BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku 1. Definisi Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu (Wawan, 2010, hlm. 48). Sedangkan menurut Mubarak (2011), perilaku merupakan seperangkat perbuatan atau tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini (Mubarak, 2011, hlm. 79). 2. Respon Perilaku Menurut Skinner 1938 dalam Wawan (2008), seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus), tanggapan (respon) dan respon. Ia membedakan adanya 2 respon, yakni : respondent respon atau reflexive respon merupakan respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Dan operant respon atau instrumental respon merupakan respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena rangsangan tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan oleh organisme (Wawan, 2010, hlm. 50).
Universitas Sumatera Utara
3. Proses Perubahan Perilaku Proses perubahan perilaku mencakup lima fase berikut, fase pertama yaitu fase pencairan (unfreezing phase), yaitu individu dimulai mempertimbangkan penerimaan terhadap perubahan. Fase kedua yaitu fase diagnosis masalah (problem diagnosis phase), yaitu individu mulai mengidentifikasi segala sesuatu, baik yang mendukung maupun menentang perubahan. Fase ketiga yaitu fase penentuan tujuan (goal setting phase), yaitu individu menentukan tujuan sesuai dengan perubahan yang diterimanya. Fase yang keempat yaitu fase tingkah laku baru (new behavior phase), yaitu individu mulai mencoba. Dan fase yang kelima yaitu fase pembekuan ulang (refreezing phase), yaitu tingkah laku individu yang permanen (Mubarak, 2011, hlm. 88). 4. Perilaku Kesehatan Berdasarkan batasan perilaku dari Skinner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003, hlm. 116). Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok,
yang
pertama
yaitu
perilaku
pemeliharaan
kesehatan
(health
maintanance) merupakan perilaku atau usaha-usaha untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Yang kedua yaitu perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan yaitu merupakan perilaku yang menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Serta yang ketiga yaitu perilaku kesehatan lingkungan merupakan bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik
Universitas Sumatera Utara
lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya (Notoatmodjo, 2003, hlm. 118).
B. Pengetahuan (Knowledge) 1. Definisi Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihtan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003, hlm. 127). 2 . Tingkat Pengetahuan Menurut Notoatmodjo pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan. Tingkatan yang pertama yaitu “tahu” diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Setelah seseorang tahu akan pengetahuan yang diperolehnya maka ia akan mengarah menuju tingkatan yang kedua yaitu memahami. Memahami itu sendiri diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar (Notoatmodjo, 2003, hlm. 123). Dari hasil tahu dan memahami akan suatu pengetahuan itu maka seseorang akan menuju tingkatan yang selanjutnya yaitu mengaplikasikannya. Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Dalam pengaplikasian suatu pengetahuan itu
Universitas Sumatera Utara
maka seseorang akan menganalisa pengetahuan yang diperolehnya. Analisa itu sendiri adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain (Notoatmodjo, 2003, hlm. 123). Setelah semua pengetahuan diaplikasikan maka seseorang akan berusaha untuk menuju ke tingkatan yang selanjutnya yaitu mengsintesiskan pengetahuan yang diperolehnya. Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dari formulasi-formulasi yang ada. Selanjutnya pengetahuan yang diperoleh akan dievaluasi terlebih dahulu kebenarannya. Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003, hlm. 123). 3. Cara Memperoleh Pengetahuan Untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: cara tradisional atau nonilmiah, yakni tanpa melalui penelitian ilmiah, dan cara modern atau cara ilmiah, yakni melalui proses penelitian. Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis (Notoatmodjo, 2010, hlm. 11). Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini terdapat 10 macam cara. Yang pertama yaitu cara coba-salah (trial and error) yaitu merupakan upaya pemecahannya dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua ini gagal pula, maka dicoba kembali dengan
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan ketiga dan seterusnya, sampai masalah tersebut dapat terpecahkan (Notoatmodjo, 2010, hlm. 11). Cara yang kedua yaitu secara kebetulan yang merupakan penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang bersangkutan. Cara yang ketiga yaitu cara kekuasaan atau otoriter yaitu sumber pengetahuan tersebut dapat berupa pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintah dan sebagainya. Dengan kata lain pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas atau kekuasaan
ahli ilmu pengetahuan
(Notoatmodjo, 2010, hlm. 12). Cara yang keempat yaitu berdasarkan pengalaman pribadi, pengalaman adalah guru yang baik, demikian bunyi pepatah. Pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau
pengalaman itu
merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang
diperoleh dalam
memecahkan masalah yang dihadapi, maka untuk memecahkan masalah lain yang sama, orang dapat pula menggunakan cara tersebut (Notoatmodjo, 2010, hlm. 13). Cara yang kelima yaitu cara akal sehat, dimana akal sehat atau common sense kadang-kadang dapat menemukan teori atau kebenaran. Sebelum ilmu pendidikan ini berkembang, para orang tua zaman dahulu agar anaknya mau menuruti nasihat orang tuanya, atau agar anak disiplin menggunakan cara hukuman fisik bila anaknya berbuat salah. Cara keenam yaitu kebenaran melalui wahyu yang mana ajaran dan dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para Nabi. Kebenaran ini harus diterima dan diyakini oleh pengikut-pengikut agama yang
