BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian pengaruh Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 849) yaitu : ” Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak , kepercayaan, atau perbuatan seseorang”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh merupakan suatu daya yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain.
2.2
Pengertian Persepsi Menurut Eko Hadi Wiyono (2007: 481) dalam bukunya, ”Persepsi adalah anggapan langsung atas sesuatu”.
Menurut Munir Kamarullah (2005), “Persepsi adalah interpretasi yang tinggi terhadap lingkungan manusia dan mengolah proses informasi tersebut”.
Berdasarkan kedua pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi merupakan proses mengolah informasi dan memberikan anggapan langsung atas informasi tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 47), “Anggapan merupakan pandangan”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 811), “Paham merupakan pandangan”. Berdasarkan pengertian di atas maka anggapan dapat disamakan dengan pemahaman. Mekanisme persepsi merupakan suatu peristiwa psikologi dan proses eksternal yang membangkitkan persepsi yang mempengaruhi mata, saraf di 12
13
bagian visual cortex, yang memberikan efek ke lingkungan yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh susunan saraf pusat. Manusia secara umum menerima informasi dari lingkungan lewat proses yang sama, oleh karena itu dalam memahami persepsi harus ada proses di mana ada informasi yang di peroleh lewat ingatan organisme yang hidup. Fakta ini memudahkan
peningkatan
persepsi
individu,
adanya
stimulus
yang
mempengaruhi individu yang mencetuskan suatu pengalaman dari organisme, sehingga timbul berpikir yang dalam proses perseptual merupakan proses yang paling tinggi. Dalam keterkaitan proses persepsi ada 3 komponen yang sangat terkait diantaranya: 1. Pembelajaran dari pengalaman organisme terhadap stimulus 2. Ingatan dari organisme 3. Through dari komponen satu dan dua (Pembelajaran dan Ingatan). Berdasarkan
penjelasan
keterkaitan
proses
persepsi
maka
organisme/individu harus menerima informasi terlebih dahulu sebelumnya, dimana informasi yang dibutuhkan adalah informasi mengenai bagi hasil pembiayaan mudharabah. Hal ini dibutuhkan agar organisme/individu dapat memahami
informasi
yang
diproses
bersamaan
dengan
ingatan
organisme/individu tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, diantaranya sebagai berikut: 1.
Faktor Eksternal atau dari luar : -
Concreteness, yaitu wujud atau gagasan yang abstrak yang sulit di persepsikan dibandingkan dengan yang objektif .
-
Novelty atau hal yang baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan dibandingkan dengan hal-hal yang lama.
-
Velocity atau percepatan misalnya gerak yang cepat untuk menstimulasi munculnya persepsi lebih efektif dibandingkan dengan gerakan yang lambat.
-
Conditioned stimuli, stimulus yang di kondisikan seperti bel pintu, deringan telepon dan lain lain.
14
2.
Faktor Internal -
Motivasi, misalnya merasa lelah menstimulasi untuk berespon terhadap istirahat
-
Menarik, hal hal yang menarik lebih di perhatikan daripada yang tidak menarik.
-
Kebutuhan, kebutuhan akan hal tertentu akan menjadi pusat perhatian.
-
Asumsi, juga mempengaruhi persepsi sesuai dengan pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain.
2.3
Bagi Hasil
2.3.1
Pengertian Bagi Hasil Menurut Muhammad (2005: 176), ”Bagi hasil adalah sistem yang
meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana”. Sedangkan menurut Muchtasib (www.pkes.org), ”Bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih”. Berdasarkan kedua pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa bagi hasil merupakan perjanjian atau ikatan yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masingmasing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
15
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terdiri dari dua sistem, yaitu : 1. Profit Sharing Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan. Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing. Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya. Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.
16
2. Revenue Sharing Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan. Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue). Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut. Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan. Berdasarkan definisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit). Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank. Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.
17
Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana. Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
2.3.2
Model Perhitungan Distribusi Bagi Hasil Usaha LKS Perhitungan distribusi bagi hasil usaha yang dilakukan oleh LKS bisa
mengacu pada ketentuan dasar yang diatur dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Dewan Syariah Nasional sebagai otoritas yang memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa-fatwa yang berkaitan dengan akad-akad transaksi syariah telah mengeluarkan Fatwa No. 15/DSN-MU/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah dengan beberapa ketentuan antara lain: 1. Pada dasarnya, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi untung (profit sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah)-nya. 2. Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing). 3. Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad. Baik revenue sharing maupun profit sharing memiliki konsekuensi dalam perhitungan distribusi hasil usaha. Penggunaan revenue sharing relatif lebih mudah karena LKS hanya menghitung pendapatan yang diterima untuk kemudian hasilnya dibagikan kepada nasabah sesuai kontribusi dana masing-masing. Sedangkan penggunaan profit sharing akan lebih rumit mengingat LKS perlu memperhitungkan pendapatan dan biaya-biaya yang digunakan untuk mengelola
18
dana mudharabah mutlaqoh. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1 yang disusun oleh Wiroso (2005: 119) berikut :
Gambar 2.1. Sistem Bagi Hasil Usaha Lembaga Keuangan Syariah
Sunber: Wiroso (2005: 119)
Wiroso (2005: 123) menyatakan bahwa lembaga keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah, belum ada yang menjalankan prinsip profit sharing, hal ini disebabkan karena kesulitan untuk menghitung beban-beban yang digunakan untuk pengelolaan dana mudharabah. Namun demikian, pendapat tersebut masih merupakan asumsi yang belum didasari temuan empiris.
19
Jika melihat praktik beberapa bank syariah di dunia, terdapat dua instrumen yang digunakan dalam distribusi bagi hasil, yaitu nasabah dan bobot. Beberapa bank syariah juga memiliki berbagai perbedaan dalam perhitungan bagi hasil usaha yang akan diberikan kepada nasabah investasi dengan akad mudharabah mutqaloh Berikut beberapa contoh yang pernah diungkapkan oleh Karim (2004: 336).
