BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Rumput Laut Sargassum crassifolium Berikut adalah klasifikasi dari Sargassum crassifolium menurut (Bold dan Wayne 1985) : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Phaeophyta
Kelas
: Phaeophyceae
Ordo
: Fucales
Famili
: Sargassaceae
Genus
: Sargassum
Spesies
: Sargassum crassifolium
Gambar 1. Sargassum crassifolium Karakteristik biologi rumput laut Sargassum crassifolium (alga coklat) hidup dan tumbuh di daerah pesisir pantai dengan substrat batu karang. Sargassum crassifolium tumbuh di daerah intertidal, subtidal sampai daerah dengan ombak besar dan arus yang deras. Alga ini tumbuh pada daerah tropis dengan suhu 27-300C, salinitas 32-33 ppt dan kedalaman 0,5-10 m (BONEY 1965 dalam Hidayat 2011). Sargassum crassifolium termasuk alga coklat dengan bentuk khusus, sehingga mudah untuk dibedakan antar-bagiannya. Pangkal keras atau bagian batang umumnya berbentuk silinder dan bercabang, tetapi lebih sederhana dengan segmen yang lebih pendek. Tiap cabang terdapat gelembung udara berbentuk bulat yang disebut Bladder. Pangkal poros Sargassum
6
7
crassifolium tumbuh dengan lambat dan daun tumbuh secara lateral dan menyamping (Bold dan Wayne, 1985). Ciri umum dari rumput laut spesies Sargassum crassifolium adalah berwarna coklat karena dominasi pigmen fikosantin yang menutupi pigmen klorofil sehingga ganggang ini terlihat berwarna coklat. Percabangan thallus pada Sargassum crassifolium membentuk formasi dua-dua tidak beraturan yang berlawanan pada sisi sepanjang thallus utama yang disebut (pinnate alternate). Thallus yang menyerupai daun (blade) tumbuh melebar dan bergerigi dengan permukaan yang licin. Daun pada ganggang ini berbentuk oval dengan ukuran panjang sekitar 40 mm dan lebar 10 mm. Sargassum crassifolium mempunyai thallus berbentuk pipih dengan percabangan rimbun dan berselang-seling menyerupai tanaman darat. Pada bagian pinggir daun yang bergerigi mempunyai gelembung yang disebut vesikel. Gelembung udara ini berfungsi mempertahankan daun agar tetap di permukaan air. Ukuran diameter gelembung udara sekitar 15 mm dengan bentuk pipih dan bersayap (Atmadja et al., 1996). Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu reproduksi secara aseksual (vegetatif) dan seksual (generatif). Reproduksi vegetatif dilakukan melalui fragmentasi. Secara generatif yaitu perkembangan individu melalui organ jantan (antherida) dan organ betina (oogenia) (Hidayat, 2011).
2.2 Senyawa Bioaktif Rumput Laut Sargassum crassifolium Dinding sel rumput laut berisi matriks polisakarida yang berlimpah yang dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang juga ditemukan pada tumbuhan darat. Namun rumput laut juga mengandung polisakarida yang bersulfat, yang tidak terdapat pada tumbuhan darat (Pervical 1979 dalam Jasminandar 2009). Menurut Castro dkk (2006) gula tersebut terbentuk dan dengan adanya kelompok sulfat diikuti pembentukan sejumlah molekul dengan bentuk dan fungsi biologis termasuk antiviral, antikoagulasi, antitumor, dan aktivitas imunomodulator pada mamalia.
