BAB II Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana Tindak Pidana dalam bahasa Belanda straafbaarfeit, terdapat dua unsur pembentuk kata yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedangkan straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum (Evi Hartanti, 2012: 5). Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan terjemahan dari istilah Strafbaar feit. Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan strafbaar feit tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai pengertian strafbaar feit tersebut. Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaar feit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit. Yang masing-masing memiliki arti sebagai berikut : (Ilyas, 2012: 19). 1) Straf, diartikan sebagai pidana dan hukum 2) Baar, diartikan sebagai dapat dan boleh, 3) Feit, diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi, istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana. Sementara delik yang dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana). Para sarjana barat memberikan pengertian/definisi yang berbeda-beda pula mengenai istilah strafbaar feit dalam (E.Y Kanter et.al., 2012: 205), antara lain sebagai berikut : 1) Simons merumuskan Een strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undangundang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatic) dilakukan dengan
16
17
kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung- jawab. Kemudian simons membaginya dalam dua golongan unsur yaitu: unsur-unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari penindak. 2) Van Hamel merumuskan bahwa strafbaar feit itu sama dengan yang dirumuskan Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”. 3) Vos merumuskan strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. 4) Pompe merumuskan strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku yang mempunyai kesalahan sehingga pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum. “Utrecht menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena menurutnya istilah peristiwa itu meliputi perbuatan (handelenatau doen, positif) atau melalaikan (verzium atau nalaten atau niet doen, negatif) maupun akibatnya” (E.Y Kanter et.al., 2012: 205). Pengertian mengenai perbuatan pidana menurut Moelyatno adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar perbuatan tersebut dan perbuatan tersebut harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicitacitakan oleh masyarakat itu. Makna perbuatan pidana secara mutlak harus memenuhi unsur formil yaitu mencocokkan rumusan Undang-undang (tatbestandmaszigkeit) dan unsur materiil yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (rechtswirdigkeit) (E.Y Kanter et.al., 2012 : 205). Wirjono Prodjodikoro merumuskan tindak pidana yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu
18
dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana. (E.Y Kanter et.al., 2012:205). Istilah delik adalah merupakan kata yang diadopsi dari istilah bahasa latin delictum dan delicta. Delik dalam bahasa disebut strafbaarfeit. Strafbaarfeit terdiri dari 3 (tiga) kata yaitu straf, baar, dan feit. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh. Sedangkan feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Bahasa Inggrisnya delik artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana) (Adami Chazawi, 2002: 72). “Moeljatno mengatakan bahwa suatu strafbaarfeit itu sebenarnya adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan” (Adami Chazawi, 2002: 72). Berikut ini adalah beberapa pendapat pengertian tindak pidana dalam arti starbaarfeit menurut pendapat para ahli : 1) J.E Jonkers dalam (Bambang Poernomo, 1982 : 91) membagi atas 2 (dua) pengertian yaitu : a) Definisi pendek memberikan pengertian strafbaarfeit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam dengan hukuman pidana oleh undang-undang. b) Definisi panjang atau yang lebih mendalam memberikan pengertian starfbaarfeit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 2) Pompe dalam (Bambang Poernomo, 1982: 91) membagi atas dua pengertian yaitu : a) Definisi menurut teori memberikan pengertian starfbaarfeit adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. b) Definisi menurut hukum positif merumuskan pengertian starfbaarfeit adalah suat kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
19
b. Unsur-unsur Tindak Pidana Adapun unsur delik menurut doktrin dalam (Laden Marpaung, 2005: 9), terdiri dari 2 unsur yaitu : 1) Unsur Subjektif, Merupakan unsur yang berasal dari diri perilaku. Asas hukum pidana menyatakan: “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reurn mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (schuld). 2) Unsur Objektif Merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas : a) Perbuatan manusia berupa; (1) Akibat (result) perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan sebagainya. (2) Keadaan-keadaan (circumstances) Pada umumnya keadaan ini dibedakan antara lain : (a). Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; (b). Keadaan setelah perbuatan dilakukan; (c). Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. b) Act yakni perbuatan aktif atau perbuatan posesif; c) Omissions yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. Sifat
dapat
dihukum
berkenaan
dengan
alasan-alasan
yang
membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Semua unsur delik tersebut merupakan suatu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan dari pengadilan. Berikut ini pendapat para pakar mengenai unsur-unsur tindak pidana:
20
