BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kematian Ibu Pada International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems tahun 2009, WHO mendefinisikan kematian ibu adalah kematian seorang wanita saat masa hamil atau dalam 42 hari setelah terminasi kehamilan, terlepas dari durasi dan lokasi kehamilan, dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau pengelolaannya, tetapi bukan dari sebab-sebab kebetulan atau insidental (WHO, 2009). 2.1.1 Penyebab Kematian Ibu Menurut Kirana tahun 2013, penyebab kematian ibu dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu sebab obstetri langsung, sebab obstetri tidak langsung, sebab bukan obstetri, dan sebab tidak jelas. Sebab obstetri langsung adalah kematian ibu karena akibat langsung dari penyakit penyulit pada kehamilan, persalinan, dan nifas; misalnya karena infeksi, eklampsi, perdarahan, emboli air ketuban, trauma anastesi, trauma operasi, dan sebagainya. Sementara itu, sebab obstetri tidak langsung adalah kematian ibu akibat penyakit yang timbul selama kehamilan, persalinan, dan nifas. Misalnya anemia, penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, hepatitis infeksiosa, penyakit ginjal, dan
6
7
sebagainya. Termasuk juga penyakit yang sudah ada dan bertambah berat selama kehamilan. Sebab bukan obstetri adalah kematian ibu hamil, bersalin, dan nifas akibat kejadian-kejadian yang tidak ada hubungannya dengan proses reproduksi dan penanganannya. Misalnya karena kecelakaan, kebakaran, tenggelam, bunuh diri, dan sebagainya. Sedangkan sebab tidak jelas adalah kematian ibu yang tidak dapat digolongkan pada salah satu yang tersebut di atas. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kematian Ibu Menurut Depkes RI tahun 2010, penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi baru lahir adalah karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial ekonomi dan budaya. Kondisi geografi serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap ikut memperberat permasalahan ini. Beberapa hal tersebut mengakibatkan kondisi 3 terlambat (terlambat mengambil keputusan, terlambat sampai di tempat pelayanan dan terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat) dan 4 terlalu (terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak, terlalu rapat jarak kelahiran). Berikut ini merupakan beberapa pendekatan wilayah yang dapat menjadi penyebab tidak langsung kematian ibu. 2.2.1 Kepadatan Penduduk AKI merupakan salah satu tolak ukur derajat kesehatan di masyarakat. Derajat kesehatan dipengaruhi pula oleh kepadatan penduduk. Hal ini erat pula kaitannya dengan masalah urbanisasi. Kecenderungan urbanisasi berakibat meningkatnya kepadatan penduduk di beberapa wilayah perkotaan, yang berpengaruh pada kesehatan lingkungan, gangguan kejiwaan pada masyarakat (psikososial) dan memudahkan penularan penyakit. Pada kepadatan penduduk,semakin tinggi kepadatan penduduk di suatu wilayah maka semakin tinggi pula beban pemerintah memfasilitasi faktor kesehatan.
8
2.2.2 Jumlah KK Miskin Informasi mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat juga sangat bermanfaat dalam menganalisis faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan. Tingkat ekonomi masyarakat juga juga dapat menjadi indikator dari kemampuan masyarakat untuk ikut menikmati pelayanan kesehatan. Adanya akses ke pelayanan kesehatan saja belum dapat dijadikan jaminan bahwa mereka akan dapat pelayanan kesehatan secara optimal. Menurut hasil Riskesdas tahun 2010, persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan pada kelompok sasaran keluarga miskin baru mencapai 69,3%, sedangkan sisanya masih ditolong oleh tenaga tidak terlatih atau tepatnya masih ditolong oleh dukun beranak. Hal ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan AKI dan AKB. Menurut WRI tahun 2010, pandangan masyarakat tentang laki-laki adalah kepala keluarga dan berhak atas segala keputusan dalam keluarga, masih menjadi pandangan dominan dalam masyarakat. Kerja perempuan yang umunya sebagai ibu rumah tangga, menyebabkan perempuan tidak berhak terhadap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan keuangan keluarga. Kondisi ini akan berlaku semakin berlapis pada kelompok perempuan miskin. Masalah kemiskinan yang berwajah perempuan ini, memiliki keterkaitan dengan nilai budaya yang tidak memberi ruang cukup luas bagi partisipasi perempuan. Selain itu, sulitnya akses jalan menuju fasilitas kesehatan yang memadai menimbulkan permasalahan mahalnya biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan. Di wilayah desa yang terpencil dengan stasus ekonomi menengah ke bawah, akses ke pusat layanan kesehatan harus ditempuh dengan menggunakan ojek dengan kondisi
9
