas pesan atau informasi selalu diperhatikan oleh sumber informan. Namun penyampaian pesannya tidak berdasarkan riset atau perencanaan. Seperti model publisitas, model ini juga menggunakan model satu arah dan dapat digambarkan sebagai berikut:
Moor or Less Objective Receiver (Public)
(Source (Organizaton)
Truthfull (One way communication)
Gambar 2. Model Komunikasi Informasi Publik Sumber : Ruslan, 2006
3. Model Asimetris Dua Arah (Two way Asymmetrical Model)
Tahapan
model
ini,
komunikator
menyampaikan
pesan
dengan
komunikasinya dua arah dan penyampaian pesannya berdasarkan hasil riset serta strategi persuasif secara ilmiah (scientific persuasive). Dalam model ini, unsur kebenaran informasi diperhatikan untuk membujuk publik agar mau bekerja sama, bersikap terbuka serta berpikir sesuai dengan harapan organisasi. Dalam hal ini, feedback dan feedforward dari publiknya selalu diperhatikan, serta berkaitan dengan informasi mengenai khalayak sangat diperlukan sebelum melaksanakan komunikasi.
Maka
kekuatan
membangun
hubungan
(relationship)
dan
pengambilan inisiatif selalu didominasi oleh komunikator (source) Komunikasi publik mencakup gagasan bahwa manajemen perlu mengetahui posisi publik pada suatu isu. Hal ini merupakan salah satu tugas spesialis komunikasi publik untuk memelihara manajemen dalam menyampaikan pandangan
organisasi
pada
publik,
dengan
memakai
prinsip
persuasi
(meyakinkan) sehingga diperoleh dukungan publik. Model ini diciptakan oleh Grunig dan Hunt, dan dapat digambarkan sebagai berikut :
Source (Organizati)
Communication with Persuasive aim
Feedback from or Feedforward about receiver (public)
Gambar 3. Model Komunikasi Asimetris Dua Arah Sumber : Ruslan, 2006
Receiver (Public)
4. Model Simetris Dua Arah (Two way Symmetrical Model)
Model simetris dua arah menggambarkan suatu komunikasi propaganda atau kampanye dua arah timbal balik yang berimbang. Model ini menggunakan teknik komunikasi untuk dapat memecahkan atau menghindari terjadinya suatu konflik dan memperbaiki pemahaman publik secara strategis. Model ini dapat diterima dan dianggap lebih etis dalam penyampaian pesan atau informasi melalui teknik komunikasi yang dapat membujuk (persuasive communication) untuk membangun saling pengertian (konvergen), pemahaman, dan mempercayai antara kedua belah pihak sehingga saling menguntungkan bagi kedua belah pihak juga.
Balanced Source Organization
Communication
Receiver Public
Flow
Gambar 4. Model Komunikasi Simetris Dua Arah Sumber : Ruslan, 2006
Model publiksitas dan model informasi publik merupakan tujuan utama organisasi atau perusahaan yang selalu berorientasi pada model komunikasi satu arah dengan publik sebagai khalayak sasarannya. Konsep pokok yang mendasari penggunaan model ini adalah dimana pihak organisasi tidak memerlukan perubahan sikap dan nilai-nilai atau tindakan-tindakan tertentu tetapi tugas dan kewajiban pihak source adalah untuk menciptakan pemenuhan kepatuhan dan persuasif dari pihak publik sebagai khalayak sasaran.
Sebaliknya, dua model lain yaitu model asimetris dua arah dan simetris dua arah sebagaimana digambarkan oleh Grunig yang meliputi model komunikasi dua arah dan khalayaknya yang saling beradaptasi satu sama lainnya. Para ahli komunikasi berpendapat bahwa koorientasi model komunikasi dua arah adalah bertujuan untuk membangun saling beradaptasi. Model asimetris dua arah bertujuan membujuk secara ilmiah (scientific persuasive) dan model simetris dua arah bertujuan untuk membangun saling pengertian (mutual understanding) antara pihak organisasi dengan khalayak. Model-model komunikasi diatas, dalam komunikasi publik dapat digunakan dengan model yang berbeda untuk tujuan yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda pula secara tepat serta efektif baik tujuan penelitian maupun kegiatan secara praktikal.
2.4. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) 2.4.1. Pengertian Konsep
Sebenarnya konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah ada sejak puluhan tahun lalu. Di dasawarsa 90-an, konsep ini makin menguat dan menyita perhatian banyak kalangan. Tetapi apakah sebenarnya tanggung jawab sosial perusahaan itu? Berikut ini beberapa defenisi tentang tanggung jawab sosial perusahaan yang dikutip dalam Majalah Bisnis dan CSR, edisi Oktober, 2007. 1.
Komitmen dan kemampuan dunia usaha untuk memberi kepedulian, melaksanakan kewajiban sosial, membangun kebersamaan, melakukan program/kegiatan kesejahteraan sosial/pembangunan sosial/kesejahteraan masyarakat sebagai wujud kesetiakawanan sosial dan menjaga keseimbangan
ekosistem di sekelilingnya. (Departemen Sosial RI, 2007) 2.
Komitmen bisnis yang memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan dan perwakilan mereka, keluarga mereka, baik masyarakat setempat maupun umum, untuk meningkatkan kualitas hidup dengan cara-cara yang bermanfaat baik bagi bisnis itu sendiri maupun pembangunan. (BankDunia)
3.
Komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk berperilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas padaumumya. (World Business Council for Sustainable Development)
4.
Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan, yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang. (Pemerintah Kanada)
5.
Komitmen dunia usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan memberikan kontribusi untuk peningkatan ekonomi wiring dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarga, komunitas, dan masyarakat secara lebih luas. (Trinidad and Tobacco Bureau Standard)
6.
Tanggung jawab perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dan harapan stakeholders sehubungan dengan isu-isu etika, sosial dan lingkungan, di samping ekonomi. (Pertamina, 2004)
7.
Secara sukarela mengintegrasikan kepedulian sosial dan
lingkungan ke
dalam operasi bisnis keseharian dari suatu perusahaan. (Hasanuddin Rachman, Ketua Komite Tetap Hubungan Industrial KADIN) 8.
Komitmen dunia bisnis untuk menyumbang sesuatu bagi kelangsungan pembangunan ekonomi, bekerja sama dengan para karyawan dan keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bagi dunia bisnis dan lingkungan. (Noke Kiroyan, ketua IBL, dalam CSR Conference, Jakarta 7-8 September 2006)
9.
Suatu kegiatan yang dilakukan perusahaan sebagai bagian tanggung jawab sosial bagi kepentingan lingkungan di sekitarnya. (Aviliani, Komisaris BRI, dosen, dan peneliti Indef)
10. Kalau perusahaan menyumbang korban bencana alam semata, fidak ikut lebih lanjut dalam penanganan bencana dan sesudahnya, itu filantrofis. Kalau tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan ikut lebih lanjut. Misalnya, selain memberikan beasiswa, perusahaan juga memberdayakan penerima dengan membolehkannya magang di perusahaan dan pada akhirmya membuat dia menjadi mandiri. (Franky Welirang, Wakil Dirut PTIndofood Sukses Makmur Tbk., dalam The Executive Network, 30 Januari 2007). Definisi tanggung jawab sosial perusahaan boleh saja beragam. Tetapi, dari beragam definisi tersebut, ada satu kesamaan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tak bisa lepas dari kepentingan stakeholder dan stakeholder perusahaan. Mereka adalah pemilik perusahaan, karyawan, masyarakat, negara, dan lingkungan. Konsep inilah yang kemudian diterjemahkan oleh John Elkington sebagai triple bottom line, yaitu Profit, People, dan Planet. Maksudnya, tujuan tanggung jawab
sosial
perusahaan
harus mampu meningkatkan laba perusahaan
(profit),
mensejahterakan karyawan dan masyarakat (people), sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan (planet). Tanggung
jawab
sosial
perusahaan
didorong
oleh
terjadinya
kecenderungan pada masyarakat industri yang dapat disingkat dengan fenomena “DEAF” ( yang dalam bahasa inggris berarti tuli) sebuah akronim dari Dehumanisasi, Equalisasi, Aquariumisasi dan Feminisasi (Suharto, 2005) 1.
