BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Unsur Timbal dalam Peleburan Tembaga
Timbal (Pb) merupakan unsur pengotor minor yang dihindari masuk ke dalam fasa matte dan tembaga blister seperti halnya antimon (Sb), bismut (Bi), selenium (Se) dan telurium (Te). Menurut Gumowska dan Sedzimir(7), kehadiran timbal merugikan karena pada proses electrorefining unsur ini dapat membentuk lapisan pasif PbO dan PbSO4 pada permukaan anoda. Kehadiran senyawa oksida ini yang telah dideteksi dengan difraksi sinar-x mengindikasikan bahwa reaksi electrorefining tembaga dengan elektrolit asam sulfat akan berjalan dengan lambat. Tembaga anoda dengan kandungan timbal rendah (0,001%) lebih tahan terhadap pasivasi dibandingkan dengan anoda dengan kandungan timbal yang lebih tinggi. Menurut Biswas(2), kehadiran unsur-unsur pengotor minor dapat menyebabkan anoda tembaga menjadi getas.
Untuk itu, timbal dan unsur-unsur minor lainnya dihilangkan dari tembaga blister dengan proses pengikatan dalam terak dan pembentukan uap.
Proses pengolahan tembaga dilakukan secara bertahap. Pembuatan matte, tembaga blister, dan tembaga anoda dilakukan secara terpisah. Operasi seperti ini lebih fleksibel dalam penghilangan unsur minor karena parameter operasi dapat diatur pada tiap tahap.
Distribusi unsur-unsur minor di dalam lelehan matte dan tembaga blister, terak, serta gas buangan dipengaruhi oleh :
Bab II – Tinjauan Pustaka
5
• metode pengumpanan • temperatur operasi • komposisi terak • kandungan tembaga dalam matte (matte grade)
Dalam studi termodinamika, koefisien distribusi dipakai untuk menunjukkan kapasitas pemisahan unsur minor ke dalam terak. Kandungan Cu yang lebih tinggi (dalam matte maupun tembaga blister) efektif untuk pemisahan Zn, Pb, dan Sb ke dalam terak.
Untuk mencapai level unsur minor yang diinginkan dalam anoda, beberapa langkah berikut dimanfaatkan pada proses Mitsubishi : a) Jika penghilangan unsur minor ke dalam terak buangan (discard slag) cukup tinggi, semua debu (dust) didaur ulang ke sistem. b) Seluruh atau sebagian debu diperlakukan secara terpisah. c) Tekanan parsial oksigen disesuaikan untuk meningkatkan distribusi unsur minor dalam fasa terak atau gas. d) Penghilangan unsur minor dari tembaga blister dilakukan di holding furnace atau di tanur anoda dengan menambahkan silika, natrium karbonat (soda ash, Na2CO3), dan reagen lain. Pada kondisi konsentrat yang normal dengan kadar Pb di bawah 4.600 ppm di dalam tanur anoda cukup ditambahkan silika, SiO2 sekitar 200 kg untuk menjaga kandungan Pb tetap pada daerah yang aman dan memungkinkan supaya tembaga anoda dari tanur anoda dapat diproses pada proses electrorefining. Tetapi apabila kadar Pb berada di atas ambang batas, maka silika yang ditambahkan akan semakin banyak pula.
2.2
Pemurnian Oksidasi(5,16)
Pada tahap oksidasi proses pemurnian oksidasi (fire refining), udara dihembuskan ke lelehan tembaga untuk menghilangkan pengotor secara selektif melalui
Bab II – Tinjauan Pustaka
6
oksidasi dan pengikatan dalam terak (slagging). Unsur-unsur pengotor yang dihilangkan dengan cara ini antara lain Fe, Pb, Zn, Si, Al, Mg sedangkan unsurunsur seperti S serta sebagian Pb, Zn, dan Cd dieliminasi ke fasa gas.
Oksidasi unsur-unsur di dalam lelehan dapat terjadi karena didukung oleh reaksi O2 (g) → 2[O]
(2.1)
Sedangkan reaksi penterakan pengotor dapat dituliskan sebagai berikut, [M] + n[O] → (MOn)
(2.2)
M adalah unsur pengotor yang masuk ke fasa terak dan 2n adalah valensi unsur M pada oksida yang terbentuk dalam terak.
