BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV dan AIDS AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh. Menurunya kekebalan tubuh ini oleh virus HIV. HIV (Human Immunodeficincy Virus) merupakan virus yang hidup di dalam tubuh manusia yang terinfeksi (Mintarjo, 2009). 2.1.1
Epidemiologi HIV/AIDS
1.
Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS
a.
Berdasarkan Orang Kerentanan setiap orang terhadap HIV/AIDS bersifat umum dan tidak diketahui
bahwa adanya kekebalan orang terhadap infeksi HIV/AIDS. Selain itu infeksi HIV/AIDS juga tidak dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan kehamilan sehingga hal ini memungkinkan setiap orang mungkin akan terinfeksi HIV/AIDS (Chin, 2000). Berdasarkan data USAIDS (2014) pada akhir tahun 2013 sebanyak 35 juta orang di dunia hidup dengan HIV dan 1,5 juta mengalami kematian. Sementara itu jumlah orang yang hidup dengan HIV pada tahun 2013 di wilayah Asia dan Pasifik sebanyak 4.800.000 orang dan 250.000 diantaranya meninggal. Sementara itu menurut data UNICEF (2014) sebanyak 64 % kasus baru AIDS terdapat pada remaja dengan usia 15-19 tahun. Sedagkan 110.000 orang dengan rentangan usia 10-19 tahun meninggal karena virus HIV di seluruh dunia.
8
9
Berdasarkan data Ditjen, PP & PL, Kemenkes RI (2014), jumlah kumulatif penderita HIV tahun 1987 hingga bulan September 2014 yang laporkan adalah sebesar 150.296 orang dan jumlah kumulatif penderita AIDS dari 1987 hingga bulan September 2014 yang dilaporkan adalah 55.799 orang. Sedangkan kasus baru AIDS pada tahun 2014 berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahwa kasus baru AIDS tertinggi pada kelompok usia produktif yaitu usia 20-29 tahun (32,2%) dan diikuti usia 30-39 tahun (29,1%). Berdasarkan laporan yang sama jumlah penderita AIDS laki-laki lebih banyak di bandingkan perempuan. Dimana jumlah penderita AIDS laki-laki sebesar 61,6% dan jumlah penderita AIDS perempuan sebesar 34,4% dan penderita AIDS yang tidak diketahui jenis kelaminnya adalah sebesar 4,0%. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan AIDS (KPA) Provinsi NTT (2015), sejak tahun 1997 hingga Desember 2014 jumlah kumulatif penderita AIDS di Provinsi NTT adalah 1849 orang dan jumlah kumulatif penderita HIV adalah sebesar 1403 orang. Jumlah penderita HIV/AIDS tertinggi di Provinsi NTT adalah ibu rumah tangga yaitu mencapai 840 orang. b.
Berdasarkan Tempat Berdasarkan data dari Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS)
tahun 2013, di kawasan Sub-Sahara Afrika menyumbang hampir 70% dari total penderita HIV baru secara global. Jumlah penderita HIV di kawasan Sub-Sahara Afrika selama tahun 2013 adalah 24,7 juta orang dan jumlah orang yang meninggal karena AIDS pada tahun 2013 adalah sebesar 1,1 juta orang. Sedangkan di Asia dan Pasifik jumlah penderita HIV baru pada tahun 2013 adalah sebesar 4,8 juta orang dan jumlah orang yang meninggal karena AIDS adalah sebesar 250.000 orang.
10
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2014), tercatat 5494 kumulatif kasus AIDS terjadi di 33 provinsi dan 404 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Provinsi dengan kumulatif kasus AIDS tertinggi adalah Jawa Timur (824), Jawa Tengah (740), Bali (727), Papua (493), Nusa Tenggara Timur (389), Sumatera Barat (240), Sumatera Utara (231), Sulawesi Selatan (209), Kalimantan Timur (206) dan Riau (167). c.
