BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Learning Management System Learning Management System (LMS) dapat didefinisikan sebagai
seperangkat servis yang didisain untuk memonitor dan melaporkan serta mengelola konten pembelajaran, kemajuan pelajar dan juga interaksi yang terjadi pada pelajar (ADL, 2003). LMS menjadi sangat penting dan memiliki pengaruh yang besar seiring dengan muncul dan populernya istilah-istilah seperti, Internetbased educational systems, educational service providers, distance-learning dan juga on-demand education. Perkembangan LMS sangat luas dan tidak hanya terbatas diperuntukkan bagi dunia pendidikan saja, tetapi juga dapat digunakan dalam dunia bisnis yang berorientasi pada personal development. Bagi organisasi atau perusahaan, LMS hanya digunakan dengan Internet dan perangkat lunak lainnya untuk mendukung personal development, tetapi bagi institusi pendidikan peranan LMS sangat besar dan banyak digunakan untuk menunjang sarana pendidikan (West, Waddoups, & Graham, 2006). Dalam institusi pendidikan, LMS memiliki banyak bentuk yang juga dapat diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan yang sedang berjalan. Di beberapa negara
yang telah mengimplementasikan LMS bagi institusi
pendidikannya, telah mendapatkan keuntungan dari segi efektifitas biaya yang dikeluarkan, sistem pembelajaran yang user friendly, dan yang paling penting adalah fitur integrasi yang ditawarkan oleh LMS terhadap sistem yang telah ada
9
10
pada institusi pendidikan tersebut, sehingga servis-servis yang telah ada dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi. Servis-servis yang dapat ditingkatkan seperti, student management system, katalog marketing, online payment, tracking of textbook shipments, registration of examinations, dan juga perangkat multimedia lain. Kedepannya, banyak institusi pendidikan ingin memaksimalkan fitur multimedia yang dimilikinya dengan bantuan LMS, sehingga penggunaan servis video dan audio yang dikemas sedemikian rupa dengan tampilan interface dan fitur yang menarik dapat diciptakan demi kemudahan proses learning pada pelaku institusi pendidikan tersebut. Lebih luas lagi, penggunaan LMS diharapkan dapat memaksimalkan, mengatur serta memvisualisasi suatu learning process, mensinkronisasi komunikasi antar pelaku institusi pendidikan, sehingga dihasilkan sistem pembelajaran yang dapat saling berkolaborasi tidak hanya pada skala nasional, tetapi juga internasional (Paulsen, 2002).
2.2
Pendekatan Metode Pembelajaran ADDIE Dalam mendisain suatu model instruksional, terkadang ditemukan
beberapa masalah. Permasalahan tidak hanya timbul pada saat ingin membuat suatu model instruksional, tetapi juga dapat muncul ketika ingin melakukan suatu improvisasi untuk meningkatkan learning and performance yang telah ada. Untuk itu diperlukan suatu prosedur yang sistematik untuk menyusun suatu desain instruksional yang dikenal dengan Instructional Systems Design (ISD). ISD adalah suatu pendekatan yang sistematis untuk design, production, evaluation, dan utilization terhadap suatu complete system instruksional, termasuk semua komponen-komponen dan pola manajemen yang tepat untuk digunakan pada
11
suatu institusi (Sortrakul & Denphaisarn, 2009). Salah satu pendekatan yang sering dipakai adalah model ADDIE yang terdiri dari lima proses dari pengembangan suatu desain instruksional. Proses tersebut merupakan akronim dari ADDIE yaitu, Analysis, Design, Development, Implementation dan Evaluation. Model ADDIE menganalisa kebutuhan, desain instruksi dan presentasi, mengembangkan materi, implementasi aktivitas instruksional dan mengevaluasi efektivitas materi pembelajaran. Metode ADDIE didefinisikan secara umum sebagai berikut:
Gambar 2.1 ADDIE Model (Grafinger, 1988)
Analysis Dalam fase ini, terjadi proses identifikasi permasalahan atas pembelajaran, hasil akhir dan tujuan dari pembelajaran, kebutuhan dari setiap peserta, pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta, serta karakteristik lainnya dari peserta pembelajaran. Pada fase ini juga memperhatikan lingkungan
12
dimana terjadi proses pembelajaran tersebut, hambatan yang mungkin terjadi, metode pengajaran yang akan disampaikan, serta target waktu yang akan dicapai untuk proses pembelajaran tersebut. Kebutuhan-kebutuhan akan data tersebut dapat diakomodir dengan melakukan survey dengan metode (Schiffman & Kanuk, 2003), metode tersebut dapat digunakan untuk mengetahui pendapat peserta (konsumen) atas performa suatu produk atau jasa. Metode ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu : 1.
Awareness Digunakan untuk melihat pengetahuan atau kesadaran konsumen terhadap suatu produk atau jasa. Terdapat dua cara untuk mengetahui tingkat awareness konsumen, yaitu unaided awareness dan aided awareness.
unaided
awareness
adalah
konsumen
memiliki
pengetahuan langsung dan dapat menyebutkan secara cepat terhadap suatu produk atau jasa. aided awareness adalah pengetahuan tentang produk atau jasa yang muncul setelah dipancing oleh alat bantu yang disediakan. 2.
Trial Konsumen yang menggunakan produk atau jasa dalam masa uji coba untuk mengetahui permasalahan yang mungkin muncul pada produk atau jasa tersebut.
3.
Usage Tahap pada saat konsumen telah menggunakan produk atau jasa. Tahap ini untuk mengetahui tingkat pemakaian konsumen dan membandingkannya dengan pola pemakaian berdasarkan jenis
13
kelamin, umur, tingkat pendapatan, dan sebagainya untuk digunakan dalam membedakan segmen konsumen. 4.
Retention Konsumen yang telah menggunakan suatu produk atau jasa diukur tingkat kepuasannya dan apakah akan terus tetap menggunakan produk atau jasa tersebut. Tujuannya untuk mengukur tingkat kesetiaan konsumen terhadap produk atau jasa.
Design Sebuah proses sistematis untuk mendefinisikan secara spesifik tujuan dari pembelajaran yang akan diberikan. Dokumentasi penyusunan materi, prototipe perancangan, tampilan antarmuka sistem, disain dan layout, serta materi dari pembelajaran yang akan disampaikan disusun pada fase ini.
Development Proses produksi dari isi dan materi pembelajaran berdasarkan hasil dari fase Design.
Implementation Selama masa implementasi, rencana yang sudah disusun sebelumnya, sudah mulai dijalankan, penyusunan seperangkat prosedur pelatihan untuk peserta pembelajaran, dan prosedur pelatihan untuk pengajar. Materi yang sudah ada didistribusikan kepada sekelompok pelajar untuk dilakukan pilot testing. Hasil dari pilot testing tersebut akan dievaluasi tingkat efektifitas dari materi pembelajaran tersebut.
14
Evaluation Fase ini terdiri dari dua macam evaluasi, yaitu formative dan summative evaluation. Formative evaluation dilakukan di setiap fase ADDIE, sedangkan
summative
evaluation
dilakukan
pada
akhir
proses
penyampaian pembelajaran untuk mengevaluasi masukan dari peserta pembelajaran. Secara pengembangan, diperlukan campur tangan teknologi dalam mengembangkan suatu sistem instruksional untuk memberikan suatu nilai tambah. Secara modeling function dan desain untuk user interface diperlukan suatu metodologi software engineering. Untuk itu digunakanlah System Development Life Cycle (SDLC). SDLC mencakup semua proses dan fase seperti, requirements and specification analysis, design, implementation, testing and delivery (Bruegge et al, 2003). Dengan
mengintegrasikan
instructional
design
dengan
software
engineering secara sistematis, yaitu proses ADDIE yang berperan dalam bidang pendidikan dan SDLC yang berperan dalam teknologi, maka tujuan pembelajaran secara e-learning akan tercapai. Proses software engineering digunakan dalam metode instructional design secara terintegrasi untuk memaksimalkan proses delivery materi pembelajaran. Pada kolaborasi ini, hanya dibatasi pada proses disain SDLC saja untuk menghasilkan rancangan layar yang terintegrasi pada tahap development ADDIE.