jalan yang rusak dan berliku. Kondisi ini tentu saja menambah biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi ini tentu saja menambah biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan layanan kesehatan. (WRI, 2010) 2.2.3 Jumlah Pelayanan Kesehatan Pertolongan persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan terlatih merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan AKI di Indonesia. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari 66,7% pada tahun 2002 menjadi 77,34% pada tahun 2009. Angka tersebut terus meningkat menjadi 82,3% pada tahun 2010. Disparitas pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih antarwilayah masih merupakan masalah. Pada tahun 2009 menunjukkan capaian tertinggi sebesar 98,14% di DKI Jakarta sedangkan terendah sebesar 42,48% di Maluku. (WRI, 2013) Tetapi, sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit juga belum berjalan optimal. Ditambah lagi, dengan kendala geografis, hambatan transportasi, dan faktor budaya. Selain itu pemerintah juga harus merapikan sistem pencatatan terkait upaya penurunan AKI di Indonesia sehingga data yang ditampilkan benar-benar menggambarkan kondisi kesehatan perempuan Indonesia saat ini. (WRI, 2013) 2.2.4 Jarak Fasilitas Kesehatan Proses kelahiran merupakan salah satu peristiwa kegawat daruratan yang terjadi di masyarakat. Peristiwa kegawat daruratan ini, apabila dibiarkan begitu saja, akan menyebabkan kematian pada ibu, sehingga hal ini dapat meningkatkan AKI. Aksesibilitas yang terjangkau terhadap fasilitas kesehatan merupakan salah satu cara
10
untuk menghidari kematian pada ibu. Keterjangkauan fasilitas kesehatan terhadap peristiwa kegawat daruratan ditunjukkan dalam beberapa penelitian sebagai berikut. Menurut penelitian Nicholl Jon, et al pada tahun 2007, peningkatan perjalanan jarak ke rumah sakit dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian. Berdasarkan hasil penelitian ditunjukkan bahwa setiap pertambahan
kilometer jarak dapat
meningkatkan 2% kematian pasien. Ini setara dengan peningkatan absolut 1% perkiraan kematian terkait dengan setiap kenaikan 10km. Peningkatan kematian pada pasien ini dapat dilihat pada pasien dengan masalah pernapasan, namun pada pasien dengan keluhan dada sakit tidak terjadi peningkatan yang berarti. Ini berarti bahwa peningkatan mortalitas untuk sejumlah kecil pasien dengan mengancam jiwa keadaan darurat, yang harus melakukan perjalanan jauh sebagai hasilnya. 2.2.5 Keberadaan Desa atau Kelurahan Siaga Aktif Sejak tahun 2006, Departemen Kesehatan RI melakukan upaya terobosan berupa program Desa Siaga, dimana dengan program ini diharapkan adanya peningkatan derajat kesehatan penduduk Indonesia dan untuk akselerasi pencapaian MDGs mengenai penurunan angka kematian ibu (AKI). Desa Siaga merupakan suatu kondisi masyarakat desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah kesehatan, bencana dan kegawat daruratan kesehatan secara mandiri. Dalam pengembangannya, program Desa Siaga dilaksankan seara bertahap. Tahap pertama adalah pratama, kemudian dilanjutkan dengan tahap madya, tahap purnama, dan tahapterahir yaitu mandiri (Kemenkes, 2014). Dalam pentahapan ini, terhadap delapan unsur yang harus dipenuhi, semakin tinggi pentahapan desa siaganya, semakin banyak pula unsur yang telah dipenuhi.
11
Berikut ini delapan unsur dalam Desa atau Kelurahan Siaga Aktif : 1. Kepedulian Pemerintah Desa atau Kelurahan dan pemuka masyarakat terhadap Desa dan Kelurahan Siaga Aktif yang tercermin dari keberadaan dan keaktifan Forum Desa dan Kelurahan. 2. Keberadaan Kader Pemberdayaan Masyarakat/kader teknis Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. 3. Kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar yang buka atau memberikan pelayanan setiap hari . 4. Keberadaan UKBM yang dapat melaksanakan (a) survailans berbasis masyarakat, (b) penanggulangan bencana dan kedaruratan kesehatan, (c) penyehatan lingkungan. 5. Tercakupnya (terakomodasikannya) pendanaan untuk pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif dalam Anggaran Pembangunan Desa atau Kelurahan serta dari masyarakat dan dunia usaha 6. Peran serta aktif masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan kesehatan di Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. 7. Peraturan di tingkat desa atau kelurahan yang melandasi dan mengatur tentang pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. 8. Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah Tangga di desa atau kelurahan. Dari hasil evaluasi Kementerian Kesehatan pada tahun 2009, didapatkan bahwa dari 75.410 desa dan kelurahan di seluruh wilayah Indonesia tercatat 42.295 (56,1%) desa dan kelurahan telah memulai upaya mewujudkan Desa Siaga dan Kelurahan Siaga. (Depkes RI, 2012)
12
Sistem Informasi Geografis Menurut Bappeda Provinsi NTB tahun 2012, SIG merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, sumberdaya manusia, dan data yang terintegrasi
secara
efektif
untuk
memasukkan,
menyimpan,
memperbaiki,
memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis, dan menampilkan data dalam suatu informasi visual berbasis geografis. Secara umum fungsi-fungsi dasar SIG (Aini Aisah, 2007), yaitu: 1. Akuisisi data dan proses awal meliputi: digitasi, editing, pembangunan topologi, konversi format data, pemberian atribut dll. 2. Pengelolaan database meliputi : pengarsipan data, permodelan bertingkat, pemodelan jaringan pencarian atribut dan lain-lain. 3. Pengukuran keruangan dan analisis meliputi : operasi pengukuran, analisis daerah penyanggga, overlay, dan lain-lain. 4. Penayangan grafis dan visualisasai meliputi : transformasi skala generalisasi, peta topografi, peta statistic, tampilan perspektif. 2.3.1 Tipe dan Struktur Data dalam SIG SIG memiliki sistem manajemen data yang dapat mengolah dan memadukan 2 jenis data, yaitu: 1. Data Atribute Data atribut/non-spasial, data yang merepresentasikan aspek-aspek deskriptif dari fenomena yang dimodelkannya. Misalnya data sensus penduduk, catatan survei, data statistik lainnya.
