BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Bali 2.1.1 Asal-usul dan Penyebaran Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Menurut Rollinson (1984) proses domestikasi sapi bali itu terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina. Banteng liar saat ini bisa ditemukan di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga di Malaysia. Di Indonesia saat ini, banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran (Jawa Timur) dan Ujung Kulon (Jawa Barat), serta di beberapa kebun binatang. Adanya banteng liar ini memberikan peluang untuk perbaikan mutu sapi bali atau untuk persilangan dengan jenis sapi lain. Tempat dimulainya domestikasi sapi bali yaitu terjadi di Jawa, diduga asal mula sapi bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi bali di Indonesia (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Saat ini sapi bali tidak hanya ditemukan di wilayah Indonesia saja, tapi telah menyebar ke berbagai negara. Tercatat sapi bali telah dikirim ke Semenanjung Cobourg di Australia Utara di antara tahun 1827 dan 1849. Pernah juga dilakukan ekspor secara reguler sapi bali kastrasi ke Hongkong untuk dipotong. Selain itu, pada masa lalu, sapi bali juga pernah dikirim ke Philipina, Malaysia, Hawai, Texas, USA, New South Wales, dan Australia sebagai ternak percobaan (National Research Council, 1983).
2.1.2 Karakteristik Sapi Bali Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi, di antara individu tersebut. Keragaman pada sapi bali dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau
terlihat secara langsung, seperti tinggi, berat, tekstur dan panjang bulu, warna dan pola warna tubuh, perkembangan tanduk, dan sebagainya (Hardjosubroto, 1994). Sapi bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (Banteng). Warna sapi betina baik muda ataupun dewasa berwarna coklat muda dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan ketika muda yaitu coklat tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (Hardjosubroto dan Astuti, 1993; Batan, 2006).
2.1.3 Desa Petang Kecamatan Petang, Badung Secara umum Kecamatan Petang terdiri dari tujuh desa, yaitu desa Carangsari, Getasan, Pangsan, Petang, Sulangai, Pelaga, dan Belok. Desa Petang berada pada garis Lintang 08°23’30” LS sampai 115°13’08” BT, terletak pada ketinggian 500-700 meter di atas permukaan laut, kurang lebih 32 kilometer sebelah Utara kota Denpasar. Terdapat tujuh dusun di Desa Petang, diantaranya yaitu Dusun Petang Dalem, Petang, Petang Suci, Kerta, Lipah, Munduk Damping, dan Angantiga. Desa Petang berbatasan dengan sungai Penet di sebelah Barat, sebelah Timur sungai Ayung, sebelah Utara Desa Sulangai dan sebelah Selatan Desa Pangsan. Luas keseluruhan Desa Petang 1.325 hektar yang terdiri dari 61,50 hektar berupa areal persawahan, dan 997,17 hektar berupa ladang atau kebun (Data Monografi Desa Petang, 2010) Desa ini menawarkan suasana pedesaan yang masih asri dan asli dengan tanaman hortikulturanya yang meliputi berbagai sayur mayur, buah-buahan dan sawah (Budi, 2008). Penduduk di Desa Petang memelihara sapi bali untuk dijadikan ternak kerja maupun ternak untuk dipotong. Kondisi alam yang mendukung membuat para peternak tidak merasakan adanya kendala untuk memelihara sapi bali. Pakan yang dibutuhkan untuk sapi cukup banyak tersedia, begitu pula dengan area (tempat) untuk mengandangkan sapi juga tersedia.