Kegunaan
struktur
molekul
polisakarida
dalam
aktivitas
imunomodulator telah diketahui dari beberapa penelitian. Polisakarida dari jenis
8
rumput laut dapat menstimulasi respiratory burst dari fagosit turbot, yaitu proses yang berperan penting dalam membunuh mikroba (Castro dkk, 2006). Sargassum
crassifolium
merupakan
jenis
rumput
laut
dari
kelas
Phaeophyceae. Ekstrak Sargassum mengandung air 12,59 %, abu 51,30 %, lemak 22,90 %, serat 0,89 % dan nitrogen 20,94 % menurut penelitian Pujaningsih (2005). Sargassum crassifolium mengandung protein, mineral, polisakarida, vitamin dan senyawa dengan jumlah relatif yakni laminaran, fukoidan, selulosa, manitol, fenolat, kompleks diterpenoid, terpenoid aromatik, saponin dan flavonoid (Rosweim 1991 dalam Titi 2011). Salah satu kandungan Sargassum adalah fukoidan. Fukoidan merupakan polisakarida tersulfatasi yang memiliki rata-rata berat molekul 2000Da dan banyak ditemukan pada beberapa jenis alga coklat. Fukoidan pada umumnya tersedia dalam dua bentuk, yaitu glikosaminoglikan (GAGs) yaitu F-fukoidan, yang terdapat lebih dari 95% fukoidan di laut yang tersusun dari ester tersulfatasi L-fucose dan U-Fukoidan, tersusun sekitar 20% asam glukoronat. Fulkan tersulfatasi merupakan karakteristik utama fukoidan (venugopal 2009 dalam Titi 2011). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa fukoidan mempunyai aktivitas imunomodulator (Zapopozhets, 1995 ; choi 2005 dalam Jasmanindar 2009). Penelitian Handayani (2004) menyatakan bahwa rumput laut Sargassum crassifolium berpotensi sebagai salah satu bahan mentah dalam pembuatan alginat. Kadar alginat yang diperoleh dari sampel rumput laut Sargassum crassifolium kering berkisar 37,91%. Selain kadar alginat yang tinggi, mutu dari alginat Sargassum crassifolium memiliki mutu alginat sesuai persyaratan alginat komersil.
Berikut merupakan kandungan nutrisi pada
Sargassum crassifolium seperti tercantum pada tabel 1. (Handayani, 2004).
9
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Sargassum crassifolium Jenis Nutrisi
Rata-rata kadar
Keterangan
(% , b/b) Protein
5,19 ± 0,13
Berat basah
Abu dan Mineral
Abu (mineral)
36,93 ± 0,34
Berat kering
Ca (mg/100 g)
1540,66 ± 6,99
Berat kering
Fe (mg/100 g)
132,65 ± 3,47
Berat kering
P (mg/100 g)
474,03 ± 1,01
Berat kering
Vitamin A (µg RE/100 g)
489,55 ± 8,4
Berat kering
Vitamin C (mg/100 g)
49,01 ± 0,75
Berat kering
Lemak (%, b/b)
1,63 ± 0,01
Berat kering Berat kering
Alginat
Kadar (%,b/b)
37,91 ± 0,34
Berat kering
Warna
Kuning Kecoklatan
Berat kering
pH
6,89 ± 0,005
Berat kering
Ukuran Partikel
150 mesh
Berat kering
2.3 Senyawa Metabolit Sekunder 2.3.1 Alkaloid Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar, pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari siklik. Alkaloid sering beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tanpa warna, sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987).
10
Gambar 2. Struktur Dasar Alkaloid
2.3.2 Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa turunan fenol, warnanya bisa berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi senyawa flavonoid mudah dideteksi pada kromatografi atau dalam larutan. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu senyawa ini menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak (Harborne, 1987). Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar, namun masih terdapat senyawa flavonoid yang memiliki kepolaran rendah. Isoflavon, flavonon, flavon methyl, flavonol merupakan flavonoid dengan tingkat kepolaran yang rendah (Anderson dan Markam 2006 dalam karlina 2013 ). Flavonoid pada umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne, 1987).
Gambar 3. Struktur Dasar Senyawa Flavonoid
2.3.3 Saponin Saponin merupakan golongan senyawa glikosida yang mempunyai struktur steroid dan mempunyai sifat-sifat khas yang dapat membentuk larutan kolodial dalam air dan membentuk buih/busa bila dikocok. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin
11
dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan primer sapogenin yang mudah diperoleh (Harborne, 1987).