Dehumanisasi industri. Efisiensi dan mekanisasi yang semakin kuat di dunia
industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan tersebut maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. “Merger Mania” dan peramping perusahaan telah menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja dan pengangguran, ekspansi dan eksploitasi dunia industri telah melahirkan polusi, kerusakan lingkungan yang hebat. 2.
Equalisasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya
untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas berbagai masalah sosial yang seringkali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan-perusahaan. Kesadaran ini semakin menuntut akuntabilitas (accountability) perusahaan bukan saja dalam proses produksi melainkan pula dalam kaitanya dengan kepedulian
perusahaan
terhadap
berbagai
dampak
sosial
yang
ditimbulkannya. 3.
Aquariumisasi dunia industri. Dunia kerja kini semakin transparan dan
terbuka laksana sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya memburu rantai ekonomi dan cenderung mengabaikan hukum, prinsip etis, filantropis tidak
akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup. 4.
Feminisasi dunia kerja. Semakin banyak wanita yang bekerja menuntut
penyesuaian perusahaan bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja. Melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti pelantaran anak, kenakalan remaja, akibat kurangnya kehadiran ibu-ibu dan tentunya di lingkungan masyarakat. Pelayanan sosial seperti perawatan anak (child care), pendirian fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi anak bisa merupakan kompensasi sosial terhadap isu ini. Ide mengenai tanggung jawab sosial perusahaan semakin diterima secara luas. Namun demikian, sebagai sebuah konsep yang relatif baru, tanggung jawab sosial perusahaan masih tetap kontroversial baik bagi kalangan pebisnis maupun akademik (Saidi dan Abidin, 2004). Kelompok yang menolak mengajukan argumen bahwa perusahaan adalah organisasi pencari laba dan bukan person atau kumpulan orang seperti halnya dalam organisasi sosial. Perusahaan telah membayar
pajak
kepada
negara
dan
karenanya
tanggungjawab
untuk
meningkatkan kesejahteraan publik telah diambil alih oleh pemerintah. Kelompok yang mendukung pendapat bahwa perusahaan tidak dapat dipisahkan oleh para individu yang terlibat di dalamnya. Karenanya perusahaan tidak boleh hanya memikirkan keuntungan finansial bagi perusahaan saja. Melainkan pula harus memiliki kepekaan
dan kepedulian terhadap publik
khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan, Alasannya: (Suharto, 2005)
i.
Masyarakat adalah sumber dari segala sumberdaya yang dimiliki dan diproduksi oleh perusahaan. Bukankah tanpa masyarakat perusahaan bukan saja tidak akan berarti, melainkan pula tidak akan berfungsi! Tanpa dukungan masyarakat, perusahaan mustahil memiliki pelanggan, pegawai dan sumbersumber produksi lainnya yang bermanfaat bagi perusahaan.
ii.
Meskipun perusahaan telah membayar pajak kepada negara, tidak berarti telah menghilangkan tanggungjawabnya terhadap kesejahteraan publik. Di negara yang kurang memperhatikan kebijakan sosial (social policy) atau kebijakan kesejahteraan (welfare policy) yang menjamin warganya dengan berbagai pelayanan dan skema jaminan sosial yang merata, manfaat pajak seringkali tidak sampai kepada masyarakat terutama kelompok miskin dan rentan yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Archie B Carrol dalam Wibisono (2007), memberi jastifikasi teoritis dan
logis mengapa sebuah perusahaan perlu menerapkan tanggung jawab sosial bagi masyarakat di sekitarnya. Perusahaan tidak berfungsi secara terpisah dari masyarakat sekitarnya. Faktanya, kemampuan perusahaan untuk bersaing dan tetap eksis sangat tergantung pada keadaan lokasi dimana perusahaan itu beroperasi. Oleh karena itu Ia telah mengembangkan suatu piramida tanggung jawab sosial perusahaan yang harus dipahami sebagai suatu kesatuan. Sebab tanggung jawab sosial perusahaan merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lines, yaitu profit, people dan plannet (3P) i.
Profit. Perusahaan tetap harus berorintasi
untuk mencari keuntungan
ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang
ii.
People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan
manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program tanggung jawab sosial seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal. iii. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan
keragaman hayati. Beberapa program tanggung jawab sosial perusahaan yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman, pengambangan pariwisata. Profit (Keuntungan Perusahaan) Plannet (Keberlanjutan Lingkungan Hidup
People (kesejahteraan Mastarakat)
Gambar 5. Triple Bottom Lines dalam CSR Sumber : Wibisono, 2007
2.4.2. Ukuran Keberhasilan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Untuk melihat sejauh mana efektifitas program tanggung jawab sosial perusahaan, diperlukan para meter atau indikator untuk mengukurnya. Setidaknya ada dua indikator keberhasilan yang dapat digunakan yaitu indikator internal dan indikator eksternal. (Wibisono, 2007) 1. Indikator internal a.
Ukuran primer/ kualitatif (M – A – O)
i.
Minimize Meminimalkan perusahaan
perselisihan/
dengan
konflik/
masyarakat
potensi
dengan
konflik
harapan
antara
terwujudnya
hubungan yang harmonis dan kondusif ii.
Asset Aset perusahaan yang terdiri dari pemilik/pemimpin perusahaan, karyawan, pabrik, dan fasilitas pendukung terjaga dan terpelihara dengan aman
iii. Operational Seluruh kegiatan perusahaan berjalan aman dan lancar. b.
Ukuran sekunder i.
Tingkat penyaluran dan kolektibilitas
ii.
Tingkat compliance pada aturan yang berlaku
2. Indikator eksternal a. Indikator Ekonomi i.
Tingkat pertambahan kualitas sarana dan prasarana umum
ii.
Tingkat peningkatan kemandirian masyarakat secara ekonomis
iii. Tingkat
peningkatan
kualitas
hidup
bagi
masyarakat
secara
berkelanjutan b. Indikator sosial i.
Frekuensi terjadinya gejolak atau konflik sosial
ii. Tingkat
kualitas
hubungan
masyarakat iii. Tingkat kepuasan masyarakat.
sosial
antara
perusahaan
dengan
2.4.3. Manfaat Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Menurut Tonno Supranoto S, Asisten Deputi Urusan Penguatan Masyarakat dan Kawasan, Kedeputian Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dalam Majalah Bisnis dan CSR, edisi Oktober 2007, Program CSR memiliki pengaruh sangat luas. Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan sangat membantu pemerintah meringankan kesejahteraan
upaya
penanggulangan
masyarakat.
Perlu
diakui
kemiskinan bahwa
dana
dan
peningkatan
pemerintah
buat
penanggulangan kemiskinan sangat terbatas. Mempertimbangkan kondisi ini pemerintah perlu mendapatkan dukungan dan keterlibatan aktif dari dunia usaha. Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan tentunya akan sangat membantu pemerintah menanggulangi kemiskinan. Program ini bisa membidik kelompok masyarakat yang tidak tersentuh program penanggulangan kemiskinan pemerintah. Sinergi ini akan membuat masyarakat lebih berdaya. Hak-hak masyarakat untuk menikmati pendidikan, kesehatan, dan pelayanan dasar, bisa terpenuhi melalui tanggung jawab sosial perusahaan. Pada akhirnya program tanggung jawab sosial perusahaan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mencapai sumber daya manusia yang berkualitas. Sinergi ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pekerjaan dan mencapai kesejahteraan. Sementara, bagi perusahaan program tanggung jawab sosial perusahaan memberikan sejumlah keuntungan. Pertama, memberikan citra positif. Perusahaan tak lagi dituding sebagai biang penyebab kerusakan dan pencemaran lingkungan atau sebuah menara gading yang tak menganggap keberadaan masyarakat sekitar.