2.2 Cacing Nematoda yang Menginfeksi Sapi 2.2.1 Toxocara vitulorum Cacing nematoda ini berpledileksi di dalam usus halus sapi. Cacing ini memiliki tiga bibir tanpa papila, melebar pada pangkalnya dan semakin ke ujung menyempit. Cacing jantan panjangnya mencapai 25 cm dengan diameter 5 mm, serta spikulum yang panjangnya 950-1250 mikron. Ujung posteriornya meruncing dan sering disebut berujung paku. Cacing betina panjangnya 30 cm dengan diameter 6 mm. Vulva cacing terletak 1/8 ujung anterior tubuh. Telur cacing berbentuk sub globular, dilapisi oleh albumin, berdinding tebal dan berukuran 75-95 X 60-75 mikron (Soulsby, 1982; Levine, 1990). Telur cacing keluar bersama tinja dan berkembang di tanah. Telur infektif yang mengandung larva stadium kedua yang tidak berselubung ditemukan sekitar hari ke 17. Usaha untuk menimbulkan infeksi buatan pada sapi dewasa atau anak sapi berumur lebih dari satu hari mengalami kegagalan dan rupa-rupanya infeksi terjadi melalui plasenta setelah induk sapi memakan telur infektif. Apabila infeksi tersebut terjadi, anak sapi mulai mengeluarkan telur sekitar 3 minggu sesudah lahir. Telur menetas pada usus induk sapi dan larva pergi ke jaringan lain seperti paru-paru, hati dan ginjal. Beberapa larva menuju plasenta dan menginfeksi anak sapi dalam uterus. Jadi pada sapi dewasa larva mengalami dorman di berbagai organ dan jaringan (Levine, 1990). Warren (1971) di Australia, juga menegaskan bahwa larva Toxocara vitulorum melakukan migrasi melalui air susu, dan sapi terinfeksi dari induk setelah lahir. Infeksi berat akibat Toxocara vitulorum seringkali tidak didukung oleh data penelitian yang kritis, dilaporkan bahwa Toxocara vitulorum bersifat patogen pada sapi di Afrika, Filipina, Sri Lanka dan India. Seringkali udara pernafasan hewan yang terinfeksi berbau butirat. Lee (1959) dalam Soulsby (1982) tidak dapat mengamati perbedaan klinis antara sapi yang sudah terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi. 2.2.2 Haemonchus contortus Haemonchus contortus merupakan cacing lambung yang besar, disebut dengan cacing “barberpole”, cacing lambung berpilin, atau cacing kawat pada ruminansia. Ovarium yang berwarna putih membelit secara spiral mengelilingi usus
yang berwarna merah, menyebabkan cacing betina seperti “barberpole”. Cacing jantan memiliki panjang 10-20 mm dan berdiameter 400 mikron, dengan spikulum yang panjangnya kurang dari 440 mikron dan gubernakulum dengan panjang sekitar 200 mikron. Cacing Betina memiliki panjang 18-20 mm dan berdiameter 500 mikron (Levine, 1990; Bowman, 2003, Love and Hutchinson, 2003). Telur berbentuk lonjong berwarna kekuningan dan mempunyai ukuran 70-80 x 48 mikron serta memiliki dinding tebal (Thienpont et al., 1979). Cacing betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 5.000-10.000 butir telur per harinya di dalam abomasum, yang nantinya telur tersebut akan keluar bersama feces. Di dalam kondisi yang lembab dan suhu yang berkisar antara (24-29°C) telur berkembang menjadi L1 dan L2. Curah hujan merupakan faktor epizootiological paling penting yang mempengaruhi perkembangan dan kelangsungan hidup larva infektif (Onyali et al., 1990). Dalam perkembangan tahap pertama (L1) dan kedua (L2) menuju pendewasaan, larva mamanfaatkan bakteri yang ada di sekitarnya untuk asupan makanannya. Selanjutnya larva