Gambar 4. Contoh Struktur Senyawa Saponin
2.3.4 Tanin Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan proteina membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air (Harborne, 1987). Sehingga dalam identifikasi senyawa tanin indikasi nilai positifnya berupa endapan yang berwarna kecoklatan. Bila menggunakan jaringan kering, hasil tanin mungkin agak berkurang karena terjadinya pelekatan tanin pada tempatnya di dalam sel. Perkiraan kuantitatif tanin dalam suatu jaringan tumbuhan tidak akan disadari jika adanya fenol lain yang dapat menganggu cara kimia yang tidak khas, dalam praktiknya sangat sukar mengekstraksi keseluruhan tanin dalam tumbuhan terutama jenis tanin terkondensi. Tanin terkondensi tersebar luas terutama dalam tumbuhan berkayu dan kadar tanin dalam daun lebih dari 2% bobot keringnya (Harborne, 1987).
Gambar 5. Contoh Struktur Senyawa Tanin
12
2.3.5 Triterpenoid / Steroid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Lieberman-Burchard yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol yang memberikan warna hijau-biru (Harborne, 1987). Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantreana. Dahulu sterol dianggap sebagai senyawa satwa sebagai hormon kelamin, asam empedu dll) tetapi sekarang ini makin banyak senyawa tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harborne, 1987).
(a)
(b)
Gambar 6. Struktur Dasar Senyawa Triterpenoid (a) dan Steroid (b)
2.4 Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat bercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari suatu pelarut ke pelarut lain. Ekstraksi dapat dilakukan dengan dua fase, yaitu fase akuades dan fase organik. Fase akuades menggunakan air dan fase organik menggunakan pelarut organik (Rahayu, 2009). Tujuan dari ekstraksi adalah untuk menarik komponenkomponen kimia yang terdapat dalam bahan alam. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi adalah lamanya ekstraksi, suhu dan pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan tergantung kepada sifat kepolaran komponen yang akan diisolasi. Ada tiga jenis pelarut yaitu pelarut polar, semi polar dan non polar. Prinsip pelarut adalah like dissolve like, artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar (Haughton, Achmadi dalam Septirusli 2012). Pemilihan pelarut didasarkan
13
dari titik didihnya. Pelarut dengan titik didih rendah akan hilang karena penguapan, sedangkan pada pada pelarut bertitik didih tinggi baru dapat dipisahkan dengan suhu tinggi (Sabel dan Waren dalam Septirusli 2012). Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Semakin besar konstanta dielektrik, maka semakin polar pelarut tersebut (Pelczar dan Chan 1998 dalam Septirusli 2012). Tabel 2. Beberapa jenis pelarut dan sifat fisiknya Pelarut
Titik Didih
Titik Beku
Konstanta
( 0C )
( 0C )
Dielektrik
Heksana
68
-94
1,8
Dietil eter
35
-116
4,3
Kloroform
61
-64
4,8
Etil asetat
77
-84
6,0
Aseton
56
-95
20,7
Etanol
78
-117
24,3
Metanol
65
-98
32,6
Air / Akuades
100
0
80,2
2.5 Imunomodulator Imunomodulator
merupakan
suatu
senyawa
atau
zat
yang
dapat
meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit. Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun, yaitu stimulasi (imunostimulan) atau menekan/menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan) (Djauzi, 2003). Menurut Collegate (1993) dalam Syarifah (2006), ada beberapa golongan senyawa yang dapat berperan sebagai imunomodulator, yaitu golongan karbohidrat, terpen, steroid, flavonoid, glikoprotein, alkaloid dan beberapa senyawa
organik
lain
yang
mengandung
nitrogen.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi sistem imunitas antara lain adalah faktor genetis, umur, kondisi metabolik, anatomi tubuh, status gizi, fisiologi tubuh dan sifat dari benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Bellanti, 1993 dalam Syarifah, 2006).