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut rasional atau tidak. Sebab kebenaran ini diterima oleh para Nabi adalah sebagai wahyu dan bukan karena hasil usaha penalaran atau penyelidikan (Notoatmodjo, 2010, hlm. 14). Cara yang ketujuh yaitu kebenaran secara intuitif dimana kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali melalui proses di luar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau berpikir. Kebenaran yang diperoleh melalui intuitif sukar dipercaya karena kebenaran ini tidak menggunakan cara-cara yang rasional dan sistematis. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya berdasarkan intuisi atau suara hati atau bisikan hati saja (Notoatmodjo, 2010, hlm. 15). Cara yang kedelapan yaitu melalui jalan pikiran, sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia. Cara berfikir manusia pun ikut berkembang, dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya, baik melalui induksi maupun deduksi. Induksi dan deduksi pada dasarnya merupakan cara melahirkan pemikiran secara tidak langsung melalui pernyataan-pernyataan yang dikemukakan, kemudian dicari hubungannya sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan itu melalui pernyataan-pernyataan khusus kepada yang umum dinamakan induksi. Sedangkan deduksi
adalah pembuatan
kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum kepada yang khusus (Notoatmodjo, 2010, hlm. 15). Cara yang kesembilan yaitu secara Induksi yaitu merupakan proses berpikir induksi itu beranjak dari hasil pengamatan indra atau hal-hal yang nyata, maka dapat dikatakan bahwa induksi beranjak dari hal-hal yang konkret
kepada hal yang
abstrak. Cara yang kesepuluh yaitu secara deduksi yaitu merupakan pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum ke khusus. Di dalam proses berpikir deduksi berlaku bahwa sesuatu yang dianggap
benar secara umum pada kelas
Universitas Sumatera Utara
tertentu, berlaku juga kebenarannya pada semua peristiwa yang terjadi pada setiap yang termasuk dalam kelas itu. Di sini terlihat proses berpikir berdasarkan pada pengetahuan yang umum mencapai pengetahuan yang khusus (Notoatmodjo, 2010, hlm. 16). Selain cara tradisional atau nonilmiah pengetahuan dapat diperoleh dengan cara modern atau ilmiah. Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini
lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut “metode
penelitian ilmiah” atau lebih popular disebut metodologi penelitian (Notoatmodjo, 2010, hlm. 18) 4. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan a. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek fisik dan psikologis (mental). Secara garis besar, pertumbuhan fisik terdiri atas empat kategori perubahan yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, dan timbulnya ciri-ciri baru. Perubahan ini terjadi karena pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis atau mental, taraf berfikir seseorang menjadi semakin matang dan dewasa (Mubarak, 2011, hlm. 83). b. Pendidikan. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain agar dapat memahami sesuatu hal. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak. Sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, maka akan menghambat perkembangan sikap orang tersebut terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Mubarak, 2011, hlm. 83).
Universitas Sumatera Utara
c. Lama Bekerja Masa kerja adalah rentang waktu yang telah ditempuh oleh seorang bidan dalam melaksanakan tugasnya, selama waktu itulah banyak pengalaman dan pelajaran yang dijumpai sehingga sudah mengerti apa keinginan dan harapan klien kepada seorang bidan (Wawan, 2010, hlm. 17). 5. Kriteria Tingkat Pengetahuan Menurut Arikunto 2006 dalam Wawan (2010), pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu: 1) Baik : hasil presentase 76% - 100% 2) Cukup : hasil presentase 56% - 75% 3) Kurang : hasil presentase < 56 % (Wawan, 2010, hlm.18).
C. Sikap 1. Defenisi Menurut Eagly & Chaiken 1993 dalam Wawan (2010) , mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek sikap, yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif, dan perilaku. Sedangkan Aiken (dalam Mitchell, 1990) mengemukakan bahwa sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten, baik positif maupun negatif terhadap suatu objek. Melalui sikap, kita memahami proses kesadaran yang menentukan tindakan nyata dan mungkin dilakukan individu dalam kehidupan sosialnya (Wawan, 2010, hlm. 31).
Universitas Sumatera Utara
Defenisi tersebut diatas menunjukkan bahwa secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), perilaku (cenderung mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai), dan emosi (menyebabkan respon-respon yang konsisten) (Wawan, 2010, hlm. 31). 2. Komponen Sikap Menurut Azwar 2000 dalam Wawan (2010), struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang. Komponen yang pertama yaitu komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. Komponen yang kedua yaitu komponen afektif yang mana merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang, komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu (Wawan, 2010, hlm. 32). Komponen yang ketiga yaitu Komponen konatif yang merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimilki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak dan bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku (Wawan, 2010, hlm. 32).
Universitas Sumatera Utara
3. Tingkatan Sikap Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari 4 tingkatan. Tingkatan yang pertama yaitu tingkatan menerima (receiving), dimana menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Tingkatan yang kedua yaitu tingkatan dalam merespon (responding), dimana memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut (Notoatmodjo, 2003, hlm. 126). Tingkatan yang ketiga yaitu tingkatan menghargai (valuting), dimana proses mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Tingkatan yang kelima atau yang terakhir yaitu tingkatan bertanggungjawab (responsible), dimana bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003, hlm. 126). 4. Cara Pengukuran Sikap Menurut Notoatmodjo 2003 dalam wawan (2010), pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Wawan, 2010, hlm. 37). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran sikap yang meliputi keadaan objek yang diukur, situasi pengukuran, alat ukur yang digunakan, penyelenggaraan pengukuran, serta pembacaan atau penilaian hasil pengukuran (Wawan, 2010, hlm. 37).