Melalui konsep tanggung jawab sosial perusahaan stigma miring ini dapat terbantahkan. Langkah ini sekaligus menumbuhkan rasa memiliki terhadap perusahaan. Adanya citra positif memberikan ruang bagi perusahaan untuk menjalankan
usahanya
dengan
aman
dan
tenang,
sehingga
dapat
meningkatkan produktivitasnya. Kedua, tanggung jawab sosial perusahaan sebagai investasi sosial perusahaan. Melalui tanggung jawab sosial perusahaan bisa mengintegrasikan kepeduliannya terhadap masalah sosial dan lingkungan ke dalam kegiatan usaha mereka. Celakanya, tanggung jawab sosial perusahaan masih sering diartikan, sebagai kegiatan amal. Padahal, tanggung jawab sosial perusahaan adalah sebuah investasi sosial yang sangat berguna di masa mendatang. Ketiga, tanggung jawab sosial perusahaan menjamin operasional dan keberlangsungan perusahaan. Kelangsungan suatu usaha tak hanya ditentukan tingkat keuntungan, tapi juga tanggung jawab sosialnya. Lihat saja, betapa banyak perusahaan didemo, dihujat, bahkan dirusak oleh masyarakat. Boleh jadi penyebabnya sangat sepele, hanya karena perusahaan kurang memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Sungguh irons bila perusahaan hanya mengeduk dan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan faktor lingkungan. Nah, program tanggung jawab sosial perusahaan merupakan sebuah jembatan kepeduhan terhadap masyarakat sekitar. Melalui program ini keberlangsungan perusahaan dapat tetap terjaga.
2.5. Kepuasan Publik 2.5.1 Pengertian.
Suatu publik adalah sekelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama terhadap perusahaan (organisasi), saling memahami signifikansi masingmasing dan membuat rancangan untuk mencapai kepentingan tersebut. Publik bersifat heterogen meskipun karakteristik dan kepentingan mereka sama. Pada umumnya publik menyadari situasi dengan hubungan mereka terhadap perusahaan. Publik menganggap isu yang mereka hadapi merupakan hal-hal yang relevan, sehingga paling tidak mereka mengorganisasi atau mengeluarkan energi untuk menghadapi isu tersebut (Suryadi, 2007) Satisfaction (kepuasan) adalah kata dari bahasa latin, yaitu satis yang berarti enough atau cukup dan facere yang berarti to do atau melakukan. Jadi, produk atau jasa yang bisa memuaskan adalah produk dan jasa yang sanggup memberikan sesuatu yang dicari oleh konsumen sampai pada tingkat cukup. Dalam konteks teori consumer behavior, kepuasan lebih banyak didefinisikan dari perspektif pengalaman konsumen setelah mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa. Salah satu definisinya yang dikemukakan oleh Richard Oliver : “kepuasan adalah respon pemenuhan dari konsumen. Kepuasan adalah hasil dari penilaian dari konsumen bahwa produk atau layanan telah memberikan tingkat kenikmatan dimana tingkat pemenuhan ini bisa lebih atau kurang (Irawan, 2007), karena itu, publik tidak akan puas apabila publik mempunyai penilaian bahwa harapannya belum terpenuhi. Publik akan merasa puas jika penilaiannya sama atau lebih dari yang diharapkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kepuasan publik adalah fungsi dari perbedaan antara hasil/ kinerja yang dirasakan dengan harapan. Salah satu dimensi kepuasan adalah persepsi. Berlo (1960) mengatakan bahwa persepsi merupakan efek dari komunikasi.
Rogers dan Shoemaker
berpendapat bahwa antara persepsi dan perilaku yang tampak seringkali berbeda tergantung situasi dirinya dan manfaat yang akan diterima. Tahapan persepsi seseorang dinilai mereka sebagai tahapan penting yang menjembatani jalan ke arah tahapan keputusan menerima atau menolak inovasi/ pesan yang disampaikan komunikator. Kepuasan publik sangat tergantung pada harapan publik. Oleh karena itu, strategi kepuasan publik haruslah didahului dengan pengetahuan yang detail dan akurat terhadap harapan publik. Sebagaimana mengacu pada pendapat Tjiptono (2002) yang mengatakan bahwa harapan merupakan pemikiran atau keyakinan seseorang tentang apa yang akan diterima. Salah satu faktor yang menentukan harapan seseorang antara lain kebutuhan. Kebutuhan yang dirasakan mendasar oleh seseorang bagi kesejahteraannya sangatlah menentukan harapan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemenuhan kebutuhan yang dirasakan mendasar dapat menentukan tingkat kepuasan seseorang. Harapan publik sering dapat dikontrol oleh perusahaan. Tetapi yang lebih sering perusahaan perusahaan tidak mampu mengontrol harapan mereka. Ini bisa terjadi karena adanya gap dalam komunikasi.
Harapan-harapan ini dipengaruhi oleh kontak dengan dunia luar.
Dengan kontak, kita dapat memperoleh banyak informasi, dapat melihat dan merasakan berbagai kesempatan sehingga menumbuhkan hasrat atau harapan untuk meraih kesempatan tersebut.
2.5.2. Pelayanan Prima (service of excellence)
Menurut Parasuraman dan Berry (1991) dalam Supranto (2006), terdapat sepuluh faktor yang menentukan kualitas layanan jasa, yaitu sebagai berikut. 1. Reliability, yaitu keandalan, mencakup kinerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability), serta dapat memenuhi janji yang ditawarkan dalam memberikan pelayanan. 2. Responsiveness, kesigapan dalam merespon dan memberikan pelayanan jasa yang dibutuhkan oleh para pelanggan/publik. 3. Competence, memiliki keterampilan dan pengetahuan yang baik tentang produk/jasa atau program yang ditawarkan kepada public/pelanggan. 4. Access, kemudahan untuk menghubungi dan dijumpai, seperti lokasi, fasilitas,
dan
informasi
produk
layanan
jasa
mudah
diakses
public/pelanggan. 5. Courtesy, memiliki sikap sopan santun, respek, perhatian, keramahan dari pihak pemberi jasa layanan (perusahaan) dalam kontak personal, melalui operator telepon, resepsionis, customer service dan customer relations. 6. Communication, media komunikasi yang dipergunakan selain dapat memudahkan penyampaian pesan-pesan, informasi, dan mudah dipahami, serta penuh perhatian untuk mendengar atau keluhan yang disampaikan oleh public/ pelanggannya. 7. Credibility, kepercayaan yang dibangun itu berawal dari sifat jujur dan dapat diterima, biasanya mencakup citra, nama dan reputasi yang baik dari pihak
perusahaan atau source dalam berinteraksi dengan public/ para pelanggannya. 8.
Security, menciptakan rasa aman dan nyaman dari suatu risiko, atau keraguraguan, yaitu berkaitan dengan keamanan secara fisik (physical safety), keuangan (financial security), dan kerahasiaan terjamin (confidential).
9. Understanding or Knowing the Customer, berupaya memahami kebutuhan atau keinginan public/ para pelanggannya. 10. Tangibles, wujud fisik yang ditampilkan, sosok gedung, ruangan, fasilitas dan sarana parkir serta peralatan penunjang lainnya untuk memberikan pelayanan jasa yang memadai, aman dan nyaman. Perkembangan selanjutnya, dari sepuluh dimensi layanan tersebut dikelompokkan menjadi lima dimensi utama sebagai penentu suatu kualitas pelayanan jasa, seperti yang dikutip Kotler (2003) dalam Supranto (2006). 1. Reliability, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai
dengan janji yang ditawarkan. 2. Responsiveness, respon atau kesigapan dalam membantu public atau
pelanggan dengan memberikan layanan cepat, tepat dan tanggap serta mampu menangani keluhan secara baik. 3. Assurance, kemampuan karyawan tentang pengetahuan dan informasi suatu program/produk (good product knowledge) yang ditawarkan dengan
baik,
memberikan
keramah-tamahan, jaminan
pelayanan
perhatian,
dan
kesopanan
dalam
yang
terbaik.
