BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Bank Syariah
2.1.1 Pengertian Bank Syariah Sistem perbankan Indonesia dibedakan berdasarkan fungsinya yang terdiri dari Bank Sentral, Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Umum,
berdasarkan peraturan perundangan,
dapat menghimpun dana dari
masyarakat secara langsung dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito berjangka, lalu menyalurkan kepada masyarakat terutama dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya (Muhammad, 2011:11). Menurut UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, pengertian bank adalah sebagai berikut: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Munculnya bank syariah dalam sistem perbankan nasional merupakan respon atas pemahaman para ulama serta pemikir ekonomi yang menyatakan bahwa tingkat bunga (interest rate) adalah riba yang tidak sesuai dengan prinsip muamalah dalam Islam. Undang-undang No.10 Tahun1998 yang merupakan dasar adanya dual banking system, dimana bank-bank konvensional boleh membuka cabang syariah atau mengkonversi total menjadi bank syariah. Seiring dengan perkembangan bank syariah yang semakin meningkat, maka dikeluarkan Undangundang No.21 Tahun 2008 yang menunjukkan perkuatan perkuatan posisi bank syariah dalam sistem perbankan nasional sekaligus menjadi landasan hukum yang kuat bagi bank syariah. Pengertian bank syariah dalam UU No.21 Tahun 2008 pasal 1 butir 7, adalah : “Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.”
Sedangkan pengertian bank syariah menurut Ascarya (2007:2), yaitu: “Bank dengan pola bagi hasil yang merupakan landasan utama dalam segala operasinya, baik dalam produk pendanaan, pembiayaan, maupun dalam produk-produk lainnya.” Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan pola bagi hasil yang merupakan landasan utama dalam segala operasinya dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
2.1.2 Tujuan Bank Syariah Menurut UU No.21 Tahun 2008 Pasal 3 tujuan Bank Syariah yaitu : “Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.” Menurut Sudarsono (2008:44), bank syariah mempunyai beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut : 1.
Mengarahkan sistem ekonomi umat untuk bermuamalat secara Islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar dari praktik-praktik riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan), dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat.
2.
Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan
pendapatan
melalui kegiatan
investasi agar tidak
terjadi
kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana. 3.
Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif menuju terciptanya kemandirian usaha.
4.
Untuk
menanggulangi
masalah
kemiskinan
yang
pada
umumnya
merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Usaha bank syariah dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dan siklus usaha yang lengkap. 5.
Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan.
6.
Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank nonsyariah.
2.1.3 Fungsi dan Peran Bank Syariah Fungsi dari bank syariah telah tercantum dalam UU No. 21 Tahun 2008 pasal 4 yaitu : 1.
Bank
Syariah
dan
Unit
Usaha
Syariah
wajib
menjalankan
fungsi
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. 2.
Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
3.
Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nashir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
4.
Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bank syariah mempunyai fungsi yang berbeda dengan Bank Konvensional.
Fungsi dan peran bank syariah diantaranya tercantum dalam pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution) (Sudarsono, 2008:43), yaitu sebagai berikut: 1.
Manajer Investasi, yang mengelola invsetasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi. Dalam hal ini
bank syariah berfungsi dan berperan untuk menghimpun dana masyarakat dan menginvestasikan dana tersebut secara prinsip-prinsip syariah. 2.
Investor, sebagai investor bank syariah melakukan penyaluran dana melalui kegiatan investasi dengan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa. Bank syariah menginvestasikan dana yang dimiliki maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik modal.
3.
Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran,
bank syariah
menyediakan jasa keuangan, jasa non keuangan dan jasa keagenan. Kegiatan ini pada umumnya sama seperti bank non-syariah sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 4.
Pelaksanaan kegiatan sosial, bank syariah berfungsi sebagai pengelola dana sosial untuk menghimpun dan menyalurkan Zakat, Infak, dan Shadaqah (ZIS), serta penyaluran qardhul hasan (pinjaman kebajikan) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.1.4 Karakteristik dan Ciri-ciri Bank Syariah Kegiatan bank syariah merupakan implementasi dari prinsip ekonomi islam dengan karateristik (Wiyono, 2005:75) : 1.
Pelarangan riba dalam berbagai bentuk.
2.
Tidak mengenal konsep nilai waktu dari uang (time value of money).
3.
Konsep uang sebagai alat tukar bukan komoditas.
4.
Tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang bersifat spekulatif.
5.
Tidak diperkenankan menggunakan dua harga untuk satu barang.
6.
Tidak diperkenankan dua transaksi dalam satu akad.
Tabel 2.1 Perbedaan Bank Konvensional dengan Bank Syariah Bank Konvensional Bank Syariah Fungsi dan Kegiatan Intermediasi, jasa Intermediasi, manajer Bank, Mekanisme dan keuangan investasi, investor, sosial, Obyek Usaha dan jasa keuangan Prinsip Dasar Operasi Tidak anti riba dan anti Anti riba dan anti maysir maysir - Bebas nilai (prinsip - Tidak bebas nilai (prinsip Prioritas Pelayanan materialis) - Uang sebagai komoditi - Bunga
Orientasi Bentuk
syariah Islam) - Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi - Bagi hasil, jual beli, sewa
Kepentingan publik Tujuan sosial-ekonomi Islam, dan keuntungan Evaluasi Nasabah Bank komersial Bnak komersial, bank pembangunan, bank universal, atau multi purpose Hubungan Nasabah Kepastian pengembalian Lebih hati-hati karena pokok dan bungan partisipasi dalam risiko (creditworthiness dan collateral) Sumber Likuiditas jangka Terbatas debitior-kreditor Erat sebagai mitra usaha Pendek Pinjaman yang Diberikan Pasar uang, bank sentral Terbatas Lembaga Penyelesaian Komersial dan non Komersial dan non Sengketa komersial berorientasi komersial, berorientasi laba laba dan nirlaba Risiko usaha Pengadilan, Arbitrase Pengadilan, Badan Arbitrase Syariah Nasional Struktur Organisasi - Risiko bank tidak terkait - Dihadapi bersama antar langsung dengan debitur, bank dan nasabah dengan Pengawas
Investasi
Kepentingan pribadi Keuntungan
risiko debitur tidak prinsip keadilan dan terkait langsung dengan kejujuran bank - Tidak mungkin terjadi - Kemungkinan terjadi negative spread negative spread Dewan Komisaris Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Dewan Syariah Nasional Halal dan haram
Halal
Sumber : Ascarya, (2007:33) (diolah dari berbagai sumber)
2.2
Pembiayaan Syariah Fungsi
menyalurkan
dan dana
kegiatan
bank
syariah
dalam terminologi bank
adalah
menghimpun
dana
dan
syariah disebut dengan istilah
pembiayaan, sebagaiman yang disebutkan dalam undang-undang no. 21 tahun 2008 pasal 19 ayat 1. Menurut Undang-undanng Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah (pasal 1) di sebutkan bahwa : “Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa : a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna; d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.” Adanya Bank Syariah diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan
ekonomi
masyarakat
melalui
pembiayaan-pembiayaan
yang
dikeluarkan oleh bank syariah. Melalui pembiayaan ini bank syariah dapat menjadi mitra dengan nasabah, sehingga hubungan bank syariah dengan nasabah tidak lagi sebagai kreditur dan debitur tetapi menjadi hubungan kemitraan. Pengertian pembiayaan secara luas menurut Muhammad (2011:304) berarti financing
atau
pembelanjaan,
yaitu
pendanaan
yang
dikeluarkan
untuk
mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, seperti Bank Syariah kepada nasabah.