15
ADDIE
Analysis
SDLC
Functional Specifications
Technological Design Pedagogical Design Users Evaluation
Code Generation & Testing Development
Release Implementation Support
Gambar 2.2 SDLC And ADDIE Collaboration (Lujara, 2010, p. 66)
2.3
Teknologi IPTV Perkembangan teknologi Internet memungkinkan transmisi data, voice,
dan video format digital dapat dikirimkan melalui protokol Internet (Internet Protocol – IP). Dengan cara yang konvensional, untuk mendapatkan ketiga jenis data digital tersebut pengguna diharuskan mengakses ke alamat website tertentu dan menikmati data digital tersebut melalui antarmuka yang disediakan oleh website tersebut. Dalam pengembangan dan penggabungan beberapa jenis teknologi ke dalam satu medium transmisi mengakibatkan muncul sebuah istilah Television over Internet Protocol - IPTV (Donoso, 2009). Konsep IPTV yang berkembang saat ini adalah bagaimana sebuah konten TV dalam format digital ditransmisikan melalui medium IP pada private network yang bersifat closed distribution network, yang hanya bisa diakses oleh pelanggan
16
yang terdaftar pada sebuah penyedia layanan yang sudah memiliki infrastruktur yang memadai untuk menyelenggarakan layanan IPTV tersebut, dan dijaga kualitas keamanan, keandalan, dan keandalannya secara profesional dan mengacu pada standar layanan yang berlaku. Konten TV digital ini dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan dari pelanggan, sehingga tayangan yang tersedia bisa bervariasi dan berbeda antar setiap pelanggan.
2.3.1 Arsitektur Ramirez (2008) menjelaskan bahwa arsitektur teknologi IPTV terdiri dari empat komponen, yaitu Subscriber, Network Provider, IPTV Service Provider, Content Provider. Masing-masing komponen memiliki fungsionalitas pelayanan yang saling terintegrasi untuk menjamin keberhasilan pengiriman paket-paket data digital melalui protokol Internet.
High-level IPTV Environment
Subscriber
Network Provider
IPTV Service Provider
Content Provider
Gambar 2.3 High-Level IPTV Environment (Ramirez, 2008, p. 24)
2.3.1.1 Content Provider Komponen pertama dimulai dari Content Provider, bertugas dalam penyediaan konten yang akan dikirimkan secara eksklusif kepada pelanggan dan bersifat off-air. Content Provider bertanggung jawab dalam penyediaan konten
17
yang akan diberikan kepada pelanggan melalui penyedia layanan IPTV untuk mendistribusikan dan mengontrol informasi dari konten tersebut.
2.3.1.2 IPTV Service Provider Komponen kedua dibentuk oleh penyedia layanan IPTV,
yang
bertanggung jawab dalam mengelola dan mengubah konten digital menjadi paketpaket IP dan mengirimkan paket tersebut kepada pelanggan melalui penyedia infrastruktur jaringan. Penyedia layanan IPTV melakukan perjanjian dengan pemilik konten (content owners), mengendalikan enkripsi konten yang dikirimkan untuk mencegah akses dari pihak yang tidak berkepentingan, menyetujui untuk menyertakan proteksi Digital Rights Management (DRM) untuk produk-produk premium dengan tujuan menghindari proses reproduksi, pemutaran kembali (replay), dan penyimpanan. Skema fungsionalitas yang digambarkan oleh Ramirez (2008) pada komponen IPTV Service Provider seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4, dimana penyedia layanan IPTV memiliki elemen-elemen kritis Head End yang dikelompokkan sebagai berikut:
End User n
Set Top Box
Set Top Box
End User 1
Video on Demand
Middleware
Digital Rights Management
Video Repository
Local OffAir Content
Premium and Direct Feed Content
Pre-Encoded Content
Business and customer related applications: Provisioning, Billing, etc.
NTSC/PAL Receivers
MPEG Video Encoders
Gambar 2.4. IPTV Security Architecture – Service Components (Ramirez, 2008, p. 30)
Firewall
Content Management
Video Streaming Server
IP Encapsulators
18
19
Komponen Head End menerima berbagai jenis format dan media sebagai sumber konten informasi, termasuk di dalamnya adalah transmisi video lokal, konten premium dari penyedia pihak ketiga/vendor, dan rekaman studio lokal. Sebagian konten dari sumber tersebut masih dalam bentuk analog sehingga tidak bisa langsung ditransmisikan melalui jaringan protokol Internet. Konten analog tersebut bisa berasal dari format DVD, kaset video. Untuk konten analog seperti ini diperlukan proses encoding untuk mengubah format analog menjadi digital untuk dapat dijadikan ke dalam paket data agar dapat ditransmisikan melalui jaringan TCP/IP. Elemen tambahan yang ikut terlibat di dalam proses selanjutnya adalah aplikasi Digital Rights Management (DRM) dan content management systems (CMS) dimana perlu untuk menjamin keamanan konten yang disediakan sehingga kemungkinan pencurian konten dapat diminimalisir dengan metode manajemen konten dan aplikasi DRM. Konten Input Penyedia layanan dari arsitektur IPTV yang diterima oleh komponen Head End adalah sebagai berikut: Premium and Direct-Feed Content Konten premium yang termasuk dalam kategori ini adalah konten berbayar dalam format analog dan diperlukan proses encoding oleh MPEG encoder sebelum dikirimkan melalui fungsi IP encapsulator. Media fisik yang digunakan sebagai penyedia konten juga termasuk ke dalam klasifikasi kategori direct feed. Pre-encoded Content
20
Konten yang disediakan oleh penyedia layanan adalah konten yang sudah siap didistribusikan kepada subscribers dengan format yang sudah didukung dengan codec yang sesuai, dan cocok dengan program yang ada di sisi client. Konten ini dikirim langsung menuju fungsi IP encapsulator. Local off-the-air content Konten ini adalah hasil siaran oleh stasiun lokal dan diterima oleh server penerima sinyal PAL/NTSC sebelum konten tersebut dapat digunakan. Standar keluaran dari metode codec yang digunakan adalah sebagai berikut: -
MPEG-2, dengan kode H.262 yang digunakan untuk siaran video digital, sistem distribusi tv kabel, dan encoding untuk DVD.
-
MPEG-4, part 10, merupakan penerus dari H.262 dengan tingkat kompresi yang lebih baik dibanding dengan pendahulunya tanpa mengurangi kualitas video yang dihasilkan.
Video Transcoder Video transcoder menerima data dari konten lokal dengan berbagai macam format yang ada untuk dikonversi menjadi format standar yang digunakan dalam jaringan IPTV yang dibangun. Format video standar yang digunakan adalah MPEG-2, MPEG-4, atau format dengan codec tertentu yang ditentukan dan disepakati dalam menyediakan layanan IPTV. Perangkat yang digunakan untuk proses ini menggunakan spesifikasi sebagai berikut: MPEG Video Encoder Bertugas dalam menyediakan sarana recoding, recording manager dan capture/distribution server berfungsi untuk mendapatkan data dan
21
membuat konten dengan format yang tepat. Untuk mendapatkan hasil yang tepat, maka konten yang tersedia dari konten input diteruskan menuju MPEG Video encoder yang menghasilkan konten dalam bentuk video digital yang siap untuk dienkripsi, enkapsulasi, atau disimpan dan disebarkan menggunakan komponen jaringan IPTV lainnya. Penggunaan video encoder sebagai perangkat dalam jaringan, yang mengubah konten modul pembelajaran yang sudah terbentuk untuk dikonversi oleh fungsi compressor/decompressor (codecs). Hasil konversi tersebut menghasilkan format video digital MPEG-2 atau MPEG-4 untuk disesuaikan oleh penyedia layanan untuk dapat diterima dengan baik oleh perangkat yang digunakan di sisi subscriber. IP Encapsulator Fungsi perangkat ini adalah untuk mengubah video dengan format H.264 (MPEG-4) yang sudah siap disiarkan menjadi paket IP untuk ditransmisikan ke dalam jaringan IP. Sehingga setiap paket IP tersebut siap didistribusikan ke dalam jaringan melalui koneksi Ethernet. Modul IP Encapsulator menerima input yang berasal pre-encoded video dan MPEG Video encoder yang mengkonversi video dari direct feed dan video transcoder. Hasil keluaran dari IP encapsulator dikirimkan secara langsung ke video streaming server untuk dilakukan proses pengiriman menuju subscribers jika ada permintaan untuk modul video. Hasil konversi dari IP encapsulator juga ditransmisikan menuju DRM dan database konten. Konten yang dikirimkan ke DRM akan dienkripsi untuk mengaplikasikan standar keamanan yang akan digunakan untuk mengurangi resiko pencurian konten yang mungkin terjadi.