Dimensi
jaminan
(assurance) ini terdapat unsur-unsur, sebagai berikut.
Competence (kompetensi), keterampilan dan pengetahuan yang
i.
dimiliki source dalam memberikan layanan kepada pelanggan/ publik. ii.
Courtesy (kesopanan), keramah-tamahan, perhatian dan sikap yang sopan.
iii. Credibility (kredibilitas), berkaitan dengan nilai-nilai kepercayaan,
reputasi, prestasi yang positif dari pihak yang memberikan layanan (perusahaan). 4. Empathy, merupakan perhatian secara individual yang diberikan kepada publik/pelanggan dan berusaha untuk memahami keinginan dan kebutuhan, serta mampu menangani keluhan publik/pelanggan secara baik dan tepat. Dimensi empathy ini terdapat unsur-unsur lainnya yang terkait, yaitu sebagai berikut. i.
Acces (akses), kemudahan memanfaatkan dan memperoleh layanan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan.
ii.
Communication (komunikasi), kemampuan dalam berkomunikasi untuk penyampaian pesan, dan informasi kepada publik/pelanggannya melalui berbagai media komunikasi, yaitu personal kontak, media publikasi/promosi, telepon, korespondensi, faximili, dan internet.
iii.
Understanding the customer (Pemahaman terhadap publik/pelanggan), kemampuan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggannya.
serta
mampu
menangani
keluhan
publik/para
5. Tangibles, kenyataan yang berhubungan dengan penampilan fisik gedung, ruang office lobby atau front office yang refresentatif, tersedia tempat parkir yang layak, kebersihan, kerapihan, aman dan kenyamanan di lingkungan perusahaan dipelihara secara baik.
2.6. Konflik
2.6.1. Pengertian
Konflik adalah suatu bentuk pertentangan karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai, motivasi perilaku yang terlibat di dalamnya. Selain itu konflik juga merupakan hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan atau perbuatan yang tidak sejalan (Liliweri, 2005). Konflik seringkali mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kondisi yang menimbulkan keresahan perasaan tidak aman serta ketidakpastian dan lain-lain. Bahkan untuk kondisi konflik terbuka, dapat menimbulkan korban jiwa, degradasi human dan material (man-made capital) serta mengganggu kelancaran aktivitas ekonomi. Namun demikian, tidak semua konflik mendatangkan hal yang negatif. Dalam hal ini, konflik merupakan salah satu cara bagaimana suatu perusahaan, komunitas, masyarakat, keluarga dan lain-lain mengalami perubahan. Konflik seperti ini akan merubah pemahaman seorang/kelompok, mendorong untuk membuat klarifikasi pilihan-pilihan dan membangun kekuatan untuk mencari solusi penyelesaiannya, yang semuanya akan menghasilkan cahaya pencerahan (Anwar, 2000). Konflik bersifat amiah sehingga merupakan hal yang biasa terjadi
dalam organisasi atau perusahaan. Dalam hubungan organisasi dengan lingkungan eksternal, konflik juga dapat terjadi. Oleh sebab itu, perusahaan harus dapat membina hubungan yang baik dengan lingkungan eksternal sehingga tidak terjadi suatu konflik deskruktif yang membawa kerugian bagi perusahaan.
2.6.2. Kontek dan Sumber Konflik
Potensi konflik terjadi manakala terjadi kontak antar manusia. Sebagai individu yang terorganisasi dalam kelompok, individu ingin mencari jalan untuk mencapai tujuannya. Peluang untuk memenuhi tujuan itu hanya memalui pilihan bersaing secara sehat untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan atau terpaksa terlibat dalam konflik dengan pihak lain. Berarti, dalam setiap masyarakat selalu ada peluang sangat besar bagi terjadinya kompetisi dan konflik. Ketika mempelari konflik, kita harus membuat deskripsi yang jelas mengenai sumber dan sebab terjadinya konflik. Ada dua hal umum yang patut di perhatikan dalam membahas sumber dan sebab konflik, yaitu (1) konteks terjadinya konflik dan (2) sumbersumber konflik. Konteks terjadinya konflik mulai dari konteks antar peribadi, konteks komunitas, komunal, regional dan antar negara. Dari konteks inilah sumber konflik karena ketidak setaraan atau perbedaan disposisi, persepsi, orientasi nilai, sikap dan tindakan dalam merespon. (Liliweri, 2005) Dalam penelitian ini, konteks konflik yang dimaksud bisa terjadi antara perusahaan dengan individu, perusahaan dengan kelompok masyarakat, individu dalam perusahan dengan individu dalam masyarakat atau individu perusahaan dengan kelompok masyarakat.
Sumber konflik dapat berupa sosial budaya, historis, kesadaran sosial, idiologi, politik dan kejadian mutakhir.
Menurut Dahrendorf dalam Anwar
(2000), kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik yakni: 1. Adanya sejumlah aktivitas atau kelompok yang merasa bahwa mereka dipisahkan, dibedakan, dianaktirikan dari suasana kebersamaan 2. Tidak ada interaksi antar anggota kelompok. Interaksi mengandalkan kontak dan komunikasi. Kalau suatu kelompok tidak mempunyai mekanisme mengatur kontak dan komunikasi antar organisasi dengan lingkungan eksternalnya maka akan terjadi konflik. 3. Adanya perbedaan posisi dan peran para anggota kelompok. Perbedaan itu makin tajam karena ada hierarki relasi atau harus ada suasana dimana semua individu mempunyai posisi tertentu atas suatu pekerjaan. Posisi itu berbedabeda secara hierarkis. Semakin kaku hierarki, semakin terbuka kemungkinan terjadinya konflik 4. Adanya kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumberdaya, yang membuat banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumberdaya tersebut. Ketika terjadi ketidakpuasaan, maka akan terjadi konflik. Setiap konflik pasti mempunyai akar. Akar konflik terdiri dari dua tipe. (1) berdasarkan kriteria kepentingan dan tujuan; dan (2) sumber dari atau akibat dari kepercayaan atau keyakinan, teori atau asumsi tertentu. rumuskan
sumber
atau
sebab
konflik
adalah
Secara umum, kita sebagai
berikut:
Konflik nilai. Kebanyakan konflik terjadi karena perbedaan nilai. Nilai merupakan suatu yang menjadi dasar, pedoman, tempat setiap manusia menggantungkan pikiran, perasaan dan tindakan seseorang. Nilai juga merupakan sesuatu yang mempunyai prinsip dan prinsip itu tidak boleh dilanggar. Konflik terjadi karena dua belah pihak memberikan nilai yang berbeda atas yang menjadi objek konflik. Yang termasuk dalam kategori ini adalah konflik yang bersumber dari perbedaan rasa percaya, keyakinan bahkan idiologi atas apa yang diperebutkan 1. Kurangnya komunikasi Konflik bisa terjadi hanya karena dua belah pihak berkomunikasi. Kegagalan komunikasi karena dua pihak tidak dapat menyampaikan pikiran, perasaan dan tindakan, sehingga membuka jurang berbedaan informasi diantara mereka (fungsi komunikasi, antaralain mengurangi tingkat ketidakpastian) dapat mengakibatkan konflik. Yang masuk dalam kategori ini adalah konflik makna informasi. 2. Kepemimpinan kurang efektif atau pengambilan keputusan yang tidak adil 3. Ketidak cocokan peran 4. Produktivitas rendah 5. Perubahan keseimbangan 6. Konflik yang belum terpecahkan Tidak adanya proses saling memaafkan dan saling mengampuni. Keadaan ini seperti api dalam sekam, yang setiap saat bisa timbul dan menghasilkan konflik yang lebih besar.
