BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Perpektif Politik Ekologi Kebijakan pelestarian nasional menurut MacKinnon et al. (1990) harus mencakup
suatu pernyataan mengenai tanggung-jawab bangsa terhadap
pemanfaatan
sumberdaya
milik
bangsa
perlindungan wakil-wakil ekosistem,
secara
berkelanjutan,
termasuk
dan species melalui suatu program
pengelolaaan kawasan yang dilindungi. WCS secara garis besar memberikan petunjuk umum mengenai isi dan tujuan yang perlu dirumuskan dalam kebijakan pelestarian tiap-tiap negara, menekankan perlunya menggaris-bawahi kepentingan pelestarian
dan
pengelolaan
kawasan
yang
dilindungi
dalam
mengisi
6
pembangunan berkelanjutan . Kebijakan dan program pemerintah di bidang pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan menurut Soetaryono (2004) dirancang untuk mendukung antara lain,
prioritas percepatan ekonomi dan memperkuat
landasan
pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Hal tersebut dimaksudkan agar terwujudnya keseimbangan dan kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan. Djayadiningrat
(2001)
menyatakan
bahwa
kebijakan
pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan, antara lain dimaksudkan; (1) memberi akses kepada masyarakat adat dan lokal, (2) pola pemanfaatan sumberdaya alam harus memberi kesempatan dan peran aktif masyarakat adat dan lokal, dan, (3) secara simultan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan. Dalam pengelolaannya, Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) menurut Saparjadi (1998) memiliki prinsip-prinsip dasar, yakni; (1) prinsip komitment nasional, (2) prinsip irreversible, (3) prinsip manfaat 6
WCS menekankan kepada setiap Negara untuk menegaskan kebutuhan pelestariannya dan mendifinisikan kebijakan pelestariannya melalui penyiapan strategi pelestarian nasionalnya sendiri,…….secara umum pemanfaatan sumberdaya alam berkaitan dengan pembangunan bidang ekonomi; Sebagai jawaban atas keharusan WCS tersebut, maka eksistensi, peran dan fungsi Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) seperti tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1990 merupakan komitmen nasional yang menjadi kewajiban semua pihak –pemerintah, swasta dan masyarakat—untuk ikut mengamankan, mengelola dan memanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat generasi sekarang maupun yang akan dating (MacKinnon et al. 1990).
20
optimum, (4) prinsip subsidi silang, (5) prinsip pengakuan, apresiasi dan partisipasi, (6) prinsip passing out, (7) prinsip pengalihan tekanan, dan (8) prinsip kemandirian. Pada praktiknya, Mitchell et al. (2003) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akan selalu berhadapan dengan empat masalah penting, yakni; (1) perubahan, (2) kompleksitas, (3) ketidakpastian, dan (4) konflik sumberdaya alam. Keempat masalah tersebut dapat menjadi masalah sekaligus menjadi peluang bagi semua pihak. Ia akan menjadi peluang ketika keempat masalah tersebut, proses interaksi dan hubungan sebabakibatnya dapat dipahami secara kritis serta mengetahui bagaimana menjadi agen perubahan yang positif. Menurut Kartodihardjo & Jamtani (2006), implementasi kebijakan politik lingkungan di Indonesia tidak dikelola secara komprehensif, sehingga menimbulkan ketidak-amanan sumberdaya hutan, seperti banyaknya penjarahan dan pencurian kayu maupun naiknya ketidak-pastian usaha. Ekologi
politik sebagai konsep menurut Bryant (1992) dalam
Mitchell et al. (2003) telah dikembangkan untuk membantu memahami dimensi, kondisi dan kompleksitas politik dari perubahan lingkungan, terutama di negara berkembang. Ekologi politik dimaksudkan untuk menganalisis dan memahami hubungan sebab-akibat yang lebih jauh daripada sekedar sistem bio-fisik dan alami. Ekologi politik memiliki tiga dimensi penting, yakni: 1. Sumber politik; kebijakan negara, hubungan antar negara dan kapitalisme global, yang kesemuanya memacu pentingnya tekanan nasional dan global terhadap masalah lingkungan; 2. Kondisi; konflik-konflik yang timbul dari perlawanan masyarakat lokal. Dimensi ini menekankan pada bagaimana sekelompok masyarakat dengan kekuasaan terbatas dapat dan terus berjuang untuk mempertahankan kondisi suatu lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan mereka. Pemahaman terhadap hal ini membutuhkan pemahaman terhadap latar belakang sejarah dan dinamika setiap konflik; 3. Ramifikasi; konsekuensi politik perubahan lingkungan, dengan penekanan pada dampak sosial-ekonomi dan proses politik.
Ketiga dimensi di atas, menurut Bryant & Bailey (2000) dipengaruhi atau dimainkan oleh 5 (lima) aktor, yakni; state, businessmen, multilateral institution, NGOs dan grassroots. Dalam konteks ini, negara memiliki fungsi ganda, yakni sebagai aktor pengguna sekaligus sebagai pelindung SDA, dan sering mengalami konflik kepentingan. Eksistensi negara secara teoritik dan praksis banyak dikritik
21
dan mendapatkan resistensi, karena; 1. Negara-negara di dunia mempersulit upaya pemecahan masalah lingkungan, demi kepentingan pembangunan ekonomi, lingkungan hidup sering kali dikorbankan, dan 2. Negara-negara di dunia selalu tidak dalam kapasitas untuk memecahkan masalah lingkungan dalam berbagai level. Peet & Watts (1996) menyatakan bahwa ekologi politik adalah sebuah pertemuan antara ilmu sosial yang berakar dari ekologi dan prinsip-prinsip politik ekonomi. Tujuan studinya dalam membentuk “pergerakan yang muncul dari tekanan dan pertentangan krisis dibawah produksi, memahami pemikiran oposisi dan visi untuk hidup yang lebih baik dan perubahan kondisi politik, dan melihat kemungkinan untuk memperluas isu-isu lingkungan ke dalam sebuah pergerakan untuk pemberian hak kehidupan dan keadilan sosial. Scott & Sullivan (2000) menyatakan ekologi politik mengidentifikasi persoalan politik yang mendesak masyarakat ke dalam aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan tanpa adanya alternatif peluang yang meliputi permintaan dan pembangunan kembali narasi lingkungan yang sudah mapan, terutama yang berkaitan dengan lingkungan internasional dan diskursus pembangunan. Tujuannya adalah mengilustrasikan dimensi politik dalam narasi lingkungan dan mendekonstruksi narasi tertentu untuk menunjukkan bahwa gagasan yang mapan mengenai penurunan kualitas dan pemerosotan mungkin bukan tren linier yang cenderung mendominasi. Forsyth (2003) menyatakan ekologi politik, secara strukturalis
adalah
ekplorasi hubungan antara kapitalisme dan atau kebijakan negara yang opresif yang berdampak pada masyarakat lokal dan kerusakan lingkungan. Ekologi politik menurut Watts (2000) dalam Robbins (2004) adalah analisis kompleksitas hubungan antara alam dan masyarakat melalui analisis menyeluruh yang menimbulkan akses dan kontrol atas sumberdaya dan dampaknya bagi kesehatan lingkungan dan kehidupan yang berkelanjutan. Tujuannya adalah menjelaskan konflik lingkungan, terutama dalam hal memperjuangkan “pengetahuan, kekuasaan dan praktik” dan “politik, keadilan dan pemerintahan”.