tersebut akan mengalami perkembangan menjadi larva infektif (L3). L3 yang bersifat infeksius merayap keatas rerumputan dan dapat menginfeksi hospes apabila hospes memakan rumput yang tercemar oleh L3. Kondisi yang mendukung di dalam tubuh hospes memungkinkan larva akan terus berkembang menjadi L4 dan L5 (dewasa) di dalam abomasum dan menghisap darah (Soulsby, 1982; Levine, 1990). Cacing ini merupakan cacing yang paling patogen diantara nematoda lainnya pada ruminansia. Infeksi berat pada hewan dewasa mengakibatkan hemorrhagi atau edema, pada hewan muda mengakibatkan anemia, hipoproteinemia, emasiasi. Cairan ingesta berwarna coklat kemerahan akibat dari cacing yang melekat pada mukosa dan bebas di dalam rumen. Pengaruh ini muncul pada musim penghujan, sementara pada musim kemarau jika infeksinya berat dapat berakibat kematian ternak (Soulsby, 1982; Love and Hutchinson, 2003). 2.2.3 Oesophagostomum radiatum Cacing ini berpredileksi di dalam colon dan sekum (Love and Hutchinson, 2003). Memiliki capsula buccalis silindris dan sempit. Cacing jantan memiliki panjang 14-17 mm dan berdiameter 300-400 dengan spikulum yang panjangnya 700-
800 mikron, sebuah gubernakulum sekitar 100 mikron dan sebuah telamon. Cacing betina panjangnya 16-22 mm dan berdiameter 300-400 mikron, dengan telur berbentuk elips berukuran 70-76 x 36-40 mikron (Levine, 1990; Subronto, 2007). Telur cacing yang dibebaskan bersama tinja menetas menghasilkan larva dalam 6-7 hari, dan bila termakan larva tersebut melepas selubungnya dan menembus dinding usus hospes pada berbagai tempat, mulai dari pilorus sampai rektum. Larva melanjutkan pertumbuhannya sampai stadium ketiga, masuk kedalam dinding usus halus dan usus besar, di tempat itu mereka menyilih menjadi larva stadium keempat dalam 5-7 hari (Soulsby, 1982; Subronto, 2007). Kemudian larva kembali ke lumen usus 7-14 hari sesudah infeksi. Telur terdapat pada tinja 32-42 hari sesudah infeksi (Levine, 1990). Masalah paling serius akibat infeksi dari Oesophagostomum timbul dari larva yang menembus mukosa usus. Setelah infeksi awal, terbentuk bintil sepanjang usus halus dan besar, nodul kadang berisi nanah, dan bila pecah akan mencemari usus dan peritoneum hingga tidak jarang terjadi pertautan antara usus dengan peritoneum. Cacing dewasa menyebabkan perubahan dinding usus, hemorrhagi serta pembentukan lendir yang berlebihan (Gasbarre et al., 1985; Subronto, 2007). Menurut Bremner and Keith (1970) cacing dewasa menyebabkan perdarahan pada hospes dan terjadinya alergi pada awal infeksi tidak berhubungan dengan proses perdarahan. 2.2.4 Trichuris discolor Cacing jantan panjangnya 45-59 mm, diameter bagian anterior 140 mikron dan bagian posterior 350-550 mikron. Bagian anterior yang ramping adalah dua pertiga panjang tubuh. Spikulumnya 0,85-3,0 mm, dan selubung spikulum ditutupi oleh spina-spina kecil. Cacing betina berwarna oranye-kuning, panjangnya 43-55 mm, berdiameter 130 mikron di anterior, dan 670 mikron di posterior. Bagian anterior yang ramping sekitar tiga perempat panjang tubuh (Levine, 1990). Telur berukuran 60-73 x 25-35 mikron, berbentuk seperti buah lemon dan memiliki kulit tebal berwarna kuning kecoklatan dengan dua sumbat dikedua ujungnya yang transparan (Dunn, 1978). Telur cacing mencapai stadium infektif setelah sekitar 3 minggu di bawah kondisi yang menguntungkan, namun perkembangan dapat jauh lebih lama pada suhu