Selanjutnya Anwar (2000) mengemukakan tentang dimensi ruang yang menjadi sumber konflik seperti disajikan pada gambar 2.6. Selanjutnya, sumber konflik dapat dibagi atas lima kelompok yaitu : 1.
Konflik data, yaitu apabila terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apasaja data yang relevan, memaknai informasi dengan cara berbeda atau memakai tatacara pengkajian yang berbeda.
2.
Konflik kepentingan, adalah konflik yang disebabkan oleh persaingan kepentingan antara pihak, baik mengenai permasalahan tatacara, substansif, ataupun psikologis.
3.
Konflik hubungan antara manusia, adalah konflik yang disebabkan oleh adanya emosi negatif, salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang-ulang.
4.
Konflik nilai, adalah konflik yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan sistem nilai antara pihak, baik nilai sehari-hari, nilai tetap maupun pendefisian diri.
5.
Konflik struktur, adalah konflik yang disebabkan oleh adanya ketimpangan untuk melakukan akses ke sumber daya, serta struktur sosial yang berpotensi menghasilkan konflik Bentuk-bentuk sumber konflik diatas, sangat mungkin terjadi dalam kegiatan pertambangan. Konflik itu dapat terjadi antara perusahaan
pertambangan
dengan
pemerintah,
perusahaan
dengan
masyarakat, masyarakat dengan masyarakat di sekitar pertambangan. Proses
pembangunan atau pertambangan akan dapat berjalan dengan lancar apabilia tidak terdapat konflik-konflik yang berakibat negatif.
Gambar 6. Dimensi Ruang dan Sumber Konflik 2.6.3. Tipe-Tipe Konflik
Tipe konflik tidak ada yang ideal, masing-masing memiliki potensi dan tantangan sendiri (Fisher et al, 2001). Selajutnya tipe-tipe konflik itu dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Tanpa konflik. Dalam keadaan umum, kondisi ini adalah lebih baik. Namun setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin keadaan ini terus berlangsung mereka harus hidup bersemangat dan dinamis 2. Konflik laten. Jenis konflik ini sifatnya tersembunyi dan untuk penangannya perlu diangkat ke permukaan agar penangannya lebih efektif. Dicirikan
dengan adanya tekanan yang tidak tampak sepenuhnya berkembang dan belum terteskalisasi kedalam polarisasi konflik yang tinggi 3. Konflik di permukaan. Jenis konflik ini memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan munculnya hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi 4. Konflik terbuka. Konflik dimana pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai bernegosiasi dan mungkin juga mencapai jalan buntut menuju konsiliasi. Jenis konflik ini berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Konflik berubah menjadi kekerasan atau konflik manifes jika: 1. Saluran dialog atau wadah untuk menyalurkan perbedaan pendapat tidak memadai 2. Suara-suara ketidaksepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar dan diatasi. 3. Banyak ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat yang lebih luas. 4. Tekanan terhadap konflik juga merupakan lahan subur yang dapat dieksploitasi oleh para politikus, tentara dan pemeras yang mungkin akan merekrut mereka yang menderita dan tertindas untuk membantu mendapatkan kekuasaan dan pengaruh mereka sendiri di tingkat nasional dengan menggunakan kekerasan. Budaya kekerasan muncul dan berkembang, karena konflik selalu ditangani dengan kekerasan.
2.6.4. Teori-Teori yang berkaitan dengan konflik
Fisher et al (2001) mengatakan teori-teori mengenai penyebab konflik sangat membantu dalam memahami cara-cara cara-cara mengelola konflik, karena masing-masing teori tersebut mempunyai metode dan sasaran yang berbeda. Secara ringkas, teori-teori yang berkaitan dengan konflik : 1. Teori hubungan masyarakat, yang menanggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat 2. Teori negosiasi prinsip, yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan oleh pihak-pihak yang berkonflik 3.
Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik berakar pada kebutuhan
dasar manusia (fisik, mental, dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi 4.
Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya suatu penderitaan dimasa lalu yang tidak terselesaikan 5.
Teori kesalah pahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan
oleh ketidak cocokan dalam cara-cara berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda. 6.
Teori transformasi, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-
masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi
2.7. Teori Social Capital
Social capital merupakan konsep yang dewasa ini berkembang dalam diskusi dan studi pembangunan. Konsep ini dipopulerkan oleh Puttman dan Fukyama yang menaruh perhatian besar terhadap pembangunan masyarakat. Di Indonesia konsep yang aslinya “social capital” diterjemahkan oleh sebagian menjadi “modal sosial’, dan sebagian yang lain menterjemahkan menjadi “kapital sosial”. Meskipun ada perbedaan dalam penterjemahannya, namun kedua pihak memiliki pemahaman yang sama, bahwa capital social merupakan institusi nilai dan jaringan-jaringan yang menjadi sumber bagi masyarakat lokal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kapital sosial ini diyakini juga sebagai satu komponen utama untuk menggerakkan kebersamaan, pertukaran pendapat, kepercayaan dan saling membantu untuk mencapai kemajuan bersama (Ancok 2005) Sementara itu James Coleman dalam Ancok (2005) berpendapat modal sosial memfasilitasi kegiatan individu dan kelompok yang dikembangkan oleh jaringan hubungan, timbal balik, kepercayaan dan norma sosial. Menurut Putnam (1993), modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara individu-individu. Fukuyuma (1999) mengatakan modal sosial adalah sebagai prakondisi untuk keberhasilan pembangunan. Fukuyama mengupas pentingnya modal social berbasis pada kepercayaan. Bentuk modal inilah yang memungkinkan terjadinya kesepahaman dan kerja sama serta memiliki hubungan erat dengan tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat atau bangsa.
Untuk mempermudah memahami modal sosial pada tataran praktis, Bank Dunia membagi modal sosial kedalam lima dimensi (Amri dan Sarosa, 2008): 1) Kelompok dan jejaring, merupakan kumpulan individu yang mengangap penting hubungan antar pribadi yang terjadi diantara masing-masing individu tersebut.
Mereka
meyakini
bahwa
hubungan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan mereka. Dukungan kelompok dan berbagai aktivitas dengan sesama anggota jejaring sangat penting untuk membangun modal sosial. Keterlibatan anggota kelompok untuk mengorganisasi diri dan menggalang sumber daya untuk menyelesaikan masalah-masalah bersama merupakan sebagian manfaat dari kelompok dan jejaring yang memperkuat modal sosial. 2) Kepercayaan ( trust) dan solidaritas mencerminkan perilaku antar individu yang mendukung terciptanya kekertan sosial dan tindakan bersama yang lebih kuat. Kepercayaan dan solidaritas membentuk pemikiran dan sifat masingmasing anggota kelompok mengenai bagaimana berinteraksi dengan anggota lain. Ketika individu-individu saling mempercayai dan menghargai, mereka dapat mencapai kesepakatan dan mengadakan transaksi secara lebih muda. 3) Kemampuan kerjasama dan bertindak bersama merupakan kemampuan kelompok dalam menyelesaikan masalah-masalah dan tujuan-tujuan bersama. Tujuan
tindakan
bersama
mungkin
saja
berbeda-beda
tergantung
komonitasnya. Sebagai contoh, tindakan bersama dapat terdiri dari berbagai aktifitas yang di organisasi oleh komonitas untuk membangun dan memelihara infrastruktur desa. Tindakan bersama juga penting untuk mewujudkan tata-pemerintahan dan akuntabilitas public yang baik.
4) Informasi dan komunikasi merupakan sinpul dari berbagai interaksi sosial, dan berperang penting untuk membangun modal sosial yang positif. Aliran informasih dua arah(fertikal) antara masyarakat local dan penentu kibijakan merupakan hal penting dari proses pembangunan. Aliran informasi dua arah(horisantal) memperkuat kapasitas masyarakay dengan cara menyediakan media untuk berbagi dan bertukar pengetahuan ide. Dialok yang terbuka akan membangun perasaan sebagai satu komoditas, sedangkan kerahasiaan hanya akan menghasilkan kecurigaan dan ketidakpercayaan. 5) Kerekatan dan keikutsertaan sosial mengurangi resiko konflik antar indifidu maupun antar kelompok, dan mempromosikan akses yang adil terhadap hasil-hasil pembangunan dengan cara meningkatkan partisipasi orang-oarang
yang
terpinggirkan
atau
minoritas.