14
Menurut Baratawidjadja (2002), Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan. Obat golongan imunomodulator bekerja menurut tiga cara, yaitu melalui imunorestorasi, imunostimulasi dan imunosupresi. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresif disebut down regulation. Imunorestorasi adalah cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun. Seperti imunoglobulin dalam bentuk immune serum globulin (ISG), hyperimmune serum globulin (HSG), plasma dan lainnya. Imunostimulasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Bahan-bahan yang dapat merubah dan meningkatkan respon imun disebut biological response modifier (BRM). Imunosupresi adalah cara untuk menekan respon pertahanan tubuh atau menekan respon imun.
2.6 Udang Windu (Penaeus monodon) Berikut adalah klasifikasi udang windu (Penaeus monodon) (Setiawan dkk, 2004). Kingdom
: Animalia
Phyllum
: Arthropoda
Class
: Crustaceae
Ordo
: Decapoda
Famili
: Panaeidae
Genus
: Penaeus
Spesies
: Penaeus monodon
15
Gambar 7. Morfologi udang windu (Penaeus monodon) Sumber : Maulidin, 2011 Tubuh udang
dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang
menyatu dengan dada (cephalothorax), dan bagian tubuh sampai ke ekor (abdomen). Bagian kepala ditutupi sebuah kelopak kepala (cerapace) yang di bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut dengan cucuk kepala (rostrum). Semua tubuh terbagi atas ruas-ruas yang ditutupi oleh kerangka luar yang mengeras dan terbuat dari chitin. Di bagian kepala terdapat 13 ruas dan di bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala, diantara rahangrahang (mandibula), dan di kanan kiri sisi kepala yang tertutup oleh kelopak kepala terdapat insang. Di bagian kepala terdapat beberapa anggota tubuh yang berpasang-pasangan,
antara
lain
sungut
kecil
(antenulla),
sirip
kepala
(scophocerit), sungut besar (antena), rahang (mandibula), alat pembantu rahang (maxilla) yang terdiri atas dua pasang, dan maxilliped yang terdiri atas tiga pasang, serta kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas lima pasang (Maulidin, 2011). Udang windu memiliki 19 pasang appendage, 5 pasang terdapat di bagian kepala, masing-masing antenulla pertama dan antenulla kedua yang berfungsi untuk penciuman dan keseimbangan, mandibula untuk mengunyah serta maxillula dan maxilla untuk membantu makan dan bernafas. Tiga pasang appendage yang terakhir merupakan kesatuan bagian mulut. Bagian dada memiliki tiga pasang maxilliped yang berfungsi untuk berenang dan mengonsumsi makanan. Bagian adan memiliki lima pasang kaki renang yang berguna untuk berenang serta
16
sepasang uropoda untuk membantu melakukan gerakan melompat dan naik turun (Hidayat, 2011).
Gambar 8. Siklus hidup Udang Windu Sumber : Sahidir 2011 Daur hidup udang windu menurut Wyben dan Sweeney (1991) dalam AlRozi (2008) adalah udang betina bertelur – telur – naupli – zoeae – mysis – poslarva – juvenil – udang dewasa. Stadia nauplius merupakan stadia awal yang terjadi pada saat telur udang windu menetas. Selanjutnya ke stadia zoea, stadia zoea terdiri dari 3 substadia yang berlangsung selama 6 hari dan mengalami perubahan bentuk 3 kali. Berlanjut pada stadia mysis yang dicirikan oleh bentuk larva yang menyerupai dewasa. Pleopod dan telson mulai berkembang dan larva bergerak mundur. Stadia mysis mengalami perubahan bentuk menjadi poslarva. Selama 5 hari pertama pada stadia poslarva, udang masih bersifat planktonis dan pada poslarva-6 udang windu sudah mulai merayap didasar (Toro dan Soegiarto, 1979 dalam Hidayat 2011). Tahapan pertumbuhan dan perkembangan udang windu secara umum mengalami pergantian kulit dimulai dati meteas sampai dengan postlarva yang siap ditebar dalam tambak. Ada 4 fase larva udang windu, yaitu fase nauplius, zoea, mysis dan postlarva. Apabila pada tahap awal udang dapat menunjukkan respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh kelancaran perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL),maka diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon
17
awal tersebut.
Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan
nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-PL 13-4 hari, serta PL1 sampai siap tebar 12-15 hari. Menurut Djunaidah (1989) dan Mudjiman. A (1981) dalam Sahidir (2010) perkembangan stadia pada udang windu yaitu : 1. Naupli; naupli menetas dari telur. Pada stadia ini memiliki 5 tahapan perubahan stadia. Stadia ini belum aktif mencari makan dan melayanglayang di antara permukaan dan dasar laut, yakni bersifat demersal. naupli masih menggunakan cadangan makanan yang dimiliki oleh tubuhnya sehingga tidak memerlukan asupan pakan dari luar. Akan tetapi, pada stadia naupli 5 telah diberikan pakan alami berupa fitoplankton (terutama diatom). Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.
2. Zoea; stadia ini merupakan stadia kritis dimana pada stadia ini merupakan awal mulai makan phytoplankton yang berasal dari lingkungan perairan sekelilingnya. Pada stadia ini tubuh udang mengalami perpanjangan dibandingkan pada stadia naupli. Protozoea memiliki kemampuan renang aktif ke lapisan permukaan laut dan menghanyut sebagai plankton. Pada 3 stadia ini terdapat perkembangan mata dan rostrum. zoea memiliki kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhkan asupan pakan ini didapatkan dari media pemeliharaan berupa fitoplankton. Pakan alami yang diberikan pada stadia ini berupa Chaetoceros sp., Pavlova
lutheri,
Nannochloris
oculata,
Skeletonema
costatum,
Thalassiosira pseudonana dan Tetraselmis sp. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.
3. Mysis; stadia ini dikarakteristikan dengan tubuh yang lebih panjang. Pada stadia mysis, telson dan pleopod sudah mulai tampak. Mysis memiliki kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhan asupan
18
pakan diperoleh dari media pemeliharaan berupa Skeletonema costatum dan artemia. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
4. Post larva; perkembangan dan organ tubuh pada stadia ini sama dengan udang dewasa. Pada stadia ini udang banyak menghabiskan waktu didasar kolam dan menyukai untuk memakan hewan-hewan kecil yang hidup di dasar laut (benthos). Udang windu mencapai sub-stadium post larva sampai 20 tingkatan.
Pertumbuhan optimal udang windu pada salinitas 15 - 30 ppt, tetapi udang windu dapat bertahan hidup dikisaran salinitas 3 - 45 ppt. Kisaran suhu yang aman pada udang windu 280C – 320C, pH 7,5 - 8,5 dan oksigen terlarut (DO) lebih dari nilai 3 (SNI Produksi udang windu, 2009 dalam Hidayat 2011). Selama pertumbuhan udang windu mengalami pergantian kulit (moulting). Semakin cepat udang berganti kulit, semakin cepat pula pertumbuhan udang (Hidayat, 2011).
2.6.1 Sistem Imun Udang Windu Sistem imun udang diawali dari pemahaman sistem imun pada krustasea, dimana udang merupakan bagian dari krustasea (avertebrata). Sistem imun krustasea dalam hal ini udang, merupakan sistem imun non spesifik. Kebanyakan avertebrata mempunyai sirkulasi yang terbuka, sel darah disebut hemosit atau coelomocytes (Ratcliffe, 1985). Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu, sistem imun spesifik dan non spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan mikroorganisme, sehingga dapat memberikan respon langsung. Sedangkan sistem imun spesifik merupakan pertahanan tubuh terhadap patogen tertentu yang telah berhasil melewati sistem imun non spesifik. Imunitas avertebrata tidak memproduksi antibodi spesifik atau dapat dikatakan memiliki antibodi yang sangat sedikit. Dikatakan bahwa imunitas avertebrata dipengaruhi oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen (Ratcliffe, 1985).