2.3.3
Konsep dan Mekanisme Perhitungan Bagi Hasil Usaha LKS Konsep bagi hasil berbeda sama sekali dengan konsep bunga yang
diterapkan pada lembaga keuangan konvensional. Dalam kasus Perbankan Syariah atau Koperasi Syariah misalnya, konsep bagi hasil yang biasa diterapkan adalah sebagai berikut: 1. Pemilik dana menginvestasikan dananya melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang bertindak sebagai pengelola dana. 2. Pengelola (LKS) mengelola dana tersebut dengan menggabungkan dana (pooling of fund) dengan sumber lain seperti modal dan dana titipan (wadiah) dan selanjutnya LKS menginvestasikan dana tersebut ke beberapa proyek, usaha, atau pembiayaan yang layak dan dinilai menguntungkan serta memenuhi aspek syariah. 3. Kedua belah pihak menandatangani akad yang berisi ruang lingkup kerjasama, nominal, nisbah, dan jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut. 4. Pembiayaan yang diberikan LKS akan menghasilkan pendapatan berupa margin (jual beli), bagi hasil (syirkah), dan jasa sewa/ujirah (ijarah) yang akan dibagihasilkan kepada nasabah deposan sebagai shahibul maal sesuai dengan nisbah yang disepakati. Selain pendapatan yang disebutkan sebelumnya (pendapatan
operasi
utama),
terdapat
pendapatan
lain
yang
harus
dibagihasilkan kepada nasabah dengan ketentuan bahwa ”pendapatan yang dibagihasilkan adalah semua pendapatan yang dihasilkan oleh LKS dengan sarana menggunakan dana mudharabah”. Oleh karena itu segala pendapatan yang diperoleh dari hasil pembiayaan yang menggunakan dana nasabah harus diikutsertakan dalam perhitungan distribusi bagi hasil usaha. Misalnya, akad
20
hiwalah (pengalihan hutang) yang digunakan LKS pada saat ada pihak yang memerlukan dana untuk menutup hutangnya di tempat lain dan mengalihkan kepada LKS, maka pendapatan jasa yang diperoleh dari hasil hiwalah harus dibagihasilkan karena dana yang digunakan untuk membiayai akad hiwalah tersebut berasal dari nasabah walaupun akad hiwalah tidak termasuk dalam pendapatan operasi utama. Namun berbeda jika LKS memberikan jasa wakalah seperti transfer antar LKS, maka pendapatan yang diperoleh dikategorikan sebagai pendapatan operasi lain yang tidak diperhitungkan sebagai bagian dari distribusi hasil usaha. Adapun tata cara perhitungan bagi hasil di LKS biasanya mengikuti prosedur sebagai berikut: a. Menghitung saldo rata-rata harian (SRRH) sumber dana sesuai klasifikasi dana
yang dimiliki,
misalnya tabungan
mudharabah
dan
investasi
mudharabah. b. Menghitung saldo rata-rata tertimbang sumber dana yang telah disalurkan ke investasi dan produk-produk pembiayaan lainnya. c. Menghitung total pendapatan yang diterima dalam periode berjalan khususnya pendapatan operasi utama dan pendapatan dari produk dan jasa yang menggunakan dana mudharabah. d. Membandingkan antara jumlah sumber dana dengan total pembiayaan yang telah
disalurkan
untuk
menghitung
porsi
pendapatan
yang
akan
dibagihasilkan. e. Mengalokasikan total pendapatan yang dibagihasilkan ke masing-masing klasifikasi dana yang dimiliki sesuai data saldo rata-rata tertimbang. f. Mengalokasikan pendapatan yang sudah dihitung untuk setiap sumber dana sesuai dengan nisbah yang disepakati. g. Mendistribusikan bagi hasil sesuai dengan nisbah masing-masing pemilik dana sesuai jenis sumber dana yang dimiliki. h. Mencatat dalam jurnal distribusi bagi hasil usaha sebagai bagian dalam penyusunan laporan keuangan.
21
2.4
Pembiayaan Mudharabah
2.4.1
Pengertian dan Konsep Dasar Transaksi Mudharabah Pengertian Mudharabah menurut PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah: “Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka.”
Menurut Rifqi Muhammad (2008: 275), “Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).”
Menurut Shobirin (2008), “Mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rabb al-mal (investor) denganseorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang.”
Menurut Institut Manajemen Bina Mulia Consulting Centre (2008:14): “Suatu akad kerjasama atau perkongsian antara dua pihak yaitu: Pihak pertama sebagai penyedia modal/dana untuk suatu usaha (disebut sebagai shahib al-mal). Pihak kedua yang bertanggung jawab atas pengelolaan dana/manajemen usaha (disebut sebagai mudharib).” Sedangkan menurut Hosen (2008), “Mudharabah yaitu suatu perjanjian atau akad kerjasama usaha/bisnis antara pemilik modal atau yang disebut sebagai Rabb al-Mal dengan pengelolanya yaitu yang disebut sebagai mudharib.”
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Mudharabah merupakan perjanjian bagi hasil antara pemilik modal (Rabb al-Mal) dengan pengusaha (Mudharib) yang memiliki keahlian atau pengalaman dalam pengelolaan sebuah proyek. Keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi
22
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Asy Syarbasi, dikutip dalam Antonio, 2001: 98).
Gambar 2.2. Skema Transaksi Mudharabah
Sumber: Antonio (2001: 98)
Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dijelaskan mekanisme yang dilakukan dalam transaksi Mudharabah yang dilakukan di sektor perbankan syariah jika diasumsikan bahwa bank sebagai shahibul maal dan nasabah sebagai mudharib adalah sebagai berikut : 1. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya
23
dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama. 2. Hasil pengelolaan modal pembiayaan Mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara: •
Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
•
Perhitungan dari gross profit (net revenue sharing)
•
Perhitungan dari keuntungan proyek/usaha (profit sharing)
3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang telah disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana. 4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. 5. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban dapat dikenakan sanksi administrasi.
Perhitungan Nisbah Bagi Hasil menurut Institut Manajemen Bina Mulia Consulting Centre (2008: 36): “M x r = S x N atau N = (M x r) / S Dimana: M = Plafond mudharabah r = Expected return % pa S = Proyeksi Penjualan (harus akurat) N = Nisbah Bagi Hasil.” Prinsip mudharabah dibagi dua jenis, yaitu Mudharabah Muqayyadah (Investasi Terikat) dan Mudharabah Mutlaqah (Investasi Tidak Terikat). Dalam kegiatan penghimpunan dana pada bank syariah, prinsip mudharabah mutlaqah dapat diterapkan untuk pembukaan rekening tabungan dan deposito. Berdasarkan prinsip ini, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberian keuntungan dan atau perhitungan
24
pembagian keuntungan serta resiko yang dapat timbul dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad. Sedangkan dalam prinsip mudharabah muqayyadah merupakan simpanan khusus di mana nasabah penyimpan dana menetapkan syarat-syarat penyaluran dana yang harus diikuti oleh bank.
2.4.2
Landasan Fiqh dan Fatwa DSN tentang Transaksi Mudharabah Secara umum, landasan dasar syariah mudharabah lebih mencerminkan
anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini: a. Landasan Al Qur’an dan Al Hadits 1) Al Qur’an ”...... dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT ....”(Al Muzzammil: 20)
”Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT .....”(Al Jumu’ah: 10)
”Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu......”(Al Baqarah: 198) Surat Al Jumu’ah: 10 dan Al Baqarah: 198 sama-sama mendorong kamu muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha. 2) Al Hadits ”Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullah pun membolehkannya.”(HR Thabrani).