22
Proses selanjutnya modul video tersebut dikirimkan ke video repository server untuk disimpan dan digunakan apabila ada permintaan dari subscriber. Video Repository Video repository berfungsi untuk menyimpan konten yang akan digunakan berbagai aplikasi untuk proses broadcasting. Fasilitas penyimpanan yang tersedia termasuk video library dan media library yang dilayani oleh library servers untuk memastikan kecepatan akses dan akses handal terhadap konten yang diminta. Media yang tersimpan di dalam Video repository dapat berupa media siap pakai lengkap dengan proteksi DRM maupun media hasil konversi yang perlu proses enkripsi dan proteksi dengan DRM. Oleh karena itu ditetapkan prosedur standar untuk menjalankan proteksi DRM setiap kali ada video/media yang sudah selesai proses konversi. Video Streaming Server Video streaming server menjalankan perintah yang diberikan dari middleware dan video-on-demand server, dan menerima input dari DRM dan content management server dengan format media MPEG-4, H.264 atau codec tersendiri yang ditentukan oleh penyedia jasa IPTV. Dalam prakteknya, video streaming server memiliki kapasitas untuk melayani video streaming ke sejumlah subscribers pada saat yang bersamaan. Maka dari itu perangkat ini harus ditambahkan apabila semakin banyak subscriber yang terdaftar agar kualitas dari layanan video streaming tidak terganggu. Seberapa banyak subscribers yang mampu dilayani oleh perangkat ini sangat ditentukan oleh processing power. Hasil keluaran dari perangkat video streaming server adalah encoded media dalam bentuk paket IP yang dikirimkan melalui jaringan TCP/IP menuju
23
modul set-top box. Metode otentikasi dasar dapat diletakkan pada perangkat ini dimana akan berinteraksi dengan aplikasi DRM servers apabila konten yang dimaksud belum dienkripsi atau belum siap untuk diedarkan. Fungsi dari MPEG Video Encoder, Video Repository, Video On Demand, dan Video streaming server dapat diintegrasikan ke dalam satu perangkat dengan spesifikasi sebagai berikut: Digital Right Management Program aplikasi DRM menyediakan mekanisme enkripsi untuk menghindari akses yang tidak berkepentingan terhadap aset digital dan juga memperlengkapi dengan lisensi digital untuk memenuhi syarat kelayakan dengan model bisnis yang didefinisikan oleh pemilik konten dan penyedia jasa IPTV. Server DRM akan menerima konten setelah konten tersebut melalui proses encoding, selanjutnya dilakukan proses enkripsi untuk menghindari akses dari pihak yang tidak berkepentingan terhadap konten digital tersebut. Subscribers dilengkapi dengan DRM keys untuk memberikan akses ke dalam konten dengan syarat dan ketentuan yang diberlakukan oleh pemilik konten dan penyedia jasa IPTV. Digital rights management digunakan untuk memastikan setiap konten hanya diakses oleh subscribers yang memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Teknologi enkripsi ini digunakan untuk menyebarkan regulasi bisnis yang berlaku untuk seluruh konten dan memastikan penghormatan terhadap hak atas kekayaan intelektual. Sistem DRM akan mengenkripsi konten untuk menghindari kemungkinan terjadinya intersepsi antara head end dan home end.
24
Content Management Server Content management sever bertugas untuk mengatur arus informasi yang berasal dari IP encapsulator dan video streaming server, menyimpan media yang sudah siap didistribusikan pada video repository, atau mengirimkan ke DRM server untuk proses authorizing dan enkripsi. Permintaan melalui server middleware dapat dilayani oleh content management server melalui pemberian instruksi untuk mengirimkan media yang diminta oleh subscriber menuju video streaming server. Interaksi dengan pelanggan Server middleware berada di baris depan lingkungan IPTV, yang bertugas sebagai portal komunikasi antara pelanggan dengan penyedia layanan dengan basis web. Web browser yang terintegrasi pada modul set-top box (STB) di sisi subscriber berkomunikasi dengan server middleware mendownload electronic program guide (EPG) dan mengirimkan instruksi ke server middleware. Server middleware dalam IPTV berinteraksi dengan sejumlah sistem yang ada di dalam lingkungan IPTV, yaitu digital subscriber line access multiplexer (DSLAM), content servers, set-top boxes (STBs), video on demand servers, content streaming servers, DRM servers, dan beberapa aplikasi bisnis yang ada di setiap sistem tersebut. Interaksi yang terjadi di dalam arsitektur server middleware ditunjukkan pada Gambar 2.5. Komponen dalam server middleware terdiri dari dua komponen utama, yaitu core functions dan networking functions. Core functions bertanggung jawab atas manajemen aplikasi bisnis customer, kendali transaksi, dan sesi yang sedang berjalan dengan STB, termasuk di dalamnya adalah user authentication, dan
25
berbagai fungsi kritis lainnya. Core functions juga bertanggung jawab dalam penyediaan EPG agar selalu terbarukan, mengkoordinasikan aktivitas sistem eksternal, yaitu content management, DRM, dan aplikasi bisnis lainnya. Networking functions dari server middleware menyediakan fungsi standar sistem operasi dan menyediakan antarmuka berbasis web sebagai jalur komunikasi dengan STB.
Gambar 2.5 IPTV Middleware Architecture (Ramirez, 2007, p. 38)
Sistem eksternal yang berinteraksi dengan server middleware adalah sebagai berikut: i.
Digital Subscriber Line Access Multiplexer (DSLAM), bertugas untuk memfasilitasi
proses
otorisasi
menjalankan
virtual
local
akses
area
dari
networks
subscriber
untuk
(VLANS)
yang
memungkinkan terjadinya pertukaran informasi tentang lokasi fisik dari STB yang digunakan oleh subscriber. Server middleware menyediakan STB dengan informasi tentang VLANS yang tersedia dan subscriber perlu
bergabung terlebih dulu dengan VLANS
26
tersebut untuk mendapatkan akses terhadap konten yang disediakan. Server middleware memiliki otoritas menginstruksikan DSLAM untuk mematikan koneksi fisik dari STB yang teridentifikasi memberikan ancaman terhadap lingkungan IPTV, membahayakan user lainnya, atau apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya. ii.
Content Server, bertugas memberikan informasi kepada server middleware terkait dengan konten yang tersedia, dan menggunakan informasi tersebut untuk menyusun Electronic Program Guide (EPG).
iii.
Set Top Box (STB), penyedia layanan mengkonfigurasi STB untuk memeriksa koneksi VLAN yang tersedia sejak sistem ini beroperasi, sehingga VLAN tersebut dapat menjalankan update yang diperlukan dalam operasional STB. Server middleware menyediakan DRM keys dan data-data kritis lainnya untuk diakses oleh STB, atau middleware dapat mengarahkan STB langsung menuju DRM server untuk mendapatkan keys yang dimaksud.
iv.
Video on Demand & Streaming. STB mengirimkan instruksi ke server middleware untuk salah satu konten yang terdapat di dalam EPG, termasuk VOD dan konten pay-per-view, dilanjutkan dengan interaksi antara middleware dengan VOD server untuk mengirimkan konten tersebut kepada subscriber melalui streaming server.
v.