2.2.1 Tujuan dan Fungsi Pembiayaan Syariah Dalam bukunya, Muhammad (2005:305), membedakan tujuan pembiayaan menjadi dua kelompok, yaitu tujuan pembiayaan untuk tingkat makro, dan tujuan pembiayaan untuk tingkat mikro. Secara makro, pembiayaan bertujuan untuk : 1.
Peningkatan ekonomi umat. Masyarakat yang tidak dapat akses secara ekonomi, dengan adanya pembiayaan mereka dapat melakukan akses ekonomi. Dengan demikian dapat meningkatkan taraf ekonominya.
2.
Tersedianya dana bagi peningkatan usaha. Untuk pengembangan usaha membutuhkan dana. Dana tambahan ini dapat diperoleh dengan melakukan aktivitas pembiayaan. Pihak yang surplus dana menyalurkan kepada pihak yang minus dana, sehingga dapat tergulirkan.
3.
Meningkatkan
produktivitas.
Pembiayaan
memberikan
peluang
bagi
masyarakat usaha mampu meningkatkan daya produksinya. Sebab upaya produksi tidak akan dapat jalan tanpa adanya dana. 4.
Membuka lapangan kerja baru. Dengan dibukanya sektor-sektor usaha melalui penambahan dana pembiayaan, maka sektor usaha tersebut akan meyerap tenaga kerja baru.
5.
Terjadi
distribusi
pendapatan.
Masyarakat
usaha
produktif
mampu
melakukan aktivitas kerja, berarti mereka akan memperoleh pendapatan dari hasil usahanya.
Penghasilan merupakan bagian dari pendapatan
masyarakat.
Adapun secara mikro, pembiayaan diberikan dalam rangka untuk: 1.
Upaya memaksimalkan laba. Setiap usaha yang dibuka memiliki tujuan tertinggi, yaitu menghasilkan laba usaha. Setiap pengusaha menginginkan mampu
mencapai
laba
maksimal.
Untuk
dapat
menghasilkan
maksimal maka mereka perlu dukungan dana yang cukup.
laba
2.
Upaya
meminimalkan
menghasilkan
laba
risiko.
Usaha
maksimal,
yang
maka
dilakukan
pengusaha
agar harus
mampu mampu
meminimalkan risiko yang mungkin timbul. Risiko kekurangan modal usaha dapat diperoleh melalui tindakan pembiayaan. 3.
Penyalahgunaan
sumber
ekonomi.
Sumber
daya
ekonomi
dapat
dikembangkan dengan melakukan mixing antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia serta sumber daya modal. Jika sumber daya alam dan sumber daya manusianya ada, dan sumber modal tidak ada, maka dipastikan diperlukan pembiayaan. 4.
Penyaluran kelebihan dana. Dalam kehidupan masyarakat ini ada pihak yang memilki kelebihan sementara ada pihak yang memiliki kekurangan. Dalam kaitannya dengan masalah dana, maka mekanisme pembiayaan dapat
menjadi
penyeimbangan
pemmbiayaan, dana
penyaluran
dapat
menjadi
kelebihan
dana
jembatan dari
pihak
dalam yang
berlebihan (surplus) kepada pihak yang kekurangan (minus) dana. 2.2.2 Jenis – jenis Pembiayaan Jenis pembiayaan pada bank syariah akan diwujudkan dalam bentuk aktiva produktif dan aktiva tidak produktif (Antonio, 2011:160), yaitu : 1.
Jenis aktiva produktif pada bank
syariah akan diwujudkan dalam
pembiayaan sebagai berikut: A. Prinsip bagi hasil / profit loss sharing Prinsip
ini dipandang sebagai upaya untuk
membangun masyarakat
berdasarkan kejujuran dan keadilan dalam menghadapi ketidakpastian bisnis, dimana hal ini tidak ditemukan dalam sistem berbasis bunga. Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu musyarakah, mudharabah, muzara’ah dan musaqah. Namun demikian, prinsip paling banyak digunakan adalah musyarakah dan mudharabah (Antonio, 2011:95). Adapun penjelasan akad sebagai berikut: a. Mudharabah (Trust Financing, Trust Invesment)
1) Pengertian Mudharabah Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan
kakinya
dalam
menjalankan
usahanya.
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama atau usaha antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai pemilik dana (shohibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha jenis pembiayaan mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian
itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si
pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
2) Landasan Syariah Secara
umum,
landasan
dasar
syariah
mudharabah
lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini : “... dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT...”(al-Muzzammil: 20) Yang
menjadi wajhud-dilalah
atau
argumen
dari surat
al-
Muzammil:20 adalah adanya kata yadribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Surah al-Jumu’ah: 10 dan al-Baqarah: 198 sama-sama mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha.
3) Jenis-jenis Mudharabah Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis :
a) Mudharabah Muthalaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. b) Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
muthalaqah. Mudharib dibatasi dengan
batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.
4) Manfaat Mudharabah a) Bank
akan
menikmati peningkatan
bagi hasil pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat. b) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan
secara
tetap,
tetapi
disesuaikan
dengan
pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread. c) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow /arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah. d) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan diberikan. e) Prinsip bagi hasil dalam al-mudharabah/al-musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
5) Risiko Mudharabah Risiko
yang
terdapat
dalam
mudharabah,
terutama
penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi. Di antaranya:
pada
a) Side streaming yaitu nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak. b) Lalai dan kesalahan yang disengaja. c) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Perjanjian Bagi Hasil
Nasabah (Mudharib)
keahlian
Modal 100%
Bank (Shahibul Mal)
Proyek Usaha
Nisbah X%
Pembagian Keuntungan
Nisbah Y%
Modal Pengambilan Modal Pokok Gambar 2.1 Skema Pembiayaan Jenis Mudharabah Sumber : Antonio (2011:98)
b. Musyarakah (Partnership, Project Financing Participation) 1) Pengertian Musyarakah Menurut Antonio (2011:90) Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi modal (amal atau
expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Berbeda dengan mudharabah, dalam pembiayaan jenis musyarakah pihak pengusaha / nasabah (mudhorib) menambahkan sebagian modalnya sendiri pada modal yang disediakan oleh shahibul mal, maka mudhorib / nasabah tersebut membuka diri terhadap risiko kehilangan modal. Adanya tambahan modal dari nasabah (mudharib) maka ia dapat mengklaim suatu presentase bagi hasi yang lebih besar.
2) Landasan Syariah “... maka mereka berserikat pada sepertiga...” (an-Nisaa’: 12) “Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Shaad:24) Kedua ayat di atas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surah an-Nisaa’: 12 perkongsian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris, sedangkan dalam surah Shaad: 24 terjadi atas dasar akad (iktiyari).
