BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS ) Heyne (1987) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman terna dengan tinggi antara 15 cm sampai 50 cm yang tumbuh pada dataran tinggi sekitar 20003000 dpl di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tanaman ini memiliki nama daerah berbeda-beda, antara lain antanan gunung, gebangan depok, rumput dempo atau suripandak abang. Purwoceng banyak dicari orang karena memiliki khasiat obat yang bersifat diuretik terutama digunakan sebagai afrodisiak.
Gambar 1 Pimpinella alpina KDS (Prajoko 2010)
Tjitrosoepomo (1994) mendiskripsikan purwoceng sebagai tumbuhan yang temasuk terna dari suku Umbelliferae yang berumur pendek atau panjang. Batang berongga dan beralur atau bergerigi membujur pada permukaannya. Daunnya tersebar, berseling atau berhadapan, majemuk ganda atau banyak berbagi, tanpa daun penumpu tetapi memiliki pelepah yang pipih besar (perikladium) dan tidak membungkus batang. Bunganya majemuk dan tersusun seperti payung atau suatu kapitulum, berukuran kecil, berumah satu, aktinomorfik atau sedikit zigomorfik, dan berbilangan lima. Kelopaknya sangat kecil, mahkotanya berjumlah lima dengan ujung yang melengkung ke dalam, berwarna kuning atau keputih-putihan, jarang berwarna
5
merah muda atau lembayung. Benang sari berjumlah lima yang berseling dengan mahkota. Bakal buah tenggelam, tertutup oleh bantal tangkai putik yang berbagi dua, beruang dua, dan dalam tiap ruang terdapat satu tangkai biji yang bergantungan. Tangkai putik berjumlah 2 dan letaknya terpisah. Buahnya berbelah dua (diakenium), tiap bagian buah tetap berlekatan pada suatu karpofor. Dalam kulit buah terdapat saluran-saluran minyak atsiri. Endosperm biji mempunyai tanduk. Sifat-sifat anatomis yang penting antara lain adanya saluran-saluran resin skizolisigen dalam gelam akar, batang, dan kulit buahnya, adanya kolenkim dalam korteks primer batang dan dalam rigi-rigi buah, adanya perforasi sederhana dalam trakea, adanya rambutrambut lain yang bukan merupakan kelenjar. Akar purwoceng mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, dan saponin (Caropeboka dan Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida, triterpenoid-steroid dan tannin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokuramin seperti bergapten, isobargapten, dan sphondin (Sidik et al. 1985), sitosterol dan vitamin E (Rahardjo et al. 2005). Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiaka diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo et al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada herbal purwoceng adalah senyawa sitoesterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya. Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, menunjukkan bahwa zat yang terkandung di dalam akar purwoceng adalah flavonoid, tanin, steroid, triterfenoid, glikosida, dan alkaloid. Flavanoid, alkaloid, steroid yang terdapat dalam purwoceng merupakan golongan fitoestrogen yang mampu berfungsi seperti estrogen karena diduga dapat menduduki reseptor estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen. Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah berikatan dengan reseptor estrogen. Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa flavonoid merupakan antioksidan. Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang terdiri atas 15 atom karbon sebagai kerangka dasarnya. Susunan rantai karbon dari
6
senyawa polifenol menghasilkan tiga jenis struktur yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan neoflavonoid. Purwoceng memiliki dua bahan aktif yang berfungsi sebagai prekursor estrogen di dalam tubuh yaitu flavonoid dan steroid. Jika dibandingkan keduanya, flavonoid berpengaruh lebih besar dibandingkan dibandingkan steroid, karena pada hasil pengujiannya flavonoid menunjukkan positif kuat, sedangkan steroid positif lemah (Balitro 2011). Biologi Tikus Putih
Gambar 2 Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley (Tocang 2010)
Menurut Malole dan Pramono (1989), hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Tikus putih sudah sejak lama digunakan sebagai hewan laboratorium untuk penelitian-penelitian yang berhubungan dengan kepentingan medis, embriologi, maupun tentang tingkah laku. Hal ini didasarkan pada pertimbangan faktor ekonomis dan efisiensi. Tikus mempunyai bentuk morfologis yang kecil sehingga ruangan pemeliharaan yang dibutuhkan relatif kecil, mudah dalam penanganan, murah, mudah didapat dan cocok untuk penelitian jangka panjang (Harkness dan Wagner 1989).