Kerekatan
sosial
mewujudkan diri dalam individu-individu yang bersedia dan mampu bekerja sama untuk menyelesaikan masalah bersama, memenuhi kebutuhan bersama, dengan cara yang beradap, tidak konfrontatif, dan dengan menghargai berbagai kepentingan yang ada. Keikutsertaan sosial mempromosikan akses yang adil terhadap berbagai kesempatan dan menghilangkan hambatanhambantan formal dan informal untuk berpartisipasi. Putnam (1993) menjabarkan sedikitnya tiga alasan mengapa modal sosial merupakan modal penting bagi kemajuan masyarakat: 1) Model sosial memungkinkan masyarakat untuk menyelesaikan masalahmasalah bersamanya secara lebih mudah. Seringkali masyarakat akan lebih baik kalau mereka bekerjasama. Hanya saja terdapat peluang seseorang mengambil manfaat dengan cara menghindar dari kewajibannya dan
mengharapkan orang lain melakukan kewajiban tersebut. Masalah ini perlu diselesaiakan dengan mekanisme kelembagaan yang memiliki kekuatan untuk memastikan setiap orang berperilaku sesuai dengan harapan kolektif. Norma dan jejaring dapat menyelesiakan mekan isme ini. 2) Modal sosial merupakan ‘’oli pelican roda’’ yang memungkinkan masyarakat bergerak maju dan lancer. Ketika masing-masing indifidu dalam masyarakat dapat dipercaya dan bersikap saling mempercayai, maka biaya transaksi sosial dan transaksi ekonomi akan lebih murah. 3) Modal sosial meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Orang-orang yang memiliki hubungan aktif dan saling mempercayai mengembangkan karakter pribadi yang baik untuk anggota masyarakat lainnya. Masyarakat menjadi lebih toleran, tidak sinis, dan berempati terhadap kesulitan yang dihadapi orang lain. Cohen dan Prusak (2001) menjabarkan manfaat-manfaat sosial ekonomi bagi perusahaan: 1) Modal sosial mempermudah berbagi informasi dan pengetahuan yang terkait dengan usaha. Hal ini terjadi karena adanya hubungan-hubungan yang dilandasi kepercayaan dan tujuan bersama. 2) Modal sosial mengurangi biaya transaksi Karena adanya tingkat kepercayaan dan kerja sama yang tinggi. hal ini terjadi baik didalam perusahaan maupun antara perusahaan dengan pelanggan dan mitra-mitranya. Bayangakan jika perusahaan sulit mempercayai atau harus selalu curiga terhadap mitranya. Tentunya perusahaan harus menanggung biaya tinggi untuk melakukan berbagai verifikasi.
3) Bagi internal perusahaan, modal sosial yang tinggi membangun rasa kebanggaan dan kepemilikan pegawai yang tinggi terhadap perusahaan, sehingga mengurangi tingkat pergantian pegawai (turnover). Bila pegawai tidak sering-serig berganti, maka perusahan dapat mengurangi biaya merekrut dan melatih pegawai, juga menghindari diskontinuitas usaha dan menjaga pengetahuan lembaga yang terakumulasi dalam pegawai-pegawainya. 4) Modal
sosial
Membangun
kekompakkan
dan
kestabilan
pada
perusahaan. Dengan adanya modal sosial, pegawai akan lebih kompak,
saling membantu, dan pada akhirnya akan lebih mudah mendukung misi perusahaan. Dalam hubungannya dengan konflik, hubungan yang renggang atau bahkan bermasalah antara perusahaan dan masyarakat sering juga dialami di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari maraknya konflik sosial yang terjadi antara perusahaan, khususnya perusahaan-perusahaan ekstraktif, dengan masyarakat disekitarnya. Tapi lebih daripada itu, hubungan sosial yang bermasalah antara berbagai komponen masyarakat yang ada di sekitar perusahaan (walaupun tidak terkait secara langsung dengan perusahaan itu sendiri) juga mengakibatkan perusahaan mengalami berbagai masalah dan kerugian. (Amri dan Sarosa, 2008) Kenyataannya, modal sosial tidaklah statis. Melemahnya modal sosial positif bisa jadi karena diintervensi oleh modal sosial negatif. Kalau masyarakat tidak mampu mengatasinya maka bakal terjadi penggerusan modal social positif yang ada; misalnya gangguan terhadap interaksi sosial, saling percaya yang menurun, pelanggaran norma sosial, krisis kepemimpinan dan akhirnya kerenggangan hubungan sosial. Meningkatnya semangat nilai-nilai budaya
konsumerisme dan individualistik, misalnya, akan mudah menimbulkan konflik dan perilaku menyimpang. Perilaku yang tidak jarang ditemukan, misalnya primodialisme dan sentiment kedaerahan dan kesukuan bisa jadi dapat menimbulkan kerusuhan sosial. Hal itu semakin parah karena lemahnya fungsi kontrol sosial dan intensitas komunikasi yang rendah.
2.8. Masyarakat Adat (Indigenous Peoples) 2.8.1.
Definisi Masyarakat Adat
Dewasa ini istilah indigenous mengacu lebih luas pada pewaris yang menghuni wilayah yaitu wilayah yang dihuni jauh sebelum dijajah atau dikuasi oleh bangsa asing maupun suku-suku lain. Dalam diskursus dan gerakan hak asasi manusia mereka ini biasa disebut sebagai indigenous peoples. Dalam literatur peraturan perundang-undangan terdapat dua penyebutan istilah masyarakat adat yaitu ada yang menyebut “masyarakat adat” dan ada juga yang menyebut “masyarakat hukum adat”. Namun demikian perbedaan tersebut tidak menafikan atau menegasikan hak-hak adat yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. (Sumardjani , 2007) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tantang Kehutanan pasal 67 menyebutkan masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan, kegiatan pengelolaan hutan dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Undang-undang kehutanan ini mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya, masyarakat hukum adat tersebut masih ada.
Untuk disebut sebagai masyarakat hukum adat, undang-undang kehutanan memberikan kriteria yang harus dipenuhi (Sumardjani , 2007), antara lain : 1. Masyarakat masih dalam bentuk payugupan (rechtsgemeenschap) 2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas 4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Konvensi ILO 169, 1989, masyarakat adat adalah “masyarakat yang berdiam dinegara-negara merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut. dan statusnya diatur, baik seluruh maupun sebagian oleh masyarakat adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus” Masyarakat adat Indonesia yang tergabung dalam aliansi masyarakat adat nusantara memberikan definisi masyarakat adat sebagai “komunitas yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun yang hidup di wilyah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, idiologi ekonomi, politik, budaya, sosial yang khas. Menurut ahli hukum adat Te Haar dalam Sumardjani (2007), masyarakat hukum adat merupakan masyarakat yang memiliki kesamaan wilayah (teritorial), keturunan (geneologis) sehingga terdapat keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lain.