3) Jenis-jenis Musyarakah Musyarakah terdiri dari dua jenis, yaitu: a) Musyarkah Pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh du orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut. b) Musyarakah Akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang
atau
lebih
setuju
bahwa
tiap
orang dari mereka
memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
4) Manfaat Musyarakah a) Bank
akan
menikmati peningkatan
bagi hasil pada
saat
keuntungan usaha nasabah meningkat. b) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan
secara
tetap,
tetapi
disesuaikan
dengan
pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread. c) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow /arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah. d) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal,
aman,
dan menguntungkan karena
keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan diberikan. e) Prinsip
bagi hasil dalam al-mudharabah/al-musyarakah
ini
berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa
pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
5) Risiko Musyarakah Risiko
yang
terdapat
dalam
musyarakah,
terutama
pada
penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi. Di antaranya: d) Side streaming yaitu nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak. e) Lalai dan kesalahan yang disengaja. f) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Nasabah Parsial: Asset Value
Bank Syariah Parsial Pembiayaan
Proyek Usaha
Keuntungan
Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi modal Gambar 2.2 Skema Pembiayaan Jenis Musyarakah Sumber : Antonio (2011:94)
Tabel 2.2 Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil dan Non Bagi Hasil Prinsip Bagi Hasil
1. Mudharabah Akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai pemilik dana (shohibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). 2. Musyarakah Akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi modal (amal atau expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Prinsip Non Bagi Hasil A. Prinsip Jual Beli 1. Murabahah Akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang.
2. Salam Pembelian suatu barang yang penyerahannya dilakukan kemudian hari sedangkan pembayarannya dilaksanakan dimuka secara tunai.
3. Istishna Kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang dengan pembayaran di muka, bak dilakuan dengan cara tunai, cicil, atau ditangguhkan. B. Prinsip Sewa 1. Ijarah Perjanjian pemindahan hak guna atau manfaat atas suatu barang atau jasa dengan membayar sewa untuk jangka waktu tertentu tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang tersebut.
2. Ijarah Muntahiya Bittamlik akad atau peranjian yang merupakan kombinasi antara jualbeli dan sewa-menyewa suatu barang anatara bank dengan nasabah di mana nasabah (penyewa) diberi hak untuk membeli atau memiliki obyek sewa pada akhir akad. c. Surat Berharga Syariah Surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/ atau pasar modal antara lain wesel, obligais syariah, sertifikat danan syariah dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah. d. Penempatan Penanaman dana syariah pada bank syariah lainnya, dan/ atau Bank Perkreditan Syariah. e. Peyertaan Modal Penanaman bank syariah dalam bentuk saham pada perrusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah. f. Penyertaan Modal Sementara Penyertaan modal bank syariah dalam perusahaan untuk mengatasi kegagalan pembiayaan dan/atau piutang (debt to equity swap) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. g. Transaksi Rekening Administratif Komitmen dan kontijensi
(Off Balance sheet) berdasarkan prinsip syariah. h. Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) Sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagia bukti penitipan dan berjangka pendek dengan prinsip wadi’ah. Sumber : Antonio (2011) dan Muhammad (2011) (diolah dari berbagai sumber)
2.
Jenis aktiva tidak produktif yang berkaitan dengan aktivitas pembiayaan adalah bentuk pinjaman, yang disebut dengan Pinjaman Qardh. Pinjaman Qardh atau talangan adalah penyediaan dan dan/atau tagihan bank syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayran sekaligus atau secara cicilan dalam jangka waktu tertentu.
2.3
Dana Pihak Ketiga Bank
adalah pelayanan masyarakat dan wadah perantara keuangan
masyarakat. Karena itu bank harus selalu berada di tengan masyarakat agar arus uang dari masyarakat yang kelebihan dapat ditampung dan disalurkan pada masyarakat yang kekurangan. Kepercayaan masyarakat akan keberadaan bank dan keyakinan
masyarakat bahwa bank
akan menyelenggarakan sebaik-baiknya
permasalahan keuangannya, merupakan suatu keberadaan yang diharapkan oleh semua bank. Menurut UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah (Pasal 1) disebutkan bahwa: “Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.” Menurut UU No. 21 Tahun 2008 dana-dana masyarakat yang disimpan dalam bank merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan bank yanng terdiri dari 3 jenis, yaitu dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan. Dana Pihak Ketiga = Giro + Deposito + Tabungan 1.
Giro (Demand Deposits)
Giro merupakan simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip
syariah yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, saran perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan. 2.
Deposito (Time Deposits) Deposito merupakan investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad
lain
yang
tidak
bertentangan
dengan
prinsip
syariah
yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan bank syariah dan/atau unit usaha syariah. 3.
Tabungan (Saving) Tabungan merupakan simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Menurut Muhammad (2011:267), salah satu sumber dana yang bisa digunakan untuk pembiayaan (loan) adalah simpanan. Secara umum bila semakin besar simpanan maka bank semakin banyak dalam menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat.
2.4
Bagi Hasil Persoalan bunga bank yang disebut sebagai riba telah menjadi bahan
perdebatan di kalangan pemikir dan fiqh Islam. Untuk mengetahui persoalan tersebut,
sekarang
umat
Islam telah mencoba mengembangkan paradigma
perekonomian lama yang akan terus dikembangkan dalam angka perbaikan ekonomi umat dan peningkatan kesejahteraan umat Islam. Realisasinya adalah berupa beroperasinya bank-bank yang tidak mendasarkan pada bunga, namun dengan sistem bagi hasil. Menurut Peraturan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan
prinsip bagi hasil. Oleh karena itu Bank Umum atau BPR yang memperoleh ijin sebagai Bank Konvensional (Bank Umum), tidak diperkenankan melakukan kegiatan perbankan dengan konsep bagi hasil. Lebih lanjut, aturan yang berkaitan dengan Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 10/ 14/ DPbS tanggal 17 Maret 2008. Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syariah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kepada masyarakat, dan di dalam aturan syariah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan. Menurut Karim (2010) Bagi hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bagi hasil merupakan salah satu praktik perbankan syariah Menurut
Antonio
(2011:137)
prinsip
bagi
hasil
(profit
sharing)
berdasarkan pada kaidah mudharabah. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai mudharib (pengelola dana) sementara penabung sebagai shahibul maal (penyandang dana). Di sisi lain, dengan peminjam dana, bank Islam akan bertindak sebagai shahibul maal sementara peminjam akan berfungsi sebagai mudharib. Menurut Muhammad (2011:107) bagi hasil (profit sharing) yaitu di artikan distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan. Pada mekanisme lembaga keuangan syariah pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk penyertaan
produk produk penghimpunan dan penyertaan modal, baik
menyeluruh
maupun
sebagian
atau
bentuk
bisnis
korporasi
(kerjasama). Keuntungan yang dibagi hasilkan harus di bagi secara proporsional antara shahibul maal dengan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya.
a.
b.
c.
d.
e.