7
Harkness dan Wagner (1989) menuliskan taksonomi tikus norwegia sebagai berikut: Kingdom
:
Animalia
Phylum
:
Chordata
Subphylum
:
Vertebrata
Class
:
Mamalia
Subclass
:
Theria
Infraclass
:
Eutheria
Order
:
Rodensia
Suborder
:
Myomorpha
Family
:
Muridae
Superfamily
:
Muroidea
Subfamily
:
Murinae
Genus
:
Rattus
Spesies
:
Rattus norvegicus
Terdapat tiga galur tikus putih yang sudah dikembangkan sebagai hewan percobaan yaitu Sprague Dawley, Wistar dan Long Evans. Sprague Dawley lebih mudah dan cepat berkembangbiak, merupakan jenis tikus albino yang memiliki kepala yang kecil dengan ekor yang lebih panjang dari badannya. Wistar mempunyai kepala yang lebar, telinga yang panjang dan ekor yang lebih pendek dari panjang badan sedangkan Long Evans lebih kecil dari kedua galur lainnya, mempunyai bercak hitam pada bagian atas kepala dan di belakang leher (Veterinary Library 1996). Tikus dapat hidup lebih dari tiga tahun, mencapai umur antara 2,5-3,5 tahun. Bobot badan jantan dan betina dewasa berkisar masing-masing 450 g-520 g dan 250 g-300 g. Masa pubertas dapat dicapai pada umur 65-110 hari, baik pada jantan maupun pada betina. Pada umur tersebut bobot badan tikus mencapai 250 g untuk betina dan 300 g untuk jantan dan sudah dapat dikawinkan (Malole dan Pramono 1989). Tikus termasuk hewan poliestrus yaitu hewan yang berahinya lebih dari dua kali dalam setahun. Siklus berahi berlangsung empat sampai lima hari dengan lama
8
estrus 12 jam setiap siklus. Periode siklus berahi pada tikus terdiri atas beberapa tahap yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Harkness dan Wagner 1989). Kebuntingan terjadi selama 21-23 hari dengan jumlah anak perkelahiran 6-12 ekor (Harkness dan Wagner 1989). Pada tikus jarang terjadi bunting semu (Veterinary Library 1996). Sejak umur kebuntingan 14 hari sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar susu (Malole dan Pramono 1989). Bobot lahir anak tikus berkisar 5 g-6 g. Anak tikus disapih pada umur 21 hari dengan bobot badan sudah mencapai 25 g-30 g (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).
Perkembangan Kelenjar Susu dan Pembentukan Susu Kelenjar Susu dan Laktasi Pertumbuhan dan daya tahan anak selama prasapih dipengaruhi oleh jumlah anak, bobot lahir anak dan tingkat produksi susu induk selama laktasi (Tuju 2001). Produksi susu induk selama laktasi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sel epitel kelenjar susu selama periode kebuntingan, awal laktasi (Tucker 1987), laju penyediaan zat-zat makanan ke kelenjar serta kelengkapan perangkat sintesisnya selama laktasi, dan laju involusi sel-sel kelenjar (Wilde dan Knight 1989). Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Susu Kelenjar susu dianggap homolog dengan kelenjar keringat karena keduanya berasal dari kulit yang tumbuh kedalam. Setiap kelenjar terdiri atas beberapa lobus. Lobus yang satu dengan lobus yang lain dihubungkan dengan jaringan pengikat yang disebut stroma. Tiap lobus terdiri atas saluran-saluran yang dikenal dengan duktus laktiferus. Percabangan duktus ini dipengaruhi hormon mamogenik yaitu progesteron, estradiol, laktogen plasenta, dan relaksin. Percabangan duktus laktiferus membentuk ranting-ranting terminal yang disebut lobulo-alveolar. Lapisan lobulo-alveolar menyusun permukaan sekretori (epitel) tempat proses sintesis susu terjadi (Turner dan Bagnara 1995). Knight dan Peacker (1982) mengemukakan bahwa selama kehidupan hewan, kelenjar susu tersebut kemungkinan mengalami perubahan lebih banyak dan lebih besar dalam ukuran, struktur, komposisi dan aktivitas dibandingkan
9