Berdasarkan Waktu AIDS merupakan penyakit menular yang mengglobal saat ini. Sejak pertama kali
ditemukan kasus AIDS di Indonesia tahun 1987, jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahun. Sampai dengan tahun 1990 perkembangan kasus AIDS masih lambat, namun sejak tahun 1991 jumlah kasus AIDS lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Jumlah kasus AIDS di Indonesi sejak tahun 1987 hingga tahun 2013 mencapai 65.790 kasus. Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2014), trend kecenderungan jumlah kasus AIDS senantiasa mengalami peningkatan hingga tahun 2012 dan menurun pada tahun 2013 hingga 2014. Pada tahun 2009 terdapat 6.073 kasus baru, tahun 2010 meningkat menjadi 6.907 kasus baru, tahun 2011 meningkat menjadi 7.312 kasus baru, pada tahun 2012 meningkat menjadi 8.747 kasus baru, pada tahun 2013 mengalami penurunan jumlah kasus AIDS yaitu 6.266 kasus baru, dan hingga tahun 2014 menurun menjadi 5.494 kasus baru. 2.
Determinan HIV/AIDS
a.
Agent Agent sering disebut juga dengan faktor penyebab merupakan suatu unsur,
organisme hidup atau kuman infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit
11
atau masalah kesehatan lainnya. Agent atau faktor penyebab pada AIDS adalah virus HIV. Hingga saat ini obat untuk membunuh virus HIV sulit ditemuakan. Hal ini dikarena virus HIV sangat mudah mengalami mutasi. Virus ini sangat muda mati ketika berada diluar tubuh atau pada temperatur 600C selama 30 menit. Perkembangan HIV menjadi AIDS melalui 4 fase. Fase pertama, fase ini berlangsung selama beberapa minggu setelah seseorang terinfeksi virus HIV. Namun pada tes HIV penderita tidak menunjukkan terinfeksi HIV. Fase kedua, merupakan fase terpanjang dari keempat fase. Pada fase ini penderita terlihat sehat-sehat saja namun dalam tubuh penderita virus HIV sedang berkembang. Lama fase ini adalah 5-10 tahun. Virus HIV yang masuk ke tubuh menghancurkan sel CD-4 dalam tubuh yang merupakan sel darah putih yang bertugas untuk menangkal infeksi dan merupakan antibodi untuk melawan penyakit. Semakin sedikit sel CD-4 dalam darah, sistem kekebalan tubuh akan melemah dan penderita akan semakin sulit menghindari penyakit. Fase ketiga dimulai ketika tubuh penderita telah dikuasai oleh virus. Pada saat kekebalan tubuh menjadi lemah penyakit lain yang sebenarnya dapat dilawan oleh sistem kekebalan tubuh dengan mudah menyerang penderitan yang telah terinfeksi. Gejala yang timbul pada fase ini adalah gejala-gejala ringan seperti rasa lelah, infeksi jamur, diare, demam, berat badan terus menurun, berkeringat pada malam hari, pembengkakan kelenjar limpa, infeksi pada sekitar area mulut, atau batuk secara terus-menerus. Pada beberapa kasus dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh ini maka gejala-gejala tersebut semakin parah. Fase keempat, fase dimana penyakit yang paling ringan dapat menjadi berat. Ketika gejala-gejala penyakit menjadi parah maka pada saat itulah penderita terdiagnosa menderita AIDS.
12
Sehingga yang biasanya diberikan adalah antivirus dengan tujuan untuk memperlambat perkembangan virus (Mintarjo, 2009). b.
Host Host atau penjamu adalah manusia ataupun makluk hidup lainnya yang menjadi
tempat terjadinya proses alamiah perkembangan penyakit. Virus HIV yang menyebar di masyarakat saat ini telah menyebar di semua lapisan masyarakat baik itu yang berisiko maupun kelompok masyarakat yang umum. Menurut Depkes, RI (2006) kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drug Use), kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan banyak mitraseksual), laki-laki yang berhubungan seks dengan sesamanya atau lelaki seks lelaki (LSL), narapidana dan anak-anak jalanan, penerima transfusi darah, penerima donor organ tubuh dan bahkan petugas pelayan kesehatan juga mejadi kelompok yang rawan tertular HIV. Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2014), proporsi penularan HIV/AIDS melalui heteroseksual sebesar 81,3%, homoseksual 5,1%, perinatal 3,5%, IDU 3,3%, biseksual 1,0%, transfusi 0,2%, lain-lain 0,8 dan tidak diketahui 4,8%. c.