1) Satochid Kartanegara dalam (Laden Marpaung, 2005: 9). Menyimpulkan bahwa unsur delik terdiri dari atas 2 unsur, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat dalam diri manusia, yaitu: a) Suatu tindakan b) Suatu akibat c) Keadaan Kesemuanya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undangundang. Adapun unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa: a) Kesalahan Kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan b) 2) Moeljatno dalam (Adami Chazawi, 2001:79) Mengklasifikasikan unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a) Perbuatan; b) Yang dilarang (oleh aturan hukum); c) Ancaman pidana (bagi pelanggarnya) 3) Vos dalam (Adami Chazawi, 2001: 80) Menyebutkan unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a) Kelakuan manusia; b) Diancam dengan pidana; c) Dalam peraturan perundang-undangan. 4) Jonkers dalam (Adami Chazawi, 2001: 81) Mengklasifikasikan unsur-unsur tindak pidana, sebagai berikut: a) Perbuatan (yang) b) Melawan hukum (yang berhubungan dengan). Terdapat 4 (empat) faktor untuk mengetahui adanya suatu tindak pidana atau delik kejahatan, yaitu (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana): 1) Adanya laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP) yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 ayat 24 KUHAP). Biasanya laporan ini datang dari saksi-saksi yang berada di TKP (Tempat Kejadian Perkara) atau dari keluarga korban, adapun
21
laporan juga datang dari korban dan tidak jarang pula pelaku itu sendiri yang melaporkan perbuatannya dalam hal ini tersebut menyerahkan diri. 2) Adanya pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP) adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (KUHAP Pasal 1 ayat 25). 3) Tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP) yaitu tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa dia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.. 4) Pengetahuan sendiri polisi yaitu polisi menduga adanya tindak pidana yang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana sehingga pihak kepolisian melakukan penggeledahan di TKP yang diduga tempat terjadinya suatu tindak pidana, atau cara lain sehingga penyidik ketahui terjadinya delik seperti baca di surat kabar, dengar dari radio, dengar dari orang bercerita dan sebagainya. Dapat juga pihak kepolisian melakukan penggeledahan badan terhadap seseorang yang diduga terlibat tindak pidana di TKP.
2. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana Korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus. Karena tindak pidana ini mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum.
22
“Lord Acton mengemukakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolute cenderung korupsi absolute” (Ermansjah Djaja, 2013: 19). Pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockema Andreae, adalah berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus, yang selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal dari kata corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari Bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi” (Ermansjah Djaja, 2013: 23). Dalam Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh Wijowasito, corruptie yang juga disalin menjadi corruption dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. Pengertian dari korupsi secara harfiah menurut John M. Echlos dan Hassan Shaddily, berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut A.I.N. Kramer ST mengartikan kata korupsi sebagai busuk, rusak, atau dapat disuap. Dalam The Lexicon Webster Dictionary korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (Ermansjah Djaja, 2013: 23). Sayed Husein Alatas menulis, korupsi adalah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang diderita oleh masyarakat. Singkatnya, korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi (Aziz Syamsuddin, 2014: 137). Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.
23
a) Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain. b) Korupsi, busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Mengutip dari sebuah definisi, korupsi yaitu “tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga
dekat,
kelompok
sendiri),
atau
melanggar
aturan-aturan
pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi” (Robert Klitgaard, 2001: 31). Berdasarkan disiplin ilmu yang digunakan, korupsi didefinisikan dalam 4 jenis, yaitu: (Suyatno,2005: 17-18). 1) Discretionery corruption Discretionery corruption ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek – praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; 2) Illegal corruption Illegal corruption ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud – maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu; 3) Mercenary corruption Mercenary corruption ialah jenis tindak pidana korupsi dimaksud
untuk
memperoleh
keuntungan
pribadi,
melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan; 4) Ideological corruption Ideological corruption ialah jenis korupsi ilegal maupun discretionary yang dimaksud untuk mengejar tujuan kelompok.
24
Sedangkan menurut pendapat dari Syed Hussein, terdapat 7 (tujuh) tipologi/bentuk dan jenis korupsi yaitu : (Yopie Morya Immanuel Patiro,2012: 130) 1) Korupsi transaktif (transactive corruption) Korupsi transaktif merujuk kepada adanya kesepakatan timbalbalik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak, dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah, atau antara masyarakat dan pemerintah. 2) Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) Korupsi perkerabatan atau nepotisme, adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan mereka, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku 3) Korupsi yang memeras (extortive corruption) Korupsi yang memeras adalah jenis korupsi di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya. 4) Korupsi investif (investive corruption) Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang. 5) Korupsi defensif (defensive corruption) Korupsi defensif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri. 6) Korupsi otogenik (autogenic corruption) Korupsi otogenik adalah jenis korupsi yang dilakukan seorang diri, dan tidak melibatkan orang lain. Misalnya, anggota DPR yang
25
mendukung berlakunya sebuah undang-undang tanpa menghiraukan akibat-akibatnya, dan kemudian menarik keuntungan finansial dari pemberlakuan undang-undang itu, karena pengetahuannya tentang undang-undang yang akan berlaku tersebut. 7) Korupsi suportif (supportive corruption) Korupsi dukungan tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.