Digital Rights Management (DRM), menyediakan security keys dan digital license yang diperlukan oleh STB untuk mengakses VLAN.
27
vi.
Business Applications, merespon interaksi server middleware untuk validasi dan konfirmasi subscriber, fungsi penagihan dan pembayaran, dan informasi account apabila diminta oleh subscribers.
2.3.1.3 Network Provider Komponen ketiga adalah penyedia infrastruktur jaringan yang bertanggung jawab dalam mengirimkan konfigurasi, status, update dan mengendalikan informasi yang dikirimkan penyedia layanan IPTV kepada Subscribers. Penyedia jaringan harus memastikan reliabilitas dari paket IPTV yang dikirimkan, sehingga tidak terjadi gangguan dalam proses pengiriman tersebut. Donoso (2009) menyatakan bahwa layanan IPTV membutuhkan kualitas jaringan yang cukup tinggi, yaitu antara 2-4 Mbps tergantung dari video codec yang digunakan dalam kompresi video, dan bahkan tidak menutup kemungkinan membutuhkan kualitas transmisi yang lebih baik lagi. Skema topologi jaringan dari penyedia jasa infrastruktur jaringan untuk mendukung teknologi IPTV digambarkan oleh pada Gambar 2.5.
28
Gambar 2.6 IPTV over IP Networks (Donoso, 2009, p. 265)
2.3.1.4 Subscribers Dalam proses IPTV service delivery, diperlukan perangkat yang diletakkan pada sisi pelanggan untuk dapat menikmati layanan eksklusif dari penyedia layanan. Layanan yang disediakan berupa layanan data berupa akses Internet, layanan audio/voice berupa jalur telephone, serta layanan video berupa siaran TV digital, video on-demand, dan lain-lain. Perangkat yang biasa digunakan oleh pelanggan layanan tersebut adalah Set Top Box (STB). STB digunakan untuk menangkap siaran analog beserta siaran digital berbayar apabila berlangganan dengan penyedia layanan IPTV untuk kemudian dihubungkan dengan TV untuk dapat menikmati konten yang disediakan (Held, 2007).
29
Fungsi utama dari elemen ini adalah untuk menginterpretasi dan menerjemahkan permintaan dari pelanggan dan mengirimkan perintah berbasis IP tersebut menuju komponen head end untuk menjalankan perintah tertentu, atau mengirimkan konten yang diminta oleh pelanggan. Set Top Box pada umumnya memiliki komponen sebagai berikut: -
Hardware CPU
-
Core System – Secure Crypto
-
Peripherals (input ports)
-
DRM and Conditional Access System
-
MPEG-2 and MPEG-4 Drivers
-
Operating System and OS Drivers
-
Middleware Client
-
Video Capture – Decode
-
Web Browser
-
Instant Message Client
-
Email Client
2.3.2 Regulasi Dalam menyelenggarakan layanan IPTV, setiap penyedia layanan, penyedia konten, penyedia infrastruktur jaringan, dan pelanggan wajib memenuhi dan mematuhi regulasi yang berlaku. Khusus di Indonesia, Kementrian Komunikasi dan Informasi telah mengeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor: 11/PER. M/KOMINFO/07/2010 tentang Penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol Internet (Internet Protocol Television). Permenkominfo
30
ini mengatur jalannya layanan IPTV, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penyedia layanan dalam menyediakan layanan tersebut, ruang lingkup pelayanan IPTV di Indonesia, syarat sistem jaringan yang harus dipenuhi serta ketersediaan alat penunjang pelayanan IPTV, cakupan wilayah yang dilayani oleh pihak penyedia layanan, kualitas layanan yang diberikan, konten yang ditawarkan kepada pelanggan, serta proses pengajuan dan standar evaluasi pelayanan vendor penyelenggara layanan IPTV. Secara umum regulasi di Indonesia sudah menampung perkembangan teknologi IPTV, serta mengatur penyelenggaraan layanan tersebut.
2.3.3 Aplikasi Teknologi IPTV memungkinkan terjadinya interaksi dua arah antara pelanggan dan penyedia layanan, serta fleksibilitas dalam proses penyediaan dan akses untuk mendapatkan layanan. Maka dari itu akan banyak aplikasi yang mungkin terjadi di dalam integrasi medium yang disediakan oleh IPTV (Ma, Ma, & Wang, 2008). Untuk mengembangkan kebutuhan pembelajaran, integrasi dari data, audio, dan video memungkinkan terjadinya proses distance learning menggunakan medium IPTV.
31
VOIP PC Phone TV Phone Additional lines
Data
Audio Three experiencing Watch TV together Multimedia Net games Show missed call on TV Distance Learning
Interactive TV Real time voting SMS-to-TV TV-Mail
Video Video and Audio Communications TV Video Telephone Movies and pictures sharing Video conference
Gambar 2.7 Aplikasi Pada Teknologi IPTV (Ma, Ma, & Wang, 2008)
2.4
Learning Object (LO) Learning Object adalah sebuah istilah yang berasal dari paradigma dalam
ilmu komputer yang berorientasi pada objek. Ide dibalik orientasi berbasis objek ini adalah bahwa komponen objek dapat digunakan kembali dalam beberapa konteks (Wiley, 2000). Konsep dari LO mengacu pada suatu komponen yang secara umum berukuran kecil dan dapat digunakan kembali secara instruksional, biasanya didisain untuk distribusi melalui Internet, dan digunakan di Learning Management System (LMS) agar dapat diakses oleh lebih banyak pengguna.
32
2.4.1 Definisi dan Karakteristik dari Learning Object Definisi menurut Learning Technology Standards Committee (LTSC) dari Institute of Electrical and Electronic Engineer (IEEE) menyatakan bahwa Learning Object adalah suatu entitas, digital ataupun tidak, yang dapat digunakan, digunakan kembali, atau diacu selama proses pembelajaran yang didukung teknologi (IEEE LTSC, 2000). Learning Object juga dapat didefinisikan sebagai komponen yang secara potensial dapat digunakan kembali dari penelitian yang dikerjakan. Sebuah LO dapat berupa sebuah ide tunggal ataupun kumpulan beberapa konsep untuk menghasilkan potongan pembelajaran yang lebih substansial (Polsani, 2003). Sebuah LO menggambarkan potongan apapun dari informasi pembelajaran yang dikontekstualisasikan, digital ataupun tidak, seperti gambar, tulisan, video, permainan berbasis edukasi ataupun dokumen audio. Tujuan dari entitas tersebut adalah untuk menyediakan ilmu pengetahuan dalam jumlah besar yang dapat dipertukarkan antar organisasi, dan dapat digunakan untuk membangun proses pembelajaran lainnya secara individual (McGreal dkk.,2001). Learning Object sering digunakan sebagai komponen untuk merakit modul pembelajaran yang lebih besar ataupun melengkapi kursus, tergantung pada kebutuhan pembelajaran yang berbeda-beda. Learning Object mengijinkan desainer instruksional membangun komponen instruksional dengan ukuran kecil (bila dibandingkan dengan ukuran kursus secara keseluruhan) yang dapat dipergunakan kembali dalam beberapa konteks pembelajaran yang berbeda, dengan tujuan untuk meningkatkan fleksibilitas pelatihan, dan membuat kursus terbaru lebih mudah untuk ditangani (Muzio et al., 2002).
33
Definisi tersebut mengandung beberapa karakteristik penting dari suatu LO yang mengacu pada literatur, termasuk diantaranya: i.
Reusability (kemampuan untuk dipergunakan kembali) – dapat digunakan kembali dalam konteks pembelajaran yang berbeda
ii.
Flexibility (fleksibilitas) – dapat diperbaharui dengan mudah
iii.
Accessibility (kemampuan untuk diakses) – dapat ditemukan dan digunakan dengan mudah
iv.