25
Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: Jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majjah No. 2280, Kitab At Tijarah). b. Fatwa DSN tentang Transaksi Mudharabah 1) Fatwa DSN No: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mudharabah (QIRADH) Beberapa ketentuan yang diatur dalam fatwa ini, antara lain sebagai berikut: Pertama : Ketentuan Pembiayaan: 1. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. 2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha. 3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha). 4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. 5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang. 6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
26
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. 8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan,
dan mekanisme
pembagian keuntungan dianut oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN. 9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib. 10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan. Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan: 1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum. 2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. 3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut: 1. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya. 2. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
27
3. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tunai, sesuai dengan kesepakatan dalam akad. 4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi: a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh diisyaratkan hanya untuk satu pihak. b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak bleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. 5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai pertimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut: a. Kegiatan usaha adalah hak ekslusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan. c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
28
Ketiga : Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan: 1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu. 2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi. 3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. 4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan
di
antara
kedua
belah
pihak,
maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.4.3
Pengakuan dan Pengukuran Entitas sebagai Pemilik Dana 1) Dana syirkah temporer yang disalurkan oleh pemilik dana diakui sebagai investasi mudharabah pada saat pembayaran kas atau penyerahan aset nonkas pada pengelolaan dana. 2) Pengukuran investasi mudharabah adalah sebagai berikut: a) Investasi mudharabah dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang diberikan pada saat pembayaran; b) Investasi mudharabah dalam bentuk aset nonkas diukur sebesar nilai wajar aset nonkas pada saat penyerahan: (i) Jika nilai wajar lebih rendah daripada nilai tercatatnya diakui sebagai kerugian; (ii) Jika nilai wajar lebih tinggi daripada nilai tercatatnya diakui sebagai keuntungan tanggungan dan diamortisasi sesuai jangka waktu akad mudharabah. 3) Jika nilai investasi mudharabah turun sebelum usaha dimulai karena rusak, hilang atau faktor lain yang bukan kelalaian atau kesalahan
29
pihak pengelolaan dana, maka penurunan nilai tersebut diakui sebagai kerugian dan mengurangi saldo investasi mudharabah. 4) Jika sebagian investasi mudharabah hilang setelah dimulainya usaha tanpa adanaya kelalaian atau kesalahan pengelolaan dana, maka kerugian tersebut diperhitungkan pada saat bagi hasil. 5) Usaha mudharabah dianggap mulai berjalan sejak dana atau modal usaha mudharabah diterima oleh pengelola dana. 6) Dalam investasi mudharabah yang diberikan dalam bentuk barang (nonkas) dan barang tersebut mengalami penurunan nilai pada saat atau setelah barang dipergunakan secara efektif dalam kegiatan usaha mudharabah, maka kerugian tersebut tidak langsung mengurangi jumlah investasi namun diperhitungkan pada saat pembagian bagi hasil. 7) Kelalaian atas kesalahan pengelolaan dana, antara lain, ditunjukkan oleh: a) Persyaratan yang ditentukan di dalam akad tidak dipenuhi. b) Tidak terdapat kondisi diluar kemampuan (force majeur) yang lazim dan/atau yang telah ditentukan dalam akad; atau c) Hasil keputusan dari institusi yang berwenang. 8) Jika akad mudharabah berakhir sebelum atau akad jatuh tempo dan belum dibayar oleh pengelola dana, maka investasi mudharabah diakui sebagai piutang jatuh tempo. Penghasilan Usaha 1) Jika
investasi
mudharabah
melebihi
satu
periode
pelaporan,
penghasilan usaha diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati. 2) Kerugian yang terjadi dalam suatu periode sebelum akad mudharabah berakhir diakui sebagai kerugian dan dibentuk penyisihan kerugian investasi. Pada saat akad mudharabah berakhir, selisih antara: a) Investasi mudharabah setelah dikurangi penyisihan kerugian investasi; dan
30
b) Pengembalian investasi mudharabah, diakui sebagai keuntungan atau kerugian. Pengakuan penghasilan usaha mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil atas realisasi penghasilan usaha dari pengelola dana. Tidak diperkenankan mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha. 3) Kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pengelola dana dibebankan pada pengelola dana dan tidak mengurangi investasi mudharabah. 4) Bagian hasil usaha yang belum dibayar oleh pengelola dana diakui sebagai piutang jatuh tempo dari pengelolaan dana. Entitas Sebagai Pengelola Dana 1) Dana yang diterima dari pemilik dana dalam akad mudharabah diakui sebagai dana syirkah temporer sebesar jumlah kas atau nilai wajar aset nonkas yang diterima. Pada akhir periode akuntansi, dan syirkah temporer diukur sebesar niai tercatat. 2) Jika entitas menyalurkan dana syirkah temporer mutlaqah yang diterima maka entitas mengakui aset. 3) Jika entitas menyalurkan dana syirkah temporer muqayadah yang diterima maka entitas tidak mengakui sebagai aset, karena entitas tidak memiliki hak untuk menggunakan aset atau melepas aset tersebut kecuali sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh pemilik dana. Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua prinsip, yaitu bagi laba atau bagi hasil. 4) Hak pihak ketiga atas bagi hasil dana syirkah temporer yang sudah diumumkan dan belum dibagikan kepada pemilik dana diakui sebagai kewajiban sebesar bagi hasil yang menjadi porsi hak pemilik dana. 5) Kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian pengelolaan dana diakui sebagai beban pengelola dana.
31
2.5
Pengertian Minat Definisi minat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 744): ”Kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu.”
Menurut Eko Hadi Wiyono (2007: 406): ”Minat merupakan keinginan yang kuat, gairah, kecenderungan hati yang sangat tinggi terhadap sesuatu.”
Menurut Abror (1993: 112) dalam bukunya menyatakan bahwa, ”Minat mengandung unsur kognisi (mengenal), emosi (perasaan), dan konasi (kehendak). Unsur kognisi dalam arti minat tersebut didahului dengan pengetahuan dan informasi mengenai objek yang dituju oleh minat itu sendiri. Unsur emosi partisipasi atau pengalaman dalam objek atau aktivitas tertentu (biasanya rasa senang). Unsur konasi merupakan kelanjutan dari dua unsur tersebut, yang diwujudkan dalam bentuk kemauan dan hasrat untuk melakukan suatu kegiatan.”
Menurut John Holland (2008), ”Minat sebagai aktivitas atau tugas-tugas yang membangkitkan perasaan ingin tahu, perhatian, dan memberi kesenangan atau kenikmatan. Minat dapat menjadi indikator dari kekuatan seseorang di area tertentu dimana ia akan termotivasi untuk mempelajari dan menunjukkan kinerja yang tinggi.”
Menurut Aiken (1994: 209), ”Minat sebagai kesukaan terhadap kegiatan melebihi kegiatan lainnya.”
Berdasarkan pernyataan diatas minat itu timbul didahului oleh pengetahuan dan informasi, kemudian disertai dengan rasa senang dan timbul perhatian terhadapnya serta ada hasrat dan keinginan untuk melakukannya.