22
Lebih lanjut Robbins (2004) megidentifikasi masalah lingkungan melalui empat pendekatan, yakni; 1. Degradasi dan marginalisasi, bahwa isu perubahan lingkungan terjadi sebagai dampak dari over eksploitasi, yang berujung pada kemiskinan (peminggiran dan pemiskinan); 2. Konflik lingkungan, bahwa konflik terjadi karena kelangkaan sumberdaya akibat pemanfaatan dari negara, swasta dan elite sosial yang kemudian mempercepat konflik antar kelompok (gender, kelas dan etnik); 3. Konservasi dan kontrol, bahwa kegagalan konservasi adalah akibat dari tercerabutnya peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya, serta pengabaian mata pencaharian dan organisasi ekonomi mereka hanya karena untuk melindungi lingkungan, dan; 4. Identitas lingkungan dan gerakan sosial, bahwa gerakan sosial politik terkait dengan upaya untuk mempertahankan mata pencaharian dan perlindungan lingkungan. Dalam semua proses di atas, kepentingan global dan kepentingan pemerintah untuk mengawetkan lingkungan justeru membasmi sistem mata-pencaharian lokal, produksi, dan orgnaisasi sosial politik. Konservasi bagi pemerintah adalah untuk mensimplifikasi kontrol atas sumberdaya dan lansekap.
Hempel (1996) dalam Robbins (2004) menyatakan bahwa politik ekologi adalah studi hubungan antara lembaga politik dan hubungan antara lembaga politik dengan lingkungannya…berkaitan dengan dampak politik perubahan lingkungan. Tujuan dari studi ini adalah menyelidiki dan menjelaskan tingkatan masyarakat dan kebijakan politik regional di wilayah global, sebagai respon terhadap penurunan kualitas lokal dan regional dan kelangkaan sumberdaya. Konservasi lingkungan menurut Bryant dan Bailey (2000), jarang dilihat sebagai upaya konservasi demi konservasi, tetapi ia telah diperalat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik. Upaya konservasi sering digunakan untuk kepentingan pertahanan dan alat kontrol negara atas rakyat dan lingkungan. Negara tidak ingin kehilangan kontrol dan kewenangannya atas sumberdaya dan lingkungan, sebagai bentuk penegasan hegemoni negara terhadap aktor lain. Kontrol akses dan hak-hak masyarakat oleh negara (pemerintah), menurut Anderson (1995) dalam Satria (2002)
dilakukan dengan memberlakukan
controlled access regulation melalui; (1) pembatasan input (para pihak dengan segenap kegiatan eksploitasinya), dan (2) pembatasan output berupa kuantitas eksplotasi SDA-L.
23
Escobar
(1998)
menyatakan
bahwa
diskursus
konservasi
dan
keanekaragaman hayati penting dilihat dari perpektif pergerakan sosial 7. Konsep konservasi dan keaneka-ragaman hayati memang memiliki makna biofisik, namun diskursus ini mendorong bagi munculnya suatu jaringan beragam aktor yang kompleks, mulai dari organisasi internasional dan LSM Lingkungan sampai pada komunitas lokal dan pergerakan sosial. Gerakan sosial (social movement) terhadap kebijakan konservasi sedang terjadi secara massiv di negara-negara Dunia ke -3. 2. 2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Permasalahan Taman Nasional 2.2.1 Sejarah gerakan konservasi Secara historis, gerakan konservasi dunia, sudah dimulai sejak tahun 252 SM, yang dipelopori oleh
Raja Asoka di India. Dalam kebijakan politik
kerajaannya, Raja Asoka mengumumkan secara resmi tentang perlindungan satwa, ikan dan hutan. Peristiwa ini mungkin merupakan contoh terawal yang tercatat dari apa yang sekarang disebut kawasan yang dilindungi. Sementara itu, penetapan tempat suci sebagai daerah perlindungan keagamaan atau taman buru yang eksklusif belum lama berlangsung. Hal yang hampir sama, juga dilakukan oleh Raja William I di Inggris pada tahun 1084 M,
yang memerintahkan
penyiapan The Domesday Book, yakni suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif milik Kerajaan yang digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan dan pembangunan negaranya (MacKinnon, et.al, 1990). Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, perilaku konservasi tersebut mengalami ”pembelotan” ketika dunia Barat (Eropa) mengalami lompatan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pada abad pencerahan (abad 16-18). Gardner dalam Yuliar et al. (1999) menyatakan bahwa renaisans menyajikan suatu pandangan baru tentang manusia dan alam. Manusia 7
Gerakan perlawanan masyarakat --dengan model yang berbeda-beda-- terhadap kebijakan konservasi telah terjadi di banyak negara. Gerakan Proceso de Commmunidades Negras (PCN: Process of Black Communitas) pada tahun 1980-an di Kolumbia Amerika Latin. Menurut Ecobar (1998), mereka berjuang melawan pembangunan, kapitalisme dan modernisasi yang merampas hak-hak hidup dan budaya, mengancam keaneka-ragaman hayati mereka. Gerakan perlawanan ini menunjukkan, bahwa; (1) Arus migrasi, investasi modal –pemerintah, pengusaha swasta (asing atau nasional)—ke wilayah mereka sudah pasti memicu konflik sosial, ekonomi dan sumberdaya, (2) Dalam implementasi kebijakan pembangunan ”pengelolaan SDA dan lingkungan”, pemerintah menganggap dukungan tokah lokal --yang terkooptasi—sebagai bukti dukungan mayoritas masyarakat, sehingga yang muncul adalah pseoudo-partisipasi, (3) investasi modal –pertambangan, agroindustri/agrofoerstry, dan proyek ekowisata skala besar-- ke wilayah atau daerah terjadi karena adanya kolusi dan menempatkan SDA sebagai alat transaksinya guna menopang kekuasaan pemerintah. Lebih sadis lagi, institusi keamanan dan pertahanan negara dijadikan alat untuk menekan gerakan perlawanan masyarakat.