“Tidak ada definisi baku dari Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), akan tetapi secara umum pengertian Tipikor adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara atau penyelewengan atau penggelapan uang Negara untuk kepentingan pribadi dan orang lain” (Aziz Syamsuddin, 2014: 15). Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut Pasal 2 ayat (1) Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan dengan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah (Komisi Pemberantasan Korupsi,2006: 9). Penjelasan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006, pengertian tindak pidana korupsi adalah ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, integritas dan akuntabilitas, serta keamanan dan stabilitas Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, maka korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan langkah-langkah pencegahan tingkat Nasional maupun tingkat Internasional. Dalam pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
26
yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama Internasional, termasuk di dalamnya pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi tersebut. Apabila dikaji lebih lanjut, sebenarnya tindak pidana korupsi tidak terlepas dari perbuatan-perbuatan pidana lain sebagaimana diatur di luar Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, antara lain Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. J.S. Nye berpendapat bahwa korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban – kewajiban normal dari suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi (Yopie Morya Immanuel Patiro,2012: 128-129).
b. Macam-macam Delik Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada 7 macam kelompok delik korupsi. Delik-delik tersebut adalah sebagai berikut : (Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011: 16-30) 1) Tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 2) Tindak pidana korupsi penyuapan; 3) Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pembangunan, leveransir, dan rekanan; 4) Tindak pidana korupsi penggelapan; 5) Tindak pidana korupsi kerakusan (knevelarji); 6) Tindak pidana korupsi tentang gratifikasi; dan 7) Tindak pidana korupsi pemberian hadiah. Kekhususan yang melekat pada Peraturan Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi salah satunya meliputi perluasan tentang ruang
27
lingkup deliknya. Delik-delik tindak pidana korupsi tersebut yaitu : (Aziz Syamsuddin, 2014: 147) 1) Keuangan/Perekonomian negara 2) Suap-menyuap (menerima janji, tawaran dan/atau hadiah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut) baik kepada pejabat publik, swasta, maupun pejabat Internasional. 3) Penggelapan dalam jabatan 4) Pemerasan (Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara yang memeras orang sama dengan korupsi) 5) Perbuatan curang (Pemborong, ahli bangunan, penjual, pengawas proyek, rekanan TNI/POLRI, Pengawas rekanan TNI/POLRI yang melakukan atau membiarkan perbuatan curang sama dengan korupsi) 6) Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara yang dengan sengaja baik langsung ataupun tidak turut serta dalam pemborongan, pengadaan, dan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya sama dengan korupsi) 7) Gratifikasi (Pegawai Negeri Sipil yang mendapat gratifikasi dan tidak melaporkannya ke KPK dianggap korupsi).
4. Tinjauan Umum tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) a. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. (http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk diakses pada tanggal 06 Desember 2015 Pukul 20.05 WIB).