jaringan atau organ lainnya. Perubahan tersebut dimulai sejak stadium fetus sampai kelenjar mencapai pematangan dan kemudian pada periode dewasa hanya sedikit mengalami pengerasan dan surut kembali mengikuti daur reproduksi. Pertumbuhan kelenjar susu merupakan proses yang sangat kompleks karena dipengaruhi oleh faktor instrinsik (kontrol lokal) pada kelenjar itu sendiri maupun pada keseluruhan hewan (kontrol sistemik) sebagai pengaruh eksternal seperti lingkungan, iklim dan makanan (Knight dan Peacker 1982). Hurley (2000) mengemukakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu terjadi selama lima fase yang berbeda yaitu: prenatal, sebelum pubertas, selama pubertas, selama kebuntingan dan awal laktasi. Pada waktu lahir, kelenjar susu terdiri atas sistem duktus yang masih kurang berkembang dibandingkan dengan bagian stroma. Namun ketika memasuki masa pubertas, terjadi pemanjangan duktus ke dalam stroma. Pada siklus estrus pertama, sistem duktus tumbuh dengan cepat melebihi laju pertumbuhan tubuh umumnya yang dikenal dengan pertumbuhan allometrik. Pada tikus pertumbuhan allometrik diteruskan untuk beberapa siklus estrus dan kembali lagi ke pertumbuhan isometrik sama seperti organ-organ tubuh lainnya. Alveoli yang sesungguhnya pada kelenjar susu masih belum terbentuk sampai konsepsi. Pada saat konsepsi, terjadi pemanjangan duktus pada pembentukan alveoli serta permulaan perletakan bantalan lemak (Tucker 1987). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sangat dipengaruhi oleh hormon mamogenik yaitu progesteron, estradiol, dan laktogen plasenta. Progesteron berfungsi mengatur perkembangan lobolo-alveolar kelenjar susu, estradiol berfungsi mengatur perkembangan pertumbuhan duktus kelenjar susu, dan hormon laktogen plasenta dapat menguatkan efek dari hormon steroid yang dihasilkan oleh ovarium dan hormon pituitari pada perkembangan kelenjar laktasi selama kebuntingan (Fahey 1998). Total pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan berkisar antara 48% sampai 94%, bergantung pada masing-masing spesies. Pada tikus, kira-kira 12% pertumbuhan kelenjar susu terjadi sebelum konsepsi, 48% terjadi selama kebuntingan sedangkan sisanya terjadi selama laktasi (Tucker 1987).
10
Proses Pembentukan Susu Alveolus terdiri dari selapis sel epitel membentuk suatu lumen. Lumen tersebut dibungkus oleh jaringan mioepitel dan dikelilingi oleh suatu basement membrane yang terdiri atas jaringan ikat. Darah akan mengalir melalui stroma yakni ruang inter-alveolar yang terdiri atas jaringan fibroblast, leukosit, sel adiposa, dan jaringan ikat lain. Lobuli dibentuk dari beberapa alveolus. Beberapa lobuli akan membentuk beberapa lobus (Hurley 2000). Di lumen alveolus akan dibentuk susu yang diambil dari bahan-bahan asal dari darah. Alveolus tempat pembentukan susu akan mengambil cairan dan komponen darah dengan kemampuan daya selektif yakni keistimewaan memilih bahan-bahan yang diperlukan serta mengubah bahan-bahan asal darah menjadi bahan yang lain bentuknya. Susu akan keluar dari lumen epitel dengan cara terjadi ruptur sel. Susu masuk ke lumen alveoli kemudian masuk ke dalam saluran-saluran halus. Saluran halus dari tiap-tiap lobuli berkumpul untuk membentuk saluran yang lebih besar dan akhirnya masuk ke dalam sisterna ambing. Sisterna ambing adalah suatu ruangan yang berada di bawah kuartir. Selanjutnya susu dialirkan ke ruang puting susu/kisterna puting. Ruangan akhir penampungan susu dihubungkan oleh sebuah saluran menuju lubang puting susu. Lubang puting susu memiliki otot-otot sirkuler yang berfungsi untuk membuka dan menutup lubang puting. Adanya rangsangan saraf dan tekanan dalam ambing mengakibatkan otot sirkuler mengendur dan susu dapat keluar (Hurley 2000). Komponen-komponen susu terdiri dari protein, lemak, laktosa, mineral, vitamin, dan air. Prekursor protein susu adalah casein, β-laktoglobulin, dan αlaktalbumin yang disintesis jaringan ambing. Serum albumin, immunoglobulin, dan γ-casein diserap melalui darah. Lemak disintesis di jaringan ambing. Makanan dengan kadar lemak yang rendah dapat menurunkan konsentrasi lemak dalam susu. Laktosa merupakan karbohidrat terpenting yang ditemukan dalam susu. Laktosa adalah disakarida yang terdiri atas 1 mol galaktosa dan 1 mol glukosa dan hanya ditemukan didalam susu. Laktosa disintesis di jaringan ambing diambil dari bahan asal glukosa darah, asam asetat dan asam amino darah. Vitamin dan mineral disintesis