24
harus hidupnya nyaman dan tenang di dunia; Alam adalah budak yang fungsi dan keberadaanya adalah untuk memuaskan kebutuhan manusia. Lebih tragis, Capra (2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah power. Nilai dari pengetahuan ditentukan oleh efek praksisnya dalam mendukung kekuasaan (politik). Dampak negatif dari kesombongan kemajuan IPTEK itu akhirnya harus ditanggung sendiri oleh manusia. Kesadaran baru akan dampak buruk dari tindakan eksploitatif ini menjadi awal mula gerakan pengawetan (presevation) terhadap sisa-sisa hutan alam Eropa. Gerakan pengawetan (presevation) menurut Dobson (2004) merupakan gerakan romantisme abad ke 18 dan 19 di seluruh daratan Eropa, bereaksi terhadap apa yang mereka pandang sebagai dampak dari industrialisasi cepat, yang menuntut dijalinnya kembali hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Penganut aliran romantik berpandangan bahwa alam adalah sumber moral dan etika, sehingga menekankan perlunya kesatuan manusia dengan alam, yang telah dihancurkan oleh industrialisasi. Gerakan romantisme para bangsawan Eropa ini, kemudian berkembang melalui penunjukan dan pengukuhan kawasan tertentu untuk dijadikan sebagai cagar atau monumen alam. Tujuan pengukuhan tersebut agar mereka dapat berdekatan dengan alam, menikmati liburan di dalam hutan sambil berburu dan menikmati keindahan alam. Logika preservasi, dalam hal ini terjebak pada perspektif arkeologis yang cendrung melihat sumberdaya alam hayati sebagai sesuatu yang statis, sehingga aksi-aksi perlindungan hanya bertujuan untuk mengawetkan sumberdaya alam. Hal ini berbeda dengan logika biologi, yang melihat hutan dan segala isinya sebagai sesuatu yang dinamis dan terbarui. Koreksi atas cara pandang logika preservasi itu menjadi awal munculnya pemikiran dan gerakan konservasi (Wiratno et al. 2004).
25
Tabel 1 Perbedaan antara preservasi dengan konservasi No. 01
Preservasi Logika : Arkeologis (archaelogical logic) , mengelola alam sebagai SDA yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) Contoh: pengelolaan candi Borobudur sebagai warisan dunia yang harus dan hanya diawetkan Sifat: Statis, cenderung berkurang, baik kuantitas maupun kualitasnya
02
03
Aksi: Diterapkan pada akhir abad ke 19 Melindungi perkebunan Belanda Berdampak romantis dan utopis
Konservasi Biologi (Biological logic), mengelola alam sebagai SDA yang dapat diperbaharui (Renewable Resources) Contoh: mengelola rusa sebagai satwa langka untuk diselamatkan dari kepunahan dan memanfaatkannya lagi bagi ummat manusia secara lestari Dinamis, kualitas dan kuantitasnya dapat turun dan naik, tergantung pada baik atau buruknya pengelolaan Diterapkan pada pertengahan abad ke 20 Melestarikan kawasan dengan pendekatan ekosistem Berdampak realistis/nyata
Sumber: Wiratno et al. (2004)
Di Indonesia, arsip tertulis tentang gerakan konservasi pada zaman kerajaan Nusantara, sangat sulit ditemukan. Namun demikian, tidak berarti bahwa di kepulauan Nusantara tidak ada gerakan konservasi, baik pada tingkat perilaku budaya 8 masyarakatnya maupun pada tingkat kebijakan politik Raja. Berdasarkan Prasasti Malang, kebijakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, telah dimulai pada tahun 1395 pada zaman kerjaan Majapahit. Dalam Prasasti Malang, tertulis: ”Pemberitahuan kepada seluruh satuan tata negara si parasama di parasama sebelah timur Gunung Kawi, baik di timur atau di barat batang air (Berantas); diberitahukan kepada sekalian Wedana, Juru, Bujut, terutama kepada Pacatanda di Turen. Bahwa telah kita perkuat perintah Sri Paduka Batara Partama Iswara, yang ditanam di Wisnu bawana dan begitu pula perintah Sri Paduka yang di tanam di Kertabuana, berhubungan dengan kedudukan satuan tata negara si parasame Katiden yang meliputi sebelas desa. Oleh karena masyarakat itu berkewajiban mengamat-amati padang alang-alang di lereng gunung Ledjar, supaya jangan terbakar, maka haruslah ia bebaskan dari pembayaran pelbagai titisara (Baca: pajak). Selanjutnya masyarakat dilarang menebang pohon kayu dari hutan kekayu dan memungut telur penyu dan getan, karena larangan itu tidak berlaku padanya. Juga tidak seorang jua pun boleh 8 Perilaku budaya konservasi, untuk menjaga keseimbangan hubungan – harmoni -- dengan alam lingkungannya, ada dan hidup di hampir semua suku (kelompok masyarakat) nusantara, dan sangat beragam., .... Ritual Shadaqah Bumi misalnya, tidak harus dipahami secara sederhana sebagai syirik (menyekutukan Tuhan), tetapi perlu dilihat dari perspektif lain sebagai bentuk kesadaran yang paling dalam dari masyarakat Indonesia zaman dulu, bahwa lingkungan alam pun membutuhkan perhatian dari manusia. Manusia memberikan Shadaqah pada Bumi, maka bumi pun memberikan kemakmuran –kemelimpahan-- yang berkelanjutan pada manusia. Perhatikan misalnya, perilaku konservasi yang menjadi landasan dan filosofi hidup dikalangan masyarakat Jawa ”Kuno” dalam pengambilan hasil bumi -- sa’cukupe, ora ’ilo, panen/mancing hari kamis legi, pasar Jum’at Kliwon, dll -- adalah untuk menjaga harmoninya dengan lingkungan alam sekitarnya dan juga keadilan distribusi sumberdaya alam. Perilaku budaya konservasi tersebut, tentu harus disesuiakan dengan perkembangan dan kemajuan cara berpikir masyarakat.
26
melakukan di sana peraturan larangan berupa apa jua. Apabila keputusan Raja ini sudah dibaca, maka desa Lumpang haruslah menurutnya. Demikianlah diselenggarakan pada bulan pertama tahun Saka 13179”
Catatan sejarah tersebut menunjukan bahwa gerakan konservasi di Indonesia bukan sekedar mengikuti kecenderungan global, tetapi sudah menjadi bagian dari perilaku budaya dan juga kebijakan politik
Raja dalam rangka
mengamankan kawasan konservasi; hutan, daerah aliran sungai (DAS), dan isinya yang mendukung kelestarian kawasan tersebut. Pada sisi lain kebijakan politik Raja Majapahit tersebut tidak hanya melarang masyarakatnya untuk mengambil kayu, telur penyu dan getan, tetapi juga memberikan jalan keluar sebagai kompensasi berupa pembebasan pajak, sementara kebutuhan akan kayu dapat dipenuhi dengan mengambil di tempat lain (Wiratno et al. 2004). 2.2.2 Kategori tujuan, manfaat dan permasalahan Taman Nasional Berdasarkan UU No.5/1990 Pasal 1 ditegaskan bahwa kawasan konservasi dibagi menjadi dua kategori, yakni Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Bentuk-bentuk kawasan konservasi berdasarkan dua kategori tersebut, adalah: 1. Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. Yang termasuk dalam kategori ini adalah Suaka Marga Satwa, Cagar Alam dan Cagar Biosfer. 2. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan, yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari SDAH dan ekosistemnya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah: Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Raya 10.