yang lebih rendah (misalnya 6-20° C). Telur infektif dapat tetap hidup selama beberapa tahun. Hospes terinfeksi karena memakan telur. Perkembangan di dalam tubuh hospes berlangsung di dalam lumen usus, dan masa prepaten adalah 2-3 bulan atau lebih (Soulsby, 1982; Levine, 1990). Pada sapi infeksi secara alami yang mengakibatkan penyakit klinis jarang terjadi. Pada infeksi akut terjadi banyak perdarahan, diare berair yang mengakibatkan berat badan menurun hingga kematian (Soulsby, 1982; Bowman, 2003). 2.2.5 Bonustomum phlebotomum Merupakan cacing kait yang dijumpai di dalam usus halus. Panjang cacing jantan 10-12 mm dan berdiameter sekitar 475 mikron, dengan spikulum filiform yang panjangnya 3,5-4,0 mm. Panjang cacing betina 16-19 mm dan berdiameter 500600 mikron serta memproduksi telur berbentuk elips berukuran 79-117 x 47-70 mikron (Levine, 1990). Siklus hidup Bunostomum phlebotomum bersifat langsung. Infeksi yang terjadi pada hospes terjadi melalui mulut dan kulit oleh larva infektif. Larva ditemukan telah mencapai dermis dalam waktu 30 menit setelah infeksi dan menembus pembuluh darah dan kulit dalam waktu 60 menit. Larva ditemukan di paru-paru di mana ecdysis ketiga berlangsung 10 hari setelah penetrasi kulit (Sprent, 1946). Selanjutnya larva stadium keempat mencapai usus pada hari kesebelas. Telur pertama dibebaskan oleh cacing dewasa pada hari 30-56 setelah infeksi pertama (Soulsby,1982; Subronto, 2007). Cacing dewasa aktif menghisap darah dan dapat menyebabkan anemia. Banyak hewan ternak yang terinfeksi, kekurangan darah, hypoproteinemia, edema, iritasi mukosa intestinum, dan diiukuti diare. Larva yang menembus kulit mungkin dapat menyebabkan beberapa iritasi kulit dan masuknya bakteri patogen. Tidak terjadi anorexia (Soulsby, 1982; Love and Hutchinson, 2003). 2.2.6 Strongyloides papillosus Cacing nematoda ini berpredileksi pada usus halus. Sering juga disebut dengan cacing benang. Cacing betina partenogenik parasitik, panjangnya 3,5-6,0 mm dan berdiameter 50-65 mikron dan menghasilkan telur berbentuk elips, berdinding tipis, telah berembrio saat dikeluarkan dan berukuran 40-64 x 20-42 mikron. Cacing
jantan hidup bebas panjangnya 700-825 mikron, dengan spikulum yang kuat, melengkung dengan panjang sekitar 33 mikron dan gubernakulum yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron (Soulsby, 1982; Levine, 1990; Subronto, 2007). Cacing ini mempunyai fase parasitik maupun fase hidup bebas, dan terdapat dua kemungkinan jalur yang dilalui oleh fase hidup bebas. Cacing betina parasitik menghasilkan telur berembrio atau larva yang keluar bersama tinja. Larva stadium pertama rabditiform dan makan mikroorganisme dalam tinja. Mereka menyilih menjadi larva stadium kedua, juga rabditiform, yang juga makan mikroorganisme dalam tinja. Larva ini menyilih menjadi larva stadium ketiga dalam 2 tipe. Beberapa larva stadium ketiga mempunyai esofagus filariform (silindris). Mereka menginfeksi hospes dengan menembus kulit, atau tertelan. Apabila mereka telah memasuki kulit, mereka pergi ke kapiler dan terbawa oleh darah ke paru-paru, kemudian mereka merusak dinding kapiler, masuk ke dalam saluran udara, dan bermigrasi ke trakhea dan turun ke esofagus menuju usus halus, mereka menyilih menjadi larva stadium ke