19
Organisme krustasea akuatik yang hidup pada lingkungan budidaya (akuakultur) baik pada habitat air tawar, laut maupun payau sering rentan terkena infeksi baik oleh parasit maupun patogen lainnya. Sehingga krustase harus mampu meningkatkan pertahanan untuk melawan organisme penyerang (antigen). Pertahanan krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau hemosit. Hemosit sangat penting dalam menghilangkan partikel asing yang masuk ke dalam tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim udang yaitu sel hialin, semi granular dan granular. Sel ini memiliki morfologi dan fungsinya masing-masing (Soderhall dan Cerenius, 1992). Sel hialin berfungsi dalam aktifitas fagositosis, yaitu proses sel darah yang melindungi tubuh dengan memakan/menghancurkan partikel asing (antigen) (Cornick dan Stewart, 1978 dalam Jasmanindar 2009).
2.7 Vibrio harveyi Berikut ini merupakan klasifikasi dari bakteri Vibrio harveyi menurut Breed dkk (1948) dalam Hidayat (2011). Divisi
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Ordo
: Eubacteriales
Famili
: Pseudomonadaceae
Genus
: Vibrio
Spesies
: Vibrio harveyi
Gambar 9. Vibrio harveyi Sumber : http://www.nvh.no/en/Home/News/News-stories/New-findings-about-coldwater-vibriosis-in-farmed-salmon/
20
Morfologi Vibrio berbentuk koma atau batang pendek, bengkok atau lurus, bersel tunggal, mempunyai alat gerak berupa flagella tunggal (monotoric flagel), termasuk gram negatif, ukuran sel 1-4 µm, tidak membentuk spora. Oksidase positif, katalase positif, serta proses fermentasi karbohidratnya tidak membentuk gas (Jawestz dkk, 1984). Bakteri ini ditemukan pada air laut juga pada air payau, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya penyakit vibriosis pada ikan air payau (Sunaryanto dkk, 1987 dalam Agung 2010). Penyakit vibriosis dikenal pembudidaya sebagai penyakit yang menyerang bagian kulit udang. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai spesies dari jenis vibrio yang berbeda-beda, dan setiap spesies vibrio memiliki intensitas serangan yang berbeda-beda. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva udang sampai 100% dalam waktu 1-2 hari (Agung, 2010). Ciri-ciri udang yang terkena vibriosis antara lain kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah dan pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala (Sunaryoto, 1987 dalam Al-Rozi 2008). Vibrio juga termasuk bakteri yang bersifat halofil, yaitu tumbuh rentang toleransi salinitas 5-80 ppt dan tumbuh optimal pada salinitas 20-40 ppt (Taslihan, 1992). Vibrio tumbuh pada pH 4-9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5-8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Herawati, 1996 dalam Al-Rozi 2008). Menurut Rheinheimer (1985) dalam Agung (2010) menyatakan bahwa Vibrio menyerang dengan merusak lapisan kutikula yang mengandung kitin dikarenakan Vibrio memiliki chitinase, lipase dan protease. Penyakit vibriosis yang disebabkan oleh vibrio ini pada umumnya menyerang udang pada stadia mysis sampai awal pasca larva sampai awal pasca larva (Taslihan, 1988). Beberapa spesies Vibrio yang ditemukan dan sering menimbulkan penyakit pada udang adalah Vibrio harveyi, Vibrio parahaemolyticus, Vibrio alginolyticus, Vibrio anguillarum, Vibrio vulvinicus dan Vibrio fluvialis (Boer dan Zafran, 1992 dalam Naiborhu, 2002).