28
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan komisi pemberantasan korupsi atau biasa disingkat KPK ini, terdiri dari lima orang yang merangkap sebagai anggota yang semuanya merupakan pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah, sehingga pada sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja komisi pemberantasan korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan serta penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi tetap melekat pada komisi pemberantasan korupsi. b. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu sebagai berikut : 1) Melakukan koordinasi dengan institusi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 2) Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. instansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah NonDepartemen; 3) Melakukan penyelidikan, Penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; 4) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan 5) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang : (http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/fungsidan-tugas diakses pada tanggal 06 Desember 2015 Pukul 19.55 WIB) 1) Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; 2) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
29
3) Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; 4) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan 5) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor
30
Tahun
2002,
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
(KPK)
berkewajiban : 1) Memberikan
perlindungan
terhadap
saksi
atau
pelapor
yang
menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi; 2) Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya; 3) Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan; 4) Menegakkan sumpah jabatan; dan 5) Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. c. Struktur Organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi No. PER-08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah
sebagai
berikut
(http://www.kpk.go.id/id/tentang-
30
kpk/struktur-organisasi diakses pada tanggal 28 Juni 2016 Pukul 23.50 WIB) : 1) Pimpinan KPK : Pimpinan sebagai penanggung jawab tertinggi bertugas memimpin KPK dan bekerja secara kolektif. Pimpinan KPK menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a) Mengambil keputusan strategis dan memimpin pelaksanaan tugas KPK secara kolegial; b)Menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum tentang pemberantasan korupsi; c) Membina dan melaksanakan kerja sama dengan instansi dan organisasi lain dalam pemberantasan korupsi; d)Mengangkat dan memberhentikan seseorang untuk menjadi Penasihat dan Pegawai KPK; e) Mengangkat dan memberhentikan Pegawai untuk jabatan Deputi, Direktur, Kepala Biro, Kepala Sekretariat, Kepala Bagian dan Koordinator Sekretaris Pimpinan; dan f) Mengusulkan kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Sekretaris Jenderal. g)Pimpinan KPK mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
2) Tim Penasihat KPK Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi membawahi tim penasihat KPK yang terdiri atas 5 (lima) Deputi, yaitu: a) Deputi Bidang Pencegahan Deputi Bidang Pencegahan mempunyai tugas menyiapkan rumusan
kebijakan
dan
melaksanakan
kebijakan
di
Bidang
31
Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. selain itu, Deputi Bidang Pencegahan menyelenggarakan fungsi: (1)Perumusan
kebijakan
untuk
sub
bidang
Pendaftaran
dan
Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian dan Pengembangan; (2)Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendataan, pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN; (3)Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penerimaan pelaporan dan penanganan gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara; (4)Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendidikan anti korupsi, sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi dan kampanye antikorupsi; (5)Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan pemberantasan korupsi; (6)Koordinasi dan supervisi pencegahan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik; (7)Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumber daya di lingkungan Deputi Bidang Pencegahan. (8)Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian dan Pengembangan; (9)Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya. Deputi
Bidang
Pencegahan
bertanggung
jawab
atas
pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, Deputi Bidang Pencegahan dapat membentuk
32
Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Pencegahan yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang Pencegahan. Deputi Bidang Pencegahan membawahi: (a)Direktorat
Pendaftaran
dan
Pemeriksaan
Laporan
Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara (PP LHKPN); (b)Direktorat Gratifikasi; (c)Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; (d)Direktorat Penelitian dan Pengembangan; (e)Sekretariat Deputi Bidang Pencegahan.
b) Deputi Bidang Penindakan Deputi Bidang Penindakan mempunyai tugas menyiapkan rumusan
kebijakan
dan
melaksanakan
kebijakan
di
Bidang
Penindakan Tindak Pidana Korupsi. Deputi Bidang Penindakan menyelenggarakan fungsi : (1)Perumusan kebijakan untuk sub bidang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK oleh penegak hukum lain; (2)Pelaksanaan penyelidikan dugaan TPK dan bekerja sama dalam kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain; (3)Pelaksanaan penyidikan perkara TPK dan bekerja sama dalam kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain; (4)Pelaksanaan penuntutan, pengajuan upaya hukum, pelaksanaan penetapan hakim & putusan pengadilan, pelaksanaan tindakan hukum lainnya dalam penanganan perkara TPK sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
33
(5)Pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum lain yang melaksanakan kegiatan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara TPK; (6)Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan, pembinaan sumber daya dan dukungan operasional di lingkungan Deputi Bidang Penindakan; (7)Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK oleh penegak hukum lain; dan (8)Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya. Deputi
Bidang
Penindakan
bertanggung
jawab
atas
pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK. Deputi Bidang Penindakan membawahkan: (a)Direktorat Penyelidikan; (b)Direktorat Penyidikan; (c)Direktorat Penuntutan; (d)Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi; dan (e)Sekretariat Deputi Bidang Penindakan.
c) Deputi Bidang Informasi dan Data Deputi
Bidang
Informasi
dan
Data
mempunyai
tugas
menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan pada Bidang Informasi dan Data. Deputi Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi: (1)Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengolahan Informasi dan Data, Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi dan Monitor; (2)Pemberian dukungan sistem, teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan KPK;
34
(3)Pelaksanaan pembinaan jaringan kerja antar komisi dan instansi dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK; (4)Pengumpulan
dan
analisis
informasi
untuk
kepentingan
pemberantasan tindak pidana korupsi, kepentingan manajerial maupun dalam rangka deteksi kemungkinan adanya indikasi tindak pidana korupsi dan kerawanan korupsi serta potensi masalah penyebab korupsi; (5)Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumber daya di lingkungan Deputi Bidang Informasi dan Data; (6)Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Pengolahan Informasi dan Data, Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi dan Monitor; dan (7)Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya. Deputi Bidang Informasi dan Data bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Informasi dan Data dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Informasi dan Data yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang Informasi dan Data. Deputi Bidang Informasi dan Data membawahkan: (a)Direktorat Pengolahan Informasi dan Data; (b)Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi; (c)Direktorat Monitor; dan (d)Sekretariat Deputi Bidang Informasi dan Data.