empat dan menjadi dewasa. Apabila mereka tertelan, tampaknya larva berkembang dalam usus halus tanpa bermigrasi. Ini disebut siklus hidup tipe homogonik (Levine, 1990; Bowman, 2003). Beberapa larva stadium ketiga mempunyai esofagus rabditiform. Larva ini melalui siklus hidup yang disebut heterogenik. Mereka makan dan menyilih menjadi stadium ke empat (yang juga rabditiform). Larva ini makan dan kemudian menyilih menjadi cacing jantan dan betina dewasa yang hidup bebas (Dunn, 1978). Setelah kawin, cacing betina meletakkan telur yang menghasilkan larva rabditiform stadium pertama. Larva ini makan dan menyilih menjadi larva rabditiform stadium kedua, yang makan dan menyilih menjadi larva stadium ketiga filariform, yang menginfeksi hospes seperti tersebut di atas (Levine, 1990). Infeksi prenatal dapat terjadi apabila induk tertular pada waktu bunting. Larva juga dapat ditularkan melalui susu atau kolostrum. Dibutuhkan waktu kurang dari 2 hari oleh larva infektif untuk berkembang di bawah kondisi optimum di dalam siklus hidup homogenik, dan kemungkinan dibutuhkan satu hari lebih lama pada siklus hidup heterogenik. Masa prepaten berlangsung 2 hari sampai 2 minggu atau lebih, tergantung dari jenis cacingnya (Levine, 1990).
Sapi terinfeksi melalui makanan atau minuman yang tercemar ataupun melalui penetrasi kulit (dalam kondisi basah) (Love and Hutchinson, 2003). Infeksi berat menyebabkan atrofi vili, dengan hilangnya protein plasma dan penurunan aktivitas beberapa enzim (alkali fosfatase, laktase, saccharase dan maltase). Gejala klinis pada sapi muda yang masih menyusu, ditandai dengan anoreksia, kehilangan berat badan, diare, dehidrasi, anemia. Infeksi berat dapat berakibat fatal (Noble and Noble, 1989; Levine, 1990). 2.2.7 Trichostrongylus axei Cacing ini sering disebut dengan “cacing rambut”, terdapat pada abomasum dan kadang-kadang pada usus halus sapi. Cacing jantan panjangnya 2-6 mm dan diameter 50-60 mikron, dengan spikulum coklat tua, dan tidak sama besar, yang sebelah kiri 96-123 mikron dan sebelah kanan 74-96 mikron; gubernakulum panjangnya 52-61 mikron. Cacing betina mempunyai panjang 3-8 mm dan berdiameter 55-70 mikron, dengan telur berbentuk elips dan berukuran 75-107 x 3047 mikron (Levine, 1990). Larva stadium pertama hidup dari mikroorganisme dalam tinja, menyilih menjadi larva stadium dua yang juga hidup dari mikroorganisme dalam tinja, dan kemudian menjadi larva stadium ketiga yang terselubung di dalam kulit larva stadium kedua dan tidak makan. Larva stadium ketiga berpindah menuju tumbuhan, dan mereka dapat tertelan oleh hospes ketika merumput. Kemudian di dalam saluran gastrointestinal mereka melepaskan selubungnya dan menyilih menjadi larva stadium keempat dan kemudian mencapai dewasa, selamanya tinggal di dalam lumen atau hanya sebentar terdapat pada mukosa (Levine, 1990). Periode prepaten sekitar 20 sampai 25 hari (Australia Merial, 2010). Cacing Trichostrongylus axei menginfeksi usus halus dan dapat meninggalkan nodul dan edema. Apabila hal ini dibiarkan maka akan terjadi penurunan produktivitas hewan, menurunnya berat badan dan mencret hijau (Dunn, 1978). Pada infeksi berat, agregasi dari cacing terutama terjadi di fundus, dengan hiperemi lokal berkembang menjadi peradangan catarrhal dengan mengangkat plak putih melingkar (Love and Hutchinson, 2003).