13
2. Data Spasial Data spasial mempunyai pengertian sebagai suatu data yang mengacu pada posisi, obyek, dan hubungan diantaranya dalam ruang bumi. Data spasial merupakan salah satu item dari informasi, dimana bumi, dibawah permukaan bumi, perairan, kelautan dan bawah atmosfir. Data spasial dan informasi turunannya digunakan untuk menentukan posisi dari identifikasi suatu elemen di permukaan bumi. Sumber data spasial bisa didapatkan dari citra satelit, peta analog, foto udara (aerial photograhps), data tabular, dan data survei. Sampai saat ini terdapat dua model data spasil yang ada dalam SIG yaitu model data raster dan model data vektor. Model data raster menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan struktur matriks atau pixel-pixel yang membentuk grid 30. Kumpulan pixel-pixel yang menggambar suatu obyek spasial dapat disebut sebagai dataset obyek. Setiap pixel dalam dataset raster mempunyai informasi atau sekumpulan data yang unik. Informasi yang terdapat dalam satu pixel dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu data atribut (informasi mengenai obyek, misal: sawah, kebun, pemukiman dan sebagainya) dan koordinat data yang menunjukkan posisi geometris dari data tersebut. Model data vektor menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik, garis atau poligon beserta atribut-atributnya. Bentuk-bentuk tersebut didefinisikan oleh sistem koordinat cartesian dua dimensi (x,y) (Asyhar Tunissea, 2008).
14
2.3.2 Fungsi Analisis Data Spasial dalam SIG Pada analisis spasial dalam SIG terdapat beberapa fungsi, dimana fungsi ini dapat digunakan untuk yang mendapatkan informasi tamabahan dari suatu data (Lenny Susie Hutauruk, 2008 ), berikut ini merupakan fungsi dari analisis spasial : 1. Jaringan (network) Fungsi ini akan menunjukkan data spasial titik (point) atau garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. Fungsi ini sering digunakan di dalam bidang transportasi dan utility. Fungsi ini juga dapat digunakan untuk menghitung jarak terdekat antara dua titik tanpa menghitung selisih absis dan ordinat titik awal dan titik akhirnya. 2. Overlay Pada fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru dari minimal mdua data spasil yang menjadi masukannya. Contoh pengunaan fungsi ini yaitu pada penyebaran penyakit TB Paru dengan BTA (+) dengan kondisi fisik rumah penderita. 3. Buffering Fungsi buffering ini akan menghasilkan data spasial baru berupa bentuk polygon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang dimasukkan. Dimana untuk data spasil berupa titik akan menghasilkan data spasial baru berupa lingkran yang mengelilingi titik pusatnya. Sedangkan untuk data spasil berupa garis akan menghasilkan data spasil baru berupa data poligon. Demikian pula untuk data spasil berupa polygon akan menghasilkan data spasil baru berupa data polygon yang lebih besar dan konsentris.
15
2.3.3 Jenis-Jenis Peta yang Dihasilkan SIG SIG mampu menyajikan data menjadi sebuah informasi dalam bentuk peta tematik. Peta tematik menggunakan berbagai simbolisasi kartografi untuk menggambarkan pola spasial tertentu dengan data kualitatif maupun kuantitatif dari berbagai sumber informasi. Berikut ini jenis-jenis peta tematik yang dapat dihasilkan SIG, antaralain: 1. Choropleth Map Peta ini adalah jenis yang paling umum, dan terutama cocok untuk menampilkan data standar seperti tarif, kepadatan atau persentase. Peta ini menggolongkan suatu daerah atau lokasi dalam kelas-kelas tertentu dengan menggunakan degradasi warna untuk merepresentasikan nilai data atributnya. Sebuah warna yang berbeda digunakan untuk merepresentasikan sebuah informasi, yang memungkinkan pengguna untuk mengidentifikasi daerah memiliki tinggi, nilai rendah atau menengah.