Tabel 2.3 Perbedaan Sistem Bagi Hasil dan Sistem Bunga Bagi Hasil Bunga Penentuan besarnya rasio/ nisbah a. Penentuan bunga dibuat pada waktu bagi hasil dibuat pada waktu akad akad dengan asumsi harus selalu dengan berpedoman pada untung. kemungkinan untung rugi. Besarnya rasio bagi hasil b. Besarnya presentase berdasarkan berdasarkan pada jumlah pada jumlah uang (modal) yang keuntungan yang diperoleh. dipinjamkan. Bagi hasil bergantung pada c. Pembayaran bunga tetap seperti keuntungan proyek yang dijalankan. yang dijanjikan tanpa pertimbangan Bila usaha merugi, kerugian akan apakah proyek yang dijalankan oleh ditanggung bersama oleh kedua pihak nasabah untung atau rugi. belah pihak. Jumlah pembagian laba meningkat d. Jumlah pembayaran bunga tidak sesuai dengan peningkatan jumlah meningkat sekalipun jumlah pendapatan. keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming” Tidak ada yang meragukan e. Eksistensi bunga diragukan (kalau keabsahan bagi hasil. tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk islam.
Sumber: Antonio (2011:61)
Larangan umat Islam supaya tidak melibatkan diri dengan riba tidak hanya bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur’an, tetapi juga dari berbagai Hadits merupakan
sumber
rujukan,
selain
Al Qur’an,
bagi umat
Islam untuk
mengesahkan atau mendapatkan keterangan lebih lanjut peraturan yang telah digariskan Al Qur’an. Firman Allah SWT : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya) (Qs. Arrum : 39)
“Hai orng-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Qs. Ali Imran : 130).
“Hai orang-orang yang beriman, bertawakalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (Qs. Al Baqarah : 278-279) Pada mekanisme lembaga keuangan syariah, pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk produk-produk penyertaan seperti musyarakah dan mudharabah atau bentuk bisnis korporasi (kerjasama). Dalam sistem bagi hasil keuntungan yang dibagi hasilkan harus dibagi secara proporsional antara shohibul maal dengan mudharib. Dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah yang bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan kedalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shohibul maal dan mudharib sesuai dengan porsi yang telah disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam awal perjanjian. Jika dalam usaha bersama tersebut mengalami resiko kerugian, maka dalam konsep bagi hasil kedua belah pihak akan sama-sama menanggung resiko. Disatu pihak, pemilik modal menanggung kerugian modalnya, dipihak lain pelaksana proyek akan mengalami kerugian atas tenaga atau biaya tenaga kerja yang dikeluarkan. Dengan kata lain masing-masing pihak yang melakukan kerjasama dalam sistem bagi hasil akan berpartisipasi dalam kerugian dan keuntungan. Faktor
langsung
yang
mempengaruhi perhitungan
bagi hasil adalah
investment rate, jumlah dana yang tersedia dan nisbah bagi hasil (profit sharing ratio).
Investment rate merupakan prosentase aktual dana yang diinvestasikan
dari total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80%, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas. Jumlah dana yang tersedia merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Faktor tidak langsung yaitu Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah dimana Shahibul Maal dan Mudharib akan melakukan share baik dalam pendapatan maupun biaya. Pendapatan yang dibagihasilkan merupakan pendapatan yang diterima setelah dikurangi biaya-biaya serta
kebijakan akunting
(prinsip
dan
metode
akunting)
dimana bagi hasil secara tidak
langsung
dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya. Berbeda dengan penentuan tingkat bunga, dimana seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tingkat suku bunga ditentukan dan dipengaruhi oleh beberapa faktor sedangkan penentuan nisbah bagi hasil bagi bank Syariah dilakukan oleh Dewan Syariah dengan mempertimbangkan unsur-unsur dalam pengelolaan dana yang antara lain yaitu biaya operasional dalam mengelola dana, laba perusahaan dan pembagian keuntungan kepada pemilik.
2.5
Modal Bank
2.5.1 Jenis-jenis Modal Kekayaan suatu bank terdiri aset lancar dan aset tetap yang merupakan penjamin solvabilitas bank, sedangkan dana (modal) bank dipergunakan untuk moda kerja dan penjamin likuiditas bank bersangkutan. Dana bank adalah sejumlah
uang
operasionalnya.
yang
dimiliki
dan
dikuasai
suatu
bank
dalam kegiatan
Modal ini terkait juga dengan aktivitas perbankan dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi atas dana yang diterima nasabah. Dengan terjaganya modal berarti bank bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat yang amat penting artinya bagi sebuah bank karena dengan demikian, bank dapat menghimpun dana untuk keperluan operasional selanjutnya (Sinungan, 2002). Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001, bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko yang dinyatakan dalam rasio Capital Adequacy Ratio (CAR). Rasio ini bertujuan untuk memastikan bahwa jika dalam aktivitasnya bank mengalami kerugian, maka ketersediaan modal yang dimiliki oleh bank mampu mengcover kerugian tersebut. 1.
Modal adalah dana yang diserahkan oleh para pemilik (owner). Modal merupakan faktor yang amat penting bagi perkembangan dan kemajuan
bank sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat (Dendawijaya, 2009:38). Modal dibagi ke dalam modal inti dan modal pelengkap. a. Modal inti terdiri atas: a) Modal disetor, yaitu modal yang disetor secara efektif oleh pemilik. b) Agio saham, yaitu selisih lebih dari harga saham dengan nilai nominal saham. c)
Modal sumbangan, yaitu modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham, termasuk selisih nilai yang tercatat dengan harga (apabila saham tersebut dijual).
d) Cadangan umum, yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan dengan persetujuan RUPS. e)
Cadangan tujuan, yaitu bagian laba setelah pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu.
f)
Laba ditahan, yaitu saldo laba bersih setelah pajak yang oleh RUPS diputuskan untuk dibagikan.
g)
Laba tahun lalu, yaitu laba bersih tahun lalu setelah pajak, yang belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS.
h)
Laba tahun berjalan, yaitu laba sebelum pajak yang belum diperoleh dalam tahun berjalan.
i)
Bagian
kekayaan
bersih
anak
perusahaan
yang
laporan
keuangannya dikonsolidasikan, yaitu modal inti anak perusahaan setelah dikompensasikan dengan penyertaan bank pada anak perusahaan tersebut. b. Modal pelengkap Modal pelengkap terdiri atas cadangan-cadangan yang dibentuk bukan dari laba setelah pajak serta pinjaman yang sifatnya dipersamakan dengan modal. Secara terinci modal pelengkap dapat berupa: a) Cadangan revaluasi aktiva tetap b) Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan c) Modal pinjaman yang mempunyai ciri-ciri:
Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan dipersamakan dengan modal yang telah dibayar penuh Tidak dapat dilunasi atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan BI Mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal memikul kerugian bank Pembayaran bungan dapat ditangguhkan bila bank dalam keadaan rugi d) Pinjaman
subordinasi
yang
memenuhi
syarat-syarat
sebagai
berikut: Ada perjanjian tertulis anatar pemberi pinjaman dengan bank Mendapat persetujuan dari BI Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan Minimal berjangka waktu 5 tahun Pelunasan pinjaman harus dengan persetujuan BI Hak tagih dalam hal terjadi likuidasi berlaku paling akhir (kedudukannya sama dengan modal)
2.5.2 Dasar Perhitungan Penyediaan Modal Minimum Bank Berdasarkan surat keputusan direksi Bank Indonesia No. 23/67/Kep/Dir tanggal 28 Februari 1992, bahwa guna memenuhi ketentuan tentang CAR yang ditetapkan oleh BIS,
maka bank
Indonesia telah mengeluarkan mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank. Sedangkan menurut Muhammad (2011:253), bahwa kewajiban penyediaan modal minimum bank diukur dari presentase tertentu terhadap aktiva tertimbang menurut risiko. Sejalan dengan standar yang ditetapkan oleh Bank for Internnational Settlement terhadap seluruh bank di Indonesia diwajibkan menyediakan modal minimum sebesar 8%. Menurut Dendawijaya (2009:40), bahwa kewajiban penyediaan modal minimum atau CAR (capital adequency ratio) atau BIS (Bfor International Settlement) sebesar 8%. Kewajiban penyediaan modal minimum adalah kebutuhan
modal minimum bank dihitung berdasarkan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR).