Universitas Sumatera Utara
D. Praktek atau Tindakan (Practise) 1. Definisi Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang sudah positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya, dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Di samping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya suami atau istri, orang tua atau mertua, dan lain-lain (Notoatmodjo, 2003, hlm. 127). 2. Tingkatan Praktek Praktek atau tindakan ini terdiri dari 4
tingkatan, yaitu: yang pertama
persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. Tingkatan yang kedua yaitu respon terpimpin (guide respons) yang mana dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua (Notoatmodjo, 2003, hlm. 127). Tingkatan yang ketiga mekanisme (mecanism) yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. Tingkatan yang terakhir atau yang keempat yaitu adaptasi (adaptation), dimana adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003, hlm. 128).
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2003, hlm. 128).
E. Bidan 1. Definisi Definisi bidan menurut ICM (International Confederation Of Midwives) ke 27, bulan juli 2005, yang diakui oleh WHO dan Federation of International Gynecologist Obstetrition (FIGO), “Bidan
adalah seseorang yang telah
menyelesaikan program pendidikan bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan
praktek kebidanan di negeri itu”
(Hidayat & Mufdlilah, 2008. hlm. 13) . Bidan adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang telah diakui oleh pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku, jika melakukan praktik yang bersangkutan harus mendaftar untuk mendapatkan izin praktik dari lembaga yang berwenang dalam melaksanakan asuhan sesuai dengan kebutuhan pada: wanita hamil, bersalin, nifas, BBL, bayi dan balita (bayi dibawah lima tahun) (Hidayat & Mufdlilah, 2008. hlm. 14) . IBI menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah seorang wanita yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan (Wahyuningsih, 2005, hlm. 100).
Universitas Sumatera Utara
2. Perilaku Profesional Bidan Dalam melaksanakan tugas atau prakteknya dalam pelayanan kebidanan bidan memiliki perilaku yang profesional. Dalam melaksanakan tugasnya, bidan berpegang teguh pada filosofi etika profesi dan aspek legal. Bertanggung jawab dalam keputusan klinis yang dibuatnya. Senantiasa mengikuti perkembangan pengetahuan dan keterampilan
mutakhir
secara berkala. Menggunakan cara
pencegahan universal untuk penyakit, penularan dan strategi pengendalian infeksi. Melakukan konsultasi dan rujukan yang tepat dalam memberikan asuhan kebidanan. Menghargai dan memanfaatkan budaya setempat sehubungan dengan praktik kesehatan, kehamilan, kelahiran, periode pasca persalinan, bayi baru lahir dan anak (Hidayat & Mufdlilah, 2008. hlm. 53). Menggunakan model kemitraan dalam bekerjasama dengan kaum wanita atau ibu agar mereka dapat menentukan pilihan yang telah diinformasikan tentang semua aspek asuhan, meminta persetujuan secara tertulis supaya mereka
bertanggung
jawab atas kesehatannya sendiri. Menggunakan keterampilan mendengar dan memfasilitasi. Bekerjasama dengan petugas kesehatan lain untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan ibu dan keluarga. Advokasi terhadap ibu dalam tatanan
pelayanan (Hidayat & Mufdlilah, 2008. hlm. 53). 3. Peran Bidan Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan seseorang pada situasi sosial tertentu. Menurut Kozier 1995 dalam Mubarak (2011), menyatakan bahwa peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap sseseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial, baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran bidan adalah cara untuk menyatakan aktivitas bidan dalam praktik, dimana telah
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab kebidanan secara profesional sesuai dengan kode etik profesional (Mubarak, 2011, hlm. 106). 4. Fungsi Dan Tugas Bidan Fungsi dan tugas bidan dalam
melaksanakan pelayanan kebidanan
dijelaskan sebagai berikut ini: a. Fungsi : pekerjaan yang harus dilakukan sesuai dengan peranannya (Hidayat & Mufdlilah, 2008. hal. 48). b. Tugas : kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan untuk memenuhi fungsinya, tugasnya adalah perincian dari fungsi (yang harus dilakukan
sehubungan
dengan
hak
wewenang
dan
tanggungjawabnya) (Hidayat & Mufdlilah, 2008. hal. 48). 5. Hak Bidan Bidan memiliki hak dalam melaksanakan tugas dan prakteknya dalam pelayanan kebidanan yang diberikannya, berikut ini adalah hak bidan yaitu: a. Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. b. Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkatan atau jenjang pelayanan kesehatan. c. Bidan berhak menolak keinginan pasien atau klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundangan, dan kode etik profesi. d. Bidan berhak atas privasi atau kedirian dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain. e. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan.
Universitas Sumatera Utara
f. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai. g. Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai (Wahyuningsih, 2005, hlm. 28). 6. Kewajiban Bidan Berikut ini adalah kewajiban bidan dalam melaksanakan tugas dan prakteknya dalam pelayanan kebidanan. a. Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan dimana ia bekerja. b. Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien. c. Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien. d. Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi oleh suami atau keluarga. e. Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. f. Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien. g. Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta resiko yang mungkin dapat terjadi. h. Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (Informed Consent) atas tindakan yang akan dilakukan. i. Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.
Universitas Sumatera Utara
j. Bidan wajib mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal. k. Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secara timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan (Wahyuningsih, 2005, hlm. 29).