Reaksi kesetimbangan antara lelehan logam dan terak yang melibatkan unsur tembaga dan senyawa oksidanya dapat dituliskan sebagai berikut, [M] + n(Cu2O) → (MOn) + 2n[Cu]
(2.3)
Aspek termodinamika dari penghilangan pengotor dapat dipelajari melalui tetapan kesetimbangan reaksi 2.3 yang dapat digunakan untuk mendefinisikan nilai koefisien distribusi unsur M, LM, yaitu perbandingan kesetimbangan antara persen berat M dalam terak dan persen berat M dalam lelehan tembaga. Parameter lain adalah kandungan akhir pengotor dalam logam utama dan hubungannya dengan eliminasi total yang meliputi pengikatan dalam terak dan pembentukan uap (volatilization).
Kemungkinan pencapaian proses penghilangan pengotor dengan hasil yang memuaskan berbanding lurus dengan nilai koefisien distribusi. Dengan variabel tetapan kesetimbangan reaksi 2.3, K=
Bab II – Tinjauan Pustaka
2n a MOn ⋅ a Cu
a M ⋅ a nCu 2 O
(2.4)
7
Digunakan asumsi bahwa lelehan merupakan tembaga murni ( a Cu = 1 ).
K=
•
N MOn =
•
NM =
γ MOn ⋅ N MOn n γ ⋅ N M ⋅ a Cu 2O 0 M
(2.5)
( %M ) mol MO n mol M = = mol terak mol terak Ar M ⋅ n T (s)
[ %M ] mol M = mol Cu Ar M ⋅ n T (Cu)
Keterangan : n T (s)
= jumlah mol total dalam 100 gram terak
n T (Cu) = jumlah mol total dalam 100 gram lelehan tembaga Ar M = massa atom relatif unsur M Besaran ( %M ) dan [ %M ] menunjukkan kandungan pengotor dalam terak dan tembaga blister. Besaran lain seperti koefisien aktivitas pada pengenceran tak hingga untuk logam M dan koefisien aktivitas Cu2O dalam terak telah dikenal.
⇔K=
γ MOn ⋅ ( %M )
γ ⋅ [ %M ] ⋅ a 0 M
n T (Cu)
n Cu 2 O
0 n %M ) K ⋅ γ M ⋅ a Cu O ( ⇔ = γ MO [ %M ] 2
n
n T (s) n T (s) n T (Cu)
Penelitian Yanagida, dkk. pada proses Mitsubishi dan Pierce-Smith Converter(19) mengasumsikan bahwa nilai n T (s) konstan sedangkan n T (Cu) (serupa dengan n T (M) ) dapat dianggap bergantung kepada konsentrasi tembaga di dalam lelehan. Dari data operasi tanur konversi di Naoshima diperoleh persamaan n T (M) = 1, 202 − 0, 0072M
Bab II – Tinjauan Pustaka
(2.6)
8
M adalah matte grade (%) dan n T (M) adalah jumlah mol total dalam 100 gram
matte.
Dengan menganggap bahwa konsentrasi tembaga di dalam lelehan cenderung tetap, maka jumlah mol total dalam 100 gram lelehan tembaga, n T (Cu) juga tetap (seperti halnya dengan n T (M) ).
Sehingga koefisien distribusi kesetimbangan dapat dituliskan sebagai berikut, terak / Cu M
L
* 0 n %M ) K ⋅ γ M ⋅ a Cu O ( = = γ MO [%M ]
(2.7)
2
n
dengan K* = K ⋅
n T (s) n T (Cu)
K dapat dihitung dari persamaan
K=e
−∆G 0T RT
(2.8)
L dapat dianggap sebagai perbandingan langsung tetapan kesetimbangan. Dengan demikian koefisien distribusi akan dominan bergantung pada dua variabel berikut: a) Derajat oksidasi sistem, diketahui dari kandungan oksigen dalam logam, %O atau dari tekanan oksigen kesetimbangan p O2 , yang prinsipnya harus sebesar mungkin untuk memaksimalkan LM. Namun dalam praktiknya akan dicapai nilai optimum karena nilai koefisien distribusi akan menurun kembali akibat pengenceran bahan imbuh ditambah kelebihan tembaga oksida di dalam terak. b) Koefisien aktivitas oksida pengotor MOn dalam terak,
γ MOn
yang
dikendalikan oleh komposisi kimia terak dan seharusnya serendah mungkin untuk mencapai nilai LM yang besar. Kedua variabel tersebut penting karena dapat diatur. Koefisien aktivitas oksida dikendalikan melalui pemilihan bahan imbuh –yang menyebabkan oksida pengotor masuk fasa terak– dengan penambahan secara proporsional. Kandungan
Bab II – Tinjauan Pustaka
9
oksigen diatur melalui udara yang dihembuskan ke lelehan pada laju dan selang waktu cukup untuk mencapai nilai optimum yang secara umum berada pada selang 6.000-9.000 ppm oksigen. Beberapa variabel bergantung pada temperatur, khususnya tetapan kesetimbangan tetapi dalam proses pemurnian oksidasi temperatur biasanya relatif konstan, diatur pada selang 1.100-1.230°C.