2.5.3 Rasio Kecukupan Modal Menurut Muhammad (2011:251), rasio kecukupan modal adalah gambaran mengenai kemampuan bank syariah dalam memenuhi kecukpan modalnya. Rasio kecukupan modal adalah rasio kewajiban pemenuhan modal minimum yang harus dimiliki oleh bank. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kecukupan modal bank antara lain sebagai berikut: 1.
Tingkat kualitas assets. Misalnya suatu bank yang banyak memiliki debitur bermasalah (non performing financing) dan aktiva tidak produktif (non earning assets), dapat dipastikan bank tersebut tidak dapat melaksanakan kegiatannya dengan lancar, dan mengikis dana modal bank untuk menutupi kerugian-kerugian yang dideritanya.
2.
Struktur dana yang dihimpun. Apabila struktur dana yang dihimpun olehbank didominasi oleh deposito yang berjangka serta dana-dana mahal lainnya maka cost of fund bank yang bersangkutan akan tinggi. Hal tersebut berdampak pada daya saing bank yang cenderung lemah, sehingga sulit untuk mendapat keuntungan yang memadai, kemudian pada gilirannya juga akan membebani modal atau sekurang-kurangnya modal sulit bertambah sehingga tidak memungkinkan bank tersebut untuk mengadakan ekspansi usahanya.
3.
Efisiensi dalam system and operating procedure. Sistem dan prosedur operasi yang efisien akan mendorong bank untuk meraih keuntungan / laba yang tinggi. Laba yang tinggi akan memperkuat modal bank bersangkutan.
4.
Tingkat kualitas manajemen. Manajemen yang kurang baik akan membawa bank kearah kerugian. Bank yang rugi akan menggerogoti modalnya. Modal yang terus menerus menggerogoti akan semakin berkurang, dan lama kelamaan akan habis dan bahkan menjadi minus yang akhirnya bank harus dilikuidasi.
5.
Tingkat likuidasi yang terpelihara. Manakala bank selalu menggunakan dananya untuk keperluan pemberian kredit sehingga dana masyarakat (dana pihak ketiga), habis tersalurkan kepada earning asset atau non earning asset, maka likuiditas (primary reserve) harus disediakan dari modal bank. Dengan demikian modal bank menjadi berkurang.
6.
Sikap para pemegang saham. Sikap para pemegang saham yang selalu membagi habis laba yang bersangkutan (deviden), maka modal bank tersebut
tidak
akan
berambah,
sehingga
sulit
untuk
melakukan
pengembangan usaha.
2.5.4 Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PB/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum mencakup penilaian terhadap faktor-faktor CAMELS yang terdiri atas:
1.
Permodalan (Capital) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain dilakukan komponen sebagai berikut : 1) Kecukupan (KPMM)
pemenuhan melalui
Kewajiabn
penilaian
Penyediaan
terhadap
ketentuan
Modal
Minimum
yang
berlaku.
Pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum tersebut sebesar 8% diberi predikat “sehat” dengan nialai kredit 81 didapat dari (80+1). Setiap kenaikan 0,1% dari KPMM 8% nilai kredit ditambah 1 maksimal 100. Pemenuhan KPMM kurang dari 8% sampai dengan 7,99% diberi predikat “kurang sehat” dengan nilai kredit 65. Setiap penurunan 0,1% dari pemenuhan KPMM 7,99% nilai kredit dikurangi 1 minimum 0. 2) Komposisi permodalan. 3) Trend ke depan/proyeksi KPMM. 4) Aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan modal bank.
5) Kemampuan bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan (laba ditahan). 6) Rencana pemodalan bank untuk mendukung pertumbuhan usaha. 7) Akses kepada sumber permodalan. 8) Kinerja
permodalan
bank
keuangan
pemegang
saham
untuk
meningkatkan.
2.
Kualitas Aset (Asset Quality) Penilaian pendekatan kuantitas dan kualitatif faktor kualitas asset antara lain dilakukan komponen sebagai berikut : 1) Aktiva
produktif yang
diklasifikasikan
dibandingkan dengan total
aktiva produktif (APYD : AP). Untuk rasio 15,5% atau lebih, nilai kredit 0 dan untuk setiap penurunan 0,15% mulai dari 15,5% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100. 2) Debitur inti kredit di luar pihak terkait dibandingkan dengan total kredit. 3) Perkembangan aktiva produktif bermasalah / non performing asset dibandingkan dengan aktiva produktif. 4) Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk oleh bank terhadap penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk oleh bank (PPAP bank : PPAP seharusnya). 5) Kecukupan kebijakan dan prosedur aktiva produktif. 6) Sitem kaji ulang (review) internal terhadap aktiva produktif. 7) Dokumentasi aktiva produktif. 8) Kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah.
3.
Manajemen (Management) Penilaian
terhadap
faktor
manajemen
antara
lain
penilaian terhadap komponen-komponen sebagi berikut : 1) Manajemen umum. 2) Penerapan sistem manajemen risiko.
dilakukan
melalui
3) Kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada bank Indonesia dan atau pihak lainnya.
4.
Rasio Kecukupan Modal / CapitaL Adequacy Ratio (CAR) Rasio ini adalah untuk menunjukkan kemampuan kecukupan modal dalam menghadapi kemungkinan kerugian yang disebabkan oleh kredit yang diberikan, kerugian atas investasi surat-surat berharga serta aset lain yang beresiko. Rumus dari rasio ini adalah sebagai berikut:
ATMR terdiri atas : pos-pos aktiva neraca (rupiah dan valas) dan pos-pos aktiva administratif (rupiah + valas) Sumber : Dendawijaya (2009:41)
2.6
Non Performing Financing (NPF) Risiko yang terjadi dari peminjaman adalah peminjaman yang tertunda atau
ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Pada bank syariah hal tersebut disebut sebagai Non Performing Financing (NPF). Dalam PSAK No. 31 (Revisi 2000) disebutkan bahwa: “Non Performing Financing pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran poko dan/atau bunganya telah lewat 90 (sembilan puluh) hari atau lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yan pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan.” Sedangkan
menurut
Peraturan
Bank
Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004
Tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank yang dimaksud dengan kredit bermasalah (non-performing loan) adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet berdasarkan ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Secara luas, Non Performing Financing (NPF) didefinisikan sebagai suatu kredit dimana pembayaran dilakukan tersendat-sendat dan tidak mencukupi kewajiban minimal yang ditetapkan sampai dengan kredit yang sulit untuk memperoleh pelunasan atau bahkan tidak dapat ditagih.