Durability (awet/mampu bertahan lama) – dapat mempertahankan fungsi pengggunaannya untuk jangka waktu yang lama Interoperability – dapat digunakan dengan berbagai jenis platform
v.
atau sistem manajemen kursus yang berbeda-beda vi.
Shareability – konten dari beberapa kursus yang berbeda dapat diakses oleh beberapa pengguna (secara simultan) dengan sistem eLearning yang berbeda
vii.
Activity-size based – dapat digunakan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam suatu proses pembelajaran atau modul, atau cukup besar untuk dipelajari sendiri
Learning Object dapat dikenal dengan berbagai nama di lapangan, seperti educational object, knowledge object, training object, learning object yang dapat dipergunakan kembali (Reusable LO), dan Objek dengan konten yang dapat dibagi (Shareable Content Object/SCO). Istilah SCO diciptakan oleh Shareable Content Object Reference Model (SCORM) dari konsep LO yang diberikan oleh Instructional Management System (IMS) adalah istilah yang paling umum
34
diterima sehubungan dengan proses pembelajaran dan elemen yang dipergunakan kembali (IEEE LTSC, 2000).
2.4.2 Granularitas Learning Object Learning Object dapat berupa dokumen, gambar, simulasi, film, audio, dan lain-lain.
Membangun
atau
membuatnya
dengan
cara
tertentu
berarti
mengimplikasikan bahwa material-material tersebut saling berhubungan dan disusun berdasarkan susunan yang masuk akal, tapi tanpa objek pendidikan yang jelas dan dapat diukur, kumpulan material tersebut hanyalah sebuah kumpulan biasa (Smith, 2004). Objek Pendidikan dalam format digital mampu membuka berbagai kemungkinan yang tidak dapat dihasilkan oleh material konvensional. Dalam suatu LO tunggal, informasi dapat dipresentasikan dengan beberapa cara yang berbeda, sehingga para siswa dapat menggali sebuah topik dari berbagai perspektif yang berbeda, mendapatkan elemen interaktif dan memberikan kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan apa yang mereka pelajari. Dalam disain objek, konten pembelajaran disiapkan sebagai potongan kecil modul, atau Learning Object, yang dapat dipergunakan secara tunggal ataupun dirangkai dengan yang lain secara dinamis untuk menyediakan modul pembelajaran yang cukup (Wieseler, 2000). Saat menyusun LO, ada dua isu yang penting untuk dipertimbangkan, granularitas dan kombinasi (Wiley, 2000). Granularitas mengacu pada ukuran dari LO sedangkan kombinasi mengacu pada LO apa yang dapat dirangkai menjadi struktur yang lebih besar untuk memfasilitasi instruksi. Saat pengajar mendapatkan akses ke materi instruksi untuk pertama kalinya mereka sering
35
membagi material tersebut menjadi beberapa bagian, dan akhirnya merangkainya kembali dengan cara yang dapat mendukung tujuan individual mereka masingmasing (Reigeluth dkk., 1999). Dalam konsep LO, granularitas adalah item terkecil yang ditemukan dalam suatu kursus atau materi lainnya yang diciptakan dari suatu LO. Sebuah LO dapat dispesifikan di berbagai tingkatan, sebuah kursus, sebuah modul, bahkan sebuah sub topik. Hal ini membantu para instruktur untuk menggambarkan secara tepat apa yang diharapkan para siswa dari para instruktur, membuatnya suatu panduan yang terukur untuk menilai pencapaian para siswa secara akurat (Wiley, 2000).
2.4.3 Komposisi Learning Object Dari sudut pandang pembelajaran, suatu LO dapat terdiri dari beberapa Objek Informasi (Information Object/IO), sebuah penjelasan, ringkasan dan penilaian. Jumlah IO tersebut tergantung pada granularitasnya, dan dapat juga ditentukan dari material yang dibutuhkan oleh objek tersebut yang harus dipenuhi. Gambar 2.8. menunjukan komposisi dari sebuah LO, yang terdiri dari beberapa IO, penjelasan, ringkasan, dan penilaian objek.
36
O V E R V I E W
INFORMATION OBJECT
Pre ASSESSMENT
S U M M A R Y
Post
Gambar 2.8 Komposisi dari Learning Object (CISCO System, 2010)
2.4.3.1 Overview Object Objek Overview menawarkan informasi yang bersifat umum mengenai subjek, kode subjek, tingkatan, tujuan, prasyarat, syarat pendamping, hasil pembelajaran, konten indikatif (information object), strategi penilaian dan penghargaan.
2.4.3.2 Information Object Bagian ini mengandung konten dasar. Pertimbangan pedagogikal dan teknikal menentukan kualitas dari information object (IO), yang secara langsung mempengaruhi proses pembelajaran. Bagian dari IO adalah konten yang respektif dari objek (seperti pengenalan, konsep/prinsip, dan contoh), elemen praktis (aktifitas belajar), dan item penilaian. Tiap IO dibangun dari objek tunggal dan
37
diklasifikasikan sebagai konsep, fakta, proses, prinsip ataupun prosedur (CISCO Systems, 2000).
2.4.3.3 Summary Object Summary Object (SO) meninjau subjek dengan cara membantu merefleksikan seberapa tepat topik tersebut telah dimengerti dan menerapkan ilmu pengetahuan
dan
kemampuan
yang
didapatkan
untuk
menyelesaikan
permasalahan, karenanya SO menyimpulkan subjek.
2.5
E-Learning Menggunakan Teknologi IPTV Perkembangan teknologi yang pesat juga telah mempengaruhi dunia
pendidikan, dalam hal ini adalah institusi pendidikan yang menjadikannya tidak terkendala jarak dan waktu. Pola pengembangan pelatihan dan pendidikan telah mengalami pergeseran seiring dengan permintaan yang terjadi terhadap pelaku pendidikan dan juga karena dukungan teknologi. Dahulu pola pelatihan atau pendidikan adalah teacher centered learning sekarang bergeser ke pola student centered learning. Dengan kolaborasi yang baik, pendidikan dan teknologi dapat menjawab permintaan dan kebutuhan yang ada tersebut. Maka e-learning hadir dengan tujuan untuk memfasilitasi sejumlah besar pelaku pada institusi pendidikan secara signifikan dan juga memastikan bahwa pembelajaran secara distance learning dapat dijalankan dengan baik
(Santos, et al, 2006). E-learning
dapat didefinisikan sebagai semua bentuk dukungan elektronik yang mendukung proses pembelajaran dan pengajaran (Tavangarian et al, 2004). Dengan begitu, elearning bertujuan untuk memberikan suatu otonomi khusus bagi para pelaku
38
pendidikan dalam hal waktu, materi latihan, dan metode pembelajaran dengan menyediakan on demand learning yang dapat menghilangkan hambatan dalam hal jarak dan waktu. Dalam kaitannya dengan penggunaan e-learning dalam mendukung proses belajar dan mengajar, Juan et al, (2008) mengemukakan bahwa pada metode learning yang masih mengadopsi teknologi yang bersifat tradisional, telah dikenal radio based learning, cable TV based learning dan juga Internet web based learning. Pada radio based learning dan cable TV based learning, hanya melayani komunikasi searah atau dikenal dengan passive receiving mode. Tetapi pada web based learning, telah membuat pengalaman learning menjadi lebih dinamis dan interaktif. Namun pada kenyataannya, penggunaan aplikasi Internet web based learning masih dianggap kompleks dan belum dapat menyalurkan keinginan dari pelaku pendidikan terkait dengan distance learning. Oleh karena tidak tercapainya hal tersebut, membuat perkembangan TV based learning berevolusi menjadi teknologi IPTV yang diadopsi penggunaanya terhadap metode e-learning. Para pelaku pendidikan yang menggunakan layanan teknologi IPTV dalam rangka elearning tidak hanya bertindak sebagai penerima informasi, tetapi juga dapat menjadi active learner. IPTV juga dapat meningkatkan interaktifitas dari distance learning dengan dukungan Video on Demand. Sehingga informasi yang ingin diterima dapat dipilih secara lebih spesifik. Menurut data Omnitele (2006), negara China yang berpenduduk sekitar 1,3 milyar jiwa dan memiliki sekitar 360 juta televisi di rumahnya, dimana 42% nya dilengkapi dengan jaringan televisi kabel membuat penggunaan teknologi IPTV dapat menjangkau semua sektor. Sehingga kedepannya metode belajar
39
mengajar yang telah mengadopsi teknologi IPTV ini dapat membuat penyebaran informasi pembelajaran yang diadakan oleh institusi pendidikan yang terkait dapat mencakup semua daerah, mulai dari perkotaan hingga pedesaannya. Sehingga penyebaran informasi menjadi lebih merata dengan dukungan e-learning berbasis IPTV. Dengan begitu China ingin menjadi market leader dalam e-learning yang berbasis aplikasi IPTV dan dapat menjadi contoh bagi institusi di berbagai negara yang ingin mengimplementasi e-learning yang berbasis aplikasi IPTV.