2.3
Termodinamika Terak(3,4)
Konsep termodinamika terak dapat didasarkan pada teori molekul dan teori ion terak. Kedua teori ini digunakan untuk menjelaskan reaksi-reaksi yang terjadi antara logam dengan terak dan reaksi-reaksi yang terjadi di dalam terak.
2.3.1 Teori molekul terak Cairan terak diasumsikan sebagai larutan molekul-molekul oksida sederhana misalnya CaO, MgO, FeO, SiO2, P2O5, serta molekul-molekul kompleks yang terbentuk sebagai hasil reaksi kimia antarmolekul sederhana misalnya 2CaO.SiO2, 2FeO.SiO2, 2CaO.Fe2O3. Distribusi suatu unsur antara terak dan logam tergantung pada kesetimbangan termodinamika yang melibatkan fasa logam dan fasa terak, serta aktivitas unsur tersebut di dalam fasa logam dan aktivitasnya dalam bentuk senyawa di dalam fasa terak. Contoh jika silikon dalam logam dioksidasi menjadi SiO2, reaksi yang terjadi adalah [Si] + 2[O] → (SiO2)
(2.9)
Distribusi silikon antara logam dan terak akan bergantung pada aktivitas silikon dan oksigen dalam fasa logam dan aktivitas silika dalam fasa terak yang mengikuti tetapan kesetimbangan, K=
Bab II – Tinjauan Pustaka
a SiO2 [h Si ][h O ]2
(2.10)
10
Pada awal masa pengembangan teori molekul terak, molekul kompleks seperti 3CaO.P2O5, 4CaO.P2O5, CaO.SiO2, dan 2CaO.SiO2 diasumsikan tidak terdisosiasi dan nonreaktif. Diasumsikan bahwa hanya oksida basa seperti CaO dan MgO, terdapat dalam jumlah berlebih dibanding yang dibutuhkan –untuk membentuk molekul kompleks– yang akan ikut bereaksi dalam reaksi-reaksi logam-terak. Hal ini akan mengakibatkan bahwa terak yang hanya mengandung senyawa murni 2CaO.SiO2 tidak dapat mempengaruhi reaksi pemurnian, sedangkan pada kenyataannya hal itu tidak benar. Sebagai perbaikan terhadap teori tersebut, diintroduksikan pengertian tentang disosiasi parsial molekul-molekul kompleks, 2CaO.SiO2 → 2CaO + SiO2
(2.11)
Oksida-oksida di dalam terak diklasifikasikan menjadi oksida asam, oksida basa, dan oksida amfoter berdasarkan interaksinya dengan ion O2-. Kesetimbangan antara senyawa asam dan basa ditunjukkan oleh reaksi berikut, basa → asam + O2•
(2.12)
Oksida asam adalah senyawa oksida yang mampu mengikat beberapa ion O2-, membentuk kompleks. Contoh : SiO2, P2O5, dan SO2. SiO2 + 2O2- → SiO44-
•
(2.13)
Oksida basa adalah sumber (yang dapat memberikan) ion O2-. Contoh : CaO, MnO, dan Na2O. CaO → Ca2+ + O2-
•
(2.14)
Oksida-oksida amfoter berperilaku sebagai basa dalam suasana asam dan berperilaku sebagai asam dalam suasana basa. Suasana basa, Al2O3 + O2- → 2AlO2- atau Al2O42-
(2.15)
Al2O3 → 2Al3+ + 3O2-
(2.16)
Suasana asam,
Urutan sifat keasaman/kebasaan senyawa-senyawa oksida ditunjukkan pada tabel berikut.