32
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian minat, maka dapat disimpulkan bahwa minat merupakan: 1. Kecenderungan untuk memikirkan dalam jiwa seseorang. 2. Adanya pemusatan penelitian dari individu. 3. Rasa senang yang timbul dalam diri individu terhadap objek. 4. Keinginan dalam diri individu untuk mengetahui, melakukan dan membuktikan lebih lanjut. 5. Pemusatan pikiran, perasaan dan kemauan terhadap objek karena menarik perhatian. Jadi dengan kata lain bahwa minat timbul didahului oleh pengetahuan dan informasi, kemudian disertai dengan rasa senang dan timbul perhatian terhadapnya serta ada hasrat dan keinginan untuk melakukannya.
Minat menurut Hurlock (1995: 117) terbagi menjadi 3 aspek, yaitu: ”a) Aspek kognitif Berdasarkan atas pengalaman pribadi dan apa yang pernah dipelajari baik di rumah, sekolah dan masyarakat dan berbagai jenis media massa. b) Aspek Afektif Konsep yang membangun aspek kognitif, minat dinyatakan dalam sikap terhadap kegiatan yang ditimbulkan minat. Berkembang dari pengalaman pribadi dari sikap orang yang penting yaitu, orang tua, guru dan teman sebaya terhadap kegiatan yang berkaitan dengan minat tersebut dan dari sikap yang dinyatakan atau tersirat dalam berbagai bentuk media massa terhadap kegiatan itu. c) Aspek Psikomotor Berjalan dengan lancar tanpa perlu pemikiran lagi, urutannya tepat. Namun kemajuan tetap memungkinkan sehingga keluwesan dan keunggulan meningkat meskipun ini semua berjalan lambat.”
33
Jika seseorang sangat menginginkan objek minat dalam waktu segera. Minat dapat ditimbulkan dengan cara (Effendi, 1993: 72): a) Membangkitkan suatu kebutuhan. b) Menghubungkan dengan pengalaman yang lampau. c) Memberikan kesempatan untuk mendapat hasil yang lebih baik.
Menurut Crow dan Crow yang dikutip oleh Bintang Bangsaku (2008), ”Ada 3 faktor yang mendasari timbulnya minat, yaitu: 1. Faktor dorongan dari dalam Dorongan dari individu itu sendiri, sehingga timbul minat untuk melakukan aktivitas atau tindakan tertentu untuk memenuhinya. 2. Faktor motivasi sosial Faktor ini merupakan faktor untuk melakukan suatu aktivitas agar dapat diterima dan diakui oleh lingkungannya. 3. Faktor emosional Minat erat hubungannya dengan emosi karena faktor ini selalu menyertai seseorang dalam berhubungan dengan objek minatnya. Ketiga faktor timbulnya minat diatas didukung dengan beberapa pendapat para ahli, seperti menurut Moh Khoiruddin (tanpa tahun terbit: 2): “Sebagai proses pengambilan keputusan, perilaku konsumen untuk menjadi nasabah sangat dipengaruhi oleh faktor intern, seperti sikap, persepsi, motivasi, dan faktor ekstern, seperti pengaruh kelompok referensi, pendidikan, kondisi sosial dan keluarga”.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan perusahaan riset marketing Asto S Subroto (2008), diungkapkan, ”Ternyata faktor utama nasabah memilih bank syariah adalah keuntungan emosional atau emotional benefit. Hal ini tercermin dari dua alasan terbesar nasabah, yaitu kesesuaian dengan syariat Islam dan keinginan agar terhindar dari riba. Sementara sisanya, merupakan faktor yang bersifat keuntungan fungsional yang mendasar atau functional benefit. Seperti keamanan, kedekatan lokasi, bagi hasil, dan kualitas layanan”.
34
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa minat yang juga didukung oleh beberapa riset adalah seperti di bawah ini: 1. Faktor dorongan dari dalam (intern) meliputi sikap, persepsi, dan motivasi. 2. Faktor motivasi sosial (ekstern) meliputi pengaruh kelompok referensi, pendidikan, kondisi sosial dan keluarga. 3. Faktor emosional (emotional benefit) meliputi kesesuaian dengan syariat Islam dan keinginan agar terhindar dari riba.
2.6
Pengertian Mahasiswa Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000: 613): “Mahasiswa merupakan orang yang belajar di perguruan tinggi”. Mahasiswa secara harafiah adalah orang yang belajar di perguruan tinggi
entah di universitas, institute atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi otomatis dapat disebut sebagai mahasiswa. Mahasiswa dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan
suatu
golongan,
ormas,
parpol,
dsb.
Sehingga
mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme. Idealisme adalah suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut. Mahasiswa memang menjadi komunitas yang unik di mana dalam catatan sejarah perubahan selalu menjadi garda terdepan dan motor penggerak perubahan. Mahasiswa di kenal dengan jiwa patriotnya serta pengorbanan yang tulus tanpa pamrih . Namun hanya sedikit rakyat Indonesia yang dapat merasakan dan punya kesempatan memperoleh perndidikan hingga ke jenjang ini karena system perekomian di Indonesia yang kapitalis serta biaya pendidikan yang begitu mahal sehingga kemiskinan menjadi bagian hidup rakyat ini.
35
Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnyalah bila mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Oleh karena itu perlu dirumuskan perihal peran, fungsi, dan posisi mahasiswa untuk menentukan arah perjuangan dan kontribusi mahasiswa tersebut.
Fungsi Mahasiswa Berdasarkan tugas perguruan tinggi yang diungkapkan M.Hatta yaitu membentuk manusisa susila dan demokrat yang : 1. Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat 2. Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan 3. Cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat
Berdasarkan pemikiran M.Hatta tersebut, dapat kita sederhanakan bahwa tugas perguruan tinggi adalah membentuk insan akademis, yang selanjutnya hal tersebut akan menjadi sebuah fungsi bagi mahasiswa itu sendiri. Insan akademis itu sendiri memiliki dua ciri yaitu : memiliki sense of crisis, dan selalu mengembangkan dirinya. Insan akademis harus memiliki sense of crisis yaitu peka dan kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya saat ini. Hal ini akan tumbuh dengan sendirinya bila mahasiswa itu mengikuti watak ilmu, yaitu selalu mencari pembenaran-pembenaran ilmiah. Dengan mengikuti watak ilmu tersebut maka mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai masalah yang terjadi dan terlebih lagi menemukan solusi-solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Insan akademis harus selalu mengembangkan dirinya sehingga mereka bisa menjadi generasi yang tanggap dan mampu menghadapi tantangan masa depan.
36
Dalam hal insan akademis sebagai orang yang selalu mengikuti watak ilmu, ini juga berhubungan dengan peran mahasiswa sebagai penjaga nilai, dimana mahasiswa harus mencari nilai-nilai kebenaran itu sendiri, kemudian meneruskannya kepada masyarakat, dan yang terpenting adalah menjaga nilai kebenaran tersebut.