F. Imunisasi Dan Vaksinasi 1. Definisi Menurut Matondang 2005 dalam Maryunani (2010), Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit (Maryunani, 2010, hlm. 208). Sedangkan vaksinasi merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu memproduksi limfosit yang peka sebagai antibodi dan sel memori. Cara ini meniru infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan (Ranuh, et all, 2011, hlm. 8). Tujuannya adalah memberikan “infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen atau penyakit yang masuk tersebut (Ranuh, et , all, 2011, hlm. 8).
Universitas Sumatera Utara
2. Jenis Vaksin Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : Live attenuated (bakteri atau virus yang dilemahkan) dan Inaclivated (bakteri, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif). Sifat vaksin attenuated dan Inaclivated berbeda sehingga hal ini menentukan bagaimana vaksin ini digunakan (Ranuh. el. all, 2011, hml. 134). Vaksin terdiri dari kuman atau virus yang dilemahkan, masih antigenik namun tidak patogenik. Contohnya adalah virus polio oral, campak, rubella dan BCG. Oleh karena vaksin diberikan sesuai infeksi alamiah (oral), virus dalam vaksin akan hidup dan berkembang biak di epitel saluran cerna, sehingga akan memberikan kekebalan lokal. Sekresi antibodi IgA lokal yang ditingkatkan akan mencegah virus liar yang masuk ke dalam sel tubuh (Ranuh. el. all, 2011, hml. 134). Vaksin Inactivated (vaksin mati) jelas tidak patogenik dan tidak berkembang biak dalam tubuh. Contohnya vaksin pertusis dan inactivated poliomyelitis (IPV). Oleh karena itu diperlukan pemberian beberapa kali (Ranuh. el. all, 2011, hml. 136). Susunan vaksin rekombinan (misal hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Contohnya vaksin pneumococcus, hepatitis B, influenza. Sintesa dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin (Ranuh. el. all, 2011, hml. 139). Vaksin toksoid merupakan vaksin yang paling berhasil dari semua vaksin bakteri adalah vaksin tetanus dan difteri. Bahan yang bersifat imunogenik dibuat dari toksin kuman. Pemanasan dan penambahan formalin biasanya digunakan dalam proses pembuatannya. Hasil dari pembuatan bahan toksoid efektif selama satu tahun. Bahan
adjuvan
digunakan
untuk
memperlama
rangsangan
antigenik
dan
meningkatkan imunogenesitasnya (Marimbi, 2010, hlm. 123).
Universitas Sumatera Utara
Dan yang terakhir adalah Vaksin plasma DNA (plasmid DNA vaccines). Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung kode antigen yang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respon humoral dan selular yang kuat, sedangkan penelitian klinis pada manusia saat ini sedang dilakukan (Marimbi, 2010, hlm. 123). 3. Sifat Vaksin Sifat vaksin digolongkan berdasarkan pada kepekaan atau sensitivitasnya terhadap suhu. Sifat-sfat vaksin tersebut, yaitu : a. Vaksin yang sensitif terhadap beku (freeze senzitive) merupakan vaksin yang rusak bila terpapar dengan suhu dingin atau suhu pembekuan (0°). Vaksin yang tergolong dalam sifat ini, antara lain vaksin Hepatitis B, vaksin DPTHB, DT, dan TT (Maryunani, 2010, hlm. 225). Tabel vaksin yang sensitif terhadap beku Vaksin
Pada Suhu
Dapat Bertahan Selama
Hepatitis B, DPT-HB
0,5° C
Maksimal 30 menit
DPT, DT, TT
5° C s/d 10° C
Maksimal 1,5 – 2 jam
DPT, DPTHB, DT HB dan TT
Beberapa °C di atas suhu udara luar (ambient temperatur < 34° C) Beberapa ° C di atas suhu udara luar (ambient temperatur < 34° C)
14 hari 30 hari
b. Vaksin yang sensitif terhadap panas (Heat Sensitive) merupakan golongan vaksin yang akan rusak jika terpapar dengan suhu panas yang berlebihan. Vaksin yang mempunyai sifat seperti ini, antara lain vaksin Polio, vaksin BCG dan vaksin Campak (Maryunani, 2010, hlm. 225).