Bab II – Tinjauan Pustaka
11
Tabel 2.1 Urutan Sifat Asam Basa Senyawa-senyawa Oksida(9)
Asam N2O5 SO3 P 2 O5 SO2 P 2 O3 N2O3 CO2 As2O5 B2O3 As2O3 V2O5 SiO2 Sb2O5
V2 O3 Sb2O3 TiO2 SnO2 Bi2O5 SnO ZrO2 H2 O ZnO Bi2O3 PbO Fe2O3 Co2O3 Cr2O3
Al2O3 CuO FeO CoO NiO MnO CdO BeO MgO CaO BaO Li2O Na2O K2 O Basa
Salah satu hubungan empiris yang didasarkan atas teori molekul terak yang sering digunakan adalah besaran kebasaan yang didefinisikan sebagai
%CaO %SiO 2
(2.17)
Bentuk-bentuk modifikasi dari persamaan di atas juga digunakan. Misalnya,
%CaO %SiO 2 + %Al2 O3 + %P2 O5
(2.18)
Atau dengan persamaan umum, ∑ %berat oksida basa ∑ %berat oksida asam
Bab II – Tinjauan Pustaka
(2.19)
12
Terak netral adalah terak yang mengandung cukup ion O2- untuk menjamin setiap tetrahedron oksida asam, bebas terhadap yang lain. Contohnya pada sistem biner CaO-SiO2, netralitas dicapai pada komposisi 2CaO.SiO2 (terak mengandung 33,3%-mol SiO2). Bila SiO2 < 33,3%, terak bersifat basa dan bila sebaliknya terak bersifat asam.
2.3.2 Teori ion terak Berdasarkan teori ion terak, oksida-oksida semacam MgO, CaO, dan FeO terdisosiasi secara sempurna (sifat ion ideal) dan menyumbangkan ion oksigen. MgO → Mg2+ + O2-
(2.20)
CaO → Ca2+ + O2-
(2.21)
FeO → Fe2+ + O2-
(2.22)
Ion oksigen pada gilirannya akan memecah jaringan struktur SiO2 Si2O76- + O2- → 2SiO44-
(2.23)
atau molekul tunggal silika ditransformasikan menjadi ion SiO44- oleh dua ion oksigen, SiO2 + 2O2- → SiO44Serupa dengan ion
SiO44-,
ion
PO43-
dan
AlO33-
(2.24)
juga terbentuk di dalam terak
basa. P2O5 + 3O2- → 2PO43-
(2.25)
Al2O3 + 3O2- → 2AlO33-
(2.26)
Berdasarkan teori di atas telah diperkenalkan cara penentuan besaran-besaran termodinamika terak yang dikembangkan oleh Temkin, Flood, dan Masson seperti diuraikan berikut.
1. Teori Temkin Teori Temkin menguraikan bahwa terak merupakan larutan yang terdisosiasi secara sempurna menjadi ion-ion tanpa interaksi antarion bermuatan sama.
Bab II – Tinjauan Pustaka
13
Ion-ion tersebut terdapat dalam keadaan acak. Larutan garam atau oksida kemudian dapat diasumsikan terbentuk dari dua larutan ideal : kation, i+ dan anion, j-.
Berdasarkan teori ini, aktivitas garam atau oksida ij pada berapapun fraksi mol komponen ij di dalam larutan, dinyatakan sebagai, a ij = N i+ ⋅ N j−
a i+ = N i + =
n i+ ∑ n i+
(2.27)
dan a j− = N j− =
n j− ∑ n j−
2. Teori Flood Teori yang dikemukakan oleh Flood, Forland, dan Grjotheim ini sebagian didasarkan pada teori Temkin dan mempertimbangkan kesetimbangan antara unsur yang terlarut dalam fasa logam dan senyawa atau ionnya dalam fasa terak. Contoh kesetimbangan belerang-oksigen antara logam dan terak, [S] + (O 2 − ) (S2− ) + [O]
(2.28)
Tetapan kesetimbangan reaksi di atas ditunjukkan oleh persamaan, K=
a [O] ⋅ a (S2− )
(2.29)
a [S] ⋅ a (O2− )
Sesuai dengan teori Temkin, aktivitas anion S2- dan O2- sama dengan fraksi anion masing-masing, N (S2− ) dan N (O2− ) sehingga tetapan kesetimbangan menjadi, K=
dengan
Bab II – Tinjauan Pustaka
[%O] ⋅ f[O] ⋅ N (S2− )
K'=
[%S] ⋅ f[S] ⋅ N (O2− ) [%O] ⋅ N (S2− ) [%S] ⋅ N (O2− )
= K '⋅ g(f )
dan g(f ) =
(2.30)
f[O] f[S]
14
Tetapan kesetimbangan K’ sama dengan K jika mengikuti hukum Henry (rasio koefisien aktivitas f[O] dan f[S] yang disimbolkan dengan g(f) sama dengan satu).