Peran Mahasiswa Mahasiswa dengan segala kelebihan dan potensinya tentu saja tidak bisa disamakan dengan rakyat dalam hal perjuangan dan kontribusi terhadap bangsa. Mahasiswa pun masih tergolong kaum idealis, dimana keyakinan dan pemikiran mereka belum dipengarohi oleh parpol, ormas, dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa menurut saya tepat bila dikatakan memiliki posisi diantara masyarakat dan pemerintah. Mahasiswa dalam hal hubungan masyarakat ke pemerintah dapat berperan sebagai kontrol politik, yaitu mengawasi dan membahas segala pengambilan keputusan beserta keputusan-keputusan yang telah dihasilkan sebelumnya. Mahasiswa pun dapat berperan sebagai penyampai aspirasi rakyat, dengan melakukan interaksi sosial dengan masyarakat dilanjutkan dengan analisis masalah yang tepat maka diharapkan mahasiswa mampu menyampaikan realita yang terjadi di masyarakat beserta solusi ilmiah dan bertanggung jawab dalam menjawab berbagai masalah yang terjadi di masyarakat. Mahasiswa dalam hal hubungan pemerintah ke masyarakat dapat berperan sebagai penyambung lidah pemerintah. Mahasiswa diharapkan mampu membantu menyosialisasikan berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tak jarang kebijakan-kebijakan pemerintah mengandung banyak salah pengertian dari masyarakat, oleh karena itu tugas mahasiswalah yang marus “menerjemahkan” maksud dan tujuan berbagai kebijakan kontroversial tersebut agar mudah dimengerti masyarakat.
37
2.7
Pengertian Nasabah Pengertian nasabah menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah: “Akad pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 775): “Orang yang biasa berhubungan dengan atau menjadi pelanggan bank (dalam hal keuangan)”.
Menurut Eko Hadi Wiyono (2007: 424): “Orang yang menjadi pelanggan (menabung, dsb) di bank”.
Sedangkan menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah: “Nasanah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan (walk-in costumer)”.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nasabah merupakan pihak yang menggunakan jasa bank dalam hal keuangan.
2.8
Bank Syariah
2.8.1
Pengertian Bank Syariah Pengertian Bank Syariah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah: “Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”.
38
Menurut Institut Manajemen Bina Mulia Consulting Centre (2008: 4), “Bank syariah ialah bank yang berasaskan, antara lain, pada asas kemitraan, keadilan, transparansi dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah”.
Menurut Edy Wibowo dan Untung Hendy Widodo (2005: 33): “Bank syariah atau bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam”.
Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam maksudnya adalah bank yang dalam operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata-cara bermuamalah secara Islam. Dalam tata cara bermuamalah itu dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba, untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan atau praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya, tetapi tidak dilarang oleh beliau. Falsafah dasar beroperasinya bank syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya adalah efisiensi, keadilan, dan kebersamaan. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Keadilan mengacu pada hubungan yang tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang matang atas proporsi masukan dan keluarannya. Kebersamaan mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan nasihat untuk saling meningkatkan produktivitas. Bisnis berdasarkan syariah di negeri ini tampak mulai tumbuh. Pertumbuhan itu tampak jelas pada sektor keuangan. Di mana kita telah mencatat tiga bank umum syariah, 78 BPR Syariah, dan lebih dari 2.000 unit Baitul Maal wa Tamwil (Lembaga Keuangan Mikro Syariah seperti BMT). Lembaga ini telah mengelola berjuta bahkan bermiliar rupiah dana masyarakat sesuai dengan prinsip syariah. Lembaga keuangan tersebut harus beroperasi secara ketat berdasarkan
39
prinsip-prinsip syariah. Prinsip ini sangat berbeda dengan prinsip yang dianut oleh lembaga keuangan non-syariah. Menurut Muhamad (2000: 25): “Adapun prinsip-prinsip yang dirujuk adalah: 1. Larangan menerapkan bunga pada semua bentuk dan jemis transaksi. 2. Menjalankan bisnis dan perdagangan berdasarkan pada kewajaran dan keuntungan yang halal. 3. Mengeluarkan zakat dari hasil kegiatannya. 4. Larangan menjalankan monopoli. 5. Bekerjasama dalam membangun masyarakat, melalui aktivitas bisnis dan perdagangan yang tidak dilarang oleh Islam”. Tabel 2.1 Perbedaan Bank Syarih dan Bank Konvensional Bank Syariah Bank Konvensional No. Perbedaan 1
Falsafah
2
Operasionalisasi
3
Aspek Sosial
4
Organisasi
Tidak berdasarkan bunga Berdasarkan bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidakjelasan (ghanar) - Dana masyarakat berupa - Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang simpanan harus dibayar baru akan mendapatkan bunganya pada saat hasil jika “diusahakan” jatuh tempo terlebih dahulu - Penyaluran pada sektor - Penyaluran pada usaha yang menguntungkan yang halal dan tanpa memperhitungkan menguntungkan aspek halal atau tidaknya sektor tersebut Dinyatakan secara eksplisit Tidak diketahui secara dan tegas yang tertuang tegas dalam visi dan misi Harus memiliki Dewan Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah Pengawas Syariah
Sumber: Rifki Muhammad (2008: 53)
2.8.2
Dasar Hukum Bank Syariah Menurut Edy Wibowo Dkk. (2005: 35), “Akomodasi peraturan perundang-undangan Indonesia terhadap ruang gerak perbankan syariah terdapat pada beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini. 1. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
40
2. Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral. Undangundang ini memberi peluang bagi BI untuk menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua peraturan perundangundangan ini mengatur kelembagaan bank syariah yang meliputi pengaturan tata cara pendirian, kepemilikan, kepengurusan, dan kegiatan usaha bank. 4. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum Peraturan Bank Indonesia No. 2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus 1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antarbank atas Hasil Kliring Lokal, Peraturan Bank Indonesia No.2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang Antarbank berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Bank Indonesia No.2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia. Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur tentang likuiditas dan instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah. 5. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlement (BIS) yang berkedudukan di Basel, Swiss yang dijadikan acuan oleh perbankan Indonesia untuk mengatur Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking Regulations). 6. Peraturan lainnya yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan lembaga lain sebagai pendukung operasi bank syariah yang meliputi ketentuan berkaitan dengan pelaksanaan tugas bank sentral, ketentuan standar akuntansi dan audit, ketentuan pengaturan perselisihan perdata antara bank dengan nasabah (arbitrase muamalah), standardisasi fatwa produk bank syariah, dan peraturan pendukung lainnya.”
2.8.3
Tujuan Bank Syariah Bank syariah memiliki tujuan yang lebih luas dibandingan dengan bank
konvensional, berkaitan dengan keberadaannya sebagai institusi komersial dan kewajiban moral yang disandangya. Menurut Amin Aziz (9), “Bank syariah bertujuan berusaha bahwa metode bagi hasil pada bank syariah dapat beroperasi, tumbuh, dan berkembang melebihi bank-bank dengan metode lain”.