2.8.2. Hak – Hak Masyarakat Adat
Tanah dan sumber daya alam sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat adat, bahkan sangat penting bagi kelangsungan eksistensi mereka. Sehubungan dengan itu, pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alam sangat esensial bagi pemeliharaan dan pembangunan budaya, ekonomi, dan bahkan sangat esensial bagi kelangsungan hidup bagi eksistensi mereka. Meski demikian, sejarah telah menjadi saksi “takdir buruk” dari kelompok-kelompok masyarakat ini berkenaan dengan hak-hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alam dan perjuangan mereka untuk tetap bertahan hidup. (Bosko, 2006) Selama sejarah penjajahan, tanah dan wilayah mereka, yang merupakan tempat mereka menggantungkan hidup, dirampas atau dihancurkan oleh kekuatan kolonial dan agen-agennya. Hal ini berujung pada proses pemindahan secara paksa, pencerabutan hak dan marginalisasi masyarakat adat, bersama hilangnya integritas budaya mereka. Pada abad ini, proses perampasan dan marginalisasi tersebut masih terus berlanjut, bahkan berlanjut dalam kondisi yang lebih tidak terlindungi oleh keadilan dan penyelesaian hukum. Proses perampasan, penindasan,dan pengabaian yang berkelanjutan ini telah membawa masyarakat adat di seluruh dunia kepada perjuangan yang sama untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka, termasuk hak atas tanah dan sumber daya alamnya. (Bamba, 2002) Dalam banyak kasus, perjuangan-perjuangan ini muncul dalam bentuk konflik dan ketegangan antara masyarakat adat dan “pelaku” dalam pembangunan sumber daya alam seperti pemerintah dan atau perusahaan-perusahaan.
Hukum dan masyarakat internasional, telah menunjukkan komitmen yang lebih besar pada usaha-usaha untuk memecahkan masalah berkenaan dengan pengakuan dan perlindugan hak masyarakat adat. Konvensi ILO nomor. 169 menegaskan dengan cukup kuat hak-hak msyarakat adat atas tanah mereka dan sumber daya alamnya. Gagasan utama yang dipakai dalam konvensi 169 ILO adalah pemeliharaan atau pelestarian dan partisipasi, yaitu, partisipasi dari masyarakat adat dalam kebijakan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Konvensi ini mengakui masyarakat adat sebagai kelompok yang merupakan pemilik atau subjek (benefic iaries) hak-hak yang dilindungi oleh konvensi ini. Demikianlah, konvensi ini mengakui hak-hak kolektif dari masyarakat adat dalam pasal 7 (melindungi control atau pengaturan masyarakat adat terhadap pembangunan mereka), pasal 5 ( b) dan pasal 8 (b) (menghormati institusi-institusi masyarakat adat), pasal 6 (1) (a) (mengarahkan pemerintah untuk berkonsultasi dengan masyarakat adat melalui institusi perwakilan mereka) dan pasal 13-19 (berkaitan dengan perlindungan hak atas tanah). Konvensi 169 ILO mulai berlaku pada tanggal 5 September 1991 dan pada bulan Mei 1998 telah diratifikasi oleh 13 negara. (Bosko, 2006) Dari keterangan diatas, jelaslah bahwa sekarang ini instrument yang mengikat secara hukum dan secara khusus berkenaan dengan hak masyarakat adat adalah, Konvensi 169 ILO. Konvensi ini menyediakan rezim hukum pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat cukup memadai. Meskipun demikian, mekanisme penerapannya lemah. Kendati isi Konvensi berhubungan dengan hak masyarakat adat, namun tidak ada prosedur pengaduan khusus yang tersedia bagi masyarakat adat untuk membawa kasus mereka ke depan ILO.
Konvensi ILO 169 mengatur hak-hak masyarakat adat terkena dampak pembangunan sumber daya alam: 1) Hak untuk tidak di diskriminasikan, 2) Hakhak atas tanah dan sumber daya alam, 3) Hak atas kebudayaan, 4) Hak untuk berpartisipasi, 5) Hak atas lingkungan yang sehat dan 6) Hak untuk memberikan persetujuan (Right to consent). Hak atas masyarakat adat ini juga di akui oleh pemerintah daerah propinsi Papua dengan adanya Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua yang tertera dalam BAB XI yang mengatur tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat, pada ayat (1) sampai (5) meliputi: 1) Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku 2) Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan 3) Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang di peroleh pihak lain secara sah menurut tata cara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan 4)
Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupuan imbalannya
5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat di capai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan. Dengan keberadaan Undang-undang diatas, tentunnya diharapkan bagi pemerintah maupun investor-investor yang memanfaatkan hak-hak masyarakat adat seperti tanah dan kandungannya dapat mengimplementasikannya dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat di sekitarnya. 2.9 Keterkaitan antara penelitian yang dilakukan dengan penelitianpenelitian sebelumnya.
Selama ini penelitian mengenai proses komunikasi publik dalam penerapan tanggung jawab sosial perusahaan relatif belum cukup banyak dilakakukan di Indonesia, baik dilingkungan akademis, instansi pemerintah, swasta dan lembaga lainnya. Hal ini disebabkan karena konsep tanggung jawab sosial perusahaan merupakan suatu konsep yang cukup baru, dimana tanggung jawab sosial perusahaan muncul setelah dunia usaha mulai menyadari bahwa munculnya resistensi-resistensi disekitar mereka, akibat dunia usaha kurang menghargai dan bertanggungjawab kepada masyarakat di sekitarnya. Sehingga salah satu tujuannya adalah membangun kemitraan/hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar demi meningkatkan eksistensi perusahaan tersebut. Hasil-hasil penelitian yang menggambarkan bagaimana perusahaan kurang menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan secara efektif sehingga menimbulkan resistensi-resistensi yang menjurus kepada
ketidak-berlanjutan
perusahaan telah diungkapkan oleh oleh berbagai sumber, seperti kasus lumpur
lapindo, kasus TPST Bojong, kasus PT Freeport Indonesia dan lain-lain. Wibisono (2007) menegaskan peristiwa ini menunjukan bahwa dampak negatif dari kegiatan industri yang selalu mengancam di depan mata karena sejak awal kegiatan itu dilakukan tanpa ada kepedulian untuk melestarikan lingkungan dan memperhatikan kenyamanan masyarakat yang ada disekitarnya. Berbeda dengan perusahaan yang menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan, berdasarkan hasil temuan Hadidjaja dalam Majalah Bisnis dan CSR, edisi Oktober 2007, di beberapa perusahaan di Canada seperti Husky Injections Molding Sistem Ltd dan perusahaan Tembec, menunjukan sejumlah usahawan yang menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan tercatat memetik hasil yang signifikan bahkan
perusahaan tersebut tetap eksis tanpa adanya resistensi-
resistensi dari publik eksternal dan internal. Dalam kaitannya dengan komunikasi, penerapan setiap program dalam suatu perusahaan/ lembaga memerlukan komunikasi.
Komunikasi merupakan
salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan suatu program yang diterapkan, termasuk program tanggung jawab sosial perusahaan.
Tujuannya
adalah untuk membangun hubungan baik dengan publik, karena itu dibutuhkan komunikasi. Liliweri (2004) menjelaskan, setiap proses komunikasi mempunyai hasil akhir yang disebut dengan efek. Efek menerpa seseorang yang menerimanya, baik secara sengaja dan terasa atau tidak dapat dimengerti, akibat dari proses komunikasi. Hanafy (1994) mengatakan efek utama komunikasi terjadi pada suatu tempat diantara saat seseorang mengarahkan indranya pada isyarat komunikasi
dan pada saat dia melakukan suatu tindakan. Jadi efek itu tersembunyi di dalam otak. Efek komunikasi terpenting adalah terjadi pada imajinasi di kepala kita, peta kognitif kita tentang lingkungan, imajinasi mengenai diri kita, kepercayaan dan nilai-nilai yang telah kita terima, evaluasi-evaluasi yang kita buat mengenai hubungan kita dengan orang-orang atau kelompok-kelompok dengan kata lain efek komunikasi merupakan perubahan pengalaman yang telah kita simpan dalam sistem pusat syaraf kemudian dipersepsikan. Apabila pesan itu perbedaanya terlalu besar, kecenderungan menimbulkan konflik dalam setiap benturan kehidupan
masyarakat.
Timbulnya
perbedaan-perbedaan
tersebut
akan
menimbulkan suatu konflik. Demikian juga dengan komunikasi yang bertujuan untuk membina hubungan baik antara dengan masyarakat. Komunikasi itu akan berhasil apabila terbentuk suatu persepsi yang positif terhadap perusahaan, dan timbulnya suatu kepercayaan
kepada
perusahaan.