Environment Envirmonment (lingkungan) adalah
faktor diluar individu yang berupa
lingkungan fisik, biologis, sosial, dan ekonomi. Faktor lingkungan menjadi faktor yang turut mempengaruhi penyebaran AIDS. Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran AIDS seperti riwayat ulkus genitalis, herpes simplek dan STT (Serum Test of Syphilis).
13
2.1.2
Cara Penularan Pada dasarnya HIV sudah ada dalam tubuh seseorang yaitu dalam darah dan
cairan penderita yang telah tertular walaupun penderita yang telah terinfeksi ini belum menunjukkan gejala. Seseorang hanya dapat terinfeksi HIV jika melakukan kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah dari penderita AIDS positif. Menurut Notoatmodjo (2011) penularan HIV melalui 3 cara yaitu : 1.
Hubungan seksual, baik itu melalui vagina, oral, maupun anal dengan penderita yang telah terinfeksi. Penularan ini akan lebih cepat apabila seorang penderita yang telah terinfeksi ini memiliki penyakit kelamin seperti herpes, genitalis, sifilis, gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Risiko untuk terjadi penularan HIV melalui seks lebih besar melalui anal dibandingkan seks melalui vagina.
2.
Kontak langsung dengan darah atau produk darah/ jarum suntik, seperti melalui transfusi darah atau produk darah yang telah tercemar HIV, pemakaian jarum suntik yang tidak steril atau pemakaian jarum suntik secara bersamaan dan sempritnya pada para pecandu narkotika suntik, dan penularan lewat kecelakaan serta tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
3.
Penularan secara vertikal yakni dari ibu hamil dengan HIV kepada bayinya baik itu selama kehamilan, saat melahirkan, ataupun setelah melahirkan.
2.1.3
Pencegahan HIV/AIDS Menurut Permenkes No. 21 tahun 2013 pencegahan penularan HIV/AIDS
dapat dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut : 1.
Pencegahan penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual.
14
a. Tidak melakukan hubungan seksual (abstinensia) pada pasangan yang belum menikah. b. Setia dengan pasangan (be faithful) yang berarti hanya berhubungan dengan satu pasangan saja dan tidak berganti-ganti pasangan. c. Menggunakan kondom secara konsisten (condom use). d. Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no drug). e. Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati IMS sedini mungkin (Education). 2.
Pencegahan penularan HIV/AIDS melalui hubungan non seksual yang bertujuan untuk mencegah penularan HIV melalui darah seperti: a. Uji saring darah pendonor. b. Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai tubuh. c. Pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik dalam hal ini seperti: -
Program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku serta dukungan psikososial.
-
Mendorong pengguna napza suntik khususnya pecandu opiat menjalani program terapi rumatan.
-
Mendorong pengguna napza suntik untuk melakukan pencegahan penularan seksual.
3.
Layanan konseling dan tes HIV.
Pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke anaknya. a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif.
15
b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV. c. Pencegahan penularan HIV pada ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungan d. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya. 2.2 Remaja 2.2.1
Pengertian Remaja adalah individu yang sedang mengalami masa peralihan yang secara
berangsur-angsur mencapai kematangan seksual, mengalami perubahan jiwa dari jiwa kanak-kanak menjadi dewasa, dan mengalami perubahan keadaan ekonomi dari ketergantungan menjadi relatif mandiri (WHO dalam Notoatmojo 2011). Pada sebagian besar masyarakat dan budaya, masa remaja pada umumnya dimulai usia 1013 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatmodjo 2011). 2.2.2
Perilaku Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Sehingga perilaku dan gejala yang tampak pada manusia tersebut dipengaruhi oleh lingkungan ataupun genetik (keturunan) dan merupakan penentu perilaku manusia. Faktor keturunan yang mempengaruhi perilaku manusia adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku manusia untuk selanjutnya. Sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku manusia adalah kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Mekanisme pertemuan antara kedua faktor dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning process) (Notoatmodjo, 2011).