2.6.1 Penggolongan Kolektibitas Pembiayaan Ketidaklancaran
nasabah
membayar
angsuran
pokok
maupun
bagi
hasil/profit margin pembiayan menyebabkan adanya kolektabilitas pembiayaan. Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah pasal 9 ayat (2), bahwa aktiva produktif dalam bentuk pembiayaan dibagi atas 5 (lima) golongan , yaitu : I.
Lancar (L)
II.
Kurang Lancar (KL)
III.
Diragukan (D)
IV.
Dalam Perhatian Khusus (DPK)
V.
Macet (M)
I.
Lancar (L) Pembiayaan digolongkan lancar apabila memenuhi kriteria dibawah ini: A. Pembiayaan dengan Angsuran di lur Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) 1. Tidak
terdapat
tunggakan
angsuran
pokok,
tunggakan
bagi
hasil/profit margin, atau cerukan karena penarikan atau 2. Terdapat tunggakkan angusuran pokok, tetapi : a. Belum melebihi 1 bulan, bagi pembiayaan yang ditetapkan masa angsurannya kurang dari 1 bulan; atau b. Belum melebihi 3 bulan, bagi pmbiayaan yang ditetapkan masa angsurannya bulanan, 2 bulanan atau 3 bulanan; atau c. Belum melampaui 6
bulan,
bagi pembiayaan yang masa
angsurannya ditetapkan 4 bulan atau lebih 3. Terdapat tunggakan bagi hasil/profit margin, tetapi :
a. Belum melampaui 1
bulan
bagi pembiayaan yang sama
angsurannya kurang dari 1 bulan; atau b. Belum melampaui 3
bulan
bagi pembiayaan yang masa
angsurannya lebih dari 1 bulan; atau 4. Terdapat serukan karena penarikan tetapi jangka waktunya belum melampaui 15 hari kerja B. Pembiayaan dengan angsuran untuk Pembiayaan Pemilikan Rumah 1. Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok, atau 2. Terdapat tunggakan angsuran pokok tetapi belum melampaui 6 bulan C. Pembiayaan tanpa angsuran atau pembiayaan rekening koran 1. Pembiayaan belum jatuh waktu, dan terdapat tunggakan bagi hasil/profit margin ; atau 2. Pembiayaan belum jatuh waktu dan terdapat tunggakan bagi hasil/profit margin tetapi belum melampaui 3 bulan; atau 3. Pembiayaan telah jatuh waktu dan telah dilakukan analisis untuk perpanjangannya
tetapi
karena
kesulitan
teknis
belum dapat
diperpanjang; atau 4. Terdapat serukan karena penarikan tetapi jangka waktunya belum melampaui 15 hari kerja D. Serukan rekening giro Terdapat
serukan
rekening
giro
tetapi jangka
waktunya
belum
melampaui 15 hari kerja.
II.
Kurang Lancar (KL) Pembiayaan digolongkan kurang lancar apabila memenuhi kriteria dibawah ini : A. Pembiayaan dengan angsuran di luar Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) 1. Terdapat tunggakan angsuran pokok yang:
a. Melampaui 1 bulan dan beum melampaui 2 bulan pembiayaan dengan angsuran kurang dari 1 bulan; atau b. Melampaui 3
bulan dan belum melampaui 6 bulan bagi
pembiayaan yang masa angsurannya ditetapkan bulanan, dua bulanan, atau tiga bulanan; atau c.
Melampaui 6 bulan tetapi belum melampaui 12 bulan bagi pembiayaan yang masa angsurannya ditetpakan 6 bulanan atau lebih; atau
2. Terdapat tunggakan bagi hasil/profit margin, tetapi : a. Melampaui 1 bulan, tetapi belum melampaui 3 bulan bagi pembiayaan dengan masa angsuran kurang 1 bulan; atau b. Melampaui 3 bualan, tetapi belum melampaui 6 bulan bagi pembiayaan yang masa angsurannya lebih dari 1 bulan 3. Terdapat
serukan
karena
penarikan
jangka
waktunya
belum
melampaui 15 hari kerja. B. Pembiayaan dengan angsuran untuk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PRR) Terdapat tunggakan angsuran pokok yang telah melampaui 6 bulan tetapi belum melampaui 9 bulan. C. Pembiayan tanpa angsuran 1. Pembiayaan belum jatuh waktu: a. Terdapat tunggaka bagi hasil/profit margin yang melampaui 3 bulan tetapi belu melampaui 6 bulan; atau b. Terdapat
penambahan
plafon
atau
pembiayaan
baru
dimaksudkan untuk melunasi tunggakan bagi hasi/profit margin ; atau 2. Pembiayaan belum jatuh tempo dan belum dibayar tetapi belum melampaui 3 bulan; atau 3. Terdapat serukan kerja penarikan tetapi jangka waktunya telah melampaui 15 hari kerja tetapi belum melampaui 30 hari kerja D. Pembiayaan yang diselamatkan
1. Tidak memenuhi kriteria tersebut pada kriteria lancar dan ada tunggaka; atau 2. Terdapat tunggakan tetapi masih memenuhi kriteria pada kriteria lancar; atau 3. Terdapat serukan karena penarikan tetapi jangka waktunya telah melampaui 15 hari kerja dan belum melampaui 30 hari kerja
III.
Diragukan (D) Pembiayaan digolongkan diragukan apabila pembiyaan yang bersangkutan tidak memenuhi kriteria lancar dan kurang lancar, seperti tersebut pada kriteria lancar dan kurang lancar dan tetapi berdasarkan penilaian dapat disimpulkan bahwa : A. Pembiayaan
masih
sekurang-kurangnya
dapat 75%
diselamatkan dari
dan
hutang
agunannya
peminjam
bernilai
termasuk
bagi
hasil/profit margin; atau B. Pembiyaan tidak dapat diselamatkan tetapi agunannya masih bernilai sekurang-kurangnya 100% dari hutang peminjam.
IV.
Macet (M) Pembiayaan digolongkan macet apabila : A. Tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar, dan diragukan atau B. Memenuhi kriteria diragukan tersebut tetapi jangka waktunya 21 bulan sejak
digolongkan
diragukan
belum
ada
pelunasan
atau
usaha
penyelamatan; atau C. Pembiyaan
tersebut
penyelesaiannya
telah
diserahkan
kepada
pengadilan negeri atau Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) atau telah diajukan penggantian rugi kepada perusahaan asuransi kredit atau kalau di Badan Arbitrase Syariah.