d) Deputi Bidang Pengawasan Internal dan pengaduan masyarakat (PIPM)
35
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat mempunyai
tugas
menyiapkan
kebijakan
dan
melaksanakan
kebijakan di bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat menyelenggarakan fungsi : (1)Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat; (2)Pelaksanaan pengawasan internal terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan Pimpinan; (3)Penerimaan dan penanganan laporan / pengaduan dari masyarakat tentang dugaan tindak pidana korupsi yang disampaikan kepada KPK, baik secara langsung maupun tidak langsung; (4)Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumber daya di lingkungan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat; (5)Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat; dan (6)Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya. Deputi
Bidang
Pengawasan
Internal
dan
Pengaduan
Masyarakat bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan
36
Pengaduan Masyarakat. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat membawahkan: (a)Direktorat Pengawasan Internal; (b)Direktorat Pengaduan Masyarakat; dan (c)Sekretariat Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
e) Sekretariat Jendral Sekretariat Jenderal mempunyai tugas menyiapkan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan administrasi, sumber daya, pelayanan umum, keamanan dan kenyamanan, hubungan masyarakat dan pembelaan hukum kepada segenap unit organisasi KPK. Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi: (1)Perumusan kebijakan pada sub bidang administrasi, sumber daya, pelayanan
umum,
keamanan
dan
kenyamanan,
hubungan
masyarakat dan pembelaan hukum kepada segenap unit organisasi KPK; (2)Pelaksanaan
perencanaan
jangka
menengah
dan
pendek,
pembinaan dan pengelolaan perbendaharaan, pengelolaan dana hibah/ donor serta penyusunan laporan keuangan dan kinerja KPK; (3)Pelaksanaan pemberian dukungan logistik, urusan internal, pengelolaan aset, pengadaan, pelelangan barang sitaan/ rampasan, serta pengelolaan dan pengamanan gedung bagi pelaksanaan tugas KPK; (4)Pelaksanaan
pengelolaan
sumber
daya
manusia
melalui
pengorganisasian fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia yang berbasis kompetensi dan kinerja; (5)Pelaksanaan perancangan peraturan, litigasi, pemberian pendapat dan informasi hukum dan bantuan hukum; (6)Pelaksanaan
pembinaan
hubungan
dengan
masyarakat,
pengomunikasian kebijakan dan hasil pelaksanaan pemberantasan
37
korupsi kepada masyarakat, penyelenggaraan keprotokoleran KPK serta pembinaan ketatausahaan KPK; (7)Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Sekretariat Jenderal; dan (8)Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya. Sekretariat Jenderal dipimpin bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Sekretariat Jenderal dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Biro atau lintas Biro yang ditetapkan dengan Keputusan Sekretaris Jenderal. Sekretariat Jenderal membawahkan: (a)Biro Perencanaan dan Keuangan, (b)Biro Umum, (c)Biro Sumber Daya Manusia, (d)Biro Hukum, (e)Biro Hubungan Masyarakat, dan (f) Sekretariat Pimpinan.
38
B.
Kerangka Pemikiran
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
Tugas KPK
Wewenang KPK
Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia oleh KPK
Hambatan KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi oleh KPK Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Kerangka pemikiran dalam skema di atas mencoba memberikan gambaran terkait alur berpikir dalam menjawab permasalahan yang ada di penelitian ini, yang penyusunannya dibuat secara sistematis. Dari kerangka pemikiran di atas dapat diketahui bahwa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga independen yang dibentuk dan diatur dalam Undang-undang Nomor 30
39
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya dikenal dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang-undang tentang KPK ini memuat pengaturan mengenai apa saja tugas dari lembaga ini dan apa saja kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini dalam upayanya menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia. Kerangka tersebut juga menunjukkan bahwa penulis akan membahas efektivitas upaya penanggulangan tindak pidana korupsi oleh KPK berdasarkan Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tersebut. Dan yang terakhir penulis ingin membahas mengenai hambatan-hambatan yang menjadi faktor penghalang KPK dalam menjalankan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.