16
Menurut teori Lawrence Green (dalam Notoatmodjo, 2010), faktor perilaku manusia ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu: a. Faktor predisposis (pre disposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan , sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. Sedangkan pengaruh sendiri dipengaruhi oleh umur, pekerjaan, pendidikan, sosial budaya, dan sumber informasi. b. Faktor pemungkin (enabling factor), adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin yang dimaksud adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat kontrasepsi, jamban, program-program kesehatan dan sebagainya. c. Faktor penguat (reinforcing factor) adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor penguat yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, pendapat, dukungan sosial, pengaruh teman, kritik baik dari teman-teman sekerja atau lingkungan maupun petugas yang lainnya sebagai kelompok panutan di masyarakat. Menurut Adnani (2011) perilaku dapat terbentuk melalui 3 hal yaitu: a. Perilaku terbentuk karena kebiasaan (conditioning). Dimana perilaku ini terbentuk melalui kebiasaan diri sehari-hari. b. Perilaku terbentuk karena pengertian (insight). Pembentukan perilaku ini didasari atas teori kognitif seseorang, yaitu belajar yang disertai oleh pengertian. Perilaku seseorang terbentuk atas kebiasaan yang diyakini akan membawa dampak bagi orang tersebut.
17
c. Perilaku terbentuk karena model. Pembentukan perilaku ini didasari atas teori belajar sosial (social learning theory) atau observational theory. Perilaku yang terbentuk menggambarkan seseorang yang menjadi panutannya. 2.3 HIV dan Remaja Penyebaran virus HIV di kalangan remaja tiap tahunnya menyebar dengan sangat cepat. Hal ini dapat dilihat dari penyebaran HIV/AIDS di kalangan remaja sebanyak 2.112 (58%) kasus adalah penyebaran virus HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman, sebanyak 815 (22,3%) kasus penyebaran HIV di kalangan remaja disebabkan melalui jarum suntik secara bergantian pada pemakaian narkoba dan 4 (0,10%) kasus melalui transfusi darah (Gahara, 2014). Beberapa penyebab rentannya remaja terhadap HIV/AIDS yaitu (Gahara, 2014): 1.
Kurangnya informasi yang benar mengenai perilaku seks yang aman dan upaya pencegahan yang biasa dilakukan oleh remaja dan kaum muda.
2.
Perubahan fisik dan emosional pada remaja yang mempengaruhi dorongan seksual.
3.
Adanya informasi yang menyuguhkan kenikmatan hidup yang diperoleh melalui seks, alkohol, narkoba, dan sebagainya yang disampaikan melalui berbagai media cetak atau elektronik.
4.
Adanya tekanan dari teman sebaya untuk melakuan hubungan seks.
5.
Risiko HIV/AIDS sukar dimengerti oleh remaja, karena HIV/AIDS memiliki periode inkubasi yang panjang dan gejala awalnya tidak segera terlihat.
6.
Informasi mengenai HIV/AIDS belum sepenuhnya menyebar dikalangan remaja.
18
7.
Remaja umumnya kurang mempunyai akses ke tempat pelayanan kesehatan reproduksi dibandingkan orang dewasa. Sehingga masih banyak remaja yang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi HIV dan menyebar ke remaja lain sehingga sulit untuk terkontrol.
2.3.1
Faktor yang Berhubungan dengan Pencegahan HIV/AIDS pada Remaja Remaja merupakan salah satu populasi yang rawan terhadap penularan
HIV/AIDS karena perilaku remaja yang cenderung mengarah ke perilaku berisiko seperti seks bebas, penyalahgunaan narkoba, merokok ataupun mengkonsumsi alkohol (Lestari, 2011). Maka dari itu, sangat diperlukan upaya pencegahan HIV/AIDS pada remaja dengan melihat faktor-faktor yang yang berpengaruh didalamnya seperti : 1.
Pengetahuan Menurut Notoatmodjo dalam Rahmadhan (2013) pengetahuan merupakan hasil
dari tahu dan terjadi setelah orang yang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan seseorang dapat berubah dan berkembang sesuai kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya mobilitas informasi tentang sesuatu di lingkungannya.