3. Teori Masson Teori ini dapat digunakan untuk menghitung aktivitas oksida basa di dalam terak silikat. Menurut Masson, terak adalah larutan kompleks yang mengandung anion polimer silikat. Derajat polimerisasi dikendalikan oleh sifat dan jumlah oksida basa dalam terak. Terak yang sangat basa akan mengandung silika terutama sebagai SiO 4 4 − . Terak yang lebih asam akan 2(n +1) mengandung ion SiO 4 4 − , Si 2 O 7 6 − , Si3O108− , ..., Si n O3n yang masing+1
masing berada dalam kesetimbangan dengan yang lain.
Reaksi-reaksi kesetimbangannya dapat dituliskan sebagai berikut, SiO 4 4− + SiO 4 4− Si 2 O 7 6 − + O 2−
(2.31)
Si 2 O 7 6 − + SiO 4 4 − Si 3O108− + O 2−
(2.32)
Si3O108− + SiO 4 4− Si 4 O1310 − + O 2 −
(2.33)
Teori Masson menjabarkan hubungan antara fraksi mol silika, N SiO2 (yang dapat diketahui dari analisis kimia) dengan N O2− pada persamaan,
N O2− k ( k − 1) + NSiO2 = 1 3 − k + 1 − N O 2− N O 2− 1 − N O 2 − + k
(
)
(2.34)
Besaran k adalah tetapan kesetimbangan reaksi antarion-ion silikat.
Fraksi anion direpresentasikan oleh N O2− yang dapat dihitung dari persamaan di atas jika nilai k diketahui. Dengan bantuan persamaan dari teori Temkin
(N
O2−
)
= a MO N M 2+ , aktivitas dari oksida basa MO dapat ditentukan.
Bab II – Tinjauan Pustaka
15
Nilai yang dihitung untuk aktivitas sejumlah oksida basa (CaO, FeO, MnO, dan lain-lain) di dalam terak silikat, menggunakan metode ini, dapat diterima sesuai hasil percobaan. Namun teori tidak sesuai dengan seluruh sistem terak.
Teori Masson hanya berlaku untuk polimer silikat rantai lurus, tidak untuk rantai bercabang dan rantai siklik.
Teori-teori ion terak yang dikemukakan di atas mengasumsikan perilaku ideal anion dan kation secara terpisah yang tidak begitu merepresentasikan struktur pada keadaan nyata.
2.4
Neraca Massa Unsur Pengotor(5)
[ %M ]Cu ⋅ m Cu = [ %M ]Cu ⋅ m Cu + ( %M )terak ⋅ m terak i
⇔ [ %M ]Cu = [ %M ]Cu + ( %M ) terak i
f
f
(2.35)
m terak m Cu
⇔ [ %M ]Cu = [ %M ]Cu + ( %M ) terak ⋅ r i
f
[ %M ]Cu ⇔ f [ %M ]Cu
= 1+
[ %M ]Cu ⇔ f [ %M ]Cu
/ Cu = 1 + Lterak ⋅r M
i
( %M )terak ⋅r f [ %M ]Cu
i
[ %M ]Cu i
⇔ [ %M ]Cu = f
1 + r ⋅ LM
Keterangan :
[ %M ]Cu ; [ %M ]Cu = i
f
persentase berat unsur pengotor M dalam tembaga pada tahap awal; pada tahap akhir
m terak ; m Cu
= berat terak; berat tembaga blister
r
= rasio berat terak dan berat tembaga blister
Bab II – Tinjauan Pustaka
16
( %M )terak
= persentase berat M dalam terak
Diasumsikan pada akhir penghembusan tembaga, tembaga blister berada pada kesetimbangan dengan terak, [ %M ]Cu = 0,5% . i
Misalkan terak memiliki berat 2% dari tembaga blister, maka r = 0,02. Jika L M = 10, maka [ %M ]Cu = 0, 42% f
Jika L M = 100, maka [ %M ]Cu = 0,17% f
Untuk meningkatkan nilai L, dipilih bahan imbuh dengan interaksi kimia yang kuat dengan oksida pengotor.