41
Kemudian selain bertujuan meraih keuntungan sebagaimana layaknya bank konvensional pada umumnya, bank syariah juga bertujuan sebagai berikut: 1. Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Pengumpulan modal dari masyarakat dan pemanfaatannya kepada masyarakat diharapkan dapat mengurangi kesenjangan sosial guna tercipta peningkatan pembangunan nasional yang semakin mantap. Metode bagi hasil akan membantu orang yang lemah permodalannya untuk bergabung dengan bank syariah untuk mengembangkan usahanya. Metode bagi hasil ini akan memunculkan usaha-usaha baru dan dan pengembangan usaha yang telah ada sehingga dapat mengurangi pengangguran. 2. Meningkatnya partisipasi masyarakat banyak dalam proses pembangunan karena keengganan sebagian masyarakat untuk berhubungan dengan bank yang disebabkan oleh sikap menghindari bunga telah terjawab oleh bank syariah. Metode perbankan yang efisien dan adil akan menggalakan usaha ekonomi kerakyatan. 3. Membentuk masyarakat agar berpikir secara ekonomis dan berperilaku bisnis untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
2.8.4
Fungsi dan Peran Bank Syariah Menurut AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions): “Fungsi dan peran bank syariah dijabarkan oleh adalah sebagai berikut: a. Manajer investasi, yaitu bank syariah dapat mengelola investasi dana nasabah. b. Investor, yaitu bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimiliki maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya. c. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya. d. Pelaksana kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah, bank syariah juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya”.
42
2.8.5
Karakteristik Bank Syariah Bank syariah memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan bank
konvensional. Menurut Warkum Sumitro yang dikutip Rifqi Muhammad (2008: 52) : “Adapun karakteristiknya antara lain sebagai berikut : a. Beban biaya disepakati bersama pada waktu akad dan diwujudkan dalam bentuk nominal, yang besarnya tidak kaku serta fleksibel untuk dilakukan negoisasi dalam batas yang wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. b. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk pembayaran selalu dihindari, karena persentase bersifat melekat pada sisa hutang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir. c. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti ditetapkan dimuka, karena pada hakikatnya yang mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata. d. Penyerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (Al Wadiah) sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah sehingga pada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti. e. Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu, segenap jajaran pimpinan bank syariah harus menguasai dasar-dasar muamalah. f. Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana diambil pemiliknya”. Menurut Wibowo Dkk.. (2005: 37): “Bank syariah memiliki beberapa karakeristik tertentu yang membedakannya dengan bank konvensional, yaitu sebagai berikut: 1. Prohibition against the payment and receipt of a fixed or predetermined rate of interest. Metode bunga digantikan dengan metode bagi hasil (profit and loss sharing, disingkat PLS). 2. Requirement to operate through Islamic modes of financing. 3. Investment deposits. Such deposits are not guaranteed in capital value and not yield any fixed or guaranteed rate of return. Dalam hal bank mengalami kerugian, nasabah penyimpan dana mungkin kehilangan dananya, menurut perbandingan pembagian laba/rugi.
43
4. Beban biaya atas pelayanan bank syariah disepakati bersama pada saat akad pinjaman atau pembiayaan, dinyatakan dalam bentuk nominal dengan istilah sesuai dengan produk yang ditawarkan. Besarnya beban biaya tersebut tidak kaku dan masih dapat dilakukan tawar-menawar dalam batas yang wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan selama masa berlakunya kontrak. Penyelesaian sisa utang setelah kontrak berakhir dilakukan dengan membuat kontrak baru. 5. Dihindarkannya penggunaan persentase atas pinjaman kredit dalam menentukan biaya utang karena akan mengikat dan membebani sisa utang, walaupun masa berlakunya kontrak telah selesai. Hal ini berarti menghindari berlipatnya beban biaya dan produk pinjaman yang mungkin terlambat dibayar. 6. Proporsi bagi hasil didasarkan atas jumlah keuntungan usaha yang diperoleh debitur. Bank syariah tidak menentukan keuntungan pasti (fixed return) yang ditetapkan di awal perjanjian. Keuntungan di muka hanya dimungkinkan untuk akad-akad jual beli melalui kredit kepemilikan barang atau aktiva. 7. Bank syariah tidak menjanjikan jumlah keuntungan yang pasti kepada nasabah penyimpan dana yang menyimpan dananya dalam giro wadi’ah maupun tabungan/deposito mudharabah. Nasabah penyimpan dana pemegang giro wadi’ah akan mendapatkan keuntungan berupa bonus, sedangkan pemegang tabungan/deposito mudharabah akan mendapatkan proporsi bagi hasil. 8. Prinsip penjaminan (collateral) tidak dominan dalam pemberian kredit di bank syariah. Hal ini terlibat pada pembiayaan pembelian barang modal bahwa barang yang dibeli masih milik bank – dapat dianggap sebagai jaminan sendiri – selama belum dilunasi oleh debitur. 9. Bank syariah tidak menjadikan uang sebagai komoditi. Hal ini berimplikasi pada pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah pada dasarnya berupa uang, melainkan pembiayaan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh debitur”. Menurut Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia: “Kegiatan bank syariah merupakan implementasi dari prinsip ekonomi Islam dengan karakteristik, antara lain, sebagai berikut: 1. Pelarangan riba dalam berbagai bentuknya. 2. Tidak mengenal konsep nilai waktu dari uang (time value of money). 3. Konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas. 4. Tidak diperkenankan menggunakan dua harga untuk satu barang, dan 5. Tidak diperkenankan dua transaksi dalam satu akad”.
44
2.8.6
Organisasi Bank Syariah Bank Syariah memiliki karakteristik yang hampir sama dengan bank
konvensional karena bentuk badan hukum yang digunakan sebagian besar adalah Perseroan Terbatas (PT). Badan hukum PT memungkinkan ada pihak yang mendominasi atau pemegang saham mayoritas. Perbedaan yang signifikan dalam organisasi bank syariah adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dimana DPS diharapkan sebagai penyeimbang Dewan Komisaris sehingga kebijakan Dewan Komisaris harus sejalan dengan kebijakan DPS karena bank syariah tidak sekedar beroperasi untuk mencari keuntungan semata namun lebih jauh berupaya menjalankan usaha dengan mengharapkan hasil yang halal dan thoyib. Pemegang otoritas tertinggi dalam organisasi bank syariah adalah RUPS, namun demikian RUPS tetap harus memperhatikan ketentuan syariah serta pendapat yang disampaikan oleh DPS sehingga walaupun posisi DPS dibawah RUPS, bukan berarti DPS mengikuti apa yang diinginkan para pemegang saham. DPS akan bersikap independen karena DPS hakekatnya adalah kesenjangan tangan dari DPS sehingga norma-norma yang dibangun oleh DPS harus sejalan dengan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.