Pengetahuan juga merupakan domain yang penting terhadap
terbentuknya sikap seseorang karena pengetahuan dapat menjadi acuan bagi seseorang untuk bersikap terhadap sesuatu (Notoatmodjo dalam Yuliantini, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Putrie pada siswa kelas XI IPS di SMA PGRI 1 Karangmalang Sragen tahun 2012 menunjukkan bahwa 63,85% responden dengan pengetahuan yang baik dan sebanyak 7,22% responden dengan pengetahuan cukup tentang HIV/AIDS. Penelitian lain yang dilakukan oleh Salawati pada siswa SMU Negeri 2 Kota Dumai tahun 2011 menunjukkan bahwa 56,1% responden
19
dengan pengetahuan yang baik dan sebanyak 61,79% responden dengan pengetahuan cukup tentang HIV/AIDS. Penerimaan atau adopsi perilaku baru melalui proses yang didasari oleh pengetahuan maka perilaku tersebut akan bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo dalam Anggraeni, 2015). 2.
Sikap Sikap merupakan suatu reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu objek atau rangsangan. Pada dasarnya sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap dinyatakan dalam tiga domain ABC, yaitu (a) Afect atau perasaan yang timbul baik itu senang atau tidak senang, (b) Behaviour atau perilaku yang mengikuti perasaan itu baik itu menjauh ataupun mendekat, (c) Cognition atau penelitian terhadap objek sikap baik itu positif atau negatif (Sarwono, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahman dan Yuandari pada remaja menunjukkan bahwa 51,8% responden memiliki perilaku positif dan 48,2% memiliki perilaku negatif terhadap pencegahan HIV/AIDS. Hal ini berarti remaja yang menjadi responden memiliki perilaku yang baik terhadap pencegahan HIV/AIDS. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rizyana pada siswa SMA N 8 Padang tahun 2012 menunjukkan bahwa 24,2% responden bersikap positif dan 60,7% responden bersikap negatif. Hal ini berarti siswa di SMA N 8 Padang memiliki sikap pencegahan terhadap HIV/AIDS yang kurang. Sikap seseorang terhadap sesuatu dapat terbentuk oleh beberapa faktor seperti pengalaman pribadi, hubungan orang lain, hubungan kebudayaan, media masa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta hubungan emosional (Azwar, 2003).
20
3.
Lingkungan Menurut Sarwono (2012), sifat manusia termasuk kecerdasan dan kepribadian
lainnya sepenuhnya dipengruhi oleh lingkungan. Hal ini di dasari oleh pendapat John Locke (dalam Sarwono, 2012) yang mengatakan bahwa seseorang kelak akan terbentuk dari pengalaman dan faktor lingkungan yang berada di sekitarnya. Lingkungan merupakan faktor ekstrinsik yang berupa lingkungan fisik, lingkungan biologi dan lingkungan sosial ekonomi yang mempengaruhi seseorang. Lingkungan fisik dalam hal ini adalah geografis dan keadaan musim. Lingkungan biologi berkaitan dengan makluk hidup disekitar manusia, sedangkan lingkungan sosial ekonomi berupa pekerjaan, keluarga, pergaulan atau teman sebaya, dll. a.
Keluarga Keluarga khususnya orang tua memiliki peran penting dalam kepribadian dan
perilaku seseorang melalui berbagai macam hal yang dilakukan atau tidak dilakukan mencerminkan pola asuh orang tua (Latipah, 2012). Beberapa penelitian menunjukkan orang tua memiliki peranan dalam tindakan pencegahan HIV/AIDS seperti penelitian pada Rizyana pada siswa SMA N 8 Padang yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara lingkungan keluarga dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada remaja. Menurut Subakti (2009) pola asuh orang tua terdiri dari tiga tipe yaitu: -
Otoriter Orang tua dengan tipe pola asuh ini berupaya membentuk, mengendalikan dan mengevaluasi sikap serta perilaku anak berdasarkan nilai-nilai kepatuhan, tradisi serta tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Sehingga
21
orang tua dengan tipe ini lebih suka memberi hukuman, kaku/keras dan terkadang menolak anak. -
Demokratis Orang tua dengan pola asuh demokratis ini cenderung mengarahkan anaknya secara rasional, berorientas pada permasalahan yang dihadapi, menghargai komunikasi, saling memberi dan menerima, keputusan orang tua selalu dipertimbangkan terlebih dahulu oleh anak-anaknya. Orang tua tetap memiliki kuasa penuh dalam setiap pengambilan keputusan.