11
melaui darah dan disekresikan ke susu. Mineral yang terpenting di dalam susu adalah kalsium (Hurley 2000). Proses Pengeluaran Susu Pada induk betina yang menyusui dikenal 2 refleks yang masing-masing berperan sebagai pengeluaran susu yaitu refleks prolaktin dan refleks “Let down” (Cowie 1980). 1. Refleks prolaktin. Menjelang akhir kehamilan terutama hormon prolaktin memegang peranan untuk membuat kolostrum, namun jumlah kolostrum terbatas, karena aktifitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron yang kadarnya memang tinggi. Pada saat setelah partus, lepasnya plasenta dan kurang berfungsinya korpus luteum, maka progesteron sangat berkurang, ditambah lagi dengan adanya isapan anak yang merangsang puting susu dan payudara, akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris yang befungsi sebagai reseptor mekanik. Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medula spinalis dan mesensephalon. Hipotalamus akan menekan pengeluaran faktor-faktor yang menghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya merangsang pengeluaran faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin. Faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin akan merangsang adenohipofise (hipofise anterior) sehingga keluar prolaktin. Hormon ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat susu. Kadar prolaktin pada induk betina yang menyusui akan menjadi normal saat penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada peningkatan prolaktin walaupun ada isapan anak, namun pengeluaran susu tetap berlangsung. Pada induk betina yang menyusui, prolaktin akan meningkat dalam keadaan-keadaan seperti: penurunan stres, anastesi, operasi, rangsangan puting susu, kopulasi, obat-obatan tranqulizer hipotalamus seperti reserpin; klorpromazin; fenotiazid. Sedangkan keadaan-keadaan yang menghambat pengeluaran prolaktin adalah gizi yang jelek dan obat-obatan seperti ergot dan 1-dopa (Cowie 1980).
12
2. Refleks let down (milk ejection reflex). Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh adenohipofise, rangsangan yang berasal dari isapan anak ada yang dilanjutkan ke neurohipofise (hipofise posterior) yang kemudian dikeluarkan oksitosin. Melalui aliran darah, hormon ini diangkut menuju uterus yang dapat menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga terjadi involusi dari organ tersebut. Oksitosin yang sampai pada alveoli akan mempengaruhi sel mioepitelium. Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang telah terbuat dari alveoli dan masuk ke sistem duktulus yang untuk selanjutnya mengalir melalui duktus laktiferus masuk ke mulut anak. Faktor-faktor yang meningkatkan refleks let down adalah: melihat anak, mendengarkan suara anak dan mencium bayi. Faktor-faktor yang menghambat refleks let down adalah stres seperti keadaan bingung/pikiran kacau, takut, dan cemas. Bila ada stres dari induk betina yang menyusui maka akan terjadi suatu blokade dari refleks let down. Ini disebabkan oleh karena adanya pelepasan dari adrenalin (epinefrin) yang menyebabkan vasokontraksi dari pembuluh darah alveoli, sehingga oksitosin sedikit harapannya untuk dapat mencapai target organ mioepitelium (Cowie 1980).
Hormon Steroid Hormon steroid merupakan turunan dari kolesterol. Selain vitamin D, semua turunan
kolesterol
memiliki
struktur
dasar
yang
sama
yaitu
cincin
siklopentanoperhidrofenantrena dengan sistem penomoran yang sama dengan kolesterol. Penurunan kolesterol (C27) menjadi berbagai jenis hormon steroid diawali dengan reaksi yang menghasilkan suatu senyawa isokaproaldehida (C6) dan pregnenolon
(C21).
Berdasarkan
jumlah
atom
karbonnya
hormon
steroid
dikelompokkan menjadi tiga yaitu pregnan (C21), androstan (C19), dan estran (C18) (King 2004).