2.6
Metode dan Teori Analisis
2.6.1 SWOT Analisis SWOT dapat menilai kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness) yang dimiliki oleh organisasi, memperhitungkan kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats) yang bersifat external organisasi. SWOT juga dapat memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai posisi bisnis suatu organisasi, termasuk kategori sehat atau tidak sehat. Thompson, Strickland, dan Gamble (2005), mendefinisikan SWOT sebagai berikut:
Strength Merupakan karakteristik yang dimiliki oleh sebuah organisasi yang dapat memberikan nilai kompetisi organisasi tersebut. Strength dapat memiliki banyak bentuk, antara lain keahlian khusus yang dimiliki organisasi, aset fisik pendukung kegiatan, sumber daya manusia beserta dengan kecerdasannya, aset organisasi, aset tak berwujud, kemampuan kompetitif
40
organisasi, posisi organisasi yang menguntungkan dalam pasar, dan kerjasama antar organisasi.
Weaknessess Weaknesses merupakan kekurangan atau kelemahan yang berasal dari internal organisasi yang dapat menempatkan organisasi pada suatu kerugian. Weaknesses dapat terjadi karena berbagai faktor, mulai dari modal hingga ke permasalahan sumber daya.
Opportunities Opportunities merupakan elemen yang penting dalam membentuk strategi organisasi. Opportunities dapat muncul atau terjadi tergantung dari keadaan organisasi dan variasi yang diciptakan. Strategi yang baik adalah strategi yang mampu mengarahkan kekuatan dan kelemahan sumber daya organisasi untuk memperoleh kesempatan pasar yang ada. Kesempatan pasar yang paling relevan adalah meningkatkan pertumbuhan keuntungan, meningkatkan sesuatu yang mampu membuat organisasi memperoleh keuntungan kompetitif dan yang sesuai dengan kemampuan sumber daya keuangan yang dimiliki organisasi.
Threats Threats merupakan ancaman yang berasal dari luar perusahaan yang timbul akibat adanya pesaing baru dalam pasar yang memiliki kelebihankelebihan yang tidak dimiliki oleh pesaingnya, peraturan baru yang membebani perusahaan daripada kompetitor, kenaikan suku bunga, dan sebagainya.
41
Tabel 2.1 SWOT Analysis (Thompson, Strickland, & Gamble, 2005) Helpful Harmful To achieving the objective To achieving the objective Internal (attributes of the
Strengths
Weaknesses
Opportunities
Threats
organization) External (attribute of the environment)
Analisis terhadap keadaan sebuah perusahaan dengan menggunakan analisis SWOT, dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu: 1.
Pendekatan Kualitatif Matriks SWOT Pendekatan ini diperkenalkan oleh Kearns di tahun 1992. Dalam
pendekatan ini, keadaan sebuah perusahaan dinilai dan memasukkannya ke dalam sebuah matriks untuk dianalisa sebagai berikut: Dalam matriks yang memiliki 4 kuadran, penempatkan posisi sebuah organisasi setelah dilakukan analisa menggunakan SWOT secara kualitatif, antara lain:
42
Gambar 2.9 Matriks Pendekatan Kualitatif SWOT (Kearns, 1992)
a.
Competitive Advantage Kuadran ini merupakan pertemuan dari dua elemen, yaitu kekuatan dan peluang, sehingga memberikan kemungkinan bagi perusahaan untuk berkembang dengan lebih cepat.
b.
Mobilization Kuadran ini merupakan interaksi antara ancaman dan kekuatan. Pada kuadran ini, perusahaan harus melakukan upaya mobilisasi sumber daya yang merupakan kekuatan perusahaan untuk meminimalisasi ancaman yang masuk dan bahkan dapat mengubah ancaman menjadi peluang bisnis.
c.
Divestment/Investment Kuadran ini merupakan interaksi antara kelemahan perusahaan dengan peluang yang berasal dari luar perusahaan. Peluang yang tersedia sangat meyakinkan namun belum dapat dimanfaatkan karena perusahaan tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk
43
mengolahnya. Salah satu pilihan keputusan perusahaan yang dapat diambil adalah melepaskan peluang yang ada untuk dimanfaatkan perusahaan lain atau memaksakan mengolah peluang tersebut. d.
Damage Control Kuadran ini menggambarkan kondisi yang lemah dari semua kuadran karena hanya pertemuan antara kelemahan perusahaan dengan ancaman dari luar sehingga keputusan yang harus diambil oleh perusahaan adalah dengan mengendalikan kerugian atau damage control agar keadaan yang ada tidak menjadi lebih buruk.
2.
Pendekatan Kuantitatif Matriks SWOT Pengukuran matriks SWOT secara kuantitatif pertama kali diperkenalkan
oleh Pearce dan Robison pada tahun 1998. Dalam pendekatan kuantitatif ini dilakukan analisa terhadap kondisi internal dan eksternal dari perusahaan tersebut dengan mengumpulkan data-data. Dalam pendekatan kuantitatif, kondisi eksternal dianalisa dengan menggunakan matriks External Factor Analysis (EFAS), sedangkan kondisi internal dianalisa dengan menggunakan matriks Internal Factor Analysis (IFAS). Dari hasil perhitungan yang dihasilkan EFAS dan IFAS, akan didapat suatu perhitungan yang dapat dimasukkan ke dalam kuadran matriks SWOT dengan cara mengurangi poin Opportunity dengan Threats untuk menghasilkan titik Y dan mengurangi poin Strenghts dengan Weaknesses untuk menghasilkan titik X. Hasilnya adalah berupa titik (X,Y) dan dimasukkan ke dalam matriks SWOT sehingga diperoleh posisi organisasi berada di kuadran tertentu. Dari hasil
44
ini, selanjutnya dapat diputuskan langkah apa yang harus dilakukan oleh organisasi menangani analisa yang ada. Dengan pemetaan EFAS dan IFAS yang telah diidentifikasikan ke dalam matriks SWOT, akan dapat diperoleh sejumlah strategi untuk organisasi dengan cara menggunakan matriks sebagai berikut:
EFAS
Strengths
Weaknesses
Menyusun daftar kekuatan
Menyusun daftar kelemahan
IFAS
Opportunities Menyusun daftar peluang
Threats Menyusun daftar ancaman
Strategi SO
Strategi WO
Menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Menanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang
Strategi ST
Strategi WT
Menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman
Memperkecil kelemahan dan menghindari ancaman
Gambar 2.10 Matriks SWOT (Pearce & Robison, 1998)
2.6.2 Porter Five Forces Dalam melakukan identifikasi dan analisa terhadap kondisi eksternal dari bisnis sebuah organisasi sangat diperlukan sebuah analysis tools yang dapat mengevaluasi lingkungan bisnis dari beberapa bagian yang mewakili lingkungan bisnis organisasi tersebut. Analisis kompetitif Porter merupakan salah satu analysis tools yang umum digunakan oleh banyak organisasi di dunia untuk mengevaluasi kondisi lingkungan bisnis dari organisasi karena analisis kompetitif
45
Porter mengevaluasi lingkungan bisnis dari 5 bagian yang mewakili kekuatan sebuah industri antara lain:
Gambar 2.11 Porter’s Five Forces
a.