-
Pemissif Pola asuh ini lebih berperilaku menerima dan berpikir positif terhadap perilaku anaknya jarang memberikan hukuman, memberikan sedikit tanggung jawab rumah tangga, anak memiliki kuasa untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak dikontrol, anak diberikan kelonggaran yang luas dalam melakukan segala aktivitas yang dikehendaki. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sabrita pada siswa SMA N 5 Surakarta
menunjukkan bahwa mayoritas pola asuh orang tua siswa adalah pola asuh demokratis dengan presentase sebesar 63,3%, dan 66,7% memilki perilaku yang baik dalam pencegahan HIV/AIDS. Sedangkan penelitian lainnya yang pernah dilakukan oleh Anggraeni pada remaja anggota sekaa teruna teruni di desa Blahkiuh menunjukkan bahwa mayoritas pola asuh otoriter dengan presentase 94,4% memiliki perilaku yang baik dalam mencegah HIV/AIDS. Pada umumnya anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak bahagia dimana orang tua tidak memberikan pola asuh yang benar cenderung anak tersebut memilki perilaku yang tidak baik begitu
22
pula sebaliknya. Jika seorang remaja berasal dari keluarga yan baik maka perilaku yang tercipta akan baik pula (Baer dan Corado dalam Nasution, 2007) . b.
Teman Sebaya Pengaruh teman sebaya memiliki peran penting dalam perkembangan pribadi
remaja dimana hubungan pertemanan menjadi medan pembelajaran dan pelatihan berbagai keterampilan sosial remaja. Selain itu teman sebaya juga memberikan dukungan sosial dan emosional yang sangat dibutuhkan oleh remaja. Teman sebaya juga berperan terhadap perkembangan pribadi dan sosial dalam hal ini menjadi agen sosialisasi yang membantu perilaku dan keyakinan remaja (Latipah, 2012). Dalam beberapa penelitian menunjukkan teman sebaya mempengaruhi perilaku remaja diantaranya pada penelitian yang dilakukan oleh Yuandari yang menunjukkan adanya hubungan bermakna teman sebaya terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS, dan pada penelitian di SMA N 8 Padang yang menunjukkan adanya bermakna teman sebaya terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS (Rizyana, 2012). 4.
Sumber Informasi Perilaku pencegahan HIV/AIDS pada remaja juga dipengaruhi oleh sumber
informasi yang diterima oleh remaja. Informasi ini dapat diperoleh melalui media elektronik, media cetak, internet, pada fasilitas kesehatan, teman, guru maupun keluarga. Menurut Flora dan Cassady (dalam Notoatmodjo, 2011), informasi yang didapat dari berbagai media masa dan lainnya baik itu negatif maupun positif dapat mempengaruhi gaya hidup dan perilaku seseorang. Terbatasnya bekal informasi tentang HIV/AIDS dikalangan remaja menjadikan remaja masih perlu mendapatkan
23
perhatian dan pengarahan mengenai dampak dari perilaku berisiko (Rahman & Yuandari, 2014). Pada penelitian yang dilakukan oleh Mentari pada siswa di SMP Muhamadiyah 7 Surakarta tahun 2011 94% responden pernah mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS memiliki perilaku pencegahan HIV/AIDS baik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Anggraeni pada remaja anggota sekaa teruna teruni di desa Blahkiuh tahun 2015 sebanyak 97,42 responden pernah mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS memiliki perilaku pencegahan HIV/AIDS baik. Menurut Flora dan Cassady (dalam Notoatmodjo 2011) informasi yang didapat dari media masa baik itu cetak maupun elektronik dapat mengubah perilaku kesehatan kearah yang baik atau sebaliknya.