45
Gambar 2.3. Organisasi Bank Syariah
Sumber: Rifki Muhammad (2008: 54)
2.8.7
Produk-Produk Bank Syariah Pada sistem operasi bank syariah, pemilik dana menanmkan uangnya di
bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan (misalnya modal usaha), dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Secara garis besar, pengembangan produk bank syariah dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
46
1. Produk Penghimpunan Dana Sebagaimana pada bank konvensional, penghimpunan dana di bank umum syariah dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito, sedangkan BPRS hanya dapat melayani tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang telah diterapkan secara luas dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip Wadi’ah dan Mudharabah. Penamaan jenis penghimpunan dana pada bank syariah disesuaikan dengan prinsip yang melandasinya. a) Prinsip Wadi’ah Prinsip Wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah. Bank dapat memanfaatkan dan menyalurkan dana yang disimpan serta menjamin bahwa dana tersebut dapat ditarik setiap saat oleh nasabah penyimpan dana. Namun demikian, rekening ini tidak boleh mengalami saldo negatif (overdraft). Landasan hukum prinsip ini adalah sebagai berikut. 1) Q.S. An Nisa (4) Ayat 58, yang terjemahannya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar Lagi Maha Melihat”. 2) Q.S. Al Baqarah (2) Ayat 283, yang terjemahannya: “…Jika sebagian dari kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya…”
3) Al Hadits: “Sampaikanlah
(tunaikanlah)
amanat
kepada
yang
berhak
menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”. (H.R. Abu Dawud)
47
“Dari Ibnu Umar berkata, bahwasanya Rasulullah saw. berkata: ‘Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci”. (H.R. Thabrani) Prinsip wadi’ah dapat diterapkan pada rekening giro dan tabungan yaitu giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah. Hasil dari penyaluran dana, baik keuntungan maupun kerugian ditanggung sepenuhnya oleh bank. Pada prinsipnya, nasabah penyimpan dana tidak memperoleh bagian imbalan atau menanggung kerugian. Manfaat yang diperoleh nasabah penyimpan dana adalah jaminan keamanan terhadap simpanannya serta fasilitas-fasilitas giro dan tabungan lainnya. Selain itu, bank dapat memberikan bonus kepada nasabah penyimpan dana, namun tidak boleh diperjanjikan di muka. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati oleh para pihak selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek dan debit card. Sedangkan bagi nasabah penyimpan dana, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan serta kartu ATM dan/atau alat penarikan lainnya. Terhadap pembukaan rekening ini, bank dapat mengenakan biaya administrasi. b) Prinsip Mudharabah Dasar hukum prinsip ini adalah sebagai berikut. 1) Q.S. An Nisa (2) Ayat 12: “…Maka mereka bersyarikat pada sepertiga….”
2) Al Hadits: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. berkata: Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya.” (H.R. Abu Dawud)
48
Prinsip mudharabah dibagi dua jenis, yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Dalam kegiatan penghimpunan dana pada bank syariah, prinsip mudharabah mutlaqah dapat diterapkan untuk pembukuan rekening tabungan dan deposito. Berdasarkan prinsip ini, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberi keuntungan dan/atau perhitungan pembagian keuntungan serta risiko yang dapat timbul dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad. Sedangkan dalam prinsip mudharabah muqayyamah merupakan simpanan khusus dimana nasabah penyimpan dana menetapkan syarat-syarat penyaluran dana yang harus diikuti oleh bank. Prinsip wadi’ah dan mudharabah tersebut mendasari dikeluarkannya produk-produk giro wadi’ah atau titipan (yadhlomanah), tabungan mudharabah, deposito mudharabah atau deposito bagi hasil dari usaha bank yang besarnya tidak ditetapkan di muka, serta fasilitas-fasilitas perbankan umumnya yang tidak bertentangan dengan syariah, seperti jasa untuk memperoleh balas jasa (fee), seperti: pemberian jaminan (al kafalah), pengalihan tagihan (al hiwalah), pelayanan khusus (al jo’alah), pembukuan L/C (al wakalah).
2. Produk Penyaluran Dana Produk penyaluran dana di bank syariah dapat dikembangkan dengan tiap model yaitu: 1. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli. 2. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa. 3. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
49
Prinsip Jual Beli Mekanisme jual beli adalah upaya yang dilakukan dengan pola: 1. Dilakukan untuk transfer of property. 2. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi harga jual barang. Prinsip jual beli ini dikembangkan menjadi bentuk-bentuk pembiayaan sebagai berikut : 1. Pembiayaan mudharabah (dari kata ridhu = keuntungan). Bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Barang diserahkan segera dan pembayaran dilakukan secara tangguh. 2. Salam (jual beli barang belum ada). Pembayaran tunai, barang diserahkan tangguh. Bank sebagai pembeli, dan nasabah sebagai penjual. Dalam transaksi ini ada kepastian tentang kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan. Ketenntuan umum dalam bai’as-salam : a) Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. b) Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, nasabah harus bertanggung jawab. c) Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan, maka bank dimungkinkan melakukan akad salam pada pihak ketiga (pembeli kedua). 3. Istishna. Jual beli seperti akad salam namun pembayarannya dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Istishna diterapkan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi. Ketentuan umum: a) Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. b) Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad.
50
c) Jika terjadi perubahan kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.
Prinsip Sewa (Ijarah) Transaksi Ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaanya terletak pada obejk transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya jasa. Pada skhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah) Prinsip
bagi
hasil
untuk
produk
pembiayaan
di
bank
syariah
dioperasionalkan dengan pola-pola sebagai berikut: 1. Musyarakah, adalah kerja sama dalam suatu usaha oleh dua pihak. Ketentuan umum dalam akad musyarakah adalah sebagai berikut: a) Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. b) Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. c) Pemilik modal dipercaya untuk menjalan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tndakan, seperti: 1) Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi. 2) Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya. 3) Memberi pinjaman kepada pihak lain. 4) Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain. 5) Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama apabila :
51
Menarik diri dari perserikatan. Meninggal dunia. Menjadi tidak cakap hukum. 6) Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. 7) Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. 2. Mudharabah, kerja sama dengan mana shahibul maal memberikan dana 100% kepada mudharib yang memiliki keahlian. Ketentuan umum yang berlaku dalam akad mudharabah adalah: a. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama. b. Hasil
dari
pengelolaan
modal
pembiayaan
mudharabah
dapat
diperhitungkan dengan dua cara: 1) Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setia bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung
seluruh
kerugian
kecuali
akibat
kelalaian
dan
penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana. 2) Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban, dapat dikenakan sanksi administrasi. 3. Mudharabah Muqayyadah, pada dasarnya sama dengan ketentuan di atas. Perbedaannya adalah terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal.