Gambar 2.1 Peta Choropleth Kota New York Sumber : Center for Disease Control and Prevention 2. Dot Dencity Map Peta ini menggambarkan eristiwa individu atau kelompok peristiwa ditandai dengan titik (dot), yang memungkinkan pengguna untuk pola geografis seperti cluster.
16
Penggunaan teknik peta ini yang paling terkenal adalah dengan Dr John Snow, yang memetakan kematian kolera di wabah di London pada 1854 dan mampu menunjukkan bahwa mereka terkonsentrasi di sekitar pompa air tertentu. Peta ini baik digunakan untuk data besar dan menunjukkan beberapa setdata dengan menggunakan simbol-simbol atau warna yang berbeda. Interpretasi peta ini dipengaruhi oleh desain dibuat sepeti ukuran titik, warna, dan pengaturan lainnya.
Gambar 2.2 Peta Dot Density Kelahiran pada Remaja di Meksiko Sumber : Center for Disease Control and Prevention 3. Heatmap Heatmap digunakan untuk memudahkan dalam pengidentifikasian atau melakukan cluster data. Peta ini digunakan untuk menunjukkan kepadatan (atau frekuensi) dari peristiwa yang terjadi pada setiap wilayah atau lokasi pada peta. Untuk menilai kepadatan suatu peristiwa digunakan pewarnaan-pewarnaan tertentu, umumnya yang sering digunakan seperti warna biru, hijau, kuning dan merah. Warna biru menandai daerah-daerah yang frekuensi kejadian yang relatif sedikit, warna hijau dan kuning menandai frekuensi kejadian sedang. Dan warna merah menandai daerah dengan fekuensi terbanyak.
17
Pemanfaatan SIG dalam Bidang Kesehatan Masyarakat Pemanfaatan SIG dalam bidang Kesehatan Masyarakat pertama kali dipelopori oleh Jhon Snow, yang memetakan kematian kolera di wabah di London pada 1854 dan mampu menunjukkan bahwa mereka terkonsentrasi di sekitar pompa air tertentu. Dengan semakin berkembangnya teknologi, pemanfaatan SIG dapat menciptakan sebuah pelaung baru bagi tenaga kesehatan masyarakat dalam meningkatkan perencanaan, analisis, monitoring, dan juga manajemen untuk sistem kesehatan masyarakat (Kristina 2008). Pemanfaatan aplikasi SIG dalam bidang kesehatan masyarakat secara umum yaitu : 1. Dapat menemukan persebaran secara geografis jenis-jenis penyakit serta meramalkan terjadinya wabah. Pemanfaatan aplikasi pada poin ini dapat dilihat penerapannya pada penelitian Fuada Novianti, dkk tahun 2012. Dimana dalam penelitiannnya didapatkan daerah yang memiliki kasus gizi buruk tinggi, secara faktual disebabkan oleh faktor KK miskin tinggi, kejadian penyakit infeksi tinggi dan pemanfaatan posyandu oleh balita/ibu balita rendah. Sehingga pada daerah tersebut merupakan daerah rawan dan berpotensi rawan gizi (dilihat dari empat variabel). Terdapat 4 wilayah tergolong rawan tingkat resiko tinggi, dan 14 wilayah dikategorikan sedang. Pada daerah Kategori sedang ini mempunyai dua kemungkin, akan berubah ke tingkat kategori tinggi atau kategori rendah, oleh karena itu sebaiknya perhatian tidak hanya pada daerah kategori tinggi tetapi juga fokus pada kategori sedang.
18
2. Dapat melakukan intervensi-intervensi untuk perencanaan dan target. Pemanfaatan aplikasi SIG pada poin ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Dian Kurniasari tahun 2009, aplikasi SIG dapat digunakan untuk memetakan distribusi sasaran pemantauan kesehatan ibu seperti distribusi ibu hamil K1, K4, ibu hamil resti, ibu hamil yang akan bersalin, ibu bersalin, sarana pelayanan kesehatan, jarak pelayanan kesehatan dengan ibu hamil serta persentase kemiskinan dengan ibu hamil resti di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan bulan November – Desember Tahun 2010. 3. Didapatkannya informasi kesehatan dengan menggunakan peta-peta di internet. 4. Dapat menempatkan fasilitas kesehatan yang dapat dijangkau oeh masyarakat. (Kristina, 2008).