Universitas Sumatera Utara
Tabel F.3b vaksin yang sensitif terhadap panas Vaksin
Pada Suhu
Polio
Beberapa ° C di atas suhu udara luar (ambient temperature < 34° C) Beberapa ° C di atas suhu udara luar (ambient temperaure < 34° C)
Campak dan BCG
Dapat Bertahan Selama 2 hari 7 hari
4. Penyimpanan dan Transportasi Vaksin Vaksin adalah suatu produk biologis yang terbuat dari kuman, komponen kuman, atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan yang berguna untuk merangsang timbulnya kekebalan tubuh seseorang. Bila vaksin diberikan kepada seseorang, akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu. Sebagai produk biologis, vaksin memiliki karakteristik tertentu dan memerlukan penanganan yang khusus sejak diproduksi di pabrik hingga dipakai di unit pelayanan. Suhu yang baik untuk semua jenis vaksin adalah + 2° C sampai dengan + 8° C (Maryunani, 2010, hlm. 224). Penyimpanan vaksin merupakan salah satu titik kritis yang dapat mempengaruhi stabilitas dari sisi antigenik tersebut. Penyimpanan pada suhu yang tidak sesuai menyebabkan stabilitas dari zat pembawa mengalami kerusakan. Secara kasat mata fisik dari vaksin tersebut tidak berubah. Tetapi kemungkinan besar terdapat komponen lain dari vaksin tersebut yang rusak. Kerusakan zat pembawa atau komponen lain secara tidak langsung dapat menyebabkan kerusakan sisi antigenik virus sehingga dapat menurunkan potensinya (Maryunani, 2010, hlm. 224). Menurut Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi Depkes RI (2005), vaksin sebagai media utama kegiatan imunisasi, merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan, sehingga penyimpanan vaksin membutuhkan perhatian khusus. Pada setiap tahapan rantai dingin maka transportasi vaksin dilakukan pada temperatur 0°C sampai 8°C. Vaksin polio boleh mencair dan
Universitas Sumatera Utara
membeku tanpa membahayakan potensi vaksin. Sedangkan vaksin DPT, DT, hepatitis-B dan Hib akan rusak bila membeku pada temperatur 0° (vaksin hepatitis-B akan membeku sekitar -0,5°C) (Muhadir, 2012). Agar kualitas vaksin sesuai dengan standar yang ditetapkan guna menumbuhkan imunitas yang optimal bagi sasaran imunisasi maka dibutuhkan suatu cara penyimpanan vaksin yang baik, yang disebut rantai dingin (cold chain). Rantai dingin (cold chain) adalah cara menjaga agar vaksin dapat digunakan dalam keadaan baik atau tidak rusak sehingga mempunyai kemampuan atau efek kekebalan pada penerimanya, akan tetapi apabila vaksin di luar temperatur yang dianjurkan maka akan mengurangi potensi kekebalannya (Maryunani, 2010, hlm. 224). Penyimpanan vaksin yang tidak baik atau menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan, dapat mengakibatkan kerusakan vaksin sehingga menurunkan atau menghilangkan potensinya. Kerusakan vaksin
dapat mengakibatkan kerusakan
sumber daya yang tidak sedikit, baik dalam bentuk biaya vaksin maupun biaya-biaya lain yang terpaksa dikeluarkan untuk menanggulangi masalah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau Kejadian Luar Biasa (KLB) (Maryunani, 2010, hlm. 224). Telah disebutkan sebelumnya bahwa suhu yang baik untuk semua jenis vaksin adalah +2° C sampai dengan +8° C. Maka semua vaksin akan rusak bila terpapar atau kena sinar matahari langsung. Tetapi beberapa vaksin juga tidak tahan terhadap pembekuan, bahkan dapat rusak secara permanen dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan bila vaksin terpapar panas. Jadi, anggapan bahwa bila sudah ada pendingin (kulkas) maka vaksin sudah aman atau makin dingin penyimpanan, vaksin baik merupakan anggapan yang tidak tepat dan perlu diluruskan (Maryunani, 2010, hlm. 225).
Universitas Sumatera Utara
Maka bidan terutama yang bertugas dalam pemberian imunisasi perlu mengetahui penggolongan vaksin berdasarkan sensitivitas terhadap suhu berikut ini agar dapat melakukan penyimpanan vaksin dengan tepat. Penggolongan vaksin berdasarkan sensitivitas terhadap suhu yaitu vaksin sensitif beku (freeze sensitive atau FS) yang merupakan golongan vaksin yang akan rusak terhadap suhu di bawah 0° C (beku). Vaksin tersebut adalah vaksin Hepatitis B, DPT, DPT-HB, DT, dan TT. Serta vaksin sensitif panas (heat sensitive atau HS) yang merupakan golongan vaksin yang akan rusak terhadap paparan panas yang berlebih. Vaksin tersebut adalah vaksin BCG, Polio, dan Campak ( Maryunani, 2010, hlm. 225). Prosedur penyimpanan dan transportasi vaksin imunisasi terbagi atas dua yaitu : rantai vaksin dan kualitas vaksin. Berikut ini adalah penjabaran dari kedua bagian tersebut. a. Rantai Vaksin Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari pabrik sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin di kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alat pembawa vaksin, serta pentingnya alat-alat untuk mengukur dan mempertahankan suhu. Dampak perubahan suhu pada vaksin hidup dan mati berbeda. Untuk itu harus diketahui suhu optimum untuk setiap vaksin sesuai petunjuk penyimpanan dari pabrik masing-masing (Ranuh. el. all, 2011, hml. 187). 1) Suhu Optimum Untuk Vaksin Hidup Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2° C s/d +8° C, di atas suhu +8° C vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam 7 hari. Potensi vaksin
Universitas Sumatera Utara
hidup masih tetap baik pada suhu kurang dari 2° C sampai dengan beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka bertahan lebih lama (2 tahun) bila disimpan pada suhu (-25° C ) – (-15° C), namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu (+2° C) – (+8° C) (Ranuh. el. all, 2011, hml. 187). Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu (-25° C) – (-15° C), umur vaksin tidak lebih lama dari suhu (+2° C) s/d (+8° C), yaitu BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di (-25) – (-15° C) atau di dalam freezer (Ranuh. et. all, 2011. Hlm. 187). 2) Suhu Optimum Untuk Vaksin Mati Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu (+2° C) – (+8° C) juga, bila disimpan pada suhu dibawah +2° C (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu -0,5° C vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombinasi) akan rusak dalam setengah jam, tetapi dalam suhu di atas 8° C vaksin hepatitis B bisa bertahan sampai 30 hari, DPT-Hepatitis B kombinasi sampai 14 hari. Bila dibekukan dalam suhu (-5° C) – (-10° C) vaksin DPT , DT dan TT akan rusak dalam 1,5 – 2 jam, tetapi dalam suhu di atas 8° C masih bisa bertahan sampai 14 hari (Ranuh. et. all, 2011. Hlm. 188). 3) Kamar Dingin Dan Kamar Beku Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya berada di pabrik, distributor pusat, departemen kesehatan atau dinas kesehatan propinsi, berupa ruang yang besar dengan kapasitas 5 – 100 𝑚3 , untuk menyimpan vaksin dalam
jumlah yang besar. Suhu kamar dingin berkisar antara (-2° C) – (+8° C), terutama
untuk menyimpan vaksin yang tidak boleh beku. Suhu kamar beku berkisar antara (25° C) – (-15° C), untuk menyimpan vaksin yang boleh beku, terutama vaksin polio.