Tetapi
apabila
dalam
pelaksanaanya
menimbukan efek komunikasi adalah konflik, maka dapat dikatakan proses komunikasi itu tidak efektif. Menurut Hajimoto, 2001, adanya konflik adalah bukti bahwa
ada kemacetan komunikasi
antara berbagai golongan dalam
masyarakat kita yang majemuk. Pertumbuhan konflik dalam proses komunikasi terjadi akibat pelemparan pesan yang tidak memuaskan antara komunikan dengan komunikator.
2.10. Kerangka Pemikiran
Perusahaan BP LNG Tangguh merupakan perusahaan gas alam cair yang beroperasi di daerah sekitar Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat. Perusahaan ini telah berkomitmen untuk memberhatikan aspek lingkungan dan sosial masyarakat sekitar. Hal ini ditunjukan dengan pihak pengelolan Proyek Tangguh bercita-cita agar proyek tersebut bisa menjadi sebuah kegiatan eksplorasi sumberdaya alam yang bertanggungjawab baik secara sosial maupun lingkungan. Proyak Tangguh juga berusaha menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan menerapkan apa yang dikenal sebagai strategi sosial terpadu (Integrated Social Strategy/ ISS). ISS merupakan bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility). Komponen-konponennya meliputi; strategi pemerataan dan penyebaran pertumbuhan, perencanaan pengelolaan dampak
keuangan,
pelatihan
dan
pengelolaan
tenaga
kerja,
program
pengembangan masyarakat, program keamanan berbasis masyarakat, forum dana abadi, sistem ekonomi berbasis masyarakat, dan pemukiman kembali kampung tanah merah. (Tabura Newsletter, edisi keempat, Oktober 2003) Untuk merealisasikan program-program tersebut, tentunya memerlukan komunikasi. BP LNG telah menggunakan pendekatan komunikasi yaitu Participatory Rural Appraisal untuk merencanakan program/kegiatan-kegiatan tanggung jawab sosial yang akan dilakukan. Dalam hal ini, proses komunikasi yang dilakukan dalam penerapan tanggung jawab sosial perusahaan melalui ISS merupakan fokus dari penelitian ini.
Liliweri (2004) menjelaskan, setiap proses komunikasi mempunyai hasil akhir yang disebut dengan efek. Efek komunikasi dapat bersifat positif yaitu tercapainya tujuan komunikasi yang diinginkan yaitu terciptanya hubungan yang kondusif/baik antara perusahaan dengan publik, tetapi juga bersifat negatif seperti timbulnya rasa ketidakpuasan yang menjurus kepada konflik-konflik destruktif yang membawa kerugian bagi publik maupun perusahaan itu sendiri. Dengan demikian, penerapan program tanggung jawab sosial perusahaan akan berhasil dipengaruhi oleh aktivitas komunikasi pada setiap bidang tanggung jawab sosial perusahaan. Aktivitas komunikasi publik dapat meliputi intensitas komunikasi, teknik komunikasi dan model komunikasi publik yang digunakan. Aktivitas komunikasi yang baik tentunya merupakan salah satu faktor yang menentukan tercapainya tujuan komunikasi publik perusahan dan lebih khusus tercapainya keberhasilan program tanggung jawab sosial perusahaan berdasarkan indikator keberhasilan program tanggung jawab sosial perusahaan. Indikator eksternal bagi keberhasilan penerapan tanggung jawab sosial perusahaan dapat ditentukan berdasarkan indikator ekonomi yaitu, 1)Tingkat pertambahan kualitas sarana dan prasarana umum, 2) tingkat peningkatan kemandirian masyarakat secara ekonomis, 3) tingkat kualitas hidup bagi masyarakat secara berkelanjutan, dan indikator sosial yaitu, 1) frekuensi terjadinya gejolak atau konflik sosial, 2) tingkat kualitas hidup sosial antara perusahaan dan masyarakat, 3) tingkat kepuasan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas komunikasi memiliki hubungan positif terhadap tingkat kepuasan masyarakat atau semakin tinggi aktivitas komunikasi publik melalui program tanggung jawab sosial perusahaan
akan berpengaruh pada semakin tinggi tingkat kepuasan publik. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah aktivitas komunikasi publik, akan berpengaruh pada semakin rendah tingkat kepuasan publik terhadap program tersebut. Aktivitas komunikasi publik berpengaruh negatif terhadap frekuansi terjadinya gejolak atau konflik sosial atau semakin tinggi aktivas komunikasi publik melalui program tanggung jawab sosial perusahaan akan berpengaruh pada semakin rendah konflik sosial. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah aktivitas komunikasi publik, akan berpengaruh pada semakin tinggi konflik sosial.
Dengan demikian,
kerangka pemikiran dan gambar hubungan antar variabel digambarkan sebagai berikut ;
67 Profit (Keuntungan Perusahaan)
Eksistensi & Sustainable Perusahaan
Aktivitas komunikasi bidang kompensasi Tanah Adat. (X1) Kesejahteraan Masyarakat Aktivitas komunikasi bidang Kesehatan Masyarakat. (X2) Aktivitas Komunikasi Publik dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (X) Intensitas Komunikasi Teknik Komunikasi Model komunikasi
Pelaksanaan CSR Perusahaan
Kepuasan Publik (Y1)
Aktivitas komunikasi Pendidikan & Pelatihan (X3)
Modal Sosial (Hubungan Sosial)
Aktivitas komunikasi bidang Tenaga Kerja (X4) Lingkungan Hidup Aktivitas komunikasi bidang Sarana Prasarana (X5)
Perilaku Konflik (Y2)
Keterangan : : Berhubungan/ mempengaruhi : Terdiri dari : Tidak diteliti Gambar 7.
Kerangka Hubungan Aktivitas Komunikasi Publik dalam Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dengan Kepuasan Publik dan Perilaku Konflik
2.11. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini di rumuskan sebagai berikut: 1.
Aktivitas komunikasi publik melalui program tanggung jawab sosial perusahaan berhubungan positif dengan kepuasan publik.
2.
Aktivitas komunikasi publik melalui program tanggung jawab sosial perusahaan berhubungan negatif dengan perilaku konflik.
3.
Kepuasan publik perusahaan berhubungan negatif dengan perilaku konflik.
4.
Aktivitas komunikasi publik perusahaan
BP LNG Tangguh di bidang
kompensasi tanah adat berhubungan positif dengan kepuasan publik. 5.
Aktivitas komunikasi publik perusahaan
BP LNG Tangguh di bidang
kesehatan masyarakat berhubungan positif dengan kepuasan publik. 6.
Aktivitas komunikasi publik perusahaan
BP LNG Tangguh di bidang
pendidikan dan pelatihan berhubungan positif dengan kepuasan publik. 7.
Aktivitas komunikasi publik perusahaan
BP LNG Tangguh di bidang
demand tenaga kerja berhubungan positif dengan kepuasan publik. 8.
Aktivitas komunikasi publik perusahaan
BP LNG Tangguh di bidang
pembangunan sarana prasarana berhubungan positif dengan
kepuasan
publik. 9.
Aktivitas komunikasi publik perusahaan
BP LNG Tangguh di bidang
kompensasi tanah adat berhubungan negatif dengan perilaku konflik. 10. Aktivitas komunikasi publik perusahaan
BP LNG Tangguh di bidang
kesehatan masyarakat berhubungan negatif dengan perilaku konflik.
11. Aktivitas komunikasi publik perusahaan
BP LNG Tangguh di bidang
pendidikan dan pelatihan berhubungan negatif dengan perilaku konflik. 12. Aktivitas komunikasi publik perusahaan
BP LNG Tangguh di bidang
demand tenaga kerja berhubungan negatif dengan perilaku konflik. 13. Aktivitas komunikasi publik perusahaan
BP LNG Tangguh di bidang
pembangunan sarana prasarana berhubungan negatif dengan konflik.
perilaku