Kategori dan tujuan pengelolaan kawasan Taman Nasional menurut MacKinnon et al. (1990) adalah untuk melindungi kawasan alami dan berpandangan indah yang penting, secara nasional atau internasional, serta 9 Prof. Muh. Yamin. 1962.Tata Negara Majapahit, Jakarta, 1962. dalam Wiratno, dkk. 2004. Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Publikasi, FOReST Press, The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan, PILI-NGO Movement 10 Taman Nasional: kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan system zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Wisata Alam: kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Taman Hutan Raya: kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (UU Nomor: 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya hayati dan Ekosistemnya).
27
memiliki nilai pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan. Berdasarkan kategori IUCN (1978) yang dikutip oleh MacKinnon et al. (1990), terdapat 10 (sepuluh) tujuan pelestarian dalam Kawasan Taman Nasional, 7 (tujuh) diantaranya merupakan tujuan pelestarian yang utama,
1 (satu)
merupakan tujuan penting, dan 2 (dua) merupakan tujuan yang sifatnya kondisonal dan bergantung, seperti dapat dilihat Tabel 2. Tabel 2 No 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13
Kategori internasional kawasan taman nasional berdasarkan tujuan pelestarian
Tujuan Pelestarian Yang Utama Mempertahankan contoh ekosistem dalam kondisi alaminya Mempertahankan keaneka-ragaman ekologis dan pengaturan lingkungan Mempertahankan sumberdaya plasma nutfah Menyediakan pendidikan, penelitian, dan pemantauan lingkungan Melestarikan kondisi kawasan tangkap air Mengendalikan erosi, sedimentasi dan melindungi investasi kawasan hilir Menghasilkan protein dan hasil satwa, memperkenalkan olah-raga buru dan memancing Menyediakan pelayanan rekreasi dan pariwisata Menghasilkan kayu, pakan dan hasil laut yang didasarkan prinsip keberlanjutan Melindungi objek dan tempat warisan budaya, sejarah dan purbakala Melindungi keindahan alam dan tempat terbuka Menjaga agar pilihan terbuka, izin pemanfaatan ganda Mendorong pemanfaatan rasional dan berkelanjutan dari kawasan marjinal dan pembangunan perdesaan
Kategori*) 1 1 1 2 1 3 1 1 3 1
Sumber: Disadur dari IUCN (1978) dalam MacKinnon et al. (1990) Catatan Kategori*): 1. tujuan utama untuk pengelolaan kawasan dan sumberdaya 2. tidak perlu utama, tetapi selalu masuk dalam tujuan penting 3. masuk sebagai tujuan jika dapat dipergunakan serta kapan saja sumberdaya dan tujuan pengelolaan lainya memungkinkan
Berdasarkan UU No.5/1990, kawasan konservasi, memiliki 3 (tiga) manfaat, yakni: (1) manfaat ekologi yang berarti melestarikan keaneka-ragaman hayati dan ekosistemnya, (2) manfaat ekonomi yang berarti mampu menciptakan peluang dan kesempatan kerja, dan (3) manfaat social yang berarti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dixon & Sherman (1990) menyatakan bahwa manfaat kawasan konservasi bergantung pada tujuan atau tipe pengelolaannya. Secara umum, manfaat kawasan konservasi antara lain; (1) menjaga dan melindungi sumberdaya hayati dan jasa lingkungan, serta proses-proses ekologis, (2) melindungi kepentingan produksi
28
sumberdaya hayati, seperti kayu dan satwa liar, (3) untuk kepentingan rekreasi dan industri pariwisata, (4) untuk melindungi nilai-nilai budaya dan situs-situs sejarah, dan (5) sebagai wahana pendidikan dan penelitian. Nilai manfaat Kawasan Pelesatarian Alam dan Kawasan Suaka Alam yang sangat tinggi tersebut, maka eksistensinya menurut Saparjadi (1998), berhadapan dengan sejumlah masalah, yang berkaitan dengan; (1) tingkat pengelolaan kawasan konservasi yang menyangkut status kawasan, kelembagaan, sumberdaya manusia, perencanaan, sarana prasarana, dan pendanaan, (2) masalah sosial ekonomi dan budaya masyarakat, berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, petumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan lahan dan sumberdaya alam, pemahaman dan kepedulian masyarakat mengenai konservasi alam, dan (3) pandangan dan kepedulian sektoral mengenai pembangunan dan konservasi alam. 2.2.3 Konsep dan karakterisitk Taman Nasional Konsep pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang modern menurut MacKinnon et al. (1990) adalah pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya bumi secara bijaksana. Konsep ini pada hakikatnya adalah gabungan dari dua prinsip kuno yang telah ada, yakni; Pertama adalah kebutuhan untuk merencanakan pengelolaan sumberdaya yang didasarkan pada inventarisasi yang akurat, dan; Kedua adalah kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan untuk menjamin agar sumberdaya tidak habis. Pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di lingkungan perdesaan dan turut menyumbangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan serta dapat meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi adalah salah satu cara terpenting untuk dapat menjamin agar sumberdaya alam bumi dapat dilestarikan, sehingga sumberdaya ini dapat lebih memenuhi kebutuhan ummat manusia sekarang dan di masa datang (MacKinnon et al. 1990). Konservasi sumberdaya alam adalah upaya pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya bumi secara bijaksana (MacKinnon et al. 1990). Dalam Pasal 1 UU No. 5/1990 ditegaskan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
29
bijaksana
untuk
menjamin
kesinambungan
persediaannya
dengan
tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dixon & Sherman (1990) menyatakan bahwa kawasan konservasi sebagai sumberdaya memiliki karakteristik; (1) Tidak tersaingi (nonrivalry), artinya dalam mengkonsumsi jasa-jasa kawasan konservasi, tidak mengurangi jumlah produk dan jasa yang tersedia, (2) Tidak eksklusif (nonexcludability), artinya terbuka untuk masyarakat luas, (3) Berdampak terhadap lingkungan luar (off side effect), artinya manfaatnya dapat melintasi batas geografis dan batas negara, (4) Ketidakpastian (uncertainty),artinya data dan informasi mengenai nilai potensi manfaat pada umumnya tidak lengkap yang berimplikasi pada akurasi penetapan suatu kebijakan
pengelolaan
kawasan
konservasi,
dan
(5)
Ketidak-pulihan
(irreversibility), artinya jika kawasan konservasi sudah rusak, maka sangat sulit untuk dapat pulih kembali. Kalaupun dapat pulih akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Tabel 3 Kegiatan yang dibolehkan (√ ) dan dilarang (X) dalam zona tradisional Taman Nasional No 01 02 03 04 05 06 07
08 09 10 11 12
Kegiatan dalam Zona Tradisional Penangkapan ikan tanpa menggunakan racun dan bahan peledak Perburuan tradisional dari species yang tidak dilindungi, tanpa menggunakan perangkap, senjata modern atau menggunakan api Mengumpulkan getah dan damar, asalkan pohon tidak mati dalam proses pengambilan Mengumpulkan buah-buahan hutan dan madu (asalkan pohon tidak ditebang atau dibakar) Menggunakan kayu bakar atau bahan bangunan dari pohon yang tumbang bagi keperluan pribadi Memotong bambu, buluh, bahan atap rumah atau rotan Pengembalaan ternak peliharaan secara berkala, dimana species alam yang merumput tidak merupakan komponen penting dari sumberdaya taman Pengembalaan ternak eksotik atau domestik yang besar kemungkinannya untuk menjadi liar Perkebunan apapun Penebangan pohon yang masih hidup Membakar vegetasi Pemukiman di dalam kawasan yang dilindungi (jika hal ini tidak dapat dihindarkan, maka zona ini harus berada pada zona kawasan kantong atau enklave)
Sumber: MacKinnon et al. (1990)
Boleh √ √
Tidak
√ √ √ √ √ X X X X X
30
Ketentuan Pasal 31 ayat (1) PP No.68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam disebutkan bahwa penunjukan suatu kawasan Taman Nasional apabila memenuhi kriteria-kriteria: (a) kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami, (b) memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami, (c) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, (d) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam, (e) merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Guna menekan arus akses masyarakat secara berlebihan terhadap kawasan yang dilindungi dan sekaligus dapat memberi manfaat sosial langsung bagi keberlanjutan hidup masyarakat sekitar kawasan, menurut MacKinnon et al. (1990) perlu dibuat zona penyangga, yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi. Fungsi utama penyangga sosial adalah untuk menjamin agar masyarakat perdesaan penyangga tidak perlu mencari hasil hutan lainya ke dalam cagar. Ada beberapa tipe utama zona penyangga kawasan yang dilindungi, yakni: (1) zona pemanfaatan tradisional, (2) penyangga hutan, (3) penyangga ekonomi, dan (4) rintangan fisik. Dalam Kawasan Taman Nasional, secara teoritik dan ideal dilarang melakukan kegiatan-kegiatan, seperti pada Tabel 3 dan 4.