2.5
Interaksi Elektrostatik Unsur As, Sb, dan Pb(5)
Unsur As dan Sb memiliki koefisien aktivitas yang sangat rendah pada pengenceran tak hingga di dalam tembaga, menyebabkan kecenderungan kuat untuk tertahan di dalam lelehan tembaga. Koefisien distribusi kedua unsur ini bernilai kecil. Untuk As dan Sb, terak basa menurunkan koefisien keaktifannya di dalam terak, mengizinkan peningkatan koefisien distribusi dan meningkatkan distribusi pengotor ke dalam terak.
PbO adalah senyawa basa dan berinteraksi sangat kuat dengan silika di dalam terak asam yang jenuh silika. Hal ini memungkinkan untuk mengeliminasi timbal dengan penambahan bahan imbuh silika dan memasukkan timbal oksida ke dalam fasa terak.
2.6
Aspek Kinetika Proses Deleading(4)
Kinetika proses deleading dapat dianalogikan dengan kinetika proses pengikatan pengotor dalam terak pada pembuatan baja. Proses di dalamnya melibatkan reaksi simultan komponen-komponen pada antarmuka berbagai fasa pada temperatur tinggi.
Bab II – Tinjauan Pustaka
17
Pengetahuan mengenai laju reaksi atau kinetika dibutuhkan untuk memprediksi perubahan yang terjadi dalam proses yang lebih khusus sebagai fungsi dari waktu hingga proses tersebut mencapai kesetimbangan.
Laju keseluruhan dari reaksi bergantung pada sifat masing-masing fasa yang terlibat di dalam reaksi serta tahapan kinetika yang berjalan dari keadaan awal hingga akhir. Pada prinsipnya sebuah reaksi yang melibatkan lebih dari dua fasa adalah kombinasi dua reaksi terpisah yang melibatkan dua fasa sekaligus.
Reaksi oksidasi timbal oleh gas oksigen di dalam sistem tiga fasa gas-logam-terak [Pb] + ½(O2)g → (PbO)
(2.36)
terdiri dari : 1). reaksi gas-logam : pelarutan oksigen di dalam lelehan tembaga, (O2)g → 2[O]
(2.37)
Oksigen terlarut dituliskan sebagai [O]. 2). reaksi logam-terak : pembentukan senyawa PbO yang merupakan reaksi antara timbal dan oksigen terlarut, [Pb] + [O] → (PbO)
(2.38)
Seperti halnya silikon dan mangan dalam pemurnian besi-baja, timbal dapat juga teroksidasi pada antarmuka logam-terak(4) menurut reaksi, [Pb] + (Cu2O) → (PbO) + 2[Cu]
(2.39)
Secara khusus, reaksi oksidasi unsur timbal di dalam pemurnian tembaga dapat dianalogikan dengan reaksi oksidasi mangan di dalam pemurnian baja. Pada proses pemurnian tembaga, oksidasi unsur timbal –yang terlarut di dalam lelehan– dengan atom oksigen hanya terjadi pada awal proses penghembusan udara ketika konsentrasi timbal di dalam lelehan masih relatif tinggi dan temperatur lelehan rendah. Selama pemurnian, reaksi oksidasi timbal yang dominan adalah reaksi yang melibatkan logam utama dan oksida logam utama (Cu dan Cu2O) yang terjadi pada antarmuka logam-terak.