13
Androstan
Pregnan
Estran
Gambar 3 Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya (Guyton 1994)
Devlin (1993) diacu dalam Ibrahim (2001), menyatakan bahwa hormon steroid di bagi ke dalam dua kelas yaitu hormon adrenal dan hormon seksual (testosteron, estrogen, dan progesteron). Sedangkan King (2004) membagi steroid menurut asalnya yaitu hormon steroid adrenal dan steroid gonadal. Korteks adrenal bertanggung jawab dalam memproduksi tiga kelas utama hormon-hormon steroid yaitu :
1)
glukokortikoid,
yang
meregulasi
metabolisme
karbohidrat,
2)
mineralokortikoid, yang meregulasi kadar Na dan K dalam tubuh, 3) androgen, yang memiliki fungsi serupa dengan steroid yang dihasilkan dari gonad jantan. Ketidaktersediaan hormon-hormon adrenal disebut penyakit Addison, dan bila tidak diberikan hormon steroid pengganti akan menyebabkan kematian. Hormon steroid adrenal
adalah
deoksikortisol,
kortisol
(glukokortikoid),
aldosteron
(mineralokortikoid), androstenedion, dan dehidroepiandrosteron (DHEA). Steroid gonadal diproduksi oleh testis dan ovari, dua steroid yang utama adalah testosteron dan estradiol. Androgen ialah senyawa steroid produk dari testis, ovarium, korteks adrenal, dan kemungkinan juga dari plasenta. Terdapat lima senyawa androgen yang penting yaitu dehidroepiandrosteron (DHEA); ∆ 4-androstene-3, 17-dion; testosteron; 11βhidroksi-∆4-androsten-3, 17-dion; dan adrenosteron. Androgen yang paling aktif adalah androsteron dan testosteron, masing-masing memberikan aktivitas biologis sebesar satu unit internasional pada jumlah μg (androsteron) dan 13-16 μg testosteron (King 2004).
14
Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asetat menjadi kolesterol kemudian kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari pregnenolon menjadi progesteron melalui beberapa perubahan hingga menjadi testosteron. Testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses pematangan sperma. Di dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya steroid binding globulin (β-globulin) yang disekresikan oleh sel sertoli akibat adanya rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah berada dalam keadaan terikat dan sisanya merupakan testosteron yang bebas masuk ke organ target.
Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim α-reductase dalam
sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Johnson dan Everitt 1984). Hormon steroid seksual terdiri dari testosteron, estrogen dan progesteron (Ibrahim 2001). Hormon testosteron berfungsi sebagai hormon seksual pada jantan. Hormon estrogen dan progesteron merupakan hormon seksual pada betina yang juga berfungsi merawat kebuntingan dan menstimulasi perkembangan kelenjar susu (Ganong 2003). Hormon estrogen merupakan hormon utama pada hewan betina, dalam proses pembentukannya melibatkan 2 sel yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel teka akan berkembang di bawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH) dan sel granulosa akan berkembang di bawah pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Di dalam sel teka yang berkembang, estrogen disekresikan mulai dari proses perubahan asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari progesteron berubah menjadi androstenedion dengan bantuan enzim 17α-hidroksi progesteron, kemudian berubah menjadi testosteron. Sel granulosa mendapat asupan testosteron dari sel teka dan akan berubah menjadi estrogen setelah diaromatisasi oleh enzim aromatase yang distimulasi oleh FSH. Ada 3 bentuk estrogen di dalam plasma hewan betina yaitu 17β-estradiol, estron, dan estriol (Johnson dan Everitt 1984). Estrogen adalah senyawa steroid yang berfungsi terutama terutama sebagai hormon seks wanita. Walaupun terdapat dalam tubuh pria maupun wanita,
15
kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur. Hormon ini menyebabkan perkembangan dan mempertahankan tanda-tanda kelamin sekunder pada wanita, seperti payudara, dan juga terlihat dalam penebalan endometrium maupun dalam pengaturan siklus haid. Pada saat menopause, estrogen mulai berkurang sehingga dapat menimbulkan beberapa efek, diantaranya hot flash, berkeringat pada waktu tidur, dan kecemasan yang berlebihan (Anwar 2001). Unit lobuler saluran terminal dari jaringan payudara wanita-wanita muda sangat responsif dengan estrogen. Pada jaringan ambing, estrogen menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi saluran epitelium, menginduksi aktivitas mitotik saluran sel-sel silindris, dan menstimulasi pertumbuhan jaringan penyambung. Estrogen