31
Tabel 4 Kegiatan yang dilarang (X) dalam berbagai kategori kawasan yang dilindungi No
Kegiatan
01
Menanam tanaman pangan Menanam pohon Permukiman Penebangan pohon untuk komersial Pengambilan herba dan kayu bakar Berburu Menangkap ikan Berkemah Koleksi ilmiah dengan izin Pengelolaan habitat Introduksi non eksotik Introduksi eksotik Pengambilan rotan dan kayu dengan izin Eksplorasi mineral Pengendalian marga satwa Pemanfaatan oleh pengunjung
02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16
Taman Buru
Zona Penyangga dalam Batas Khusus
Hutan Lindung
X
X
X
X
X X X
X X
X X
X X
X X
X
-
X
X
-
-
X -
X X X X
X X -
X
-
X
-
-
-
-
-
X X
X X X X
X X
X
X -
-
-
-
X X
-
X -
-
-
-
-
X
-
-
-
-
-
TN menurut Zonasi
Cagar Alam
Suaka Marga Satwa
Taman Wisata
X
X
X
X X X
X X X
X
Sumber: Sumardja et al. (1984) dalam MacKinnon et al. (1990)
2.2.4 Rehabilitasi Kawasan Penyangga TNMB
Kawasan rehabilitasi seluas 5.470 Ha (1995) dan atau 4.023 (2005) eks hutan jati di Kabupaten Jember maupun di Kabupaten Banyuwangi yang diduduki oleh masyarakat kondisinya hingga saat ini masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan Lampiran Kepmenhut No. 8205/Kpts-II/2002, bahwa bagian kawasan Taman Nasional (di luar/ selain zona inti) yang mengalami kerusakan atau degradasi karena bencana alam atau karena sebab-sebab lainnya, perlu dilakukan tindakan rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan agar sesuai dengan kriteria Taman Nasional dan kembali dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sebagai sistem penyangga kehidupan. UU No.41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 40 menegaskan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk, memulihkan, mempertahankan, meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Selanjutnya Pasal 41:
32
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan; a. Reboisasi, b. Penghijauan, c. Pemeliharaan, d. Pengayaan tanaman, atau e. Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. (2) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Pasal 42 ayat (1) dinyatakan bahwa rehabilitas hutan dan lahan dilaksanakan
berdasarkan
kondisi
spesifik
biofisik.
Ayat
(2)
bahwa
penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan
partisipatif
dalam
rangka
mengembangkan
potensi
dan
memberdayakan masyarakat. Reboisasi adalah upaya rehabilitasi berupa pembuatan tanaman hutan dengan cara penanaman pohon-pohon yang dilaksanakan di dalamkawasan hutan (Dephut 1997). Rehabilitasi Kawasan Taman Nasional 11 adalah kegiatan pemulihan kondisi sebagai kawasan Taman Nasional selain di dalam zona inti menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiah, melalui kegiatan reboisasi, pemeliharaan dan pengkayaan jenis. Beberapa kegiatan rehabilitasi mencakup inventarisasi,
persemaian,
pemeliharaan
jenis,
pengkayaan
tumbuhan,
pemeliharaan tanaman reboisasi, dan pengamanan (Lamp. Kepmenhut No: 8205/Kpts-II/2002). Prinsip dasar dari pelaksanaan rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional, dari aspek ekologi, adalah; 1. Pelestarian keanekaragaman jenis yang tinggi dalam menentukan jenis tumbuhan, jumlah dan anakan atau bibit yang digunakan dalam rehabilitasi, b. Pembinaan dan peningkatan untuk pemulihan kualitas habitat jenis flora dan fauna seperti keadaan semula. Waktu pelaksanaan penanaman disesuaikan dengan musim penghujan atau dengan teknik penyiraman lainnya. Dari aspek sosial ekonomi, yakni; 1. Melibatkan keikutsertaan para pihak terkait (stakeholders), dan, 2. Menghindarkan atau menekan sekecil mungkin segala bentuk penyimpangan yang menyebabkan yang menyebabkan pelaksanaan rehabilitasi tidak efisien (Lamp. Kepmenhut No: 8205/Kpts-II/2002).
11 Dasar hukum pelaksanaan rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional adalah; (1) UU Nomor: 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE, (2) UU Nomor: 5 Tahun 1994 tentang Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati Kawasan Taman Nasional, (3) UU No: 23 Tahun 1997 Tentang PLH, (4) UU No: 22 tentang Pemda, sudah direvisi menjadi UU No: 34 Tahun 2004 tentang Pemda, (5) UU No: 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, (6) PP No: 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, (7). PP No: 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa, (8) PP Nomor: 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah Otonom, (9) Kepmenhut No: 20/Kpts-II/2001 tentang Pola Umum dan Standar Sert Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Lamp. Kepmenhut No: 8205/Kpts-II/2002).