2.6.2 Faktor Penyebab Non Performing Financing
Keadaan turunnya mutu pembiayaan tidak terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi selalu memberikan “warning sign” atau faktor-faktor penyebab terlebih dahulu dalam pembiayaan. Ada beberapa penyebab yaitu: 1. Faktor intern (berasal dari pihak bank) a. Pertumbuhan pembiayaan yang berlebihan 1) Pemberian pembiayaan melebihi kebutuhan debitur (ada peluang side streaming ) 2) Kurangnya
pemahaman
atas
bidang
usaha
nasabah
yang
disebabkan lemahnya sumber daya manusia dalam melakukan analisa pembiyaan. b. Menyimpang dari prosedur baku Perbankan terdorong oleh rasa yang terlalu agresif dan motivasi untuk mengejar pertumbuhan yang cepat sehingga proses pemberian pembiayaan lengah dan mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam tata cara dan prosedur pemberian pembiyaan yang sehat. c. Sistem pengawasan internal bank yang lemah d. Terjadinya erosi mental Kondisi ini dipengaruhi timbal balik antara nasabah dengan pejabat
bank,
sehingga
mengakibatkan
proses
pemberian
pembiayaan tidak berdasarkan pada praktik perbankan yang sehat 2. Faktor ekstern a. Kondisi ekonomi : terjadinya krisis ekonomi b. Adanya kebijak pemerintah : peraturan tentang usaha produk atau sektor ekonomi atau industri berdampak positif maupun negatif bagi persahaan yang berkaitan dnegan industri tersebut. c. Nasabah 1) Kondisi manajemen nasabah a) Berkaitan dengan kemampuan manajemen dan karakter nasabah
yang
kewajibannya
bersangkutan. sangat
Nasabah
ditentukan
oleh
kemauan serta itikad baik dari nasabah.
dapat
memenuhi
kemampuan
dan
b) Meningkatnya key person c) Adanya perselisihan antar direksi atau pemilik nasabah 2) Kegagalan usaha nasabah a) Nasabah yang belum berpengalaman dalam bidang usahanya b) Kurang peka terhadap perubahan permintaan pasar c) Produk kalah bersaing d) Bidang usaha nasabah telah jenuh 3) Ketidakjujuran
nasabah
dalam
memberikan
informasi
dan
laporannya tentang kegiatan usahanya, posisi keuangan, hutang, piutang, persediaan, dan lain-lain.
2.6.3 Dampak Non Performing Financing Dalam jumlah yang besar serta terus menerus, pembiayaan bermasalah dapat mendatangkan dampak yang kurang baik bagi pemberi pembiayaan, dunia perbankan, maupun terhadap kegitan ekonomi dan moneter.
1. Dampak terhadap kelancaran operasi bank pemberi pembiayaan Bank yang di rong-rong masalah pembiayaan dalam jumlah yang besar
akan
mengalami
berbagai
macam
kesulitan
operasional.
Pembiayaan dengan kualitas buruk memerlukan cadangan penghapusan yang semakin besar sehingga biaya yang ditanggung untuk mengadakan cadangan
tersebut
semakin
besar,
hal
ini
jelas
mempengaruhi
profitabiiltas bank syariah. Profitabilitas yang semakin menurun akan mengurangi modal sendiri kemudian CAR akan menurun, sehingga bank memerlukan dana segar. Apabila bank syariah tidak dapat menambah modal sendiri maka nilai kesehatan operasi akan menurun. Hal ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. 2. Dampak terhadap dunia perbankan Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan menurunkan tingkat operasi bank tersebut. Apabila penurunan kualitas pembiayaan
dan
profitabilitas
sudah
sangat
parah
sehingga
mempengaruhi
likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas bank, maka kepercayaan para panitia dana terhadap bank akan menurun. 3. Dampak terhadap ekonomi dan moneter Sistem perbankan yang terganggu karena pembiayaan bermasalah akan
menghilangkan kesempatan bank
untuk
membiayai kegiatan
operasinya dan perluasan debitur lain karena terhentinya perputaran dana yang akan dipinjamkan. Hal ini akan memperkecil kesempatan pengusaha lain untuk memanfaatkan peluang bisnis dan investasi yang ada.
2.6.4 Upaya Penanganan Pembiayaan Bermasalah Menurut Muhammad (2005:314), dari hasil survey yang dilakukan pada bank
syariah di Yogyakartta ditemukan bahwa dalam proses penanganan
pembiyaan dilakukan sesuai dengan kolektabilitas pembiayaan, yaitu sebagai berikut : 1. Pembiayaan lancar, dilakukan dengan cara : a. Pemantauan usaha nasabah b. Pembianaan anggota dengan pelatiha-pelatihan 2. Pembiayaan potensial bermasalah dilakukan dengan cara : a. Pembianaan anggota b. Pemberi tahuana dengan surat teguran c. Kunjungan lapangan atau silaturahmi oleh bagian pembiayaan kepada nasabah d. Upaya preventif dengan penanganan reschedulting, yaitu penjadwalan kembali jangka waktu angsuran serta memperkecil jumlah angsuran. Juga dapat dilakukan reconditioning,
yaitu memperkecil margin
keuntungan/ bagi hasil. 3. Pembiyaan kurang lancar dilakukan dengan cara: a. Membuat surat teguran/ peringatan.
b. Kunjungan lapangan atau silaturahmi oleh bagian pembiayaan kepada nasabah secara sungguh-sungguh c. Upaya penyerahan dengan cara reschedulting, yaitu penjadwalan kembali jangka waktu angsuran serta memperkecil jumlah angsuran. Juga dapat dilakukan reconditioning,
yaitu memperkecil margin
keuntungan/ bagi hasil. 4. Pembiayaan diragukan atau macet, dilakukan dengan cara : a. Dilakukan dengan cara reschedulting, yaitu penjadwalan kembali jangka waktu angsuran serta memperkecil jumlah angsuran. b. Dilakukan dengan cara reconditioning, yaitu memperkecil margin keuntungan/ bagi hasil. c. Dilakuakan
pengalihan
atau
pembiayaan
ulang
dalam
bentuk
pembiayaan al-Qardhul Hasan.
2.6.5 Perhitungan Non Performing Financing
Tabel 2.4 Perhitungan NPF Berdasarkan Kemampuan Bayar Nasabah (Debitur) di Bank Syariah Jenis Pembiayaan
Kategori yang Diperhitungkan Dalam NPF Kurang Lancar
Diragukan
Macet
Murabahah,
Tunggakan lebih
Tunggakan lebih
Tunggakan lebih
Istishna’, Ijarah,
dari 90 hari s.d.
dari 180 hari s.d
dari 270 hari
Qard
180 hari
270 hari
Salam
Telah jatuh tempo
Telah jatuh tempo
Lebih dari 90 hari
s.d 60 hari
s.d 90 hari
Mudharabah,
Tunggakan s.d 90
Tunggakan lebih
Tunggakan lebih
Musyarakah
hari realisasi bagi
dari 90 s.d 180
180 hari, realisasi
hasil di atas 30%
hasil, realisasi
pendapatan kurang
s.d 90% dari
bagi hasil kurang
dari 30% dari
proyek pendapatan
dari 30%
proyeksi pendapatan lebih dari 3 periode pembayaran
Sumber : Muntoha (2011)
Non Performing Financing (NPF) akan berdampak pada menurunnya tingkat bagi hasil yang dibagikan pada pemilik dana. Hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya dapat melakukan kegiatan dan mengembangkan usahanya apabila nasabah percaya untuk menempatkan uangnya. Kemudian setelah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, bank kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam rangka meningkatan taraf hidup masyarakat (Muntoha 2011). Menurut
Antonio
(2011)
pengendalian
biaya
mempunyai
hubungan
terhadap kinerja lembaga perbankan, sehingga semakin rendah tingkat NPL (ketat kebijakan kredit) maka akan semakin kecil jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh bank, dan sebaliknya. Semakin ketat kebijakan kredit/analisis pembiayaan yang dilakukan bank (semakin ditekan tingkat NPF) akan menyebabkan tingkat permintaan pembiayaan oleh masyarakat turun.