2.2.8 Cooperia punctata Cacing ini lebih umum terdapat pada usus halus sapi. Ujung kepala larva berbentuk bantalan kerucut dan ujung ekor berbentuk seperti sendok (Jeya and Sathianesan, 2007). Cacing jantan panjangnya 4-6 mm dengan spikulum 120-150 mikron. Betinanya 5-8 mm dengan telur 67-85 x 29-38 mikron (Levine, 1990). Larva stadium pertama dan kedua memanfaatkan mikroorganisme dalam tinja untuk bertahan hidup. Kemudian menyilih menjadi larva stadium tiga (larva infektif) yang masih berselubung. Jika larva infektif termakan oleh hospes, maka mereka melepaskan selubungnya dan menyilih menjadi larva stadium keempat dan dewasa. Mereka tinggal di dalam lumen usus (Levine, 1990). Sapi terinfeksi cacing ini melalui makanan atau minuman yang tercemar. Infeksi cacing ini mengakibatkan diare, dehidrasi dan kehilangan berat badan (Soulsby, 1982; Levine, 1990). 2.2.9 Nematodirus filicollis Cacing nematoda ini berpredileksi pada usus halus. Cacing jantan berukuran 10-15 mm dengan spikulum 680-950 mikron. Cacing betina 15-20 mm dengan telur berbentuk oval dan berukuran sekitar 130-200 x 70-110 mikron (Levine, 1990). Dua larva pertama menyilih di dalam telur. Telur keluar bersama tinja 4-8 sel. Telur ini berkembang lebih lambat, membutuhkan 6 hari sampai 4 minggu atau lebih untuk mencapai stadium infektif. Larva stadium ketiga dapat tinggal di dalam telur dalam waktu yang lama sebelum menetas, dan melampaui musim dingin. Larva keluar dari selubungnya dan biasanya menetap pada lumen paramukosa usus halus ketika menyilih menjadi larva stadium keempat dan kemudian menjadi stadium dewasa. Masa prepaten 15-28 hari atau lebih, sebagian tergantung dari jenisnya (Levine, 1990). Ternak dewasa lebih peka terinfeksi cacing ini. Infeksi berat mengakibatkan kehilangan nafsu makan, gejala intestinal, diare dan dehidrasi (Soulsby, 1982; Levine, 1990).
2.3 Diagnosa Penyakit ini didiagnosis berdasarkan gejala klinis yang ada yaitu dengan pemeriksaan feces untuk menemukan telur cacing disamping identifikasi larva untuk memastikan spesies cacing (Soulsby, 1982)
2.4 Infeksi Cacing Nematoda pada Sapi Cacingan (nematodiasis) pada ternak ruminansia merupakan salah satu masalah cukup penting di Indonesia, karena penyakit tersebut dapat menurunkan pertumbuhan ternak bahkan pada serangan yang berat dapat mematikan (Soulsby, 1982; Levine, 1990). Sebuah penelitian di Tanzania mendapatkan prevalensi Oesophagostomum radiatum pada sapi sebesar 72,9%, Bunostomum phlebotomum 5,6%, Cooperia punctata 44,4% (Keyyu et al., 2003). Di Kenya dilaporkan prevalensi cacing Strongyloides papillosus sebesar 3,6%, trichostrongylus axei 24,3%, Cooperia punctata 41,7%, Oesophagostomum radiatum 38,4%, Trichostrongylus axei 24,3% (Waruiru et al., 1998). Marie et al. (2001), melaporkan di Burkina Faso (Afrika Barat) prevalensi cacing Cooperia sp sebesar 89,4%, Haemonchus contortus 66% dan Oesophagostomum radiatum 42,6%. Di Alberta (Northwestern) dilaporkan prevalensi Nematodirus sp sebesar 50% (Dies et al., 2001). Chavhan et al. (2008) juga melaporkan dari Nagpur (India), prevalensi Haemonchus sp sebesar 38,01%, Trichuris sp 14,87%, Strongyloides sp 11,98%.