Universitas Sumatera Utara
Kamar dingin dan beku harus beroperasi terus menerus, menggunakan 2 alat pendingin yang bekerja secara bergantian. (Ranuh. el. all, 2011, hml. 188). Aliran listrik tidak boleh terputus sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit listrik yang secara otomatis akan berfungsi bila listrik mati. Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat secara otomatis. Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2° C, atau diatas 8° C, atau listrik padam. Pintu tidak boleh sering dibuka tutup. Kamar dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan untuk membuat cool pack atau cold pack, atau meletakkan benda-benda lain. Pembuatan cool pack atau cold pack menggunakan lemari pendingin tersendiri (Ranuh. el. all, 2011, hml. 188). 4) Lemari Es Dan Freezer Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri . Jarak lemari es dengan dinding belakang 10 – 15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara disekitarnya harus baik. Lemari es tidak boleh terkena panas matahari langsung. Suhu di dalam lemari es harus berkisar (+2° C) – (+8° C), digunakan untuk menyimpan vaksin-vaksin hidup maupun mati, dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair). Sedangkan suhu di dalam freezer berkisar antara (-25° C) – (-15° C), khusus untuk menyimpan vaksin polio dan pembuatan cold pack (kotak es beku) (Ranuh. el. all, 2011, hml. 189). Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa sehingga suhunya berkisar antara (+2°C) – (+8°C) dan suhu
freezer berkisar (-15°C) - (-25°C).
Perubahan suhu dapat diketahui setelah 24 jam pengaturan termostat, dengan melihat termometer Dial atau Muller yang diletakkan pada rak ke 2. Di dalam lemari es lebih baik bila dilengkapi freezer watch atau freezer tag pada ke 3, untuk memantau apakah suhunya pernah mencapai dibawah 0 derajat (Ranuh. el. all, 2011, hml. 189).
Universitas Sumatera Utara
Setelah suhu stabil, posisi termostat jangan diubah, sebaiknya termostat difiksasi dengan pita perekat (selotape) agar tidak tergeser ketika mengambil atau meletakkan vaksin. Sebaiknya pintu lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika mengambil vaksin dan mengembalikan sisa vaksin, sambil mencatat suhu lemari es (Ranuh. el. all, 2011, hml. 189). Pintu lemari es ada dua jenis membuka ke depan dan membuka ke atas, masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Lemari es dengan pintu membuka ke atas lebih dianjurkan untuk penyimpanan vaksin (Ranuh. el. all, 2011, hml. 189). Tabel perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke atas Pintu membuka ke depan Pintu membuka ke atas Suhu tidak stabil.
Suhu lebih stabil,
Pada saat pintu dibuka ke depan, suhu Pada saat pintu dibuka ke atas, suhu dingin turun dari atas ke bawah dan
dingin turun dari atas ke bawah, tidak
keluar
keluar
Bila listrik padam relatif tidak
Bila listrik padam relatif bisa
bertahan lama
bertahan lebih lama
Jumlah vaksin yang bisa disimpan
Jumlah vaksin yang bisa disimpan
lebih sedikit
lebih banyak
Susunan vaksin lebih mudah dilihat
Susunan vaksin lebih sulit dikontrol
dari depan
karena bertumpuk sulit dilihat dari atas
Karet-karet pintu harus diperiksa kerapatannya, untuk menghindari keluarnya udara dingin. Bila pada dinding lemari es telah terdapat bunga es, atau di freezer telah mencapai tebal 2-3 cm harus segera dilakukan pencairan (defrost). Sebelum melakukan pencairan, pindahkan semua vaksin ke cool box atau lemari es yang lain. Cabut kontak listrik lemari es, biarkan pintu lemari es dan freezer terbuka selama 24 jam, kemudian dibersihkan. Setelah bersih, pasang kembali kontak listrik, tunggu
Universitas Sumatera Utara
sampai suhu stabil. Setelah suhu lemari suhu lemari sedikitnya mencapai +8° C dan suhu freezer -15° C, masukkan vaksin sesuai tempatnya (Ranuh. el. all, 2011, hml. 190). 5) Susunan Vaksin Di Dalam Lemari Es Vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda terhadap suhu dingin, maka kita harus mengenali bagian yang paling dingin dari lemari es. Freezer hanya untuk membuat es batu atau cold pack, yang dapat digunakan untuk mempertahankan suhu lemari es bila listrik mati, dengan meletakkan es batu atau cold pack diantara vaksin-vaksin, sampai listrik menyala kembali (Ranuh. el. all, 2011, hml. 190). Vaksin hidup diletakkan dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari bagian yang paling dingin. Diantara kotak-kotak vaksin beri jarak selebar jari tangan (sekitar 2 cm) agar udara dingin bisa menyebar merata ke semua kotak vaksin (Ranuh. el. all, 2011, hml. 191). Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk meletakkan cool pack, pendingin untuk membawa vaksin di dalam termos, dan untuk mempertahankan suhu bila listrik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam lemari es atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah bila beku. Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh diletakkan di lemari es atau freezer karena akan menjadi rapuh, mudah pecah (Ranuh. el. all, 2011, hml. 193). Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan atau benda-benda lain di dalam lemari es vaksin, karena akan mengganggu stabilitas suhu karena sering dibuka (Ranuh. el. all, 2011, hml. 193).