33
2. 3 Akses Masyarakat terhadap Sumber Daya Alam dan Lingkungan Ribot & Pelusso (2003) menyatakan akses berbeda dengan properti dalam banyak hal. Akses adalah kemampuan (ability) untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu – termasuk materi, orang, institusi, dan simbol -- merupakan perluasan dari definisi klasik properti (property) sebagai hak untuk mendapat keuntungan dari sesuatu. Dalam konteks ini, maka akses berkaitan dengan bundle of power daripada sebagai gagasan properti (bundle of rights). Dengan memfokuskan pada hal kemampuan, ketimbang dalam hal hak dalam teori properti, formulasi ini memberi cakupan yang lebih luas dalam hubungan sosial yang dapat mendesak atau memungkinkan orang untuk memanfaatkan sumberdaya tanpa memfokuskan dalam hubungan properti12. MacPherson (1978) mengkarakteristikkan properti sebagai ”... hak dalam pengertian sebagai klaim yang dapat dilaksanakan (enforceable claim) untuk menggunakan atau mendapatkan manfaat dari sesuatu. Enforceable claim adalah sesuatu yang telah dikenal dan didukung oleh lingkungan masyarakat (society) melalui hukum, kebiasaan, atau konvensi. Properti dan akses berkaitan dengan hubungan diantara orang dalam hal mendapatkan manfaat atau nilai. Konsep akses bertujuan untuk memfasilitasi analisis dasar terhadap siapa yang sebenarnya memperoleh manfaat dari sesuatu dan melalui proses apa mereka dapat melakukannya. Akses secara empiris”...fokus terhadap isu siapa yang menggunakan (dan siapa yang tidak) apa, dengan cara apa, dan kapan (dalam hal apa)”? (Neale 1998). Menggunakan dapat berarti kesenangan terhadap semacam manfaat atau urutan manfaat (Hunt 1998). Analisis akses menurut Ribot & Pelusso (2003)
dapat membantu
memahami mengapa beberapa orang atau institusi memperoleh manfaat dari sumberdaya, apakah mereka mempunyai hak (right) atau tidak untuk menggunakannya. Hal inilah yang merupakan perbedaan penting antara analisis akses dan properti. Studi tentang akses berkaitan dengan pemahaman bermacam cara orang untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya termasuk hubungan properti. Fokusing pada sumberdaya alam, memungkinkan diselidikinya jarak kekuasaan yang mempengaruhi kemampuan orang untuk mengambil manfaat 12 Properti dapat menimbulkan semacam klaim atau hak (right) pengakuan dan dukungan sosial (socially acknowledged and supported), baik pengakuan oleh hukum positif, kebiasaan, atau konvensi (Ribot dan Pelusso , 2003).
34
(benefit) dari sesuatu dari sumberdaya. Kekuasaan ini merupakan rangkaian material, kultural dan politik ekonomi di dalam bundle dan jaring kekuasaan yang membentuk akses sumber daya (resource acces). Lebih lanjut, Ribot & Peluso (2003) menyatakan bahwa analisis akses dipergunakan untuk mengidentifikasi konstelasi dari arti, hubungan, dan proses yang memungkinkan bermacam-macam aktor untuk memanfaatkan sumberdaya. Hal ini akan lebih memungkinkan untuk melakukan pemetaan secara empiris proses dinamis dan hubungan dari akses itu. Analisis akses meliputi; 1) identifikasi dan pemetaan aliran keuntungan dari suatu kepentingan tertentu; 2) identifikasi mekanisme-mekanisme akses dimana para pelaku yang berbeda terlibat dalam memperoleh, mengontrol, dan mempertahankan aliran manfaat (benefit) dan distribusinya; dan 3) analisis dari hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme akses yang melibatkan kejadian dimana manfaat itu diperoleh. Perbedaan penting antara akses dan properti terletak pada perbedaan antara kemampuan (ability) dan hak (right). Kemampuan berkaitan dengan kekuasaan (power) yang dapat didefinisikan dalam dua pengertian; Pertama: sebagai kapasitas para pelaku untuk mempengaruhi praktik dan ide dari orang lain (Weber 1978;
Lukes
1986)
dan,
Kedua:
kekuasaan
dilihat
sebagai
kemunculan/pembuktian (emergent) dari rakyat (Ribot & Peluso 2003). Ghai (1994) penganut mazhab eko-populis menyatakan bahwa konservasi dan pembangunan berkelanjutan hanya akan berhasil pada suatu skala tertentu jika memperhatikan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi rakyat dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Faktor-faktor itu mencakup akses pada lapangan kerja dan sumberdaya penting seperti tanah, air (pengairan), kredit dan pangan. Selain itu adalah sistem-sistem harta milik, masalah gender, akses perempuan terhadap modal, tenaga kerja, waktu, masalah pemberdayaan, tingkat kontrol rakyat terhadap SDAL dan proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi pengelolaan SDAL. Dalam praktiknya, akses masyarakat atas SDAL mencakup dua hal, yakni; (1) akses kontrol (control access), dan; (2) akses pemeliharaan (maintenance access) (Ribot & Peluso 2003). Akses kontrol adalah kemampuan untuk
35
menengahi akses lain. Kontrol ”.... menunjukkan mengecek dan mengarahkan aksi, fungsi atau kekuatan untuk mengarahkan dan mengatur aksi bebas (free action) (Rangan 1997). Pemeliharaan (maintenance) pada akses membutuhkan pengerahan sumber daya atau kekuasaan untuk menjaga agar sumber daya akses yang demikian itu terbuka (Berry 1993). Di antara maintenance dan control saling melengkapi. Keduanya terdapat hubungan diantara para pelaku dalam kaitannya dengan pemberian sumber daya (resource), manajemen, atau penggunaannya. Di saat yang sama, arti dan nilai dari sumber daya seringkali diperebutkan oleh pihak yang mengontrol dan pihak yang mempertahankan akses. Ide daripada properti yang tersusun dari hak (rights) dan kewajiban (duties) dapat dilihat sebagai perbedaan yang paralel dimana klaim suatu hak adalah pengertian akses kontrol sementara pelaksanaan kewajiban merupakan bentuk dari akses pemeliharaan (maintenance) yang bertujuan untuk mempertahankan hak tersebut (Hunt 1998).