52
3. Produk Jasa (Akad Pelengkap) Akad pelengkap dikembangkan sebagai pelayanan jasa. Akad ini dioperasinalkan dengan pola sebagai berikut: 1. Al-Hiwalah (alih utang piutang), transaksi pengalihan utang piutang. Dalam praktik perbankan fasilitas hiwalah lazimnya digunakan untuk membantu pemasok mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. 2. Ar-Rahn (gadai), untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi criteria : a) Milik nasabah sendiri, b) Jelas ukuran, sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar, c) Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. 3. Al-Qardh (pinjaman kebaikan), digunakan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq, dan shadaqah. 4. Al-Wakalah. Nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti: transfer, dan sebagainya. 5. Al-Kafalah, bank garansi digunakan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank dapat ganti biaya atas jasa yang diberikan.
2.9
Pengaruh Persepsi Atas Bagi Hasil Pembiayaan Mudharabah terhadap Minat Mahasiswa menjadi Nasabah Bank Syariah Pada uraian sebelumnya mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi
minat diantaranya adalah faktor dorongan dari dalam, motivasi sosial dan emosional. Faktor dorongan dari dalam dan motivasi sosial berperan sebagai pendukung untuk mendapatkan hasil yang ingin dicapai dan faktor emosional
53
sebagai cara pandang serta keinginan seseorang terhadap sesuatu. Minat merupakan pengetahuan dan informasi, kemudian disertai dengan rasa senang akan menimbulkan perhatian terhadapnya serta ada hasrat dan keinginan untuk melakukannya. Menurut Ascarya (2008), rendahnya segmentasi pasar bank syariah Indonesia disebabkan rendahnya pembiayaan bagi hasil. Dalam analisa menggunakan sistem ANP (Analytic Network Process) yaitu penggabungan dua bagian antara hierarki kontrol dan jaringan pengaruh. Selama ini ada 10 masalah yang mengerucut mengapa sistem bagi hasil bank syariah masih rendah. Lima masalah tersebut ada pada internal bank syariah, dua masalah di sisi nasabah, dua masalah disisi regulasi dan satu masalah di dari sisi pemerintah atau institusi lain. Disisi internal bank syariah, selama ini pemahaman terhadap esensi bank syariah masih kurang. Kemudian orientasi bisnis di bank syariah terasa masih kental. Ditambah lagi dengan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Insani (SDI) bank syariah belum memadai. Kelemahan itu akhirnya menjadikan pelaku perbankan syariah selama ini bersikap averse to effort dan averse to risk.Sikap averse to risk pada perbankan syariah itulah yang menjadikan para nasabah berbuat sama pada bank syariah, apalagi rendahnya pemahamannya tentang bank syariah masyarakat, membuat sikap averse to risk dari nasabah semakin tinggi. Realitas permasalahan tersebut baik internal perbankan syariah dan nasabah tidak bisa dipungkiri, apalagi masalah regulasi dan sikap pemerintah salah satu kendala, rendahnya sistem bagi hasil bank syariah. Pada masalahregulasi, dalam penelitan tersebut diungkapkan, bahwa selama ini belum adaregulasi yang kurang inisiatif dalam mendorong pembiayaan bagi hasil serta kurangnya kebijakan pendukung. Dari hasil regulasi yang menandakan bahwa selama ini pemerintah belum memiliki komitmen secara menyeluruh.
54
Berikut beberapa pendapat lain yang mengharamkan bunga bank: 1. Organisasi Konferensi Islam (OKI) Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah menyepakati: Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam, perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. 2. Mufti Negara Mesir Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan. 3. Konsul Kajian Islam Dunia Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Diantara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari amerika, eropa dan dunia Islam.
Adapun beberapa contoh yang menurut penulis terkait dengan fenomena persepsi negatif atas bagi hasil pembiayaan Mudharabah, adalah sebagai berikut : a. Seorang pengusaha meminjam pada bank syariah untuk urusan properti 18 milyar. Kemudian pengusaha tersebut memberikan presentasi bahwa properti itu bisa mendapatkan keuntungan, contoh 100 juta/bulan. Bank syariah mandiri tidak mematok persentase keuntungan seperti yang seharusnya, dia mematok angka nominal, misal 40 juta/bulan (tanpa cicilan). 40 juta ini harus dibayar per bulan tanpa peduli keuntungan yang diperoleh, walaupun hasil tersebut fluktuatif contoh 100 juta, 20 juta, atau bahkan rugi 40 juta sekalipun tetap harus membayar 40 juta pada bank syariah mandiri tersebut. Kemudian
55
setelah diakumulasikan pembayaran dan pengembalian modal kepada bank syariah mandiri ternyata lebih banyak 5 milyar daripada bank konvensional. b. Seorang nasabah meminjam pada salah satu bank syariah yang ada di kotanya. Anehnya sistem bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah tersebut tidak memakai persentase. Bank syariah tersebut memakai sistem bagi hasil nominal, sehingga jika nasabah tersebut mendapat hasil yang fluktuatif bahkan rugi maka harus membayar sebesar nominal tersebut, hal ini menimbulkan persepsi bahwa sistem bagi hasil lebih rentenir daripada sistem bunga. Dari kedua contoh dapat disimpulkan, bahwa beberapa nasabah memiliki persepsi yang cenderung kecewa dengan sistem bagi hasil bank syariah, dimana prinsip-prinsip bagi hasil yang semestinya dipakai tidak dijalankan. Terlebih bagi hasil yang memiliki keuntungan lebih rendah daripada sistem bunga, tentunya sangat mengecewakan nasabah. Hasil contoh mengenai persepsi atas bagi hasil sebelumnya menunjukkan bahwa bagi hasil pada beberapa bank syariah lebih kecil keuntungannya daripada bunga bank konvensional yang disertai dengan tidak dijalankannya syariat Islam. Ketidakpuasan ini menimbulkan tingkat minat masyarakat untuk menjadi nasabah bank syariah menjadi menurun akibat dampak negatif dari bagi hasil bank syariah. Dari uraian di atas dapat ditarik arti bahwa persepsi atas bagi hasil pembiayaan mudharabah memiliki hubungan terhadap minat masyarakat menjadi nasabah bank syariah. Bagi individu, penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi minat memungkinkan timbulnya usaha-usaha peningkatan perhatian terhadapnya. Bagi organisasi penelitian mengenai minat dilakukan dalam rangka meningkatkan daya tarik terhadap minat masyarakat. Sementara penelitian mengenai persepsi atas bagi hasil pembiayaan mudharabah bagi organisasi adalah dalam rangka meningkatkan perbaikan keuntungan-keuntungan fungsional (ekonomis) dan emosinal yang dituntut oleh nasabah. Selanjutnya minat masyarakat akan meningkat dan memilih bank syariah serta banyak nasabah perbankan konvensional yang kemungkinan akan beralih ke perbankan syariah. Hal ini dikarenakan perbankan syariah berhasil memberikan keuntungan emosional sekaligus keuntungan fungsional kepada seluruh nasabahnya.