Universitas Sumatera Utara
6) Lemari Es Dengan Pintu Membuka Ke Depan Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer). Di dalam freezer untuk membuat es batu atau mendinginkan cold pack, sedangkan rak tepat di bawah freezer untuk meletakkan vaksin-vaksin hidup, karena tidak mati pada suhu rendah. Rak yang lebih jauh dari
freezer (rak ke 2 dan 3) untuk
meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar tidak terlalu dekat freezer, untuk menghindari rusak karena beku. Termometer Dial atau Muller diletakkan pada rak ke 2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3 (Ranuh. el. all, 2011, hml. 193). 7) Lemari Es Dengan Pintu Membuka Ke Atas Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah (evaporator) yang membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu vaksin hidup diletakkan di kanan-kiri bagian yang paling dingin (evaporator). Vaksin mati diletakkan di pinggir, jauh dari evaporator . Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2 cm). Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch atau freeze tag dekat vaksin mati (Ranuh. el. all, 2011, hml. 194). 8) Wadah Pembawa Vaksin Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh dapat menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier (termos). Cold box berukuran lebih besar, dengan ukuran 40-70 liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan, selain untuk transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara. Untuk mempertahankan suhu vaksin di dalam kotak dingin atau termos dimasukkan cold atau cool pack (Ranuh. el. all, 2011, hml. 195).
Universitas Sumatera Utara
9) Cold Pack Atau Cool Pack Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu (-15°C) – (-25°C) selama 24 jam, dibuat dalam wadah plastik berwarna putih. Cool pack berisi air dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam suhu (+2°C) – (+8°C) selama 24 jam, dibuat di dalam wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold pack (beku) dimasukkan ke dalam termos untuk mempertahankan suhu vaksin ketika membawa vaksin hidup sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) (Ranuh. el. all, 2011, hml. 195). b. Kualitas Vaksin Vaksin hidup akan mati pada suhu di atas suhu 8°C, dan vaksin mati (inaktif) akan rusak di bawah suhu 2° C. Bila pengelolaan vaksin dan rantai tidak baik, maka vaksin tidak mampu merangsang kekebalan tubuh secara optimal bahkan dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Oleh karena itu dalam pelayanan sehari-hari kita perlu memahami beberapa hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih layak diberikan kepada pasien atau tidak. Namun untuk mengetahui potensi vaksin yang sesungguhnya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium yang rumit (Ranuh. el. all, 2011, hml. 197). Berikut ini adalah beberapa hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih layak diberikan kepada pasien atau tidak, yaitu : 1. Kualitas Rantai Vaksin dan Tanggal Kadaluarsa Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi vaksin harus memenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain: disimpan di dalam lemari es atau freezer dalam suhu 2-8°C, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau termos yang tertutup rapat, tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari langsung, belum melewati tanggal kadaluarsa, indikator suhu berupa VVM
Universitas Sumatera Utara
(Vaccine Vial Monitor) atau freezer watch atau tag belum pernah dibawah suhu 2°C atau 8°C dalam waktu cukup lama (Ranuh. el. all, 2011, hml. 197). 2. VVM (Vaccine Vial Monitor) Vaccine Vial monitor untuk menilai apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu di atas 8°C dalam waktu lama, dengan membandingkan warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di sekitarnya. Bila warna kotak segi empat lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksin belum terpapar suhu di atas 8°C. Vaksin dengan kondisi VVM B harus segera dipergunakan (Ranuh. el. all, 2011, hml. 195). Gambar 2.b. perubahan warna Vaccine Vial Monitor Kondisi VVM Keterangan Kondisi A Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar, bila belum kadaluwarsa: Gunakan vaksin. Kondisi B
Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran sekitar, bila belum kadaluwarsa: Segera Gunakan vaksin
Kondisi C
Segi empat sama warna dengan lingkaran sekitar , Jangan Gunakan vaksin: lapor kepada pimpinan.
Kondisi D
Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar, Jangan Gunakan vaksin: lapor kepada pimpinan.
Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar suhu di atas 8°C, tidak boleh diberikan pada pasien (Ranuh. el. all, 2011, hml. 198). 3. Freeze Watch dan Freeze Tag Freeze watch dan freeze tag adalah alat untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0°C. Bila dalam Freeze watch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag ada tanda silang (X), berarti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0°C yang dapat merusak vaksin mati (inaktif).