2. 4 Hak-hak Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L Hak atas tanah dan sumberdaya alam (budle of rights) menurut Bruce (1993) merupakan relasi sosial terkait dengan kepemilikan atau penguasaan atas suatu objek atau benda “tenure dan property” yang dalam konteks sekarang diartikan sebagai hak atas tanah dan sumberdaya alam (budle of rights). Pengertian tenurial dapat dipahami sebagai hubungan relasi, baik berdasarkan kesepakatan atau kebiasaan yang dipraktikan dalam suatu kelompok masyarakat atas SDAL. Dietz (1998) menyatakan bahwa bentang alam dan cadangan SDA-L dalam suatu kawasan adalah gelanggang politik yang diperebutkan. Berkaitan dengan beragam SDA-L, maka pengakuan hak mencakup tiga hal; (1) hak atas sumberdaya sendiri, (2) hak untuk memanfaatkannya, dan (3) hak untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan-keputusan pengelolaannya. Hubungan tenurial atas SDA-L adalah sebuah institusi sosial yang dibuat oleh sekelompok masyarakat untuk mengatur tingkah-lakunya. Aturan-aturan tersebut menentukan bagaimana hak-hak atas tanah dapat dialokasi dalam masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah akses untuk hak memanfaatkan,
36
mengontrol dan mengalihkan tanah atau SDAL lainnya, yang mencakup tanggung-jawab dan larangan (FAO 2002). Sistem tenurial atas tanah dan SDA-L dapat dikalsifikasi menjadi 4 (empat) kategori umum kepemilikan, yakni; (1) kepemilikan privat, artinya hak diberikan kepada suatu badan privat yang dapat terdiri dari seseorang, kelompok, lembaga swasta ataupun lembaga nirlaba,
(2) kepemilikan komunal, artinya
dimiliki secara komunal dan hanya dapat dimanfaatkan anggota dari masyarakat itu, (3) open access (siapa saja dapat memanfaatkan SDAL tersebut, dan (4) kepemilikan publik atau negara adalah hak yang diklaim oleh negara yang tanggung-jawab kepengurusannya diserahkan kepada satu sektor tertentu dalam pemerintah (FAO 2002). Hak pemilikan atas sumberdaya alam menurut Lynch (1995) terdiri dari; (1) hak menggunakan secara langsung, (2) hak memperoleh keuntungan ekonomi secara tidak langsung, (3) hak untuk mengontrol, (4) hak memindah-tangankan` (5) hak residual atau mewariskan, dan (6) hak simbolik. Kondisi kepemilikan atas SDA-L di sejumlah kawasan di Indonesia kebanyakan berada dalam kondisi ketidak pastian (tenurial insecurity). Kondisi ini dijelaskan oleh Ellsworth (2004) melalui 4 (empat) aliran pemikiran utama, yakni; 1. Aliran hak-hak property (Property Rights) yang memberikan hak-hak kepemilikan properti melalui sertifikasi atas SDAL (tanah) secara individu dan privat yang dapat diperdagangkan secara bebas; 2. Aliran ketimpangan struktur agraria (Agrarian Structure Traditions), memandang bahwa ketimpangan terjadi karena adanya perdagangan aset. Sertifikasi individual atas aset SDAL tidaklah secara otomatis meningkatkan efisiensi dan menguntungkan masyarakat petani. Dalam hal ini harus ada political will dari pemerintah untuk melindungi masyarakat miskin melalui strategi land reform; 3. Aliran advokasi hak property masyarakat adat (Common Property Advocates atau Common Property Shcool), memandang pentingnya pengakuan dan dukungan politik bagi hak-hak atas SDAL yang secara turun temurun (hak ulayat) yang dimiliki oleh masyarakat adat, dan; 4. Aliran institusionalis (Institutionalist) berangkat dari pengaruh makro politik ekonomi terhadap rezim-rezim properti yang ada, yang selanjutnya akan menentukan kepastian hukum hak atas suatu properti. Aliran Institusinalis memandang bahwa tidak ada satu pun rezim kepemilikan properti yang benar-benar ideal. Kekuasaan politik dan keadilan distribusi SDAL jauh lebih penting dan lebih menentukan siapa yang dapat memperoleh kepastian hukum tenurial dan siapa yang tidak.
Schlager & Ostrom (1992) menyatakan bahwa untuk di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, hak-hak atas SDAL dapat diklasifikasi menjadi 5
37
(lima) kategori; (1) Hak atas akses (rights of access), yakni hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu, (2) Hak pemanfaatan (right of withdrawal), yakni untuk mengambil sesuatu atau memanen sesuatu hasil alam, (3) Hak pengelolaan (rights of management), yakni hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi, (4) Hak pembatasan (rights of exclusion), yakni hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akses dari seseorang ke orang lainnya, kelompok atau lembaga, dan (5) Hak pelepasan (rights of alienation), yakni hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya. Ellsworth (2004) menyatakan bahwa kebijakan penetapan suatu kawasan untuk suatu peruntukan --(termasuk taman nasional)-- semestinya harus mengacu kepada Institutionalist Tenure Security. Artinya mempertimbangkan faktor sejarah pengelolaan, demografi (distribusi sumberdaya), faktor budaya, organisasi sosial, system nilai, harga relative yang
berlaku dan regim hukum yang berlaku.
Minimasi gap kebijakan maka harus ada proses negosiasi dan konsesus di antara para pihak yang berkepentingan. UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria Pasal 16 ayat (1) hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) --hak menguasai dari Negara- ialah: a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan’ d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain -sifatnya sementara ialah; hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian -- yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan UU serta hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam Pasal 53. Hak, kewajiban dan peran serta
masyarakat untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat telah diatur dalam UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) Pasal 5; (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran pengelolaan lingkungan hidup (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan yang berlaku.
38
Hak-hak masyarakat atas kekayaan sumberdaya hutan secara tegas telah diatur dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 68 bahwa: (1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan (2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat: a. Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku; b. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hutan, dan informasi kehutanan; c. Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan, dan d. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung; (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) Setiap orang berhak memperoleh kompenasasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Kemiskinan dan kekurangan pangan masyarakat miskin menurut Sen (1981) bukan semata-mata karena keterbatasan SDAL, tetapi lebih karena mekanisme sosial politik yang mengakibatkan minimnya -- (tidak adanya) -pengakuan hak pertukaran (exchange entitlements)
bagi masyarakat miskin.
Pengakuan hak sering bersifat mendua, dan berada pada wilayah abu-abu (grey area), sehingga membuatnya menjadi konsep yang bermanfaat bagi analisis sosial politik. 2. 5 Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L Lembaga (institusi) adalah sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Prosesprosesnya terstruktur untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu. Lembaga tidak mempunyai anggota, tetapi mempunyai pengikut (Horton & Hunt 1991; Cohen 1992) Lebih lanjut Horton & Hunt (1991) menyatakan lembaga juga merupakan system hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejewantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sistem hubungan sosial adalah jaringan peran dan status yang menjadi media untuk melaksanakan perilaku. Sementara, nilai-nilai umum mengacu kepada cita-
39
cita dan tujuan bersama. Dan prosedur umum adalah pola-pola perilaku yang dibakukan dan diikuti. Kelembagaan
menurut Kartodihardjo (2006) mencakup organisasi
(players of the game), hak-hak atas sumberdaya alam, peraturan perundangundangan (rules of the game), struktur pasar, pengetahuan dan ingormasi, serta proses-proses politik di dalam pemerintahan. Keputusan dan tindakan sangat ditentukan oleh kelembagaan. Kerusakan SDAL kebanyakan disebabkan oleh perilaku individu maupun organisasi
melalui keputusan-keputusan dan
tindakannya tersebut. Institusi menurut Ostrom (1992) merupakan seperangkat aturan yang berlaku atau dipergunakan (rule in use) yang dijadikan sebagai acuan bertindak. Narayan & Cassidy (2001) menyatakan bahwa kelembagaan tradisional merupakan ladasan bagi komunitas-komunitas asli dalam mengerahkan hak-hak fundamental dan atau berpartisipasi dalam bidang ekonomi dan politik. Institusi menurut Merton (1975) dalam Horton & Hunt (1991) memiliki 2 (dua) fungsi utama, yakni; (1) fungsi manifest yang merupakan tujuan lembaga yang diakui dan dikehendaki, dan (2) Fungsi laten yakni hasil yang tidak dikehendaki dan mungkin tidak diakui, ataupun jika diakui dianggap sebagai hasil sampingan.
Fungsi Laten institusi mungkin; (1) mendukung fungsi manifest,
(2) tidak relevan, dan atau (3) malahan merongrong dan meruntuhkan fungsi manifest. Fungsi laten (Disfungsi Laten) pada umumnya cenderung meruntuhkan institusi atau merintangi apa yang mau dicapai oleh fungsi manifes. Fungsi institusi dapat bergeser atau berubah bergantung kepada; (1) institusi tidak berhasil memenuhi kebutuhan yang harus diberikan kepada pengikutnya, (2) dua atau lebih institusi mampu memenuhi kebutuhan pengikutnya, tetapi akan ada salah satu diantara mereka yang memiliki kemampuan yang paling tinggi, dan (3) pengalihan fungsi diantara institusiinstitusi seringkali merupakan penyelesaian terhadap berbagai kelemahan yang timbul. Proses pelembagaan (institutionalization) menurut Horton & Hunt (1991) terdiri dari penetapan norma-norma yang pasti yang menentukan posisi status dan fungsi peranan untuk perilaku. Suatu norma merupakan sekelompok harapan
40
perilaku. Dalam prosesnya, pelembagaan mencakup pergantian perilaku secara spontan atau eksperimental dengan perilaku yang diharapkan, dipolakan, teratur dan dapat diramalkan. Cohen (1992) menyatakan bahwa pelembagaan adalah perkembangan sistem yang teratur dari norma dan peranan-peranan yang ditetapkan yang diterima oleh masyarakat. Melalui pelembagaan, perilaku yang spontan dan semaunya diganti dengan pelilaku yang teratur dan direncanakan. Cohen (1992) menambahkan bahwa dalam perspektif teori konflik, institusionalisasi adalah proses yang disengaja dan bukan otomatis. Perbedaan kepribadian individu dapat mempengaruhi perilaku institusi. Perbedaan perilaku individu tidak begitu kelihatan karena tuntutan peran. Konflik dapat terjadi karena pertentangan individu dan bentrokan peran antar institusi. Masing-masing institusi memiliki karakteristik, yakni; (1) memiliki nilai dan tujuan utama yang bersumber dari para anggota untuk memenuhi kebutuhan khusus masyarakat, (2) bersifat permanen dalam hal pola-pola perilaku yang ditetapkan institusi, (3) perubahan dramatis dapat mengakibatkan perubahan pada institusi lain, (4) bersifat dependent, disusun dan diorganisasi secara sempurna disekitar rangkaian pola-pola norma, nilai dan periulaku yang diharapkan, dan (5) ide-ide institusi pada umumnya diterima oleh mayoritas anggota masyarakat, walaupun mereka
belum tentu beroartisipasi didalam institusi tersebut
(Cohen 1992).
2. 6 Aktor (Elite) dan Konflik dalam Pengelolaan SDA-L Hook (1955) dalam Sztompka (2005) menyatakan bahwa perubahan sosial, termasuk transformasi historis berskala luas adalah prestasi aktor (tokoh) manusia, hasil tindakan mereka. Sejarah adalah dampak upaya manusia, diharapkan atau tidak. Ada tiga tipe aktor individual dalam perubahan sosial, yakni: (1) orang biasa (awam) dalam kehidupan sehari-hari, (2) individu yang karena memiliki kualitas pribadi yang khas, mampu bertindak mewakili orang lain, atas nama mereka atau memanipulasi atau menindas orang lain, meski tanpa seizin mereka, dan ( 3) orang yang menduduki posisi luar biasa karena mendapat hak istimewa tertentu, terlepas dari kualitas pribadi luar biasa yang mereka miliki,
41
dan atau tidak mereka miliki. Tindakan aktor (tokoh) ini berakibat baik atau buruk terhadap penentuan nasib masyarakat atau kelompok masyarakat dan inividu warga masyarakat. Para aktor (tokoh) sosial bukan hanya mengikuti sistem aturan yang rumit dengan cara yang ketat dan mekanis. Dalam banyak kasus, hal ini tidak mungkin karena sistemnya tidak terorganisasi secara baik atau cukup konsisten untuk dibaca secara cepat dan kemudian melaksanakannya. Ada kalanya para aktor akan terus mengikuti tatanan yang berlaku dan selanjutnya mengambil keputusan untuk mengadaptasikannya secara radikal. Mereka juga mungkin bersengketa di antara mereka sendiri mengenai banyak masalah, meningkatkan dan meluaskan pembicaraan mengenai masalah-masalah yang gawat dan mengadakan tekanan supaya diadakan perubahan (Burns 1987). Dalam kajian keseimbangan sosial Pareto (Bottomore 2006) membagi kelas elite (tokoh) menjadi dua kelas, yakni: (1) elite yang memerintah (governing elite), dan (2) elite yang tidak memerintah (non governing elite). Dalam masyarakat terdapat dua lapisan masyarakat, yakni; (1) lapisan yang rendah (non elite), dan (2) lapisan yang tinggi (elite) terdiri dari dua lapisan, yakni; (a) elite yang memerintah, dan (b) elite yang tidak memerintah. Pareto mengamati bahwa lapisan atas masyarakat (elite) secara nominal mencakup kelompok-kelompok tertentu masyarakat, yang tidak selalu terdefinisikan secara tegas, yang disebut aristokrasi (aristokrasi dan plutokrasi militer, religius dan komersial. Mosca (Bottomore 2006) menyatakan bahwa dalam semua masyarakat, dari masyarakat yang paling terbelakang dan hampir tidak pernah menikmati fajar peradaban, hingga ke masyarakat yang paling kuat dan maju –muncul dua kelas manusia—yakni kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas pertama, jumlahnya selalu sedikit, melaksanakan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keistimewaan-keistimewaan yang diberikan oleh kekuasaan, sedangkan kelas kedua, jumlahnya lebih banyak, diperintah dan dikendalikan oleh yang pertama, dengan cara yang kurang lebih legal, diktatorial dan kejam. Elite tidak semata-mata berkuasa dengan menggunakan kekuatan dan penipuan, tetapi dalam satu segi, “mewakili kepentingan dan tujuan kelompok yang berpengaruh dan penting dalam masyarakat.