2.7
Penelitian Terdahulu Beberapa
penelitian
yang
berkaitan
dengan
keputusan
penyaluran
pembiayaan oleh bank telah banyak dilakukan, terlepas yang menjadi fokus penelitian tersebut baik faktor eksternal maupun faktor internal bank sendiri. Penelitian tersebut antara lain :
Menurut Ghafur (2003) pada Tingkat Bagi Hasil, Suku Bunga, dan Pendapatan terhadap Simpanan Mudharabah : Studi Kasus Pada BMI. Hasil estimasi yang dilakukan peneliti dengan menggunakan pendekatan model ADL menunjukkan bahwa varibel bebas TBH tidak berpengaruh secara signifikan. Hubungan simpanan, modal sendiri, NPL Adnan (2005) dalam penelitian mereka yang berjudul Analisis Hubungan Simpanan, Modal Sendiri, NPL, Presentase Bagi Hasil dan Markup Keuntungan Terhadap Pembiayaan pada Perbankan Syariah (Studi Kasus Pada Bank Muamalat Indonesia) menunjukkan bahwa simpanan (DPK) mempunyai hubungan positif signifikan, modal sendiri dan NPL mempunyai hubungan positif tidak signifikan. Sedangkan secara parsial presentase bagi hasil dan markup keuntungan mempunyai hubungan negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan. Donna dan Chotimah (2008) mengungkapkan dalam penelitiannya tentang Variabel-varibel yang mempengaruhi Pembiayaan Pada Perbankan Syariah Di Indonesia Ditinjau Dari Sisi Penawaran, hasilnya adalah tingkat bagi hasil (return), ekspektasiprofit di sektor riil, dana pihak ketiga, modal per aset, dan pendapatan berpengaruh terhadap besar kecilnya pembiayaan. Sedangkan untuk Non Performing Financing tidak berpengaruh pada pembiayaan. Pada
penelitian
yang
berjudul Analisis
Perilaku
Penawaran
Kredit
Perbankan Kepada Sektor Umum di Indonesia (2002-2006). Meydianawati (2007) meneliti pengaruh Net Performing Loan, Return On Aset, Dana Pihak Ketiga, Capital Adequacy Ratio terhadap penawaran kredit. Hasilnya yaitu dana pihak ketiga, Return On Aset dan Capital Adequacy Ratio berpengaruh positif dan signifikan terhadap penawaran kredit investasi dan modal kerja bank umum kepada sektor UMKM di Indonesia. Sedangkan untuk Net Performing Loan berpengaruh negatif dan signifikan.. Maharani (2010) dengan penelitiannya yang berjudul Analisis Pengaruh CAR, NPF, dan DPK Terhadap Penyaluran Pembiayaan (Studi Pada Bank Muamalat
Indonesia
Periode
2001-2009).
Hasilnya
yaitu
variabel
DPK
berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan NPF berpengaruh negatif signifikan terhadap penyaluran pembiayaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Andraeny (2011) dengan judul Analisis Pengaruh Dana Pihak Ketiga, Tingkat Bagi Hasil, dan Non Performing Financing terhadap Volume Pembiayaan berbasis Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah di Indonesia. Hasilnya yaitu variabel DPK dan TBH berpengaruh signifikan terhadap volume pembiayaan berbasis bagi hasil pada perbankan syariah di Indonesia. Variabel NPF tidak berpengaruh signifikan terhadap volume pembiayaan berbasis bagi hasil pada perbankan syariah di Indonesia.
2.8
Kerangka Pemikiran Secara teknis yang dimaksud simpanan adalah seluruh dana yang dihasilkan
dari produk penghimpunan dana pada perbankan syariah, seperti giro wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Pertumbuhan setiap
bank
sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya dalam
menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil ataupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Secara operasional perbankan, DPK merupakan sumber likuiditas untuk memperlancar pembiayaan yang terdapat pada sisi aset neraca bank. Menurut Adnan (2005), semakin besar sumber dana (simpanan) yang ada maka bank akan dapat menyalurkan pembiayaan semakin besar pula. Secara teori, dalam menjalankan operasionalnya bank sebagai entitas bisnis yang bersifat profit oriented tentu mengharapkan tingkat keuntungan yang tinggi. Andraeny (2011) menyebutkan bahwa besarnya profit yang diinginkan (target laba) merupakan salah satu acuan bank dakam menetapkan besarnya volume kredit yang disalurkan. Tingkat Bagi Hasil ini menjadi faktor penting karena jenis pembiayaan berbasis bagi hasil bersifat Natural Uncertainty Contract (NUC) yang
cenderung
memiliki
risiko
yang
tinggi
dibandingkan
dengan
jenis
pembiayaan lainnya karena return yang diperoleh bank tidak pasti. Bank sebagai unit bisnis membutuhkan darah bisnis, yaitu berbentuk modal. Dengan kata lain, modal bank adalah aspek penting bagi suatu unit bisnis bank. Oleh sebab itu, beroperasi tidaknya atau dipercaya tidaknya suatu bank, salah satunya sangat dipengaruhi oleh kondisi kecukupan modal kualitas asetnya. Kecukupan modal dan kualitas aset tersebut dapat diperhitungkan menggunakan
rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aset bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang), dan lain-lain. Kredit bermasalah merupakan hal yang tidak menggembirakan bagi pihak bank. Hal ini disebabkan oleh kegagalan pihak debitur memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran (cicilan) pokok kredit beserta bunga yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian kredit (Dendawijaya, 2011:82). NPFmerupakan rasio yang terkait dengan penyaluran pembiayaan. Jika semakin rendah tingkat NPF maka akan semakin tinggi jumlah pembiayaan yang disalurkan
oleh
bank.
Kredit bermasalah yang tinggi dapat menimbulkan
keengganan bank untuk menyalurkan kredit karena harus membentuk cadangan penghapusan yang besar. Berdasarkan pada landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya serta permasalahan yang telah dikemukakan, maka sebagai dasar perumusan hipotesis berikut disajikan kerangka pemikiran yang dituangkan dalam model penelitian pada gambar berikut: Dana Pihak Ketiga
Tingkat Bagi Hasil
Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil
Rasio Kecukupan M odal
Non Performing Financing
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
2.9
Hipotesis Berdasarkan
kerangka
pemikiran
diatas
maka
hipotesis yang dapat
dirumuskan penulis, yaitu : H1 : Dana Pihak Ketiga berpengaruh terhadap Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil H2 : Tingkat Bagi Hasil berpengaruh terhadap Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil H3 : Rasio Kecukupan Modal berpengaruh terhadap Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil H4 : Non Performing Financing berpengaruh terhadap Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil H5 : Dana Pihak Ketiga, Tingkat Bagi Hasil, Rasio Kecukupan Modal, Non Performing Financing berpengaruh secara simultan terhadap Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil