BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perkerasan Lentur (flexible pavement) Konstruksi
perkerasan
lentur (flexible pavement) merupakan jenis
perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat, yang berfungsi sebagai penerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan dibawahnya. Susunan perkerasan terdiri dari lapis permukaan (surface), lapis pondasi atas (base course), dan lapis pondasi bawah (sub base course) yang diletakkan di atas permukaan tanah dasar yang dipadatkan. Susunan perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapisan dan besarnya gaya yang diterima tiap-tiap lapisan berbeda-beda, yaitu makin ke bawah makin kecil sesuai susunan lapisan berikut: 1. Lapisan permukaan (surface) terdiri dari: lapisan aus (Wearing Course) dan lapisan antara (Binder Course). 2. Lapisan pondasi atas (base course) 3. Lapisan pondasi bawah (subbase course) 4. Lapisan tanah dasar (subgrade) Lapisan permukaan berdasarkan fungsinya terdiri dari: lapisan non struktural sebagai lapis aus dan kedap air, dan lapisan struktural sebagai yang menahan dan menyebarkan beban roda kendaraan. Lapisan Aus (Wearing Course) Lapis Antara (Binder Course)
Lapis Pondasi Atas (Base)
Lapis Pondasi Bawah (Subbase)
Tanah Dasar (Subgrade)
Gambar 2.1 Lapisan Perkerasan Lentur Sumber : Sukirman, 1999
7
Karakteristik campuran beraspal sebagai lapis perkerasan jalan menurut (Sukirman, 2003) antara lain: 1. Stabilitas adalah kemampuan perkerasan jalan menerima beban lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang, alur dan bleeding. Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan fungsi jalan, dan beban lalu lintas yang akan dilayani. 2. Keawetan (Durabilitas) adalah kemampuan menerima repetisi beban lalu lintas seperti berat kendaraan dan gesekan antara roda kendaraan dan permukaan jalan, serta menahan keausan akibat pengaruh cuaca dan iklim, seperti udara, air, atau perubahan temperatur. Durabilitas dipengaruhi oleh: a. Tebalnya film atau selimut aspal. Selimut aspal yang tebal akan membungkus agregat secara baik, akan lebih kedap air. Tetapi semakin tebal selimut aspal, maka semakin mudah terjadi bleeding. b. Banyaknya pori dalam campuran. Semakin besar pori yang tersisa semakin tidak kedap air dan semakin banyak udara di dalam campuran, sehingga semakin mudah selimut aspal beroksidasi dengan udara, dan durabilitasnya menurun. 3.
Kelenturan (fleksibilitas) adalan kemampuan untuk menyesuaikan diri akibat penurunan (konsolidasi/settlement) dan pergerakan dari pondasi atau tanah dasar, tanpa terjadi retak. Fleksibilitas dapat ditingkatkan dengan mempergunakan agregat bergradasi terbuka dengan kadar aspal yang tinggi.
4. Ketahanan terhadap kelelahan (fatique resistance) adalah kemampuan menerima lendutan berulang akibat repetisi beban, tanpa terjadinya kelelahan berupa alur dan retak. 5. Kekesatan/ tahanan geser (skid resistance) adalah kemampuan permukaan terutama pada kondisi basah, memberikan gaya gesek pada roda kendaraan sehingga kendaraan tidak tergelincir. 6. Kedap air (impermeabilitas) adalah kemampuan campuran untuk tidak dapat dimasuki air ataupun udara ke dalam lapisan campuran. Air dan udara dapat mempercepat proses penuaan aspal, dan pengelupasan selimut aspal dari permukaan agregat.
8
7. Mudah dilaksanakan (workability) adalah kemampuan campuran untuk mudah dihamparkan dan dipadatkan. Ketujuh sifat campuran ini tak mungkin dapat dipenuhi sekaligus oleh satu jenis campuran. Sifat yang dominan lebih diinginkan, akan menentukan jenis campuran aspal yang dipilih.
2.2
Lapisan Tipis Aspal Pasir (Latasir) Latasir adalah beton aspal untuk jalan-jalan dengan lalu lintas ringan,
khususnya dimana agregat kasar tidak atau sulit diperoleh (Sukirman, 2003). Lapisan ini khusus mempunyai ketahanan alur (rutting) rendah. Oleh karena itu tidak diperkenankan digunakan untuk daerah berlalu lintas berat atau daerah tanjakan. Latasir biasa pula disebut sebagai SS (Sand Sheet) atau HRSS (Hot Rolled Sand Sheet). Sesuai gradsi agregatnya, campuran latasir dapat dibedakan atas (Sukirman, 2003): a.
Latasir Kelas A, dikenal dengan nama HRSS-A atau SS-A. Tebal nominal minimum HRSS-A adalah 1,5 cm.
b.
Latasir Kelas B, dikenal dengan nama HRSS-B atau SS-B. Tebal nominal minimum HRSS-B adalah 2 cm. Gradasi agregat HRSS-B lebih kasar dari HRRS-A.
2.3
Syarat Gradasi Agregat Latasir Persyaratan gradasi agregat untuk campuran lapisan tipis aspal pasir
diperlihatkan pada Tabel 2.1. Gradasi agregat gabungan untuk campuran beraspal , ditunjukkan dalam persen terhadap berat, dan harus mempunyai batas-batas dan jarak terhadap batas-batas toleransi yang diberikan dalam Tabel 2.1 dan harus terletak di luar Daerah Larangan.
9
Tabel 2.1 Persyaratan Gradasi Agregat untuk Campuran Aspal Panas Ukuran ayakan
% Berat Yang Lolos Latasir (SS)
ASTM
(mm)
1½”
37,5
1”
25
¾”
19
½”
12,5
3/8”
9,5
No.8
2,36
No.16
1,18
No.30
0,600
No.200
0,075
Kelas
Kelas
A
B
Lataston (HRS) WC
Base
Laston (AC) WC
BC
Base
100
100
100
90-100 75-100
10-15
8-13
100
90-100 Maks.90
100
100
100
90-100
90-100
90-100
90-100
Maks.90
75-85
65-100
Maks.90
50-72
35-55
28-58
23-39
19-45
35-60
15-35
6-12
2-9
4-10
4-8
3-7
DAERAH LARANGAN No.4
4,75
-
-
39,5
No.8
2,36
39,1
34,6
26,8-30,8
No.16
1,18
25,6-31,6
22,3-28,3
18,1-24,1
No.30
0,600
19,1-23,1
16,7-20,7
13,6-17,6
No.50
0,300
15,5
13,7
11,4
Sumber : Depkimpraswil, 2004
10
Sedangkan untuk persyaratan sifat-sifat campuran pada Latasir dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini: Tabel 2.2 Persyaratan Sifat-Sifat Campuran Aspal Panas Latasir
Lataston
Laston
Sifat – sifat Campuran Kelas A & B
Penyerapan kadar aspal
Maks
Jumlah tumbukan per bidang
Rongga dalam
Min
Tidak
Maks
> 0,5 Juta ESA &
Min
< 1 juta ESA
Maks
-
4..9
digunakan
-
5..9
untuk LL
4.0
3..9
berat
6.0
4..9
Min
3.0
3.0
6.0
5.0
Lalu Lintas (LL) > 1 Juta ESA > 0,5 Juta ESA & < 1 juta ESA
aspal (%)
Lalu Lintas (LL) < 0,5 juta ESA
Stabilitas marshall (Kg) Kelelehan (mm) Marshall Quotient (kg/mm)
Min
20 Tidak
Min
Lalu Lintas (LL) > 1 juta ESA
15
14
13
65
63
60
68
Min
75
73
Min
200
800
1800 (1)
Maks
850
-
-
Min
2
2
2 (1)
Maks
3
-
-
Min
80
200
200
85 untuk Lalu Lintas > 1.000.000 ESA
Min
Min
campuran
Kepadata
65
berat
80 untuk Lalu Lintas < 1.000.000 ESA
C (5)
dalam
17
untuk LL
o
Rongga
18
digunakan
Stabilitas marshal sisa setelah peendaman selama 24 jam, 60
(%) pada
112(1)
75
Maks
Min
Base
1,7 Untuk Lalu Lintas < 1.000.000 ESA
< 0,5 juta ESA
(%)
terisi
BC
Lalu Lintas (LL)
Rongga dalam agregat (VMA)
Rongga
WC
1,2 Untuk Lalu Lintas > 1.000.000 ESA
50
> 1 Juta ESA
(%) (4)
Base
2,0
Lalu Lintas (LL)
campuran
WC
Tidak
-
25
digunakan > 0,5 Juta ESA & < 0,5 juta ESA
n membal
Lalu Lintas (LL)
(refusal)
< 0,5 juta ESA
Min
untuk LL
2
berat Min
1
Sumber: Depkimpraswil, 2004
2.4
Syarat Teknis Aspal Keras Aspal keras dibedakan atas tingkat penetrasinya (ukuran kekentalan aspal
keras), misalnya AC 60/70, AC 80/100, AC 200, AC 300. Dalam hal ini disajikan
11
beberapa persyaratan aspal keras, antara lain : aspal keras penetrasi 60/70 seperti yang disyaratkan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Persyaratan Aspal Keras Penetrasi 60/70 Persyaratan
Satuan
Pen 60
Jenis Pengujian Min
max
Penetrasi, 25°C, 5 detik
60
79
0,1 mm
Titik Lembek
48
58
°C
Titik Nyala
200
-
°C
-
0.4
% berat
Kelarutan
99
-
% berat
Daktilitas, 25 °C, 5 cm/menit
100
-
cm
Penurunan berat
75
-
% semula
Berat Jenis (25 °C)
1
-
gr/cc
Kehilangan Berat (163°C, 5 jam)
Sumber: Depkimpraswil,2004
2.5
Bahan Campuran Perkerasan Jalan Bahan campuran perkerasan jalan terdiri dari agregat kasar, agregat halus,
bahan pengisian (filler), dan aspal. Bahan – bahan tersebut sebelum digunakan harus diuji terlebih dahulu untuk mengetahui sifat – sifat dari bahan tersebut. Semua jenis pengujian bahan harus mengacu pada spesifikasi yang disyaratkan oleh Bina Marga.
2.6
Agregat Agregat adalah material berbutir yang keras dan kompak. Istilah agregat
mencakup antara lain: batu bulat, batu pecah, abu batu, dan pasir. Agregat mempunyai peranan yang sangat penting dalam prasarana transportasi, khususnya dalam hal ini perkerasan jalan. Daya dukung perkerasan jalan ditentukan,
12
sebagaian besar oleh karakteristik agregat yang digunakan. (Dep.PU dalam pekerjaan Campuran Beraspal Panas, 2006). Agregat merupakan komponen utama dari lapisan perkerasan jalan yang mengandung 90 – 95 % agregat berdasarkan presentase berat atau 75 – 85 % agregat berdasarkan presentase volume. Agregat diklasifikasikan berdasarkan proses terjadinya, proses pengolahannya, dan berdasarkan ukuran butirnya.
2.6.1
Klasifikasi Agregat Berdasarkan Proses Terjadinya Menurut (Asphalt Institue, 1983) dan (Silvia Sukirman, 1999), klasifikasi
agregat berdasarkan asal kejadiannya dapat dibedakan atas bantuan beku (igneous rock), bantuan sedimen, dan bantuan meramorf (bantuan malihan), dimana: 1. Batuan Beku Batuan beku terbetuk dari membekunya magma cair yang terdesak ke permukaan pada saat gunung berapi meletus. Batuan beku ini dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Batuan beku luar (extrusive igneous rock), berasal dari material yang keluar dari bumi saat gunung meletus kemudian akibat dari pengaruh cuaca mengalami pendinginan dan membeku. Pada umumnya batuan beku jenis ini berbutir halus, contoh batuan jenis ini adalah rhyolite, andesit, dan basalt. b. Batuan beku dalam (intrusive igneous rock), berasal dari magma yang tidak dapat keluar dari bumi kemudian mengalami pendinginan dan membeku secara perlahan. Pada umumnya batuan beku jenis ini bertekstur kasar dan dapat ditemui di permukaan bumi karena proses erosi dan gerakan bumi, contoh batuan jenis ini adalah granit gabbro, dan diorite. 2. Batuan Sedimen Batuan sedimen berasal dari campuran mineral, sisa – sisa hewan, dan tanaman. Batuan jenis ini terdapat pada lapisan kulit bumi, hasil endapan di danau, laut dan sebagainya. Berdasarkan cara pembentukannya batuan sedimen dapat dibedakan atas:
13
a. Batuan sedimen yang dibentuk secara mekanik, seperti breksi, konglomerat, batu pasir, dan batu lempung. Batuan jenis ini banyak mengandung silika. b. Batuan sedimen yang dibentuk secara organis, seperti batu bara, dan opal. c. Batuan
sedimen
yang
dibentuk
secara
kimiawi,
seperti
batu
gamping,garam, gift, dan flint. 3. Batuan Metamorf Batuan ini umumnya berasal dari batuan sedimen ataupun batuan beku yang mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan tekanan dan temperatur kulit bumi, contoh batuan jenis ini adalah marmer, kwarsit, dan batuan metamorf yang berlapis, seperti batu sabak, filit dan sekis.
2.6.2
Klasifikasi Agregat Berdasarkan Proses Pengolahannya Menurut (Asphalt Institute, 1983) dan (Silvia Sukirman, 1999),
berdasarkan proses pengolahannya agregat dapat dibedakan menjadi: 1. Agregat alam Agregat alam merupakan agregat yang diambil dari alam dengan sedikit proses pengolahan. Agregat alam terbentuk melalui proses erosi dan degradasi
sehingga
bentuk
partikelnya
ditentukan
oleh
proses
pembentukannya. Agregat yang mengalami proses erosi yang diakibatkan oleh air biasanya terjadi di sungai mempunyai bentuk partikel yang bulat – bulat dengan permukaan yang licin. Agregat yang mengalami proses degradasi biasanya terjadi dibukit – bukit mempunyai bentuk partikel yang bersudut dengan permukaan yang kasar. Agregat alam yang sering dipergunakan yaitu pasir dan kerikil dimana kerikil adalah agregat dengan ukuran partikel > ¼ inch (6,35 mm) sedangkan pasir adalah agregat dengan ukuran partikel < ¼ inch tetapi lebih besar dari 0,075 mm (saringan No.200). 2. Agregat yang melalui proses pengolahan Agregat yang melalui proses pengolahan merupakan agregat yang biasanya berasal dari bukit – bukit maupun sungai yang karena bentuknya besar – besar melebihi ukuran yang diinginkan, maka harus melalui proses
14
pemecahan telebih dahulu dengan menggunakan mesin pemecahan batu (stone crusher) atau secara manual agar diperoleh: a. Bentuk partikel yang bersudut, diusahakan berbentuk kubus. b. Permukaan partikel kasar sehingga mempunyai gesekan yang baik. c. Gradasi sesuai diinginkan. Hasil dari proses pemecahan ini biasanya disebut dengan split dan mempunyai ukuran mulai dari 5 mm sampai 40 mm. 3. Agregat buatan Agregat buatan adalah agregat yang diperoleh dengan memecah batuan yang masih berbentuk bongkahan – bongkahan besar. Dimana bongkahan batuan ini dapat diperoleh di bukit – bukit (gunung – gunung ) maupun di sungai. Sebelum batuan ini digunakan sebagai agregat, maka bantuan ini dipecah terlebih dahulu menjadi material yang lebih kecil sesuai dengan ukuran yang diinginkan dengan menggunakan mesin pemecahan batu (Stone Crusher). Agregat buatan mempunyai ukuran partikel < 0,075 mm.
2.6.3
Klasifikasi Agregat Berdasarkan Ukuran Butirannya Ditinjau dari ukuran agregat dapat dibedakan atas agregat kasar, agregat
halus, dan bahan pengisian (filler). Menurut American Society for Testing and Material (ASTM): a. Agregat kasar, mempunyai ukuran > 4,75 mm (saringan No. 4). b. Agregat halus, mempunai ukuran < 4,75 mm ( saringan no. 4). c. Abu batu / Mineral filler merupakan agregat halus yang lolos saringan No. 200. Menurut AASHTO: a. Agregat kasar mempunyai ukuran > 2 mm. b. Agregat halus, mempunyai < 2 mm dan > 0,075. c. Abu batu / Mineral filler merupakan agregat halus yang lolos saringan No. 200. Sedangkan Menurut Depkimpraswil, 2004: a. Agregat kasar, agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan No. 8 (2,36 mm)
15
b. Agregat halus, agregat dengan ukuran butir lebih halus dari saringan No. 8 (2,36 mm) c. Bahan pengisian (filler), bagian dari agregat halus yang minimum 75% lolos saringan No. 200 (0,075 mm).
2.6.4 Sifat Agregat Sifat agregat merupakan salah satu faktor penentu kemampuan perkerasan jalan memikul beban lalu lintas dan daya tahan terhadap cuaca. Sifat agregat yang menentukan kualitasnya sebagai material perkerasan jalan yaitu (Sukirman, 2003): 1. Gradasi Gradasi adalah susunan butir agregat sesuai ukurannya. Gradasi mempengaruhi rongga antar butir yang akan menentukan stabilitas dan kemudahan dalam proses pelaksanaan. Gradasi agregat diperoleh dari hasil analisis saringan. Gradasi agregat dapat dibedakan atas: a. Agregat seragam (uniform graded) / gradasi terbuka (open graded) Adalah gradasi agregat dengan ukuran yang hampir sama. Gradasi seragam disebut juga gradasi terbuka (open graded) Karena hanya mengandung sedikit agregat halus, sehingga terdapat banyak rongga / ruang kosong antar agregat. Agraget dengan gradasi seragam menghasilkan lapisan perkerasan dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang dan berat volume kecil. b. Gradasi Rapat (dense graded) / bergradasi Baik (well graded) Merupakan campuran agregat kasar dan halus dalam porsi yang yang berimbang dan akan menghasilkan lapisan perkerasan dengan stabilitas tinggi. Gradasi agregat dimana terdapat butiran dari agregat kasar sampai halus, sehingga sering juga disebut gradasi menerus, atau gradasi baik (well graded). Agregat bergradasi baik adalah agregat yang ukuran butirnya terdistribusi merata dalam satu rentang ukuran butir. c. Gradasi buruk (poorly graded) / gradasi senjang (gap graded) Adalah campuran agregat yang tidak memenuhi persyaratan agregat bergradasi baik. Agregat bergradasi buruk sering juga disebut gradasi
16
senjang (gap graded) yaitu gradasi agregat dimana ukuran agregat yang ada tidak lengkap atau ada fraksi agregat yang tidak ada atau jumlahnya sedikit sekali. Bentuk gradasi agregat biasanya digambarkan dalam suatu grafik hubungan antara ukuran saringan dinyatakan pada sumbu horizontal dan prosentase agregat yang lolos saringan tertentu dinyatakan pada sumbu vertikal. Contoh macam-macam gradasi agregat secara tipikal ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Contoh tipikal macam – macam gradasi agregat Sumber: Departemen PU Puslitbang Jalan dan Jembatan, 2006 2. Ukuran maksimum agregat Ukuran maksimum agregat adalah satu saringan atau ayakan yang lebih besar dari ukuran nominal maksimum. Ukuran maksimum butir agregat dapat dinyatakan dengan mempergunakan: a. Ukuran Maksimum Agregat Yaitu menunjukkan ukuran saringan terkecil dimana agregat yang lolos saringan tersebut sebanyak 100%. b. Ukuran Nominal Maksimum Agregat Yaitu menunjukkan ukuran saringan terbesar dimana agregat tertahan tidak lebih dari 10%.
17
3. Kebersihan Agregat Kebersihan agregat ditentukan dari banyaknya butir – butir halus yang lolos saringan No. 200 seperti adanya lempung, lanau, ataupun adanya tumbuh – tumbuhan pada campuran agregat. 4. Daya tahan Agregat Daya tahan agregat merupakan ketahanan agregat terhadap adanya penurunan mutu akibat proses mekanis maupun kimiawi. Agregat dapat mengalami degradasi, yaitu perubahan gradasi akibat pecahannya butirbutir agregat. Kehancuran agregat dapat disebabkan oleh proses mekanis, seperti gaya – gaya yang terjadi selama proses pelaksanaan jalan, pelayanan terhadap beban lalu lintas, dan proses kimiawi, seperti pengaruh kelembaban, kepanasan dan perubahan suhu sepanjang hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi yang terjadi sangat ditentukan oleh jenis agregat, gradasi campuran, ukuran partikel, bentuk agregat, dan besarnya energy yang dialami oleh agregat tersebut. Ketahanan agregat terhadap degradasi diperiksa dengan pengujian abrasi menggunakan alat abrasi Los Angeles, sesuai dengan SNI –03 – 2417 -1991 atau AASHTO 96 – 87. 5. Bentuk dan tekstur permukaan agregat Berdasarkan bentuknya, partikel atau butir agregat dikelompokkan menjadi berbentuk bulat, lonjong, pipih, kubus, tak beraturan, atau mempunyai bidang pecahan. Agregat berbentuk bulat (rounded) Biasanya ditemui di sungai yang telah mengalami erosi. Bidang kontak agregat berbentuk bulat sangat sempit, hanya berupa titik singgung, sehingga menghasilkan penguncian antar agregat (interlocking) yang tidak baik, dan menghasilkan kondisi kepadatan lapisan perkerasan yang kurang baik.
Gambar 2.3 Susunan butir – butir agregat berbentuk bulat Sumber: Sukirman, 2003
18
Agregat berbentuk kubus (cubical) Agregat ini umumnya merupakan pecahan dari hasil pemecahan mesin pemecahan. Bidang kontak agregat ini luas, sehingga mempunyai gaya mengunci yang luas. Kestabilan yang diperoleh lebih baik dan lebih tahan terhadap deformasi. Agregat ini merupakan agregat yang terbaik untuk dipergunakan sebagai material perkerasan jalan dibandingkan dengan agregat dengan bentuk lainnya.
Gambar 2.4 Susunan butir – butir agregat berbentuk kubus Sumber: Sukirman, 2003 Agregat berbentuk lonjong (elongated) Agregat berbentuk lonjong dapat ditemui di sungai atau bekas endapan sungai. Dikatakan lonjong bila ukuran terpanjangnya lebih besar dari 1,8 kali diameter rata – rata. Sifat campuran agregat berbentuk lonjong ini hampir sama dengan agregat berbentuk bulat. Agregat berbentuk pipih (flaky) Agregat berbentuk pipih merupakan hasil produksi mesin pemecahan batu, biasanya agregat ini memang cenderung pecah dengan bentuk pipih. Agregat pipih yaitu agregat yang ketebalannya lebih tipis dari 0,6 kali diameter rata – rata. Agregat berbentuk tak beraturan (irregular) Agregat berbentuk tak beraturan adalah bentuk agregat yang tidak mengikuti salah satu bentuk diatas. Tekstur permukaaan agregat dapat dibedakan atas licin, kasar atau berpori. Agregat yang bulat umumnya mempunyai permukaan yang licin, menghasilkan daya penguncian antar agregat yang rendah dan tingkat kestabilan yang rendah. Permukaan agregat yang kasar akan memberikan kekuatan pada campuran beraspal karena kekasaran permukaan agregat dapat menahan agregat tersebut dari pergeseran atau perpindahan. Kekerasan permukaan agregat juga akan memberikan ketahanan gesek
19
yang kuat pada roda kendaraan, sehingga akan meningkatkan keamanan kendaraan terhadap slip. 6. Daya lekat terhadap aspal Faktor yang mempengaruhi lekatan aspal dan agregat dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu : a. Sifat mekanis yang tergantung dari : - Pori – pori dan absorpsi - Bentuk dan tekstur permukaan - Ukuran butir agregat b. Sifat Kimiawi dari agregat 7. Berat jenis agregat Dalam kaitan perencanaan campuran aspal, berat jenis adalah suatu rasio tanpa dimensi, yaitu rasio antara berat suatu benda terhadap berat air yang volumenya sama dengan benda tersebut. Sebagai standar dipergunakan air pada suhu 40C karena pada suhu tersebut air memiliki kepadatan yang stabil. Berat jenis agregat dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini.
Vs
Vi
Vc Vp-Vc Vp
Gambar 2.5 Pertimbangan volume pori agregat untuk penentuan SG Sumber : Krebs, R.D and Walker, R.D, 1971 Dimana : Vs = Volume solid Vi = Volume yang impermeable terhadap air dan aspal Vp = total volume yang permeable Vc = volume yang permeable terhadap air tapi impermeable terhadap aspal Vp-Vc = volume yang permeable terhadap aspal
20
Secara umum volume agregat yang diperhitungkan adalah volume yang tidak diresapi oleh aspal. Ada beberapa jenis berat agregat, yaitu : a. Berat jenis bulk (bulk specific gravity) Bila aspal diasumsikan hanya menyelimuti agregat di bagian permukaan saja, tidak meresap ke bagian agregat yang permeable, volume yang diperhitungkan adalah : Bulk SG
Ws Ws .........................................(2.1) w.Vs Vi Vp w.Vtotal
Dimana : w = berat volume air = 1 gr/cc = 1 t/m3. Sehingga Bulk SG adalah rasio antara berat agregat dan berat air yang volumenya = Vs + Vi + Vp. b. Berat jenis semu (apparent specific gravity ) SG ini didasarkan atas asumsi bahwa aspal meresap ke dalam agregat dengan tingkat resapan yang sama dengan air, yaitu sampai Vc atau ke dalam seluruh Vp. Karenanya volume yang diperimbangkan adalah Vs + Vi Apparent SG
Ws .............................................................(2.2) w.Vs Vi
c. Berat jenis efektif (effective specific gravity) SG Bulk dan SG Apparent didasarkan atas dua kondisi ekstrem. Asumsi yang realistis adalah bahwa aspal dapat meresap sampai ke ( Vp – Vc ). Oleh karena itu SG atas asumsi ini disebut SG efektif. Effective SG
Ws ......................................................(2.3) w.Vs Vi Vc
Dimana : Vp = Volume pori yang dapat diresapi air V = Volume total dari agregat Vi = Volume pori yang tidak dapat diresapi air Vs = Volume partikel agregat Ws = Berat kering partikel agregat yw = Berat volume air
21
Tabel 2.4 Sifat-Sifat Agregat Jenis Pengujian
Agregat
Agregat
Kasar
Halus
Berat Jenis Semu
Min. 2,5%
Min. 2,5%
Penyerapan Kadar Air
Maks. 3%
Maks. 3%
Keausan Agregat (Abrasi)
Maks. 40%
-
Kadar Lumpur/Lempung
Maks.
-
Filler
< 1%
0,25% Kebersihan Agregat (Sand Equivalent
-
Min. 50%
Keawetan (Soundness Test)
Maks.12%
-
Kelekatan Agregat Terhadap Aspal
Min. 95%
-
Test)
Plastisitas
Non Plastis
Sumber : Depkimpraswil, 2004
2.6.5 Pencampuran Agregat (Blending) Agregat yang terdapat di lapangan kemungkinan besar mempunyai gradasi / ukuran yang beraneka ragam. Untuk mendapatkan agregat yang sesuai dengan spesifikasi, maka perlu dilakukan pencampuran agregat. Pencampuran agregat dapat dilakukan dengan cara : 1. Cara mencoba – coba (Trial and Eror) Adalah cara pencampuran agregat dengan mencoba kemungkinan berbagai proporsi agregat, kemudian mengadakan analisa saringan dibandingkan dengan spesifikasi yang disyaratkan. 2. Cara analitis Pada cara ini didasarkan atas penggabungan agregat dengan menggunakan rumus pendekatan. Dari rumus ini diperoleh prosentase agregat kasar, agregat halus dan filler. Rumus yang digunakan (Bambang Ismanto, 1993) adalah X
S C x100 % ............................................................................(2.4) F C
22
Dimana :
X = % agregat halus S = % titik tengah spec limit dari saringan yang dikehendaki F = % agregat halus lewat saringan tertentu C = % agregat kasar lewat saringan tertentu.
3. Cara Grafis 3.1 Cara Grafis untuk Pencampuran 2 Fraksi Agregat Cara ini adalah penggabungan agregat yang dilakukan dengan menggambarkan grafik hubungan antara prosentase butir – butir lolos saringan dari setiap fraksi agregat yang digunakan dengan prosentase lolos saringan spesifikasi limit. Penentuan gradasi dari kedua fraksi agregat yang akan dicampur melalui pemeriksaan analisis saringan. Persen lolos untuk fraksi agregat kasar digambarkan pada bagian sebelah kanan dan untuk fraksi agregat halus di bagian kiri. Garis yang menghubungkan titik tepi sebelah kanan dan kiri dari persen lolos masing-masing fraksi untuk gradasi yang sama menunjukkan garis ukuran saringan dari persen lolos yang dimaksud. Penggabungan agregat digambarkan dengan menggunakan gambar bujur sangkar dengan ukuran (10 x 10) cm. 3.2 Cara Grafis untuk Pencampuran 3 Fraksi Agregat ( Cara Diagonal) Cara ini adalah penggabungan agregat dengan menggunakan gambar empat persegi panjang, dengan ukuran (10 x 20) cm pada kertas millimeter blok. Sumbu datar digunakan untuk menunjukkan ukuran saringan, sumbu tegak digunakan untuk menunjukkan persen lolos saringan. Garis diagonal dari empat persegi panjang menjadi garis gradasi tengah untuk spesifikasi agregat campuran yang diinginkan. Proporsi agregat kasar ditentukan dengan menarik garis vertikal sehingga jarak dari tepi bawah ke gradasi fraksi agregat kasar sama dengan jarak dari tepi atas ke garis gradasi sedang. Proporsi agregat halus ditentukan dengan menarik garis vertikal sehingga jarak dari tepi atas ke gradasi fraksi agregat halus sama dengan jarak dari tepi bawah ke garis gradasi kasar ditambah dengan jarak dari tepi bawah ke garis gradasi sedang.
23
4. Cara Proporsional Untuk memperoleh proporsi agregat campuran yang diinginkan selain dengan cara mencampur (Blending) dapat juga dilakukan dengan cara memproporsikan agregat sesuai dengan gradasi suatu spesifikasi yang ditentukan.
2.6.6 Bahan Agregat Bekas Agregat bekas merupakan salah satu alternatif sebagai agregat pada lapisan perkerasan jalan untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan material yang bersumber dari alam. Agregat bekas yang sudah digunakan sebagai alternatif agregat pada lapisan perkerasan jalan yaitu: 1. Pecahan Beton dan Bongkaran Bangunan Sisa bongkaran bangunan merupakan salah satu bahan buangan dan bekas pakai yang dapat dengan mudah dicari dan ditemukan di setiap daerah di Indonesia (khususnya di Bali) dan jumlahnya juga relatif cukup tinggi. Dilihat dari kajian sifat teknis, penggunaan pecahan beton dan bongkaran bangunan sebagai pengganti agregat alami kemungkinan tidak akan memenuhi spesifikasi yang disyaratkan. Untuk itu penggunaan material bekas sebagai agregat, dapat digunakan pada campuran perkerasan jalan untuk lalu lintas rendah (Dwimayanti, 2010). 2. Abu Sekam Padi Abu sekam padi ialah limbah hasil pembakaran dari kulit gabah padi yang biasanya digunakan sebagai bahan bakar dalam proses pembakaran batu bara mentah dalam proses pembuatan bata. Sekam padi atau kulit gabah merupakan limbah dari pabrik penggilingan padi dimana sekam merupakan bagian terbesar kedua setelah beras dan gabah. Dari hasil penelitian, dinyatakn bahwa abu sekam padi atau hasil pembakaran abu sekam padi dapat digunakan sebagai filler pada campuran aspal (Dwimayanti, 2010). 3. Bongkaran Perkerasan Aspal Beton Lama Salah satu pemanfaatan bahan bekas sebagai agregat adalah bongkaran perkerasan aspal lama. Dengan adanya proyek pembuatan saluran limbah rumah tangga, menyebabkan banyaknya bongkaran perkerasan aspal beton lama yang menumpuk di sepanjang pinggiran jalan. Hal ini dapat
24
menghambat aktivitas transportasi, sehingga bongkaran perkerasan aspal beton tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengganti agregat alam. Selain itu bongkaran perkerasan aspal beton lama juga bisa didapatkan dari proyek-proyek perbaikan jalan. Penggunaan agregat bekas ini dapat digunakan pada lalu lintas rendah, karena agregat bekas tidak dapat memenuhi spesifikasi disyaratkan (Widayanti, 2009). 4. Beton Daur Ulang Karakteristik agregat halus yang dibuat dengan beton daur ulang mempunyai penyerapan air sebesar 8,6% terhadap berat agregat, sedangkan pasir alam hanya 2,8 %. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kadar aspal efektif dari campuran, kadar aspal yang diserap terhadap berat agregat halus adalah 3,1 % untuk campuran dari beton daur ulang, dan 1,2 % untuk campuran dari pasir alam (Hendri, 1999).
Selain bahan agregat bekas di atas, potensi lain yang dapat digunakan sebagai alternatif agregat pada lapisan perkerasan jalan yaitu: 1. Potongan Batu Cadas Hitam Penggunaan
agregat
daur
ulang dalam
sistem
konstruksi
merupakan ide untuk pemanfaatan limbah untuk meminimalisasikan penggunaan
material
yang
bersumber
dari
alam.
Usaha
untuk
memanfaatkan limbah bukan saja akan mengurangi masalah lingkungan akan tetapi dapat memberikan nilai ekonomis terhadap konstruksi, serta suatu upaya pelestarian sumber daya alam yang ada. Potongan batu cadas hitam merupakan salah satu bahan buangan dan bekas pakai yang dapat dengan mudah dicari dan ditemukan. Untuk potongan batu cadas hitam dapat diperoleh dari pengerajin pelinggih yang jumlah limbahnya juga relatif cukup tinggi. Dilihat dari kajian teknis, penggunaan potongan batu cadas hitam sebagai pengganti agregat alami kemungkinan tidak akan memenuhi spesifikasi yang disyaratkan. Hal ini disebabkan karena kualitas potongan batu cadas hitam lebih rendah dari agregat alami. Untuk itu aplikasi penggunaan agregat bekas ini sebagai campuran aspal akan dipakai untuk konstruksi jalan dengan lalu lintas
25
ringan hingga sedang, misalnya digunakan sebagai pengganti agregat kasar pada jalan lalu lintas ringan hingga sedang. 2. Pecahan Kaca Bekas Pemanfaatan limbah pecahan kaca bukan saja akan mengurangi masalah lingkungan akan tetapi dapat memberikan nilai ekonomis terhadap kontruksi, serta suatu upaya pelestarian sumber daya alam. Pecahan kaca bekas dapat dengan mudah dicari dan ditemukan, serta jumlahnya yang relatif cukup tinggi. Pecahan kaca bekas dapat diperoleh dari toko-toko kaca, dan pengepul barang bekas. Limbah kaca dapat berupa pecahan kaca, botol kaca, dan kaca cermin. Penggunaan pecahan kaca bekas sebagai pengganti agregat yang didasarkan pada keterbatasan agregat yang tersedia di alam, mengingat dalam jangka panjang ketersediaan material alam mungkin akan sulit diperoleh. Namun penggunaan agregat bekas kemungkinan tidak akan memenuhi spesifikasi. Hal ini disebabkan karena kualitas agregat bekas yang lebih rendah di bandingkan agregat alam. Untuk itu campuran aspal yang menggunakan agregat bekas hanya dapat digunakan untuk konstruksi jalan dengan lalu lintas rendah hingga sedang. 3. Abu Batu Bata Abu batu bata adalah limbah bahan bangunan yang jumlahnya cukup tinggi. Limbah ini biasanya berasal dari sisa potongan batu bata yang keberadaannya dapat menimbulkan masalah lingkungan. Tetapi kini limbah batu bata ini dimanfaatkan sebagai bahan pengisi (filler) pada campuran aspal. Pemanfaatan abu batu bata sebagai filler memberikan banyak keuntungan yaitu : dapat mengurangi masalah lingkungan, dapat meminimalkan penggunaan agregat alam, serta dapat memberikan nilai ekonomis.
2.7
Aspal Aspal merupakan material perekat berwarna hitam atau cokelat tua dengan
usur utama bitumen, pada temperatur ruang berbentuk padat, sampai agak padat dan bersifat termoplastis. Jadi, aspal akan mencair jika dipanaskan sampai temperature tertentu, dan kembali membeku jika temperatur turun. Bitumen
26
adalah zat perekat (comentitious) berwarna hitam atau gelap, yang dapat diperoleh di alam ataupun sebagai hasil produksi. Aspal dapat diperoleh di alam ataupun merupakan residu dari pengilangan minyak. Bersama dengan agregat, aspal merupakan material pembentukan campuran perkerasan jalan. Banyaknya aspal dalam campuran perkerasan berkisar antara 4 – 10 % berdasarkan berat campuran, atau 10 – 15 % berdasarkan volume campuran (Sukirman, 2003). Aspal yang digunakan pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi sebagai (Sukirman, 2003): 1). Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dan agregat serta antara aspal itu sendiri. 2). Bahan pengisi, mengisi rongga antara butir – butir agregat dan pori – pori yang ada dari agregat itu sendiri.
2.7.1 Jenis Aspal 1. Berdasarkan Cara Memperolehnya Berdasarkan cara memperolehnya, aspal dibedakan atas aspal alam, dan aspal buatan, dengan penjelasan sebagai berikut: a. Aspal alam Aspal alam merupakan campuran antara bitumen dengan bahan mineral lainnya dalam bentuk batuan. Aspal ini dapat dibedakan menjadi: a) Aspal gunung (rock asphalt), seperti aspal di Pulau Buton. b) Aspal danau (lake asphalt), seperti di Trinidad b. Aspal buatan a) Aspal minyak adalah aspal yang merupakan residu detilasi minyak bumi. Setiap bumi dapat menghasilkan residu jenis asphaltic base crude oil yang banyak mengandung aspal, paraffin base crude oil yang banyak mengandung paraffin, atau mixed base crude oil yang mengandung campuran antara paraffin dan aspal. Untuk perkerasan jalan umumnya digunakan aspal minyak jenis asphaltic base crude oil.
27
b) Tar adalah suatu cairan yang diperoleh dari proses karbonasi (destilasi destruktif tanpa udara / oksigen ) suatu material organis misalnya kayu atau batubara. 2. Berdasarkan Bentuknya pada Temperatur Ruang Berdasarkan bentuknya pada temperature ruang,aspal dibedakan atas aspal padat, aspal cair, dan aspal emulsi dengan penjelasan sebagai berikut. a. Aspal keras (hard asphalt) Aspal keras adalah aspal yang berbentuk padat atau semi padat pada suhu ruang dan menjadi cair jika dipanaskan.Aspal padat dikenal dengan nama semen aspal (asphalt cement). Di Indonesia aspal semen biasanya dibedakan atas penetrasinya. Pada daerah panas atau lalu lintas dengan volume tinggi menggunakan aspal semen dengan penetrasi rendah, sedangkan
dingin
atau
lalu
lintas
rendah
menggunakan penetrasi tinggi. b. Aspal cair (cutback asphalt) Aspal cair yaitu aspal yang berbentuk cair pada suhu ruang. Aspal cair merupakan semen aspal yang dicairkan dengan bahan pencair dari hasil penyulingan minyak bumi seperti minyak tanah, bensin, atau solar. Bahan pencair membedakan aspal cair menjadi: a) Rapid curing cut back asphalt (RC), merupakan aspal cair dengan bahan pencair bensin. Jenis ini paling cepat menguap. b) Medium curing cut back asphalt (MC), merupakan aspal cair dengan bahan pencair yang lebih kental yaitu minyak tanah. c) Slow curing cut back asphalt (SC), merupakan aspal cair dengan bahan pencair yang lebih kental yaitu solar (minyak diesel). SC merupakan aspal cair yang paling lambat menguap. c. Aspal emulsi (emulsified asphalt) Aspal emulsi adalah suatu campuran aspal dengan air dan bahan pengelmusi, yang dilakukan di pabrik pencampur. Aspal emulsi lebih cair dari aspal cair. Untuk menghindari butiran aspal saling menarik membentuk butir-butir yang lebih besar, maka butiran tersebut diberi muatan listrik.
28
Berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya, aspal emulsi dapat dibedakan atas: a) Aspal kationik disebut juga aspal emulsi asam, merupakan aspal emulsi yang butiran aspalnya bermuatan arus listrik positip. b) Aspal anionik disebut juga aspal emulsi alkali, merupakan aspal emulsi yang butiran aspalnya bermuatan negatip c) Nonionik merupakan aspal emulsi yang tidak mengalami ionisasi berarti tidak menghantarkan listrik. Yang umumnya digunakan sebagai bahan yang perkerasan jalan adalah aspal
emulsi
anionik
dan
kationik.
Berdasarkan
kecepatan
mengerasnya, aspal emulasi dapat dibedakan atas: a) Rapid Setting (RS), aspal yang mengandung sedikit bahan pengelmulsi sehingga pengikat yang terjadi cepat, dan aspal cepat menjadi padat atau keras kembali. b) Medium Setting (MS), aspal cair dengan bahan pencair minyak tanah c) Slow Setting (SS), jenis aspal emulsi yang paling lambat mengeras.
2.7.2 Sifat Aspal Aspal yang dipergunakan pada konstruksi jalan mempunyai sifat – sifat sebagai berikut: 1. Daya tahan (Durability) Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. Sifat ini merupakan sifat dari campuran aspal, jadi tergantung dari sfat agregat, campuran dengan aspal, dan faktor pelaksanaan. 2. Adesi dan Kohesi Adesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. Sifat ini dievaluasi dengan menguji sepesimen dengan test stabilitas Marshall. Kohesi adalah kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah terjadi pengikatan.
29
3. Kepekaan terhadap temperatur Aspal adalah material yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperatur bertambah. 4. Kekerasan aspal Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat sehingga dilapisi aspal atau aspal panas disiramkan ke permukaan agregat yang telah disiapkan pada proses pelaburan. Pada proses pelaksanaan, terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas. Peristiwa perapuhan terus berlangsung selama masa pelaksanaan. Jadi, selama masa pelayanan, aspal mengalami proses oksidasi dan polimerisasi yang besarnya dipengaruhi oleh ketebalan aspal yang menyelimuti agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi.
2.7.3 Pemeriksaan Aspal Sifat – sifat aspal harus selalu diperiksa, aspal yang memenuhi syarat dan telah ditetapkan dapat dipergunakan sebagai bahan pengikat perkerasan lentur. Pemeriksaan yang dilakukan untuk aspal keras adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Penetrasi Aspal Pemeriksaan penetrasi aspal bertujuan untuk memeriksa tingkat kekerasan aspal. Pengujian dilaksanakan pada suhu 250C dan kedalaman penetrasi di ukur setelah beban dilepaskan selama 5 detik. 2. Pemeriksaan Titik Lembek Pemeriksaan titik lembek bertujuan untuk mengetahui kepekaan aspal terhadap terhadap termperatur. Suhu pada saat dimana aspal mulai menjadi lunak tidaklah sama pada setiap hasil produksi aspal walaupun mempunyai nilai penetrasi yang sama. Titik lembek adalah suhu rata – rata (dengan beda suhu ≤ 1 0C ) pada saat bola baja menembus aspal karena leleh dan menyentuh plat dibawahnya (sejarak 1 inch = 25,4 mm). Pengujian dilaksanakan dengan alat ‘Ring and Ball Apparatus’. 3. Pemeriksaan Titik Nyala dan Titik Bakar Pemeriksaan titik nyala dan titik bakar bertujuan untuk menentukan suhu dimana pada saat aspal terlihat menyala singkat di permukaan aspal (titik
30
nyala), dan suhu pada saat terlihat nyala sekurang – kurangnya 5 detik. Titik nyala dan bakar perlu diketahui untuk memperkirakan temperatur maksimum pemanasan aspal sehingga aspal tidak terbakar. 4. Pemeriksaan Kehilangan Berat Aspal Pemerikasaan dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengurangan berat akibat penguapan bahan – bahan yang mudah menguap dalam aspal. Penurunan berat menunjukkan adanya komponen aspal yang menguap yang dapat berakibat aspal mengalami pengerasan yang eksesif/ berlebihan sehingga menjadi getas (rapuh) bila pengurangan berat melebihi syarat maksimalnya. Pengujian ini dilanjutkan dengan pengujian nilai penetrasi aspal, untuk mengetahui peningkatan kekerasannya (dalam % penetrasi semula). 5. Pemeriksaan Daktilitas Aspal Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mengetahui sifat kohesi dalam aspal itu sendiri yaitu dengan mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik antara dua cetakan yang berisi aspal keras sebelum putus, pada suhu 25 0C dan kecepatan tarik 5 cm / menit. Aspal dengan daktilitas yang lebih besar mengikat butir – butir agregat yang lebih baik tetapi lebih peka terhadap perubahan temperatur. 6. Pemerikasaan Berat Jenis Aspal Berat jenis aspal adalah perbandingan antara berat aspal dan berat air suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu,
25 0C. Data berat jenis
aspal dipergunakan untuk perhitungan dalam perencanaan dan evaluasi sifat campuran aspal beton (perhitungan SGmix dan porositas)
2.8
Perencanaan Campuran Aspal Panas Perencanaan suatu campuran aspal panas (Hot Mix) dilaksanakan dengan
mengacu kepada spesifikasi yang ditentukan. Secara umum dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut.
31
2.8.1 Pengujian Material Sebelum
merencanakan
campuran
aspal,
terlebih
dahulu
harus
melaksanakan pengujian material : agregat kasar, agregat halus, filler dan aspal. Sifat – sifat material harus memenuhi spesifikasi yang ditentukan.
2.8.2 Penentuan Gradasi dan Proporsi Agregat Gradasi agregat gabungan suatu campuran aspal bisa diperoleh dengan mencampur (blending) agregat kasar, halus dan filler. Hal ini dapat disesuaikan dengan spesifikasi suatu campuran aspal. Teknik mencampur (blending) agregat dapat dilaksanakan secara analitis maupun secara grafis. Perencanaan gradasi agregat untuk campuran aspal di laboratorium, bisa dilaksanakan tanpa memblending agregat, yaitu berdasarkan gradasi ideal (batas tengah) spesifikasi gradasi agregat gabungan yang ditentukan. Masing – masing ukuran butir agregat diperoleh dengan mengayak agregat sesuai ukuran saringan yang ditentukan. Kemudian proporsi agregat dicari berdasarkan komulatif presentase lolos gradasi ideal. Pengelompokan agregat kasar (tertahan saringan No. 8 = 2,36 mm) diperoleh dari hasil pengayakan sesuai dengan proporsinya. Untuk agregat halus (lolos saringan No. 8 = 2,36 mm dan tertahan saringan No. 200 = 0,075 mm) dapat langsung menggunakan pasir halus. Sedangkan filler adalah material non plastis yang lolos saringan No. 200 = 0,075 mm minimal 85%. Filler dapat berupa mill, abu batu, abu kapur, fly ash, dan lain – lain.
2.8.3 Estimasi Kadar Aspal Awal Menentukan kadar aspal awal terhadap beberapa formula pendekatan. Salah satunya adalah formula dari Depkimpraswil, 2004: Pb = 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%FF) + k Dimana: Pb
= % kadar aspal awal
%CA
= % agregat kasar (Coarse Agregate) terhadap berat total agregat
%FA
= % agregat halus (Fine Agregate) terhadap berat total agregat
%FF
= % filler (Fine Filler) terhadap berat total agregat
k
= konstanta = 0,5 – 1 untuk AC dan 2,0 – 3,0 untuk HRS
32
2.8.4 Penentuan Prosentase Material Terhadap Berat Total Campuran Prosentase proporsi agregat dihitung berdasarkan berat total agregat. Karena dalam campuran terdapat kandungan aspal, maka perlu dihitung prosentase material terhadap berat total campuran. Untuk membuat sebuah sampel umumnya diperlukan 1200 gram agregat yang proporsinya sesuai dengan ukuran butir agregat. Prosentase terhadap berat total campuran akan berubah sesuai dengan variasi prosentase kadar aspal.
2.8.5 Perhitungan Jumlah Material yang Dibutuhkan Proporsi agregat kasar disesuaikan dengan prosentase ukuran butirnya yang sudah dipersiapkan (di ayak) terlebih dahulu. Untuk agregat halus sudah bisa langsung menggunakan pasir halus lolos 2,36 mm (ayakan No. 8) dan tertahan 0,075 mm (ayakan No. 200).
2.8.6 Pemanasan Material dan Mould Agregat yang sudah diproporsikan, ditempatkan dalam wadah dari metal (misalnya baskom aluminium). Demikian juga aspal ditempatkan dalam kaleng dengan ukuran yang cukup. Kemudian dipanaskan (sebaiknya) dalam oven. Ketentuan temperature aspal untuk pemanasan, pencanpuran dan pemadatan didasarkan atas rentang temperatur dimana viskositas aspal akan memberikan hasil yang optimal. Hal ini didasarkan atas hasil studi dan data – data yang sudah ada. Sebagai pedoman umum, suhu pemanasan untuk material campuran latasir dilaksanakan sebagai berikut: - Temperatur pemanasan agregat maksimum
: 175 0C
- Temperatur pemanasan aspal ≤ temperatur pemanasan agregat dengan perbedaan maksimal 15 0C, yang umumnya berkisar sebagai berikut : 0
Temperatur pemanasan aspal pentrasi 60/70
: 130-165
Temperatur pemanasan aspal penetrasi 80/100
: 124 – 162 0C
- Temperatur pemadatan di lab
C
: 110 – 135 0C
- Pada pelaksanaan di lapangan temperature penghamparan: ≥124 0C - Temperatur pemadatan awal di lapangan minimum
: 120 0C
- Temperatur pemadatan akhir di lapangan minimum: 60 0C (masih diatas titik lembek aspal).
33
Modul (cetakan sampel) dengan diameter 4 inch (101,6 mm) dan tinggi 3 inch (75 mm) dilengkapi colar mould (mould tambahan), dan alat pencampuran (mixer) atau sendok pengaduk metal, dan batang besi perojok / penusuk juga perlu dipanaskan (dapat dipanaskan pada temperatur sama dengan temperatur pemanasan aspal).
2.8.7 Jumlah Sampel dan Pemanasan Untuk setiap variasi kadar aspal, idealnya dibuat minimal 3 sample, kemudian karakteristik campuran diambil dari nilai rata – rata dua sample yang memberi hasil terbaik. Bila pencampuran dilaksanakan secara manual, agregat ditempatkan dalam waskom metal dan diaduk rata sebelum dipanaskan. Setelah panas (2 – 3 jam dalam oven) kemudian dituangi aspal sejumlah yang diperlukan, lalu diaduk dengan sendok metal serata mungkin. Untuk mengurangi kehilangan temperatur, yang bisa berakibat agregat tidak terselimut aspal dengan merata maka material campuran dipanaskan lagi beberapa saat ( 2 – 5 menit ), kemudian diaduk kembali sampai rata.
2.8.8 Pemadatan Sampel Sebaiknya semua peralatan dipanaskan untuk mempertahankan temperatur dan kemudahan pelaksanaan (workability). Pemadatan dilakukan sesuai dengan jumlah tumbukan sebagai berikut : 1. Untuk pemadatan Latasir
: 2 x 50 tumbukan
2. Untuk pemadatan AC dan HRS
: 2 x 75 tumbukan
3. Berat alat tumbuk
: 4,5 kg
4. Tinggi jatuh
: 18” = 45,7 cm
2.8.9 Pengukuran Volumentrik Sampel Campuran beraspal panas pada dasarnya terdiri dari aspal dan agregat. Proporsi
masing – masing bahan harus dirancang sedemikian rupa agar
dihasilkan aspal beton yang dapat melayani lalu lintas dan tahan terhadap pengaruh lingkungan selama masa pelayanan. Ini berarti campuran beraspal haruslah: 1. Mengandung cukup kadar aspal agar awet.
34
2. Mempunyai stabilitas yang memadai untuk menahan beban lalu lintas. 3. Mengandung cukup rongga udara (VIM) agar tersedia ruangan yang cukup untuk menampung ekspansi aspal akibat pemadatan lanjutan oleh lalu lintas dan kenaikan temperatur udara tanpa mengalami bleending atau deformasi plastis. 4. Rongga udara yang ada harus juga dibatasi untuk membatasi permeabilitas campuran. 5. Mudah dilaksanakan sehingga campuran beraspal dapat dengan mudah dihampar dan dipadatkan sesuai dengan rencana dan memenuhi spesifikasi. Dalam (Depkimpraswil, 2004), kinerja campuran beraspal ditentukan oleh volumetrik campuran (padat) yang terdiri atas: 1. Rongga Diantara Agregat (Void in Mineral Agregate,VMA) VMA adalah volume rongga udara diantara butir-butir agregat dalam campuran beraspal dalam kondisi padat. VMA meliputi volume rongga udara dalam campuran padat dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat). VMA = 100
…………………………….......(2.5)
Gmb =
…………………………………………………(2.6)
Gsb =
…………………………….….....(2.7)
dimana: Gmb
= berat jenis bulk campuran padat
Gsb
= berat jenis bulk agregat
Pbt
= kadar aspal persen terhadap berat total campuran
Bk
= berat kering campuran padat
Bssd
= berat kering permukaan campuran padat
Ba
= berat campuran padat dalam air
P1,P2
= persentase masing-masing fraksi agregat
Bulk1,Bulk2 = berat jenis masing-masing fraksi agregat
35
2. Rongga dalam campuran beraspal (Void in Mix, VIM) Rongga udara dalam campuran beraspal (VIM) adalah ronggarongga udara diantara partikel agregat yang terselimuti aspal. VIM dinyatakan dalam persen terhadap volume total campuran. VIM = 100
VIM = 100
atau ……………..........................................(2.8)
dimana: Gmb
= berat jenis bulk campuran padat
Gmm
= berat jenis maksimum campuran, rongga udara nol
3. Rongga terisi aspal (Void Filled Bitumen, VFB) Rongga terisi aspal adalah bagian dari VMA yang terisi oleh kandungan aspal efektif dan dinyatakan dalam perbandingan persen antara (VMA-VIM) terhadap VMA sehingga: VFB =
..............................................................(2.9)
dimana: VFB = Volume pori antara butir agregat yang terisi aspal, % dari VMA VFB = Volume pori antara butir agregat didalam beton aspal padat, % dari volume bulk beton aspal padat VFB = Volume pori dalam beton aspal padat, % dari volume bulk beton aspal padat
4. Kadar aspal efektif (Pbe) Kadar aspal efektif (Pbe) campuran beraspal adalah kadar aspal total dikurangi jurnlah aspal yang diserap oleh agregat. Kadar aspal efektif ini akan menyelimuti permukaan agregat bagian luar yang pada akhirnya akan menentukan kinerja campuran aspal.
36
Pbe = Pbt -
x Pagg ....................................................................(2.10)
dimana: Pbe
= kadar aspal efektif yang menyelimuti butir-butir agregat, % terhadap berat campuran padat.
Pagg = kadar agregat, % terhadap berat campuran padat. Pbt
= kadar aspal persen terhadap berat total campuran.
Pba
= kadar aspal yang terabsorbsi kedalam pori butir agregat, % terhadap berat agregat.
5. Aspal terserap oleh agregat (Pbabs) Jumlah aspal yang terabsorbsi oleh agregat dinyatakan dalam persentase berat terhadap berat total agregat, tidak dalam persentase terhadap berat total campuran. Pbabs =
Gse
x 100 ....................................................(2.11)
………..……….………...(2.12)
=
dimana: Pbabs = banyaknya aspal yang terserap agregat Gsb = berat jenis bulk agregat Gse = berat jenis efektif agregat Gmm = berat jenis maksimum campuran Pbt
= kadar aspal persen terhadap berat total campuran
6. Berat jenis maksimum campuran (Gmm) Dalam spesifikasi terdahulu besarnya nilai Gmm yaitu berat jenis maksimum campuran beraspal dimana rongga udara dalam campuran dianggap nol, dihitung secara teoritis dengan rumus: Gmm teoritis =
……………………………...(2.13)
37
Padahal dalam kenyataannya rongga udara akan selalu ada walaupun dalam campuran beraspal yang paling padat sekalipun. Berdasarkan kenyataan ini berat jenis maksimum teoritis tidak digunakan dalam spesifikasi (Puslitbang Prasarana Transportasi, 2004). Nilai Gmm pada campuran dapat dihitung dengan formula sebagai berikut: ………..…............(2.14)
Gmm = Wtotal =
dimana: Wagg
= berat total agregat
Pbt
= kadar aspal, persen terhadap berat total campuran
Gse
= berat jenis efektif agregat
Gbt
= berat jenis aspal
Volumetrik campuran beraspal dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Gambar 2.6 Volumetrik Campuran Beraspal Sumber : Depkimpraswil, 2004 Dimana : VMA
= volume rongga diantara agregat
VMB
= volume bulk campuran padat
VMAE
= volume agregat padat tanpa rongga
VFB
= volume rongga terisi aspal
VIM
= volume rongga dalam campuran
38
VB
= volume aspal
VBA
= volume aspal yang diserap agregat
VMAB
= volume agregat tanpa rongga
VVM
= volume agregat + volume aspal
2.8.10 Test Stabilitas Marshall dan Kelelehan Plastis (Flow) Kinerja campuran aspal dapat diperiksa dengan menggunakan alat pemeriksaan Marshall. Pemeriksaan Marshall mengikuti prosedur SNI 06 – 2489 – 1991, atau AASHTO T 245 – 90, atau ASTM D 1559 – 76. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan ketahanan (stabilitas) yang optimum dikaitkan dengan kategori lalu lintas (lalu lintas ringan, lalu lintas sedang, lalu lintas berat) terhadap kelelahan plastis (flow) dari campuran aspal dan agregat. Kelelahan plastis adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran yang terjadi akibat suatu beban sampai batas runtuh yang dinyatakan dalam mm atau 0,01 inch. Alat marshall merupakan alat tekan yang berbentuk silinder berdiameter 4 inch (10,2) dan tinggi 2,5 inci (6,35 ) serta dilengkapi dengan proving ring (cincin penguji) yang berkapasitas 22,2 KN dan flow meter. Proving ring dilengkapi dengan arloji pengukur yang berguna untuk mengukur nilai stabilitas campuran. Disamping itu terdapat arloji kelelahan (flow meter) untuk mengukur kelelahan plastis (flow). Selanjutnya dari perhitungan diperoleh Rongga Diantara Agregat (VMA), Rongga Dalam Campuran Beraspal (VIM), Rongga terisi aspal (VFB), dan Marshall Quetient (MQ).
2.8.11 Metode Perencanaan Campuran dengan Kepadatan Mutlak Derajat Kepadatan Mutlak (Percentage Refusal Density, PRD) adalah rasio antara kepadatan benda uji lapangan terhadap kepadatan refusal dalam satuan persen. Perencanaan campuran beraspal dengan PRD dilakukan sebagai pendekatan atau simulasi adanya pemadatan lanjutan oleh lalu-lintas. Dalam pembuatan benda uji PRD, kadar aspal yang dipergunakan adalah kadar aspal yang memberikan nilai VIM Marshall 6% dan 0,5% di atas dan di bawah dari kadar aspal tersebut. Untuk masing-masing kadar aspal dibuatkan 3 benda uji. Benda uji ini kemudian dipadatkan dalam cetakan (mold) dengan pemadatan getar atau dengan pengembangan pemadatan Marshall.
39
Metode PRD dengan pemadatan getar menggunakan cetakan (mold) berdiameter 152-153 mm (6 inchi). Sebelum digunakan cetakan, pelat dasar cetakan dan telapak pemadat yang berukuran 102 dan 146 mm harus dipanaskan dalam ovenpada temperatur yang sama dengan temperatur pemadatan. Campuran beraspal dimasukkan ke dalam cetakan lapis demi lapis sebanyak lima lapis. Tiap lapis dipadatkan dengan pemadat getar dengan palu pemadat harus diatur pada posisi tegak. Palu pemadat yang sudah dipanaskan digetarkan pada frekuensi antara 20 dan 50 Hz. Telapak pemadatan yang lebih lebar digunakan pada pemadatan terakhir dengan tujuan untuk meratakan permukaan benda uji. Pada satu titik pemadatan harus berlangsung selama antara 2 dan 10 detik tiap posisi sehingga total waktu pemadatan kira-kira selama 2 menit + 5 detik. Sedangkan untuk PRD dengan pengembangan pemadatan Marshal dilakukan dengan menggunakan alat Marshall. Nilai kepadatan refusal dengan alat Marshall ini akan mendekati nilai kepadatan refusal dengan alat pemadat getar apabila tumbukan yang dilakukan pada setiap sisi benda uji adalah 400 tumbukan. Dengan demikian pemadatan Marshall dengan 400 tumbukan pada setiap sisi benda uji dapat digunakan sebagai alternatif pengganti pemadat getar. Tetapi halhal yang mungkin menjadi kendala dalam prosedur ini adalah dengan pemadatan 2 x 400 tumbukan dapat memungkinkan terjadinya pemecahan partikel agregat. Bila hal ini terjadi maka hasil perencanaan tidak akan baik. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa bila perencanaan campuran beraspal dengan pendekatan kepadatan mutlak dilakukan dengan menggunakan alat Marshall, maka perlu dipertimbangkan bahwa mutu agregat (nilai abrasi agregat dengan mesin Los Angeles maximum 40%) dan suhu pemadatan (+ 1400C untuk penetrasi aspal 60/100 atau + 1450C untuk penetrasi aspal 60/70) dapat terpenuhi. Hasil pengujian VIM-PRD kemudian disatukan ke dalam grafik hubungan antara VIM-Marshall dengan kadar aspal. Perbedaan nilai VIM benda uji yang dipadatkan dengan Marshall standar dengan yang dipadatkan sampai dengan mencapai kepadatan mutlaknya tidak boleh lebih besar dari 3% (lebih direkomendasi sekitar 2%).
40
Gambar 2.7 Hubungan VIM-Marshall, VIM-PRD dengan Kadar Aspal Sumber : Depkimpraswil, 2004 2.8.12 Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO) Penentuan Kadar aspal optimum ditentukan dengan merata – ratakan kadar aspal yang memberikan stabilitas maksimum, kepadatan maksimum, dan VIMPRD yang diisyaratkan, serta persyaratan campuran lainnya seperti VMA, VFB dan kelelehan campuran. Kadar aspal optimum dapat ditentukan dengan menggunakan Metode Bar-chart seperti pada Gambar 2.9. Nilai kadar aspal optimum ditentukan sebagai nilai tengah dari rentang kadar aspal maksimum dan minimum yang memenuhi spesifikasi.
41
Rentang kadar aspal yang memenuhi spesifikasi Karakteristik Campuran 5
5,5
6
6.5
7
Kepadatan (gr/cc) Rongga diantara agregat (%) (VMA) Rongga terisi Aspal (%) (VFB) Rongga dalam campuran (%) (VIM Marshall) Rongga dalam campuran (%) pada kepadatan mutlak Stabilitas (kg)
Kelelehan (mm)
Hasil Bagi Marshall (kg/mm)
Kadar Aspal Rencana Gambar 2.8 Contoh Penentuan Kadar Aspal Optimum Sumber: Depkimpraswil, 2004
42