Bab II – Tinjauan Pustaka
18
antarmuka logam-terak
terak
(PbO) [Pb]
O2
tembaga [O] antarmuka gas-logam
Gambar 2.1 Skema Tanur Anoda selama Proses Deleading
antarmuka gas-logam
antarmuka logam-terak
O2
[O]
[O]
[Pb]
[Pb]
(PbO)
[Cu]
[Cu]
(Cu2O)
Gambar 2.2 Antarmuka Antara Dua Fasa
Bab II – Tinjauan Pustaka
19
Tahap-tahap yang terjadi selama proses deleading berlangsung adalah : 1). pelarutan molekul oksigen dari fasa gas hingga terdisosiasi menjadi atomatomnya di dalam lelehan tembaga yang dapat diuraikan lagi menjadi beberapa tahap yaitu : a. difusi (transfer massa) molekul oksigen melalui fasa gas menuju antarmuka gas-logam, b. reaksi kimia penguraian oksigen menjadi atom-atomnya pada antarmuka gas-logam, c. difusi atom oksigen meninggalkan antarmuka gas-logam menuju fasa logam, 2). reaksi oksidasi unsur timbal dengan atom oksigen pada antarmuka gas-logam selama awal proses penghembusan udara, 3). difusi produk PbO dari antarmuka gas-logam menuju fasa logam, 4). difusi PbO dari fasa logam menuju antarmuka logam-terak, 5). difusi PbO dari antarmuka logam-terak menuju fasa terak, 6). difusi timbal dari fasa logam menuju antarmuka logam-terak, 7). difusi atom oksigen dari fasa logam menuju antarmuka logam-terak, 8). reaksi kimia timbal dengan atom oksigen pada antarmuka logam-terak, 9). difusi Cu2O dari fasa terak menuju antarmuka logam-terak, 10). reaksi kimia timbal dan Cu2O membentuk PbO dan Cu pada antarmuka logam-terak, dan 11). difusi produk Cu dari antarmuka logam-terak menuju fasa logam.
Tiap tahap di atas dikenal sebagai tahap kinetika. Tahap kinetika yang paling lambat akan mengendalikan laju dari proses keseluruhan sehingga dinamakan tahap pengendali laju.
Pada berbagai kasus diamati bahwa suatu proses dikendalikan oleh reaksi kimia pada temperatur rendah sedangkan pada temperatur tinggi tahap yang paling lambat –sebagai pengendali proses– adalah tahap difusi(8).
Bab II – Tinjauan Pustaka
20
Hal ini disebabkan karena reaksi kimia sangat dipengaruhi oleh perubahan temperatur sedangkan difusi tidak begitu terpengaruh.
Koefisien difusi merupakan fungsi linier dari temperatur, D = b+
kT (persamaan Stokes-Einstein) 6π r η
dengan D = koefisien difusi,
b = tetapan (bergantung jenis partikel),
k = tetapan Boltzmann,
T = temperatur mutlak,
r = jari-jari partikel, dan
η = viskositas fluida.
Sedangkan tetapan laju reaksi kimia bergantung kepada temperatur secara eksponensial,
k = Ae dengan k
− Ea
RT
= tetapan laju reaksi,
Ea = energi aktivasi, dan
(persamaan Arrhenius) A = tetapan Arrhenius, R = tetapan gas.
Dengan kata lain, jika temperatur dinaikkan sebesar dua kali, laju difusi akan meningkat kira-kira sebanyak dua kali sedangkan laju reaksi meningkat jauh lebih besar karena peningkatan temperatur selain meningkatkan konstanta laju, juga menurunkan energi aktivasi reaksi kimia.
Secara umum, proses yang dikendalikan oleh difusi memiliki nilai energi aktivasi pada kisaran 1 hingga 3 kkal/mol sedangkan jika reaksi kimia menjadi pengendali, energi aktivasi biasanya lebih besar dari 10 kkal/mol. Proses yang dikendalikan oleh difusi sekaligus reaksi kimia memiliki nilai energi aktivasi pada rentang 5-8 kkal/mol.
Karena keterbatasan data penelitian maka hanya dapat disimpulkan bahwa pengendali proses deleading adalah tahap difusi. Namun dari kenyataan bahwa konsentrasi timbal di dalam lelehan tembaga cukup kecil (±7200 ppm) dan juga dari analogi oksidasi silikon di dalam baja(4) maka dapat diperkirakan bahwa
Bab II – Tinjauan Pustaka
21
pengendali proses deleading adalah difusi unsur timbal dari fasa logam menuju antarmuka logam-terak.
Bab II – Tinjauan Pustaka
22