Bargaining power of buyer Bargaining power of buyer atau daya tawar konsumen mewakili kekuatan dari konsumen terhadap kebutuhan dan daya beli sebuah produk. Daya tawar konsumen ini memiliki pengaruh yang besar bagi strategi sebuah organisasi karena tujuan bisnis dari organisasi adalah tercapainya penjualan produk kepada konsumen.
b.
Bargaining power of supplier Bargaining power of supplier atau daya tawar pemasok mewakili kekuatan dari pemasok terhadap penyediaan barang atau jasa kepada sebuah organisasi
yang memiliki
kontribusi
pada
competitive advantage sebuah organisasi di dalam industri. Daya
46
tawar pemasok akan menjadi kuat apabila pemasok memiliki pasokan terhadap produk yang unik. c.
Threats of new entrance Threats of new entrance atau tekanan dari pendatang baru mewakili kekuatan dari perusahaan-perusahaan yang baru masuk ke dalam sebuah industri. Hal ini sangatlah penting untuk diperhatikan oleh sebuah organisasi karena seringkali pendatang baru tersebut memiliki strategi bisnis yang dapat membuat tekanan bagi pesaingnya. Tekanan tersebut dapat dikendalikan oleh organisasi yang melakukan Entry Barrier baik berupa Entry cost ataupun Switching cost.
d.
Threat of subtitute product Threat of subtitute product atau tekanan dari produk pengganti mewakili kekuatan dari pengganti produk sebuah perusahaan dimana kekuatan ini berasal dari produk/jasa yang memiliki fungsi yang sama terhadap produk sebelumnya.
e.
Intra industry rivalry Intra industry rivalry atau rivalitas intra industri merupakan persaingan yang terjadi di antara perusahaan dalam satu industri yang sama.
2.6.3 McFarlan’s Strategic Grid Strategic grid digunakan untuk memetakan aplikasi yang ada pada saat ini dan kebutuhan aplikasi di masa yang akan datang untuk mendukung bisnis organisasi.
47
Pemetaan aplikasi ini dilakukan dengan empat kuadran yaitu strategic, high potential, key operational, dan support. Pemetaan tersebut dilakukan sesuai kategori penilaian dampak suatu aplikasi terhadap bisnis. Dari hasil pemetaan tersebut diperoleh gambaran mengenai kontribusi sistem informasi terhadap bisnis. Hasil ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi kegiatan perumusan strategi IS/IT dan kemungkinan untuk pengembangan di masa mendatang (Ward & Peppard, 2002).
Gambar 2.12 McFarlan’s Application Portfolio (Ward & Peppard, 2002, p. 301)
Berdasarkan aplikasi portfolio McFarlan’s, pengkategorian sebuah aplikasi dilihat dari peranan sebuah aplikasi dalam mendukung strategi bisnis organisasi, baik pada saat sekarang ataupun di masa yang akan datang. Berikut penjelasan mengenai masing–masing kuadran:
48
1.
Strategic Sebuah aplikasi dapat dikatakan sebagai Strategic apabila aplikasi tersebut memiliki pengaruh kritis terhadap keberhasilan bisnis organisasi di masa mendatang dengan memberikan competitive advantage bagi organisasi.
2.
High Potential Sebuah aplikasi dikatakan masuk dalam kuadran High Potential apabila
aplikasi
tersebut
menciptakan
peluang
competitive
advantage bagi organisasi di masa mendatang namun belum terealisasi. 3.
Key Operational Sebuah aplikasi dapat dikatakan sebagai Key Operational atau kunci
operasional
apabila
aplikasi
tersebut
menunjang
kelangsungan bisnis perusahaan, dimana bisnis perusahaan bergantung pada aplikasi tersebut. 4.
Support Sebuah aplikasi dapat dikategorikan sebagai Support apabila aplikasi tersebut mendukung organisasi dalam meningkatkan bisnis yang efisien dan manajemen yang efektif namun tidak memberikan competitive advantage.
Untuk dapat mengkategorikan sebuah aplikasi ke dalam Aplikasi Portfolio di atas, diperlukan sebuah alat untuk melakukan penilaian terhadap aplikasi yang ada. Menurut Ward dan Peppard (2002, p. 307) berikut daftar pertanyaan yang dapat menguji sebuah aplikasi untuk dikategorikan dalam Aplikasi Portfolio:
49
Tabel 2.2 Daftar Pertanyaan Aplikasi Portfolio (Ward & Peppard, 2002, p. 307) Pertanyaan Ya/Tidak a.
Menciptakan competitive advantage bagi organisasi?
b.
Memungkinkan tercapainya sasaran bisnis yang spesifik?
c.
Mengatasi kendala bisnis yang berhubungan dengan pesaing?
d.
Menghindari resiko bisnis di masa depan agar tidak timbul dalam waktu dekat?
e.
Meningkatkan produktivitas bisnis dan mengurangi biaya?
f.
Memungkinkan perusahaan memenuhi kebutuhan?
g.
Manfaatnya belum diketahui namun dapat menghasilkan poin (a) dan (b) ?
Dari tabel tersebut, setiap jawaban “Ya” di atas dimasukkan ke tabel berikut: Tabel 2.3 Klasifikasi Aplikasi Portfolio (Ward & Peppard, 2002, p. 307) High Potential Strategic Key Operational a
Yes (i)
b
Yes (i)
c
Yes
d
Yes
e
Yes
f g
Support
Yes (ii) Yes
Yes (ii)
50
Apabila dalam penilaian sebuah aplikasi terdapat jawaban “Ya” lebih dari dua kolom, dimana aplikasi tersebut muncul di lebih dari satu kategori, maka aplikasi tersebut harus diuji ulang dengan memecah aplikasi tersebut menjadi beberapa bagian dan diuji secara terpisah pada masing-masing bagian. Berikut daftar pertanyaan tambahan yang dapat digunakan untuk memperoleh kejelasan dan kepastian: 1
Apakah manfaat bisnis dan bagaimana cara pencapaiannya telah jelas?
Apabila jawaban “Ya” maka Strategic, jika “Tidak” maka High Potential 2
Apakah kegagalan dalam pemenuhan akan menimbulkan resiko bisnis yang signifikan?
Apabila jawaban “Ya” maka Key Operational, jika jawaban “Tidak” maka Support.
2.7 Metode Evaluasi 2.7.1 Komponen Penilaian Dalam Cost & Benefit Analysis Menurut Wu (1984), komponen cost yang berhubungan dengan pengembangan sebuah sistem informasi dapat diklasifikasikan dalam empat kategori, yaitu : 1.
Procurement Cost Procurement Cost atau biaya pengadaan adalah semua biaya yang
dikeluarkan berkaitan dengan pengadaan hardware. Diantaranya adalah biaya konsultasi pengadaan hardware, biaya pembelian hardware, biaya instalasi hardware, biaya fasilitas (ruangan, AC, dll.), biaya modal untuk pengadaan hardware, biaya manajerial dan personalia untuk pengadaan hardware. Biaya
51
pengadaan ini biasanya dikeluarkan pada tahun-tahun pertama (initial cost) sebelum sistem dioperasikan, kecuali apabila pengadaan hardware dilakukan dengan cara leasing. 2.
Start Up Cost Start Up Cost atau biaya persiapan operasional adalah semua biaya yang
dikeluarkan sebagai upaya membuat sistem siap untuk dioperasikan. Biaya-biaya persiapan operasional meliputi biaya pembelian piranti lunak sistem informasi berikut instalasinya, biaya instalasi perangkat komunikasi/jaringan, biaya reorganisasi, biaya manajerial dan personalia untuk persiapan operasional. Sama dengan biaya pengadaan, biaya persiapan operasional ini juga merupakan initial cost. 3.
Project Related Cost Project Related Cost atau biaya proyek adalah biaya yang berkaitan
dengan biaya mengembangkan sistem termasuk biaya penerapannya.