juga menghasilkan efek seperti histamin pada mikrosirkulasi ambing. Densitas reseptor estrogen pada jaringan payudara sangat tinggi pada fase folikuler dari siklus menstruasi dan menurun setelah ovulasi. Estrogen menstimulasi pertumbuhan sel-sel kanker ambing. Pada wanita-wanita postmenopause dengan kanker ambing, konsentrasi estradiol tumor tinggi, karena aromatisasi in situ, meskipun adanya konsentrasi estradiol serum yang rendah (Guyton 1994). Hormon estrogen disekresikan oleh teka interna dan sel granulosa folikel ovarium, korpus luteum, dan plasenta. Jalur biosintesis yang melibatkan hormon androgen dan juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion di dalam sirkulasi. Aromatase (CYP 19) merupakan enzim yang mengkatalis perubahan androstenedion menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna mempunyai banyak reseptor LH. LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian androstenedion diubah menjadi estradiol yang masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion pada sel granulosa. Sel granulosa membuat estradiol bila mendapat rangsangan dari androgen dan disekresikan dalam cairan folikel. Sel granulosa memiliki banyak reseptor FSH untuk meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa dengan bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa matang juga memiliki reseptor LH yang kemudian akan merangsang pembentukan estradiol (Ganong 2003).
16
Fitoestrogen Fitoestrogen atau sumber estrogen berbasis merupakan
senyawa
non-steroidal
mempunyai
tumbuh-tumbuhan yang
aktivitas
estrogenik
atau
dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang memiliki khasiat mirip estrogen, meskipun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen tetapi memiliki inti yang sama persis dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen juga memiliki 2 gugus –OH/hidroksil yang berjarak 11.0-11.5 A° pada intinya, sama persis dengan inti estrogen sendiri. Para peneliti sepakat jarak 11 A° dan gugus –OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik, yakni memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Tsourounis 2004). Suatu substrat baru akan berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen (Tsourounis 2004). Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa fitoestrogen yang terdapat dalam tanaman antara lain: Isoflavone pada buah-buahan, teh hijau, kacang kedelai, dan produk kedelai seperti tempe, tahu, dan tauco. Lignane pada biji gandum dan wijen. Coumestane pada kacang-kacangan dan biji bunga matahari. Glikoside Tripterpen pada tanaman Cimifuga racemosa (black cohosh) tumbuh di hutan Amerika Selatan, saat ini telah diekstraksi dan dikemas menjadi produk obat menopause. Senyawa-senyawa estrogenik lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti flavones, chalcone, diterpenoid, triterpenoid, coumarine, dan acyclic. Zat yang paling banyak dalam akar purwoceng adalah alkaloid dan flavonoid. Alkaloid dan flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen. Berdasarkan struktur kimianya, seluruh senyawa golongan flavonoid pada tanaman merupakan induk flavon. Flavonoid merupakan senyawa larut air, etanol, methanol, dan mengandung
17
sistem aromatik yang terkonjugasi. Secara umum flavonoid ditemukan pada tumbuhan sebagai campuran dan terikat pada gula seperti glikosida, aglikon atau dalam kombinasi beberapa bentuk aglikon. Senyawa flavonoid diklasifikasikan menjadi 10 golongan yang terkarakterisasi oleh warna pada teknik spektrofotometer dan pemisahan pada teknik kromatografi. Golongan tersebut adalah antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, flavonon, dan isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid mempunyai efek hormonal khususnya efek estrogenik, karena mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen. Flavonoid pada ekstrak akar purwoceng merupakan senyawa fitoestrogen yang mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia. Berikut adalah kemiripan struktur kimia antara estrogen dan flavonoid.
Estrogen
Flavonoid
Gambar 4 Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1994)
Flavonoid mampu berikatan dengan reseptor estrogen (RE), di dalam tubuh ada dua reseptor estrogen yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan reseptor estrogen beta (REβ). Reseptor estrogen α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis, adrenal, dan payudara. Sedangkan reseptor estrogen β terdapat di ovarium, prostat, paru-paru, kandung kemih, dan tulang (Barnes dan Kim 1998).