Universitas Sumatera Utara
Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien (Ranuh. el. all, 2011, hml. 198). 4. Warna Dan Kejernihan Vaksin Warna dan kejernihan beberapa vaksin dapat menjadi indikator praktis untuk menilai stabilitas vaksin. Vaksin polio harus berwarna kuning oranye. Bila warnanya berubah menjadi pucat atau kemerahan berarti pHnya telah berubah, sehingga tidak stabil dan tidak boleh diberikan kepada pasien (Ranuh. el. all, 2011, hml. 199). Vaksin toksoid, rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih sedikit berkabut. Bila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah pernah beku, tidak boleh digunakan karena sudah rusak (Ranuh. el. all, 2011, hml. 199). Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap, maka vaksin tidak boleh digunakan karena sudah rusak (Ranuh. el. all, 2011, hml. 199). 5. Pemilihan Vaksin Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah vaksin yang belum dibuka tetapi telah dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO = Early Expire First Out), vaksin yang sudah lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = First In First Out) (Ranuh. el. all, 2011, hml. 200). 6. Sisa Vaksin di Sarana Pelayanan Statis (Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit, atau Praktek Swasta) Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan statis masih bisa diberikan pada pelayanan berikutnya bila masih memenuhi syarat-syarat, tidak melewati tanggal kadaluwarsa, disimpan dalam suhu (+2°C) – (+8°C), tidak pernah terendam air, VVM A atau B. Oleh karena itu sebaiknya selalu ditulis tanggal mulainya penggunaan vaksin tersebut. Vaksin yang sudah terbuka atau sedang dipakai
Universitas Sumatera Utara
diletakkan dalam satu wadah atau tempat khusus (tray), sehingga segera dapat dikenali (Ranuh. el. all, 2011, hml. 200). Khusus untuk vaksin yang telah dilarutkan, stabilitas vaksin lebih singkat. Vaksin BCG yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu (+2°C) – (+8°C) hanya stabil selama 3 jam (WHO 6 jam). Vaksin campak yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu (+2°C) – (+8°C) hanya stabil selama 68 jam. Vaksin Hib yang sudah dilarutkan potensinya sangat menurun setelah 24 jam. Vaksin varisela yang sudah dilarutkan potensinya sangat menurun setelah 30 menit (Ranuh. el. all, 2011, hml. 200). Tabel 2.f. masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana pelayanan statis Vaksin
Masa pemakaian (minggu)
Polio
2
DPT
4
DT
4
TT
4
Hepatitis B
4
7. Sisa Vaksin Di Sarana Pelayanan Luar Gedung Vaksin yang belum dibuka tetapi sudah dibawa ke lapangan harus diberi tanggal untuk segera dipergunakan pada pelayanan berikutnya, selama semua syaratsyarat masih terpenuhi. Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan luar gedung, sebaiknya tidak dipergunakan lagi, dimusnahkan dengan membakar di dalam insinerator bersama alat suntik bekas, atau dikubur sedalam 2-3 meter (Ranuh. et. all, 2011. hlm. 201).
Universitas Sumatera Utara
G. DASAR DILAKUKAN PENELITIAN INI Penelitian yang dilakukan oleh Julita (2010), dengan judul pengetahuan bidan terhadap penyimpanan dan transportasi vaksin di wilayah kerja Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan tahun 2010. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan bidan terhadap penyimpanan dan transportasi vaksin di wilayah kerja Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2010. Variabelnya yang diteliti adalah pengetahuan. Sampel penelitian yaitu 30 orang. Adapun teknik pengambilan sampel adalah total sampling. Analisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan frekuensi. Hal yang menjadi persamaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian yaitu deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Tujuan penelitiannya sama-sama bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan bidan terhadap penyimpanan dan transportasi vaksin. Sedangkan yang menjadi perbedaannya adalah sebagai berikut: pada penelitian ini tujuannya yaitu selain mengidentifikasi pengetahuan, pada penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sikap dan tindakan serta mengetahui karakteristik bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin. Tempat penelitian yaitu wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan. Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2011), dengan judul pengetahuan dan sikap bidan terhadap penyimpanan dan transportasi vaksin di Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang tahun 2011. Desain penelitian yang digunakan oleh Sari merupakan penelitian deskriptif yaitu betujuan untuk memperoleh pengetahuan dan sikap bidan dalam penyimpanan dan transportasi vaksin di Kecamatan Pancur Batu
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Deli Serdang tahun 2011. Populasi dalam penelitian sari adalah seluruh bidan yang ada di puskesmas dan praktek klinik swasta di Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang sebanyak 58 bidan. Tehnik pengambilan samplingnya yaitu total sampling. Hal yang menjadi persamaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian yaitu deskriptif. Populasi penelitian yaitu semua bidan yang ada di wilayah kerja Puskesmas. Sedangkan yang menjadi perbedaannya adalah sebagai berikut: pada penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui karakteristik serta mengidentifikasi pengetahuan, sikap dan tindakan bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin. Tempat penelitian yaitu wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 33 orang. Penelitian yang dilakukan oleh Kristini (2008), dengan judul faktor-faktor risiko kualitas pengelolaan vaksin yang buruk di Unit Pelayanan Swasta. Desain penelitian adalah cross sectional, jumlah sampel sebanyak 138 UPS. Tujuan mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi kualitas pengelolaan vaksin program imunisasi di unit pelayanan swasta. Hal yang menjadi persamaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian yaitu cross sectional. Sedangkan yang menjadi perbedaannya adalah sebagai berikut: pada penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui karakteristik serta mengidentifikasi pengetahuan, sikap dan tindakan bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin. Tempat penelitian yaitu wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan. Jumlah sampel penelitian ini yaitu sebanyak 33 orang.
Universitas Sumatera Utara