Biaya
proyek diantaranya adalah biaya analisis sistem, biaya disain sistem, dan biaya penerapan sistem. Biaya analisis sistem seperti biaya untuk mengumpulkan data, biaya dokumentasi (kertas, fotokopi, dll), biaya rapat, biaya staff analis, biaya manajerial dalam tahap analisis
sistem. Biaya disain sistem seperti biaya
dokumentasi, biaya rapat, biaya staff analis, biaya staff pemrograman, biaya pembelian piranti lunak aplikasi, biaya manajerial dalam tahap disain sistem. Biaya penerapan sistem seperti biaya pembuatan form baru, biaya konversi data, biaya pelatihan sumber daya manusia, biaya manajerial dalam tahap penerapan sistem. Bila sistem dikembangkan secara outsourcing dengan menggunakan
52
konsultan dari luar perusahaan, maka diperlukan biaya tambahan, yaitu biaya konsultasi. 4.
Ongoing and Maintenance Cost Ongoing and Maintenance Cost atau biaya operasional adalah biaya untuk
mengoperasikan sistem agar dapat beroperasi dengan baik. Sedangkan biaya perawatan adalah biaya untuk merawat sistem dalam masa operasionalnya. Yang termasuk biaya operasi dan perawatan sistem adalah biaya personalia (operator, staff administrasi, staff pengolah data, staff pengawas data), biaya overhead (telepon, listrik, asuransi, keamanan, supplies), biaya perawatan perangkat keras (reparasi, service), biaya perawatan piranti lunak (modifikasi program, penambahan modul program), biaya perawatan peralatan dan fasilitas, biaya manajeria dalam operasional sistem, biaya kontrak untuk konsultan selama operasional sistem, dan biaya depresiasi. Biaya operasional dan perawatan biasanya terjadi secara rutin selama usia operasional sistem. BINUS Center tidak menerapkan semua komponen dalam cost and benefit analysis. Komponen yang akan digunakan oleh BINUS Center adalah procurement cost dan startup cost karena komponen-komponen ini merupakan initial cost yang sangat perlu diperhitungkan. BINUS Center perlu menyiapkan semua infrastruktur dan arsitektur terkait dengan framework IPTV. Untuk itu BINUS Center akan melakukan pendaftaran terhadap kebutuhannya, baik perangkat keras maupun piranti lunak. Sedangkan komponen benefit atau dapat disebut efektivitas yang didapat dari sebuah sistem informasi yang diterapkan dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
53
1.
Benefit atau efektifitas yang didapat dari pengurangan biaya.
2.
Benefit atau efektifitas yang didapat dari pengurangan kesalahankesalahan.
3.
Benefit atau efektifitas yang didapat dari peningkatan kecepatan aktivitas.
4.
Benefit atau efektifitas yang didapat dari peningkatkan perencanaan dan pengendalian manajemen. Benefit atau efektifitas dari sebuah
sistem informasi dapat juga
diklasifikasikan dalam dua bentuk yaitu tangible benefits dan intangible benefits.
Tangible Benefits Tangible Benefits adalah keuntungan dari penghematan-penghematan atau peningkatan-peningkatan di dalam perusahaan yang dapat diukur secara kuantitatif dalam bentuk satuan nilai moneter/uang. Diantaranya adalah keuntungan dari pengurangan biaya operasional, keuntungan dari pengurangan kesalahan-kesalahan proses, keuntungan dari pengurangan biaya
telekomunikasi,
keuntungan
akibat
peningkatan
penjualan,
keuntungan akibat pengurangan biaya persediaan, dan keuntungan akibat pengurangan kredit yang tidak tertagih.
Intangible Benefits Intangible Benefits adalah nilai keuntungan yang sulit atau tidak mungkin di ukur dalam bentuk satuan nilai moneter/uang. Diantaranya adalah seperti keuntungan akibat peningkatan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan, keuntungan akibat peningkatan kepuasan kerja sumber daya manusia yang ada, dan keuntungan akibat peningkatan pengambilan keputusan manajerial yang lebih baik. Intangible benefits sulit untuk
54
diukur dalam satuan nilai moneter/uang, karena itu cara pengukurannya dapat dilakukan dengan menggunakan penaksiran. Sebagai contoh, kualitas pelayanan kepada pelanggan yang menjadi lebih baik merupakan salah satu bentuk intangible benefits. Dan tentu saja akan sulit untuk mengukur dalam satuan nilai uang peningkatan pelayanan yang lebih baik tersebut. Secara tangible benefits, BINUS Center akan mendapatkan manfaat dan keuntungan dalam hal peningkatan penjualan. Hal tersebut dikarenakan pasar BINUS Center akan semakin besar dan berkembang dengan meluaskan segmentasi pasar atau customer. Sedangkan dari segi intangible benefit, BINUS Center mengembangkan layananannya dengan memberikan pilihan yang lebih luas dan dapat diakses oleh semua pihak, yaitu layanan secara konvensional, maupun secara online.
2.7.2 Cost & Benefits Analysis Setelah komponen cost dan benefit dijabarkan, maka cost and benefits analysis bisa dilakukan untuk menentukan apakah sebuah proyek sistem informasi layak atau tidak. Dalam analisa suatu investasi, terdapat dua aliran kas, aliran kas keluar (cash outflow) yang terjadi karena pengeluaran-pengeluaran untuk biaya investasi, dan aliran kas masuk (cash inflow) yang terjadi akibat manfaat yang dihasilkan oleh suatu investasi. Aliran kas masuk atau yang sering dikatakan pula sebagai proceed, merupakan keuntungan bersih sesudah pajak ditambah dengan depresiasi (bila depresiasi masuk dalam komponen biaya). Brealey and Myers membagi metode-metode yang digunakan dalam cost and benefits analysis
55
menjadi 4 (empat), diantaranya adalah : payback period method, return on investment method, net present value method, dan internal rate of return method. 1.
Payback Period Method Penilaian proyek investasi menggunakan metode ini didasarkan pada lamanya investasi tersebut dapat tertutup dengan aliran-aliran kas masuk, dan faktor bunga tidak dimasukan dalam perhitungan ini. Payback Period dari suatu proyek investasi dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: (
)
Dengan n = Tahun terakhir dimana jumlah arus kas masih belum bisa menutup investasi mula-mula a = Jumlah investasi mula-mula b = Jumlah kumulatif arus kas pada tahun ke – n c = Jumlah kumulatif arus kas pada tahun ke n + 1
2.
Return On Investment Metode pengembalian investasi digunakan untuk mengukur prosentase manfaat yang dihasilkan oleh suatu proyek dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkannya. Return on investment dari suatu proyek investasi dapat dihitung dengan rumus:
56
3.
Metode Net Present Value Net Present Value (NPV) ini memperhatikan nilai waktu dari uang. NPV menggunakan suku bunga diskonto yang akan mempengaruhi cash inflow atau arus dari uang. Berbeda dengan metode payback period dan return on investment yang tidak memperhatikan nilai waktu dari uang (time value of money) atau time preference of money. Dalam metode ini satu rupiah nilai uang sekarang lebih berharga dari satu rupiah nilai uang di kemudian hari, karena uang tersebut dapat diinvestasikan atau ditabung atau didepositokan dalam jangka waktu tertentu dan akan mendapatkan tambahan keuntungan dari bunga. NPV dapat dihitung dari selisih nilai proyek pada awal tahun dikurangi dengan tingkat bunga diskonto. Besarnya NPV dirumuskan sebagai berikut : (
(
)
(
)
(
)
)
Keterangan : NPV = Net Present Value i = tingkat suku bunga diskonto n = umur proyek investasi Bila nilai NPV > 0, berarti investasi tersebut menguntungkan dan dapat diterima. Dalam melakukan cost and benefit analysis, BINUS Center akan menggunakan payback period method untuk melihat lamanya pengembalian dana investasi yang dilakukan, dan juga ROI untuk melihat pengembalian investasi yang dihasilkan dari project ini.